Hampir semua jenis wanita pernah Deus pacari. Mulai dari yang feminin, tomboi, songong, lemah lembut, aneh, dan segala jenis lainnya. Tidak ada yang menarik bagi Deus. Maksudnya, Deus mengakui kalau wanita memang ciptaan Tuhan yang indah. Mereka beragam dan unik dengan caranya sendiri. Tapi selama ini, Deus tidak pernah benar-benar memuja atau menginginkan seseorang untuk menjadi pendampingnya.
Semua yang dimilikinya saat ini rasanya sudah cukup, tidak perlu ditambah lagi dengan konsekuensi membangun rumah tangga, apalagi mendidik anak. Pekerjaan yang sangat ia nikmati dan memang sesuai passionnya, motto hidup bodo amat yang membuatnya dapat hidup nyaman tanpa merasa perlu perlu memikirkan soal anak-anak kelaparan di Afrika atau kekacauan dunia di luar sana, serta .. Sabit—sosok yang tanpa sadar telah menjadi bagian penting dalam hidup Thadeus Nenggala.
Keduanya menghabiskan waktu bersama dengan cara yang sulit dibayangkan oleh orang-orang awam yang masih menganggap bahwa persahabatan antara laki-laki dan perempuan hanyalah omong kosong belaka. Sabit mungkin sudah tidak lagi berstatus sebagai sahabat. Sabit jelas lebih penting dari itu.
Dan fakta bahwa Sabit langsung menghilang begitu saja usai bubaran kantor tanpa mengabarinya sama sekali jelas mengusiknya. Sabit tidak pernah seperti ini sebelumnya. Keduanya selalu menyempatkan untuk makan malam bersama di manapun itu sehabis pulang kerja.
Alhasil, Deus terpaksa langsung kembali ke rumah dan malah ketiduran di atas sofa hingga pukul sebelas. Makan malam sendirian di tengah gerombolan manusia tidak terdengar menyenangkan, kan?
Perut keroncongan menjadi satu-satunya hal yang ia rasakan kala membuka mata. Deus pun memutuskan untuk delivery ayam goreng. Ya, bukannya Deus tidak punya teman selain Sabit sampai-sampai terlihat semenyedihkan itu. Hanya saja, Deus sudah terbiasa dengan kehadiran Sabit dalam setiap momen sederhana hingga penting dalam hidupnya—makan siang, makan malam, dan bahkan kala Deus sakit, Sabit ada di sana. Boleh saja Sabit terlihat garang dan menyebalkan, tapi Deus tidak akan bohong kalau wanita itu memiliki rasa peduli yang tinggi.
"Wih, ayam!" Seruan girang itu mengalihkan perhatian Deus. Bian-dengan balutan kaos oblong kebesaran dan celana rumahan jeleknya-datang entah dari mana. Beda dari biasanya, wajah Bian agak berseri malam ini. Mudah saja menebak kalau anak itu sedang dalam suasana hati yang baik. Tanpa meminta persetujuan Deus, Bian menyomot salah satu pentung paha begitu saja, menggigitnya dramatis dengan suara yang tak kalah dramatis pula.
"SIAPA SURUH LO AMBIL AYAM GUE?!"
"Apa, deh, lebay amat." Bian menyahut santai, ikut duduk di sebelah Deus. "Cuma ayam, elah. Jangan kayak orang susah."
Deus cemberut, mengambil pentung ayam lagi, lantas sibuk mengelupas kulit krispinya. Dari antara sejuta orang yang memuja kulit ayam goreng, Deus tidak termasuk salah satunya.
"Om gak suka kulitnya?"
"Gak."
"Buat saya aja kalo gitu!" Dengan semangat empat-lima, Bian pun meraih potongan kulit ayam yang sudah Deus letakkan di atas piring. Dengan senyum mengembang, ia memakannya. "Mmmmm. Memang beberapa orang lahir gak beruntung. Masa bisa gak suka sama kulit ayam krispi gini?!"
Deus tak menyahut, malah bersin sebanyak tiga kali yang langsung membuat Bian mengernyit.
"TBC, ya?!" Melihat sikap defensif Bian yang berlebihan, Deus langsung memutar bola mata.
"Bego kok dipelihara. TBC itu batuk, bukan hachi."
"Ye, sensi. Bercanda kali. Minum obat lah kalo sakit. Saya ranking sat—dua, by the way."
Sial. Deus jadi teringat Sabit, kan. Biasanya, Sabit selalu rajin menyetok segala jenis obat-obatan di rumahnya. Bahkan Sabit kerap membawa minyak kayu putih berukuran mini di tasnya khusus untuk Deus yang bernotabene sering masuk angin mendadak. Deus mencebik, mengunyah daging ayam lebih cepat dari sebelumnya.
"Om. Om tahu kan kalo saya udah tahu soal Joshua Anagata?"
