Ah, suamiku? Apa Restu sudi aku sebut dengan sebutan itu. Hatiku teriris sakit.“Saya pamit.”“Hati-hati di jalan Mas Restu ….”Setelah melirik Restu memberi uang, mataku mengatup lagi. Dan kurasakan mobil mulai bergerak.“Isna, tolong letakkan ini di belakang.”Aku membuka mata mendengar Restu memerintah.Plastik hitam dengan minyak masih terlihat mengkilat terulur padaku.“Sepertinya berminyak. Tanganku sudah bersih. Kamu saja yang meletakkan di belakang.” Aku menolak agak kasar. Enak saja, ogah sekali bersentuhan dengan bekas tangan dari orang yang ikut membuatku sakit hati.Kini aku paham, mengapa Restu masih mencintai wanita itu. Karena dari kedua belah pihak memang masih berharap dan berusaha menciptakan peluang untuk bisa bersama lagi. Ah, ibu mertua yang malang, pasti sangat muak melihat sikap keluarga Marwah ….***Aku melihat plastik hitam yang dibawa Restu dari mobil kini berpindah ke atas meja makan. Ingin segera membuangnya, tapi akal sehat dan hati nurani melarang. Aku t
POV RESTUAku menatap ransel yang berisi berkas yang harus diserahkan ke kabupaten besok. Di sana, sebagian kertas sudah terkena minyak dari masakan teri yang ada di plastik. Lagi pula, kenapa juga Bu Marini tidak meletakkannya pada toples? Sehingga minyak ataupun teri itu tidak akan tumpah.Ah, Bu Marini hanya wanita tidak berpengalaman. Memberikan makanan kesukaanku saja sudah termasuk hal yang baik. Mulia sekali hati wanita itu. Di saat aku sudah menyakiti anak gadis kesayangannya, masih saja perhatian. Semua ini karena Isna. Ia kenapa gegabah meletakkan masakan teri ke dalam tas? Jika tidak suka, seharusnya cukup bilang saja padaku. Namun, hendak marah? Aku takut dia akan bercerita pada bapak dan ibunya. Terpaksa, kupendam sendiri saja rasa kesalku. Dan terpaksa lagi, harus ngeprint ulang. Sementara sesuai rencana, pagi buta aku akan langsung berangkat ke kabupaten.Kulihat Isna yang santai memainkan ponsel. Ada raut wajah sedih di sana. Itu yang membuatku urung pula untuk memprot
Hingga malam menjelang, kami kembali tidak bertegur sapa. Rasanya, hati ingin bertanya dengan siapa ia berbicara. Namun, aku tidak berani. Sejenak, entah kenapa jadi lupa hasrat untuk memakan masakan Bu Marini yang memang selalu aku rindukan. Entahlah, aku pernah memberikan makanan itu pada teman satu kantor. Mereka bilang, rasanya biasa saja. Asin dan terkesan tidak ada bumbu. Namun , aku begitu menyukainya. Apa karena dia adalah ibu dari wanita yang aku cintai? Isna bersiap tidur. Di samping bantal selalu ada novel yang dibaca. Wanita itu menarik selimut sampai dagu. Lalu, memiringkan tubuh menghadap tembok. Beberapa kali di tengah malam aku melihat bahunya terguncang. Mungkin karena menangisi nasib pernikahan kami. Akan tetapi, tetap saja hati ini membeku. Tangan rasanya enggan meraihnya untuk hanya sekadar memberi kehangatan. Aku masih memegang teguh sebuah janji, bahwa hanya Marwah yang ada dalam pikiran dan hati ini. Entah kenapa, malam ini aku begitu nyaman berlama-lama memand
