Part 52Marwah bangun saat sore. Matanya sudah sembab. Ia mengharap malam segera datang. Ingin menemui Restu dan menyerahkan kartu ATM nya. Untuk menunggu waktu, ia mengisi dengan menata baju pada tas. Marini yang melihat hal itu terus menangis.“Bertahanlah, Isna! Mamak akan berusaha membuat Restu untuk menikah dengan kamu. Kita sudah kepalang basah. Malu karena hinaan orang. Jadi, apapun yang terjadi, kamu harus menikah dengannya. Agar mereka malu. Sekarang ini, rumah tangga Restu berada di ujung tanduk. Kesempatan yang sangat bagus buat kamu,” ucap Marini di sela isak tangisnya.“Mamak, berhentilah mempermalukan diri sendiri. Aku sudah ikhlas melepas Mas Restu. aku tidak akan pernah lagi berharap apapun darinya. Aku tidak kuat dengan hinaan dan cacian itu.”“Justru kamu harus menunjukkan pada orang-orang yang menghina kita.”“Aku tidak akan pernah berharap lagi menjadi istri dia. Mamak jika mau melakukan itu silakan saja. Tapi, aku tidak akan pulang lagi ke desa ini. Aku sudah tida
Restu sangat malu. Sepanjang ia berbicara, Hasyim selalu mematahkan ucapannya dengan kalimat-kelaimat menohok. Bak orang yang berlaga, saat ia menyerang, lawannya memiliki serangan balik yang membuatnya tidak bisa berkutik.“Apa itu berarti Isna akan meminta cerai dari saya?” tanya Restu dengan perasaan takut bahwa apa yang ia ucapkan benar akan terjadi.“Kira-kira?” tanya Hasyim balik. Ia sudah tidak meladeni Restu berbicara. “Pergilah! Kedatangan kamu sudah tidak diharapkan di rumah ini.” Hasyim bangkit dan berjalan masuk. Menutup pintu dan menguncinya.Restu yang masih duduk dan mendengar pintu dikunci merasa sangat terhina. Jangankan secangkir kopi, bahkan kehadirannya benar-benar sudah diharapkan. Perut yang berbunyi minta diisi, tubuh yang lelah, semakin membuatnya merasa pusing.Ia sangat lama tidak beranjak. Berharap Isna yang belum sempat ditanyakan dimana keberadaannya--akan segera datang dan memberi pertolongan.“Aku akan tetap di sini. Aku tidak mungkin dibunuh. Motor Isna
Part 53Marwah merasa berat untuk bangun dari duduknya. Saat malu, seseorang merasa enggan untuk bergerak. Niat baiknya untuk berbicara dengan Isna, hanya mendapatkan penolakan yang seolah-olah Isna tidak mengenal dan tidak ada urusan dengannya.“Sudah didaftar, Mbak?” Luthfi yang datang sambil membawa peralatan yang digunakan untuk menginfus Marini bertanya pada Marwah.“Sudah didaftar Mbak Isna tadi,” jawab Marwah sok kenal dengan Isna.“Oh, ya sudah, Mbak bisa pergi dari sini ….”“Ba-baik, terima kasih,” jawab Marwah lalu pergi.Ia berjalan ke ruang rawat inap Marini yang ada di ujung lorong.“Kamu kenal dengan pasien, Is? Atau anaknya pasien tadi?” tanya Luthfi pada Isna yang tengah menyeduh teh.“Enggak.”“Kok dia tahu nama kamu?” tanya Luthfi lagi.Isna hanya mengedikkan bahu. Malas membahas keluarga tidak tahu diri itu.Di ruangan yang hanya dihuni oleh Marini saja, tanpa ada pasien lain, Marwah duduk di bed tempat orang sakit yang ada di samping bed Marini.“Kamu sudah kabari
Isna menatap Marwah. Otaknya berusaha merangkai kata untuk membuat Marwah mengganggunya. “Dengar! Bagiku kamu bukan musuhku, juga bukan temanku. Aku tidak pernah punya urusan sama kamu. Paham? Tentang restu, ambillah, aku tidak akan pernah menghalangi.”“Mbak Isna, dengarlah dulu apa yang akan kusampaikan. Mbak, aku sudah ikhlas, demi Allah. Aku tenang, jika Mas Restu hidup dengan perempuan baik dan taat beragama seperti Mbak Isna. Aku akan mendoakan kalian agar bisa bersama sampai maut memisahkan.”“Dengar! Urusan pribadiku, urusan rumah tanggaku, tidak ada pengaruhnya apapun dengan apa yang kamu katakan. Aku dan hidupku, tidak ada kaitannya sama kamu. Kamu mau mendoakan, kamu mau ikhlas, kamu mau mengatakan apapun itu sama sekali tidak aku gubris. Kamu mau memusuhi aku atau tidak, bagiku tidak ada pengaruhnya. Jadi, jangan sia-siakan waktu kamu, ok?” Isna berkata sambil tersenyum kali ini.“Mbak, aku hanya mau menitip ATM Mas Restu. Di sini ada uang yang dikirimkan Mas Restu tiap bu