Deus berhenti mengunyah, melirik Bian sekilas. Reaksi Bian sewaktu di rumah sakit waktu itu sudah menjawab semuanya. Deus tak kepengin tahu bagaimana Bian mengetahui fakta itu—karena jelas, Thea tidak mungkin memberitaunya begitu saja jika wanita itu dalam kondisi waras. Awalnya Deus sempat khawatir kalau Bian akan melakukan tindakan ekstrim seperti menghampiri Josh dan mengacaukan segala usaha Thea selama ini. Tapi melihat karakter Bian, sepertinya hal seperti itu tidak akan terjadi. Toh, sepertinya anak itu juga sudah tahu sejak lama dan selama ini semuanya masih baik-baik saja, kan?
"Tahu."
"Beberapa hari lalu, saya ketemu dia."
Deus tersedak, segera meraih gelas berisi air dan menenggaknya cepat. "Apa lo bilang?!"
"Om gak mendadak bolot dan saya juga gak suka ngulang-ngulang kata kayak orang bego."
"Lo .. gak ngelakuin apa pun, kan?"
"Kayak misalnya ngaku kalo saya anak dia?" Deus melotot, menatap Bian horor. Namun tanggapan anak itu malah terlalu santai, sibuk menjilati jari bekas bumbu ayam dengan santai. "Tenang. Gak usah tegang gitu, elah. Saya belom gila, kok."
Deus mengembuskan napas selega-leganya sebelum kembali bersin sekali. "Lo udah tahu sejak kapan?" Tangannya mengusap bagian bawah hidung yang sedikit gatal.
"Ng .. udah cukup lama."
"Terus?"
"Terus apa?"
"Respons lo sesantai ini?"
Bian kembali mencomot ayam. "Terus harus gimana, gitu? Lagian hidup dia udah baik-baik aja tanpa saya, kan? Ditolak sama Mama udah cukup. Kalo saya harus liat penolakan dari orang itu, mungkin .."
"Apa?"
"Nevermind." Bian mendesah berat. "Om kenal Joshua Anagata?"
"Menurut lo kenapa kita bisa saling nyapa pas di rumah sakit?"
"Maksudnya, kenal bener-bener kenal. His private life, personality, dan lain-lain."
"Oh. Gak gitu. Dia terlalu kaku. Gak seru."
"Gak kayak Om yang bejat, ya?"
"Bejat-bejat gini, gue gak pernah buntingin anak orang terus kabur gitu aja." Jawaban Deus membuat Bian kicep. "Dia orang yang baik, to be honest. Gue agak kaget denger pengakuan Thea soal Josh yang menyuruh dia aborsi saat itu. Tapi, ya .. apa yang lo harepin dari manusia? Semua jelas punya sisi hitam dan putihnya. Gak selamanya yang keliatan baik akan selalu baik."
"Tumben bijak."
"Gue memang seperfect itu, Kid."
Bian mendesis mencibir. Interaksi keduanya harus terputus saat mendadak saja, ponsel Deus bergetar. Bian sempat meliriknya, menemukan nama Sabit di atas layar. Deus menyambar benda itu cepat, seolah ponselnya adalah bom yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Beranjak menjauh dari Bian, Deus segera menyingkir ke taman samping. "Halo?"
"Assholeeee!" Suara erangan Sabit terdengar, diiringi dengan musik-musik familiar yang menghentak. Deus mengernyit, mencoba mengenali latar suara tersebut.
"Lo di Colosseum?" Ia menyebut salah satu nama klub yang sering keduanya sambangi. Tidak ada yang aneh, sebenarnya. Kecuali fakta kalau kemungkinan besar, saat ini Sabit sendirian di sana. Dan entah mengapa, itu mengusik sesuatu dalam diri Deus. Tidak ada sahutan dari Sabit, hanya terdengar EDM yang memekakkan telinga. "Gue ke sana. Jangan ke mana-mana."
Belum sempat Deus memutuskan sambungan, suara pria dari ujung sana terdengar.
"Hey, kamu udah minum terlalu banyak." Itu suara .. Sade. Walaupun hanya sempat berinteraksi beberapa kali, namun Deus dapat mengenalinya dengan mudah. Selain punya cara bicara yang cenderung kolot karena masih menggunakan 'saya-kamu', suara Sade memang memiliki khas sendiri. "Halo. Ini siapa, ya? Apa Sabit gak sengaja menelpon nomor ini? Saya min—" Suara itu menjadi lebih jelas. Pasti Sade mengambil alih ponsel Sabit.
"Ini gue, Deus," potong Deus cepat. "Seingat gue, lo belom buta buat melihat nama gue secara jelas di atas layar hape," ujarnya tanpa berusaha menyembunyikan kesinisan di dalamnya.
"Ah, sori. Di sini, nama kamu diganti sama Sabit."
Deus jadi penasaran. "Jadi apa?"
"Awas, anjing galak."
"Hah?"