Part 17Di rumah sederhana milik Marwah, Marini menatap sebuah foto anak gadisnya yang memakai hijab. Kulit putih tanpa skincare, hidung mancung dan bulu mata yang lentik. Mata yang mirip dengan Restu. Tidak heran, jika beberapa kerabatnya mengatakan kalau Marwah akan berjodoh dengan kepala desa muda tersebut. Namun, kedudukan sosial membuat mimpi itu hancur begitu saja.Marini dan keluarga masih belum bisa menerima takdir jika Restu kini telah memiliki istri yang sah. Apalagi mereka tahu, jika Restu sempat meminta pada Marwah untuk bersabar. Pria yang menjabat kepala desa itu berjanji akan memperjuangkan cintanya.Hingga suatu ketika, kabar pernikahannya tersebar di seluruh penjuru warga dan membuat Marwah jatuh sakit.“Baik-baik di sana, Nduk,” ucap Marini sambil menangis.“Jangan ditangisi! Biarkan Marwah menenangkan diri. Dia anak yang kuat,” sahut Ruslam yang baru selesai sholat.“Dia sangat terluka, Pak. Dia pergi setelah beberapa hari tidak mau makan.”Pembicaraan mereka terhen
“Dinasehati saja adikmu itu. Malu. Jelas-jelas ibunya Mas Restu menolak Marwah.” “Iya, kita itu apa? Kita itu rakyat jelata yang tidak sepadan. Mau secantik apapun Marwah, ibunya Mas Restu tidak akan setuju.” “Marini malah bahagia. Padahal Pak Dahlan sudah dengan jelas menolak Marwah.” “Ya tidak akan mau, mana mungkin Pak Dahlan mau berbesan sama orang yang sejak kakek moyangnya jadi buruh di keluarga kaya itu.” “Mbok bapaknya Yu Siti suruh bilangin Marini ….” Berbagai macam omongan warga terngiang dalam benak Siti. Ia sudah mengingatkan seringkali, tapi tetap saja, adiknya tidak pernah mau mengerti. “Yu, aku orang muslim. Aku tetap berpegang teguh pada ajaran agama yang meminta kita agar tetap menganggap bahwa semua orang itu sama di hadapan Allah. Yang membedakan hanya tingkat keimanannya. Jangan menyalahkan sikapku di masa lalu. Mas Restu sendiri yang selalu datang kesini mengajak Marwah dan baik pada kami. Dan sampai saat ini, kami yakin kalau Mas Restu masih mencintai Marwah
Part 18“Tyas, bolehkah aku bertanya sesuatu hal?” tanya Isna saat berada di rumah mertuanya.Mereka hanya berdua di rumah. Hari ini, Isna diminta oleh Narsih untuk datang. Namun, wanita itu malah tidak ada. Jadilah Isna hanya berdua bersama Tyas.“Tanya apa, Mbak?” tanya Tyas sambil meletakkan cermin yang dipegang.“Kamu dekat dengan Marwah?” tanya Isna hati-hati.“Dekat sih enggak, Mbak. Paling cuma kenal saja. Ya, tahu kalau itu pacarnya Mas. Tapi, bapak dan ibu sudah melarangku untuk dekat dengan Mbak Marwah. Jadi, aku menurut saja. Lagi pula, Mbak Marwah juga tidak pernah datang ke sini. Jadi ya, ya begitulah, Mbak, hanya sebatas kenal. Mbak Marwah itu orangnya pendiam, tapi pintar. Jadi, seringnya ikut acara-acara desa gitu. Kalau ngobrol ya jarang. Atau karena memang tidak akrab kali,” jelas Tyas jujur.“Oh … kamu ada fotonya?” tanya Isna penasaran.“Ya gak punya, Mbak. Gak pernah berhubungan. Dulu ada di kamar Mas. Pernah dipajang di tembok, tapi bapak marah-marah akhirnya dil
“Bu, apa itu tidak terlalu cepat? Sementara, Mas Restu juga belum meminta aku untuk melakukan itu,” tolak Isna halus.“Restu belum meminta itu sama kamu?” tanya Narsih heran.Isna mengangguk.“Kamu harus melakukan itu. Bagaimanapun, kamu istri Restu ….”“Aku bukanlah istri yang seperti pada umumnya, Bu ….” Lirih Isna. Tidak ingin selalu ada pada posisi yang harus selalu mengalah pada kepentingan Restu.“Maksud kamu?” tanya Narsih bingung.Isna bangkit, menuju jendela yang terbuka dan memperlihatkan pemandangan kebun yang terdapat pohon-pohon yang rindang. “Pernikahan kami hanya sebatas formalitas saja. Dan itu untuk kepentingan Mas Restu sendiri. Jangan berharap lebih dari seorang aku, Bu! Karena pernikahan ini, cepat atau lambat pasti akan berakhir …,” ucapnya setelah bersandar pada tembok di samping jendela.“Isna! Jangan berkata yang tidak-tidak! Jangan mempermainkan pernikahan!” tegas Narsih.“Justru anak ibu yang sudah mempermainkan pernikahan kami. Tadinya aku tidak mau jujur, t