Part 54Puluhan pesan dari Restu tak pernah Isna balas. Ia telah mendaftar cerai ke pengadilan dan setelahnya meminta sang pengacara untuk mengurus semuanya. “Aku terima beres saja, Pak. Aku tidak mau menghadapi dia,” ucapnya saat bertemu dengan lawyer di depan kantor pengadilan.Hari-hari setelahnya, ia menunggu penuh kecemasan. Antara takut Restu akan berbuat hal yang nekad, juga rasa tidak sabar akan statusnya berubah.Selama itu pula, Isna berhasil menghindari Restu. Ia benar-benar sudah jarang ke polindes, kecuali ada hal yang harus benar-benar dilakukan di sana.Setelah menunggu dua minggu, sebuah kabar ia dapatkan. Bahwa sidang pertamanya akan digelar beberapa hari ke depan. Jantung Isna berdebar-debar. Menunggu kabar yang akan pengacara berikan di hari yang ditetapkan pengadilan untuk sidang dengan agenda mediasi.Siang itu, ia harus ke polindes karena harus mengambil sebuah buku data ibu hamil yang tertinggal.Isna menatap bingung pada benda-benda elektronik yang berada di te
“Itu di pintu kunci apa?” Restu jeli rupanya. Matanya melihat kunci yang masih menempel di pintu.“Itu kunci rumahku. Aku malah menyatukan benda itu.”Meski terlihat tidak percaya, akhirnya Restu mengangguk. “Ya sudah, pergi sana. Hati-hati dan cepat pulang! Aku merindukan kamu.”Isna mengambil kunci dan segera masuk menata peralatan yang akan dibawa untuk memeriksa ibu hamil yang sudah menunggu. Tidak dalam keadaan kontraksi, tapi Isna membuat alasan.“Nanti kalau ada perlu keluar, tutup saja pintunya,”“Isna ….” Panggilan yang Restu ucapkan membuat wanita itu berhenti. “Aku sudah bersabar selama beberapa hari ini memberikan waktu untuk kamu berpikir dan juga untuk kamu menyendiri. Aku harap, kamu sudah luluh dan kemarahan kamu sudah reda. Aku lelah jika kita harus seperti ini. Kita suami istri yang seharusnya hidup dengan normal. Sementara aku harus luntang-lantung tidak jelas. Sudah cukup bukan, waktu yang kamu minta? Setelah ini, pulanglah, dan kita akan bersama selamanya ….”Isna
PART 55 ENDINGRestu mendadak tidak bisa berkata apapun. Dengan Hasyim, ia tidak pernah berani.Ia hanya duduk termenung di kursinya. Beberapa jam kemudian, seorang bawahannya memberi tahu jika ada pick up yang datang membawa televisi, kulkas dan mesin cuci. Wajahnya merah padam. Ia akan malu di hadapan para perangkat desa. Karena kemarin telah meminta uang proyek pada ketua pembangunan dengan alasan mau dibelikan pasir dan aspal.Bisik-bisik mulai dilakukan oleh beberapa pegawai desa. Salah seorang sengaja bertanya pada sopir yang mengantar barang-barang tersebut. “Ini dari mana, ya?”“Dari Bu Bidan Isna. Katanya kemarin dikirim sama Pak Lurah Restu, tapi keluarganya meminta dikembalikan. Saya tanya warga katanya Pak Lurah Restu sekarang tinggal di balai desa, makanya saya antar kemari,” jawab sopir jujur.Restu yang baru keluar ruangan tidak bisa berkata apapun. Barang sudah terlanjur dibeli, uang melayang, cinta tak dapat digapai, berujung rasa malu bukan kepayang.Tidak ada yang
EKSTRA PART 1Restu mengemasi barang-barang miliknya dari kantor kepala desa. Enam bulan sudah ia bercerai, dan perilakunya tidak terkendali. Hobi bermabuk-mabukan menggunakan uang desa. Lama-lama, pegawainya merasa tidak suka dengannya. Dan demo besar-besaran terjadi yang ujungnya adalah pemecatan ia sebagai kepala desa.Dahlan sudah tidak mau ikut campur dengan keadaannya sehingga memilih untuk diam.“Pergilah merantau! Untuk mengembalikan nama baikmu. Hutangmu pada desa akan kami lunasi. Tapi, kamu harus pergi dari sini. Karena aku tidak mau lagi menuntun langkahmu. Kamu sudah dewasa. Kamu harus belajar mencari hidupmu sendiri. Mulai sekarang, kamu mau menikah dengan siapa saja kami benar-benar tidak peduli!” ujar Dahlan dengan muka masam.Restu yang memang sudah kepalang malu, hanya bisa meratapi nasib dengan pergi dari rumah Dahlan dengan tanpa membawa harta benda apapun. Hanya motor butut yang selalu setia menemani sejak kehancuran hidup.Tanpa kekayaan dan kejayaan orang tuanya