Bagaimana rasanya jumpa dengan Marwah? Apa komentar anda tentang sosok cantiknya? Ingat, ya .... Komentarmu semangatku, hahahaha ....
Part 18“Tyas, bolehkah aku bertanya sesuatu hal?” tanya Isna saat berada di rumah mertuanya.Mereka hanya berdua di rumah. Hari ini, Isna diminta oleh Narsih untuk datang. Namun, wanita itu malah tidak ada. Jadilah Isna hanya berdua bersama Tyas.“Tanya apa, Mbak?” tanya Tyas sambil meletakkan cermin yang dipegang.“Kamu dekat dengan Marwah?” tanya Isna hati-hati.“Dekat sih enggak, Mbak. Paling cuma kenal saja. Ya, tahu kalau itu pacarnya Mas. Tapi, bapak dan ibu sudah melarangku untuk dekat dengan Mbak Marwah. Jadi, aku menurut saja. Lagi pula, Mbak Marwah juga tidak pernah datang ke sini. Jadi ya, ya begitulah, Mbak, hanya sebatas kenal. Mbak Marwah itu orangnya pendiam, tapi pintar. Jadi, seringnya ikut acara-acara desa gitu. Kalau ngobrol ya jarang. Atau karena memang tidak akrab kali,” jelas Tyas jujur.“Oh … kamu ada fotonya?” tanya Isna penasaran.“Ya gak punya, Mbak. Gak pernah berhubungan. Dulu ada di kamar Mas. Pernah dipajang di tembok, tapi bapak marah-marah akhirnya dil
“Bu, apa itu tidak terlalu cepat? Sementara, Mas Restu juga belum meminta aku untuk melakukan itu,” tolak Isna halus.“Restu belum meminta itu sama kamu?” tanya Narsih heran.Isna mengangguk.“Kamu harus melakukan itu. Bagaimanapun, kamu istri Restu ….”“Aku bukanlah istri yang seperti pada umumnya, Bu ….” Lirih Isna. Tidak ingin selalu ada pada posisi yang harus selalu mengalah pada kepentingan Restu.“Maksud kamu?” tanya Narsih bingung.Isna bangkit, menuju jendela yang terbuka dan memperlihatkan pemandangan kebun yang terdapat pohon-pohon yang rindang. “Pernikahan kami hanya sebatas formalitas saja. Dan itu untuk kepentingan Mas Restu sendiri. Jangan berharap lebih dari seorang aku, Bu! Karena pernikahan ini, cepat atau lambat pasti akan berakhir …,” ucapnya setelah bersandar pada tembok di samping jendela.“Isna! Jangan berkata yang tidak-tidak! Jangan mempermainkan pernikahan!” tegas Narsih.“Justru anak ibu yang sudah mempermainkan pernikahan kami. Tadinya aku tidak mau jujur, t
POV RESTUAku mendengarnya. Isna, seorang wanita yang sudah aku sakiti dan hanya aku manfaatkan sosoknya demi meraih mimpi dan keinginanku, hampir saja buka mulut di hadapan ibu. Bukan hampir saja! Namun sepertinya, ibu sudah mulai curiga dengan apa yang terjadi diantara kami. Ah, tidak bisakah dia bersabar dengan berpura-pura kami ini pasangan yang bahagia? Apa itu susah buatnya? Sehingga menempatkanku pada posisi yang sulit seperti sekarang.Tatapan ibu terasa menakutkan. Tatapan yang sama seperti saat aku pulang menjemput Marwah dari sekolahnya di kota saat SMA. Pertama kalinya ibu marah besar akan hubungan kami. Isna yang aku harapkan bias meloloskanku dari keadaan ini, justru pergi sambal berucap kalimat yang semakin menydutkanku.“Aku akan menyusul Isna,” ucapku pada ibu, saat tubuh wangi itu pergi dari kamar ini.“Berhenti, Restu!” teriak ibu.Jantungku seakan hendak lepas dari tempatnya kala mendengar hardikan dari wanita yang telah melahirkanku itu.“Apa yang dimaksud Isna de