POV RESTUAku mendengarnya. Isna, seorang wanita yang sudah aku sakiti dan hanya aku manfaatkan sosoknya demi meraih mimpi dan keinginanku, hampir saja buka mulut di hadapan ibu. Bukan hampir saja! Namun sepertinya, ibu sudah mulai curiga dengan apa yang terjadi diantara kami. Ah, tidak bisakah dia bersabar dengan berpura-pura kami ini pasangan yang bahagia? Apa itu susah buatnya? Sehingga menempatkanku pada posisi yang sulit seperti sekarang.Tatapan ibu terasa menakutkan. Tatapan yang sama seperti saat aku pulang menjemput Marwah dari sekolahnya di kota saat SMA. Pertama kalinya ibu marah besar akan hubungan kami. Isna yang aku harapkan bias meloloskanku dari keadaan ini, justru pergi sambal berucap kalimat yang semakin menydutkanku.“Aku akan menyusul Isna,” ucapku pada ibu, saat tubuh wangi itu pergi dari kamar ini.“Berhenti, Restu!” teriak ibu.Jantungku seakan hendak lepas dari tempatnya kala mendengar hardikan dari wanita yang telah melahirkanku itu.“Apa yang dimaksud Isna de
EKSTRA PART 5 Restu menatap sebuah cincin indah yang dibeli dari gajinya. Ia sudah berniat pulang dan akan melamar Isna kembali. Entah mengapa, hati menuntunnya ke rumah dinas Isna. Rumah kecil yang selalu ia tuju beberapa bulan sebelumnya. Ia kaget saat melihat dua sandal di rak yang ada di teras. Namun, tangannya segera mengetuk pintu perlahan. Yakin bahwa perempuan yang sedang dicarinya ada di dalam. “Cari siapa, Mas?” tanya Fahri yang membukakan pintu. Restu mendadak cemas. Jantungnya berdegup kencang. Mencoba menolak persepsi yang masuk dalam pikiran tentang hubungan lelaki di hadapannya dengan mantan istri. “Cari Isna. Anda siapa di sini?” tanya Restu. Menunggu jawaban keluar dari mulut Fahri, Restu merasa takut. “Saya suami Isna.” Dugaannya benar. Tidak lama, Isna keluar dengan memakai jilbab. Sorot tidak suka langsung terpancar kala menatapnya. Rahang Restu mengeras menahan emosi. Ingin rasanya menghajar lelaki yang mengaku sebagai suami Isna itu karena ia terbakar ce
Fahri menatap perempuan yang memakai kebaya putih dengan mahkota di atas kepala, khas pengantin Sunda. Meski mereka orang Jawa, Isna memilih adat lain untuk hari spesialnya, karena tidak ingin mengingat busana yang dikenakan saat menikah dengan Restu. segala hal yang dia pilih dari dekorasi, busana, riasan dan pernak-pernik pernikahan dipilih yang berbeda dari pernikahan pertamanya. Mereka memilih ijab qabul dengan cara islami. Isna berada di kamar saat Fahri mengikat janji suci dengan mahar uang sejumlah tanggal, bulan serta tahun pernikahan mereka. Kini ia dipertemukan setelah benar-benar resmi menjadi istri dari lelaki yang berprofesi sebagai tentara itu. Fahri tersenyum bahagia saat Isna berhadap dengannya. Ia lalu mengulurkan tangan untuk dicium takzim oleh perempuan yang sudah sah menjadi miliknya. Sentuhan pertama keduanya, mengawali sebuah hubungan yang halal di mata Allah. Isna ingin menangis, tapi ia tahan. Setiap titik air mata yang jatuh ketika menjadi istri Restu, kini