Untung rumah kami berada di tengah-tengah pekarangan yang luas, berjarak beberapa meter dari rumah warga lain. Jika tidak, harga diriku jelas hancur. Seorang kepala desa yang biasa disegani dan dihormati harus terhina dipukul ibu seperti anak kecil.“Kalau kamu tidak segera melakukan ritual malam pertama dengan Isna, aku akan menyuruh anak buahmu mencoret bantuan keluarga miskin yang diberikan pada keluarga Marini!”Ibu benar-benar tidak punya etika. Hal semacam itu diucapkannya.Namun, aku bersyukur karena akhirnya, pukulan di pantatku berhenti. Kini, kusandarkan tubuh di tepi ranjang dan meluruskan kaki yang terasa pegal. Meratapi nasibku yang malang. Di hadapan masyarakat aku disegani, tapi di depan ibuku sendiri ….“Pulang cepat! Minta maaf sama Isna dan segera laksanakan kewajiban kamu sebagai suami!” Aku melonjak kaget, saat ibu kembali datang dan berujar keras.“Aku istrirahat dulu, Bu. Ini sakit semua,”“Seharusnya tadi Isna jangan pulang dulu. Seharusnya dia yang melakukan ha
POV IsnaFahri. Sebuah nama yang sebenarnya sempat mampir dalam hati ini selain Restu. Dia kakak kelas dua tingkat di atasku waktu SMA. Aku sekolah di sebuah sekolah islam yang ada pondok pesantrennya. Dan Fahri adalah kakak kelas yang selalu memberiku perhatian sejak pertama kali mengenalku dalam acara orientasi sekolah.Sebagai kakak senior yang akhirnya aku tahu dia menaruh rasa, sudah tentu saat pertama kali berjumpa—terlebih dalam situasi aku menjadi siswa baruu—ia selalu jahil. Mulai dari sering menghukum, menyuruh bernyanyi dan masih banyak lagi.Bapak selalu berpesan agar aku sekolah dengan benar. Jangan sampai terlibat pergaulan bebas. Itu sebabnya, meski teman-teman yang lain punya pacar, aku memilih menjadi jomblo sejati dan sepertinya benar-benar sejati karena sampai saat ini, tidak ada lelaki yang benar-benar menjalin ikatan batin denganku.Fahri sempat kuliah di Institute Agama Islam, tapi kemudian memilih keluar setelah lolos mendaftar di secaba. Ia bertugas masih di wi
“Marwah, eh, Isna maksudnya. Aku minta maaf. Aku ….”“Mau berapa kali kamu meminta maaf, Restu? Tidak cukup puaskah dengan segala perasaanmu? Kenapa sampai foto wanita itu kamu pindah ke rumahku? Ke kamarku? Jawab!” gertakku masih dengan volume suara kecil.“Isna, aku tidak tahu harus menyimpan dimana. Kalau aku letakkan di rumah dan ketahuan ibu atau bapak, aku sudah pasti kena marah. Jadi, aku bawa ke sini ….”“Apa kamu tidak bisa hidup tanpa foto itu? Apa kamu pikir aku baik-baik saja dengan foto itu di kamar ini? Otak dan pikiran kamu kemana, Restu?” tanyaku heran dan menahan emosi.“Isna, aku suami kamu. Hormatilah aku dengan berbicara sopan. Jangan menyebut kata otak untuk suami kamu, itu tidak pantas.” Restu terdengar tidak suka.“Kamu berbicara kepantasan? Bahkan aku berpikir kalau kamu pantas mendapatkan umpatan yang lebih kasar dari itu. Asal kamu tahu, aku tidak pernah bersikap tidak sopan atau memaki orang seperti saat ini. Kali pertamanya aku melakukan adalah pada kamu. J
Hari-hari berjalan seperti biasa. Aku berangkat ke puskesmas, dan Restu berangkat ke balai desa. Sejak insiden pembakaran foto wanita kesayangannya, Restu terlihat murung. Aku abai saja.Aku seorang bidan desa, tapi tugasku alhamdulillah masih di desa sendiri. Sehingga tidak perlu menginap di polindes. Dan tempat itu digunakan oleh bidan desa yang satunya lagi. Dia hendak pindah, tinggal menunggu surat mutasi turun yang sepertinya tidak sampai sebulan.“Isna ….” Aku yang sedang membuat teh untuk menghangatkan tubuh di malam yang dingin, terpaksa menoleh. Ibu sudah berdiri di samping kulkas sambil menatapku tanpa kedip.“Ya, Bu,” jawabku santai sambil kembali fokus mengaduk gula yang ada di gelas agar larut.“Ibu mau bertanya sesuatu hal. Tapi, jawablah dengan jujur!” Perkataan ibu membuat aku menghentikan gerakan tangan.“Ibu mau bertanya apa?” Aku bertanya balik dengan gugup.“Kamu kenapa sama Restu?”Hampir saja aku tersedak mendengar pertanyaan yang dilontarkan ibu. Ah, tidak mungk
Ibu belum percaya. Tapi memilih diam.tatapannya tidak bisa dibohongi.“Kalau nanti bidan desa yang satu pindah, aku akan menempati polindes, Bu,” ucapku memohon izin. “Jangan khawatir, aku sering tidur di sini juga ….”Ibu berlalu tanpa sepatah kata. Aku bernapas lega.Entah kenapa, malam ini, bapak tumben ikut makan bersamaku dan Restu. Tanpa perbincangan karena beliau bergabung saat kami sudah mulai menyantap makanan. Setelah Restu selesai dan hendak pamit, barulah bapak mengeluarkan suara.“Restu, duduklah!” ucap bapak terdengar dingin.Restu urung bangkit dan kembali mendaratkan tubuh pada kursi. Wajahnya penuh tanda tanya. “Ada apa ya, Pak?” tanyanya.“Kami sangat menyayangi Isna. Dia anak yang hampir tidak pernah membuat kami marah. Kecuali kenakalannya waktu kecil. Dia kami besarkan dengan penuh kasih sayang. Tidak pernah membuat malu keluarga dan selalu menjaga diri dari semua laki-laki. Banyak pria datang yang kami tahu, mereka bermaksud menjadikan Isna istri. Tapi, pilihan k
EKSTRA PART 5 Restu menatap sebuah cincin indah yang dibeli dari gajinya. Ia sudah berniat pulang dan akan melamar Isna kembali. Entah mengapa, hati menuntunnya ke rumah dinas Isna. Rumah kecil yang selalu ia tuju beberapa bulan sebelumnya. Ia kaget saat melihat dua sandal di rak yang ada di teras. Namun, tangannya segera mengetuk pintu perlahan. Yakin bahwa perempuan yang sedang dicarinya ada di dalam. “Cari siapa, Mas?” tanya Fahri yang membukakan pintu. Restu mendadak cemas. Jantungnya berdegup kencang. Mencoba menolak persepsi yang masuk dalam pikiran tentang hubungan lelaki di hadapannya dengan mantan istri. “Cari Isna. Anda siapa di sini?” tanya Restu. Menunggu jawaban keluar dari mulut Fahri, Restu merasa takut. “Saya suami Isna.” Dugaannya benar. Tidak lama, Isna keluar dengan memakai jilbab. Sorot tidak suka langsung terpancar kala menatapnya. Rahang Restu mengeras menahan emosi. Ingin rasanya menghajar lelaki yang mengaku sebagai suami Isna itu karena ia terbakar ce
Fahri menatap perempuan yang memakai kebaya putih dengan mahkota di atas kepala, khas pengantin Sunda. Meski mereka orang Jawa, Isna memilih adat lain untuk hari spesialnya, karena tidak ingin mengingat busana yang dikenakan saat menikah dengan Restu. segala hal yang dia pilih dari dekorasi, busana, riasan dan pernak-pernik pernikahan dipilih yang berbeda dari pernikahan pertamanya. Mereka memilih ijab qabul dengan cara islami. Isna berada di kamar saat Fahri mengikat janji suci dengan mahar uang sejumlah tanggal, bulan serta tahun pernikahan mereka. Kini ia dipertemukan setelah benar-benar resmi menjadi istri dari lelaki yang berprofesi sebagai tentara itu. Fahri tersenyum bahagia saat Isna berhadap dengannya. Ia lalu mengulurkan tangan untuk dicium takzim oleh perempuan yang sudah sah menjadi miliknya. Sentuhan pertama keduanya, mengawali sebuah hubungan yang halal di mata Allah. Isna ingin menangis, tapi ia tahan. Setiap titik air mata yang jatuh ketika menjadi istri Restu, kini