EKSTRA PART 4“Kenapa lama? Aku sudah setengah jam menunggu di sini,” ucap Isna kesal.“Jangan marah-marah. Kamu hanya menungguku setengah jam. Sementara aku, aku sudah bertahun-tahun menunggumu. Saat datang, kamu sudah menjadi milik orang. Bukankah itu lebih mengesalkan?” tanya Fahri sambil tersenyum menggoda. “Jangan marah. Kita impas. Aku mengalah jika waktuku bertahun-tahun hanya kubalas dengan setengah jam saja ….”Isna memasang muka masam.“Aku merindukan kamu,” kata Fahri saat baru saja duduk sambil menyerahkan buket bunga.Isna masih enggan menanggapi.“Kalau kamu ngambek, kita seperti sudah berpacaran.”Isna melirik sekilas saja lalu meletakkan tangan di dagu dan memindahkan bola mata menuju objek lain.“Aku tadi mencari bunga berwarna merah ini. Kamu tahu kenapa lama?”Isna melirik Fahri. Kali ini tatapannya berhenti seperti penasaran.“Karena aku mengecat bunga ini sendiri.”Isna hendak tertawa tapi ditahan.“Kamu mau terima bunga ini atau tidak? Kalau tidak, aku mau mengem
“Kamu mencium harumnya bunga melati?” tanya Fahri. Isna celingukan. “Enggak,” jawabnya. Ia lalu berpikir jika melati berhubungan dengan hal yang mistis. “Kamu tidak menciumnya karena melati itu ada di lama hatiku.” Dengan wajah datar, fahri menggoda Isna. “Aku pulang, lho!” “Mau pulang sama siapa? Hamam sudah aku suruh pulang lebih dulu.” Isna membelalak. “Terus? Aku nanti pulang sama siapa?” “Aku sudah bilang mau antar kamu pulang, ‘kan?” “Tapi ….” “Jangan takut! Aku bawa sopir. Kita nanti bertiga.” “Kalian laki-laki semua, aku wanita sendirian?” Fahri tersenyum. “Hamam menunggu di luar. Tapi, nanti aku akan mengantarmu pakai mobil.” Isna meneguk es jeruk yang ada di meja. Panas dingin dirasa dalam tubuhnya. “Aku akan berangkat besok. Tunggu aku pulang. Dan aku akan menagih jawaban sama kamu,” Hati yang hangat mendadak sunyi kembali saat mendengar Fahri akan berangkat. “Kapan pulang?” Pertanyaan yang meluncur dari mulut Isna tanpa ia sadar. “Kamu mau ikut?” canda Fahri.
EKSTRA PART 3 Isna tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Semuanya terasa tiba-tiba terjadi. Ia sama sekali tidak menyangka jika yang melakukan semua itu adalah Fahri. Pria yang selama beberapa bulan ini tidak ada kabar sama sekali. Seketika hatinya merasa lega. Bayangan Tomi yang menari-nari di pikiran lenyap seketika. Namun, kelegaan itu berganti dengan rasa bimbang dan bingung. Ia tentu tidak bisa memutuskan dalam sekali itu juga. Jika lamaran itu dilakukan oleh seorang pacar, tentu akan sangat membahagiakan. Namun, Fahri hanyalah teman yang tidak pernah menghubunginya selama ini. Meski Isna tahu, lelaki itu memiliki perasaan. Akan tetapi, tetap saja baginya Fahri belum dekat di hati. “Aku bukan lelaki egois yang akan menuntut kamu menjawab saat ini juga. Aku melamar kamu karena memang aku ingin mengutarakan isi hati ini. Aku hanya pulang dalam waktu seminggu saja. Dan ini khusus aku lakukan untuk melamarmu. Kelak, jika aku pulang tiga bulan lagi, aku harap kamu sudah memiliki
Tidak lama kemudian lampu menyala. Seorang pria yang memakai kemeja warna abu-abu dipadukan celana jeans hitam. Penampilannya terlihat menawan. Berjalan mendekati Isna dengan satu tangan memegang mic sambil bernyanyi. Sementara tangan lainnya memegang buket bunga. Selesai menyanyikan lagu satu bait, musik kembali berganti dengan alunan biola.Isna menoleh dan menyadari Hamam sudah tidak ada di sana. Sedari tadi ia terpana hingga tidak sadar adik laki-lakinya telah meninggalkannya seorang diri.Isna merasa bingung dengan apa yang akan dilakukannya. Pria itu mendekat menatapnya dengan tatapan kerinduan dan penuh cinta.Ia berlutut di hadapan Isna dan mengulurkan buket seraya berkata, “will you marry me?”Mata Isna berkaca-kaca. Alih-alih menjawab, ia malah menangis dengan posisi tangan menutup wajah.***“Siapa nama kamu?” tanya Hasyim saat kedatangan lelaki muda tampan dan mengatakan ingin meminang Isna dan mengajaknya menikah.“Saya Fahri, Pak. Kakak kelas Isna saat masih SMA. Saya su