EKSTRA PART 4“Kenapa lama? Aku sudah setengah jam menunggu di sini,” ucap Isna kesal.“Jangan marah-marah. Kamu hanya menungguku setengah jam. Sementara aku, aku sudah bertahun-tahun menunggumu. Saat datang, kamu sudah menjadi milik orang. Bukankah itu lebih mengesalkan?” tanya Fahri sambil tersenyum menggoda. “Jangan marah. Kita impas. Aku mengalah jika waktuku bertahun-tahun hanya kubalas dengan setengah jam saja ….”Isna memasang muka masam.“Aku merindukan kamu,” kata Fahri saat baru saja duduk sambil menyerahkan buket bunga.Isna masih enggan menanggapi.“Kalau kamu ngambek, kita seperti sudah berpacaran.”Isna melirik sekilas saja lalu meletakkan tangan di dagu dan memindahkan bola mata menuju objek lain.“Aku tadi mencari bunga berwarna merah ini. Kamu tahu kenapa lama?”Isna melirik Fahri. Kali ini tatapannya berhenti seperti penasaran.“Karena aku mengecat bunga ini sendiri.”Isna hendak tertawa tapi ditahan.“Kamu mau terima bunga ini atau tidak? Kalau tidak, aku mau mengem
“Kamu mencium harumnya bunga melati?” tanya Fahri. Isna celingukan. “Enggak,” jawabnya. Ia lalu berpikir jika melati berhubungan dengan hal yang mistis. “Kamu tidak menciumnya karena melati itu ada di lama hatiku.” Dengan wajah datar, fahri menggoda Isna. “Aku pulang, lho!” “Mau pulang sama siapa? Hamam sudah aku suruh pulang lebih dulu.” Isna membelalak. “Terus? Aku nanti pulang sama siapa?” “Aku sudah bilang mau antar kamu pulang, ‘kan?” “Tapi ….” “Jangan takut! Aku bawa sopir. Kita nanti bertiga.” “Kalian laki-laki semua, aku wanita sendirian?” Fahri tersenyum. “Hamam menunggu di luar. Tapi, nanti aku akan mengantarmu pakai mobil.” Isna meneguk es jeruk yang ada di meja. Panas dingin dirasa dalam tubuhnya. “Aku akan berangkat besok. Tunggu aku pulang. Dan aku akan menagih jawaban sama kamu,” Hati yang hangat mendadak sunyi kembali saat mendengar Fahri akan berangkat. “Kapan pulang?” Pertanyaan yang meluncur dari mulut Isna tanpa ia sadar. “Kamu mau ikut?” canda Fahri.
EKSTRA PART 3 Isna tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Semuanya terasa tiba-tiba terjadi. Ia sama sekali tidak menyangka jika yang melakukan semua itu adalah Fahri. Pria yang selama beberapa bulan ini tidak ada kabar sama sekali. Seketika hatinya merasa lega. Bayangan Tomi yang menari-nari di pikiran lenyap seketika. Namun, kelegaan itu berganti dengan rasa bimbang dan bingung. Ia tentu tidak bisa memutuskan dalam sekali itu juga. Jika lamaran itu dilakukan oleh seorang pacar, tentu akan sangat membahagiakan. Namun, Fahri hanyalah teman yang tidak pernah menghubunginya selama ini. Meski Isna tahu, lelaki itu memiliki perasaan. Akan tetapi, tetap saja baginya Fahri belum dekat di hati. “Aku bukan lelaki egois yang akan menuntut kamu menjawab saat ini juga. Aku melamar kamu karena memang aku ingin mengutarakan isi hati ini. Aku hanya pulang dalam waktu seminggu saja. Dan ini khusus aku lakukan untuk melamarmu. Kelak, jika aku pulang tiga bulan lagi, aku harap kamu sudah memiliki
Tidak lama kemudian lampu menyala. Seorang pria yang memakai kemeja warna abu-abu dipadukan celana jeans hitam. Penampilannya terlihat menawan. Berjalan mendekati Isna dengan satu tangan memegang mic sambil bernyanyi. Sementara tangan lainnya memegang buket bunga. Selesai menyanyikan lagu satu bait, musik kembali berganti dengan alunan biola.Isna menoleh dan menyadari Hamam sudah tidak ada di sana. Sedari tadi ia terpana hingga tidak sadar adik laki-lakinya telah meninggalkannya seorang diri.Isna merasa bingung dengan apa yang akan dilakukannya. Pria itu mendekat menatapnya dengan tatapan kerinduan dan penuh cinta.Ia berlutut di hadapan Isna dan mengulurkan buket seraya berkata, “will you marry me?”Mata Isna berkaca-kaca. Alih-alih menjawab, ia malah menangis dengan posisi tangan menutup wajah.***“Siapa nama kamu?” tanya Hasyim saat kedatangan lelaki muda tampan dan mengatakan ingin meminang Isna dan mengajaknya menikah.“Saya Fahri, Pak. Kakak kelas Isna saat masih SMA. Saya su