EKSTRA PART 2Dalam sujud panjang, Isna memohon petunjuk. Tiba-tiba dalam hati memiliki sebuah keyakinan, jika itu bukan Tomi atau Restu, jika orang itu adalah lelaki baik yang pernah ia kenal, maka ia akan membuka hati.Isna yang diliputi rasa kebimbangan menceritakan apa yang terjadi terhadap keluarganya. Di luar dugaan, sang ibu justru mendorongnya untuk berangkat. “Nanti diantar sama adikmu,” ujar Rahayu tanpa memiliki rasa kekhawatiran.“Tapi, kalau orang itu Tomi?” Isna terlihat ragu.“Kamu lari, Hamam yang akan menghadapi.” Rahayu memberi support untuk sang putri.Akhirnya Isna memutuskan berangkat meskipun ragu.“Hati-hati! Bapak selalu merestui setiap jalan yang kamu pilih. Bapak hanya ingin bahagia dengan siapapun nantinya lelaki yang kamu pilih. Bapak tidak mau mengulangi kesalahan yang dulu. Oleh karenanya, kamu harus mencari sendiri calon suami untukku kamu. Cari dan pilihlah dia yang mencintai kamu, Nduk,” ucap Hasyim saat Isna hendak berangkat. Suaranya bergetar. Sepert
Ada yang kirim paket, sudah Ibu taruh di atas kasur,” ucap Rahayu saat melihat Isna pulang kerja kelelahan.Isna diam dan langsung masuk kamar. Sebuah paket berbungkus plastik hitam dibukanya. Tanpa ada nama pengirim membuat jantungnya berdegup kencang. Takut bila didalamnya ada sesuatu yang membahayakan. Sejenak ia ragu untuk membuka.“Bismillah ….”Kotak berbentuk kado. Saat membuka tutupnya, ada kotak lagi. Begitu sampai kotak ketiga. Lalu Isna menemukan beberapa batang coklat dan sebuah kartu ucapan.Semoga kamu bahagia selalu.“Siapa yang mengirimnya?” tanya Isna seorang diri.Meski penasaran, ia tidak mengatakan hal itu pada sang ibu.Tiga hari kemudian, Isna mendapatkan lagi paket misterius. Kali ini di dalam kotak ada setangkai bunga mawar plastik. Dengan sebuah kartu ucapan pula.Semoga harimu menyenangkan.Isna mengumpulkan paket yang ia terima dalam satu kardus. Ia tidak mau memakan coklat karena takut ada racunnya.“Apa ini dari Tomi? Hanya Tomi yang gencar mendekatiku. Na
EKSTRA PART 1Restu mengemasi barang-barang miliknya dari kantor kepala desa. Enam bulan sudah ia bercerai, dan perilakunya tidak terkendali. Hobi bermabuk-mabukan menggunakan uang desa. Lama-lama, pegawainya merasa tidak suka dengannya. Dan demo besar-besaran terjadi yang ujungnya adalah pemecatan ia sebagai kepala desa.Dahlan sudah tidak mau ikut campur dengan keadaannya sehingga memilih untuk diam.“Pergilah merantau! Untuk mengembalikan nama baikmu. Hutangmu pada desa akan kami lunasi. Tapi, kamu harus pergi dari sini. Karena aku tidak mau lagi menuntun langkahmu. Kamu sudah dewasa. Kamu harus belajar mencari hidupmu sendiri. Mulai sekarang, kamu mau menikah dengan siapa saja kami benar-benar tidak peduli!” ujar Dahlan dengan muka masam.Restu yang memang sudah kepalang malu, hanya bisa meratapi nasib dengan pergi dari rumah Dahlan dengan tanpa membawa harta benda apapun. Hanya motor butut yang selalu setia menemani sejak kehancuran hidup.Tanpa kekayaan dan kejayaan orang tuanya