EKSTRA PART 2Dalam sujud panjang, Isna memohon petunjuk. Tiba-tiba dalam hati memiliki sebuah keyakinan, jika itu bukan Tomi atau Restu, jika orang itu adalah lelaki baik yang pernah ia kenal, maka ia akan membuka hati.Isna yang diliputi rasa kebimbangan menceritakan apa yang terjadi terhadap keluarganya. Di luar dugaan, sang ibu justru mendorongnya untuk berangkat. “Nanti diantar sama adikmu,” ujar Rahayu tanpa memiliki rasa kekhawatiran.“Tapi, kalau orang itu Tomi?” Isna terlihat ragu.“Kamu lari, Hamam yang akan menghadapi.” Rahayu memberi support untuk sang putri.Akhirnya Isna memutuskan berangkat meskipun ragu.“Hati-hati! Bapak selalu merestui setiap jalan yang kamu pilih. Bapak hanya ingin bahagia dengan siapapun nantinya lelaki yang kamu pilih. Bapak tidak mau mengulangi kesalahan yang dulu. Oleh karenanya, kamu harus mencari sendiri calon suami untukku kamu. Cari dan pilihlah dia yang mencintai kamu, Nduk,” ucap Hasyim saat Isna hendak berangkat. Suaranya bergetar. Sepert
Ada yang kirim paket, sudah Ibu taruh di atas kasur,” ucap Rahayu saat melihat Isna pulang kerja kelelahan.Isna diam dan langsung masuk kamar. Sebuah paket berbungkus plastik hitam dibukanya. Tanpa ada nama pengirim membuat jantungnya berdegup kencang. Takut bila didalamnya ada sesuatu yang membahayakan. Sejenak ia ragu untuk membuka.“Bismillah ….”Kotak berbentuk kado. Saat membuka tutupnya, ada kotak lagi. Begitu sampai kotak ketiga. Lalu Isna menemukan beberapa batang coklat dan sebuah kartu ucapan.Semoga kamu bahagia selalu.“Siapa yang mengirimnya?” tanya Isna seorang diri.Meski penasaran, ia tidak mengatakan hal itu pada sang ibu.Tiga hari kemudian, Isna mendapatkan lagi paket misterius. Kali ini di dalam kotak ada setangkai bunga mawar plastik. Dengan sebuah kartu ucapan pula.Semoga harimu menyenangkan.Isna mengumpulkan paket yang ia terima dalam satu kardus. Ia tidak mau memakan coklat karena takut ada racunnya.“Apa ini dari Tomi? Hanya Tomi yang gencar mendekatiku. Na
EKSTRA PART 1Restu mengemasi barang-barang miliknya dari kantor kepala desa. Enam bulan sudah ia bercerai, dan perilakunya tidak terkendali. Hobi bermabuk-mabukan menggunakan uang desa. Lama-lama, pegawainya merasa tidak suka dengannya. Dan demo besar-besaran terjadi yang ujungnya adalah pemecatan ia sebagai kepala desa.Dahlan sudah tidak mau ikut campur dengan keadaannya sehingga memilih untuk diam.“Pergilah merantau! Untuk mengembalikan nama baikmu. Hutangmu pada desa akan kami lunasi. Tapi, kamu harus pergi dari sini. Karena aku tidak mau lagi menuntun langkahmu. Kamu sudah dewasa. Kamu harus belajar mencari hidupmu sendiri. Mulai sekarang, kamu mau menikah dengan siapa saja kami benar-benar tidak peduli!” ujar Dahlan dengan muka masam.Restu yang memang sudah kepalang malu, hanya bisa meratapi nasib dengan pergi dari rumah Dahlan dengan tanpa membawa harta benda apapun. Hanya motor butut yang selalu setia menemani sejak kehancuran hidup.Tanpa kekayaan dan kejayaan orang tuanya