"Itu .. nama yang Sabit tulis. Maaf, bukan bermak—"
"Oke, gue paham." Deus berdeham keras. Seketika harga dirinya berasa dilelang. "Lo di Colosseum sekarang?"
"Iya."
"Tunggu di sana. Gue bakal jemput Sabit."
"Gak perlu repot. Saya janji akan membawanya pulang dengan selamat."
Deus menahan diri untuk tidak melontarkan makian. Ditariknya oksigen sebanyak mungkin guna memberi lebih banyak ruang untuk kesabaran. "Apa gue terdengar kayak ngasih lo opsi?"
"Ng .."
"Tunggu di sana. Pastiin gak ada tangan cowok mesum kurangajar yang mendekati Sabit. She's the worst when it comes to alcohol."
Terdengar helaan napas dari seberang sana. "Too bad, Nenggala. Saya gak lagi dalam mode ingin mengalah malam ini."
"What the fuck?!"
"I'm sorry."
Dan panggilan ditutup begitu saja secara sepihak.
"Anjing!" Deus memaki keras, menendang batu tak bersalah di dekat kakinya.
Dengan kalap, Deus langsung masuk kembali ke dalam rumah. Melupakan soal ayam yang masih sisa banyak, Deus segera meraih jaket kulitnya dari atas sandaran sofa, memakainya. "Oi, Anak Kecil. Gue pergi dulu."
"Mau ke mana?"
"Urusan orang dewasa."
"Ikut, dong! Bosen, nih."
"Udah gila lo? Umur lo belom legal buat masuk klub, ya, tolong."
"Oh. Mau clubbing ceritanya?"
Deus mendengus. "Udah, diem aja. Gue buru-buru. Dah!" Ia pergi begitu saja, meninggalkan Bian yang menyipit tak suka.
Padahal hari ini moodnya sedang baik dan untuk pertama kalinya Bian mencoba berbincang santai tanpa ngegas pada Deus.
Tentu saja bukan tanpa alasan Bian melakukan itu. Walaupun terlihat urakan dan suka asal nyeplos, Bian tahu kalau Deus tidak seburuk itu. Mengingat bagaimana Deus rela meringkuk kedinginan saat menemaninya di kamar rumah sakit atau saat pria itu bersikap defensif setiap kali Bian berhubungan dengan laki-laki lain, ia tidak bohong kalau ia merasa sedikit tersentuh. Ada sedikit bagian dalam dirinya yang secara naif ingin menjalani hubungan normal layaknya keluarga dengan pria abnormal itu.
Jadi Bian memutuskan untuk setidaknya mengurangi kadar kenyolotannya saat berhadapan dengan 'pamannya' itu. Tapi itu bukan hal mudah, mengingat sikap Deus yang juga sama keras dan ceplas-ceplos sepertinya, agak mustahil bagi Bian untuk tidak ikut tersulut emosi.
Gadis itu mencibir, menjatuhkan pandang pada satu benda yang teronggok di lantai dekat sofa. Sepertinya terjatuh dari saku jaket Deus saat tadi pria itu buru-buru memakainya. Bian menghampirinya, hanya berniat mengembalikannya ke posisi yang lebih layak kalau saja satu kesadaran tidak menghantamnya telak.
Mendadak saja, frekuensi jantungnya meningkat dua kali lipat. Telapak tangannya terkepal di sisi tubuh. "Life is indeed a bitch," ujarnya lirih.
*
Nyaris seumur hidupnya, Sabit jarang bertemu dengan pria baik-baik nan lurus seperti Sade. Jadi, ia sedikit terkejut saat pria itu tidak menolak ajakannya ke sebuah klub malam. Di saat Sabit sudah menenggak entah berapa gelas Tequila, Sade masih saja setia tersenyum tipis setiap kali mata keduanya bertubrukan, tanpa menenggak alkohol sedikit pun. Sade juga bersikap defensif setiap kali ada pria lain yang mencoba mendekatinya.
Sabit tidak tahu harus terharu atau merasa dongkol. Ia tidak pernah suka minum sendirian. Selama ini, Deus akan menjadi teman minum yang menyenangkan dan dapat dipercaya untuk mengantarnya pulang dengan selamat. Berada di dekat Sade seperti ini malah membuat Sabit merasa bejat.
"Lo bisa pergi kalo gak nyaman di sini," ujarnya di tengah rasa pusing yang mendera. Kepalanya sudah berat sekali.
"Kan saya yang ajak kamu pergi. Masa saya tinggalin kamu?" Sade tersenyum enteng, nampak santai saja menenggak sodanya.
Sabit mendengus. "Tempat ini jelas gak cocok buat manusia semacam lo."
"Memang saya ini orang kayak gimana?"
"Cinta Tuhan?"
Sade terkekeh. "Gak juga."
"Apa pun itu, jelas lo bukan tipe cowok yang hobi ngajak cewek seks setelah minum bareng." Sabit menenggak alkohol lagi, lantas menyenderkan sisi kepalanya di atas meja bar. Suara EDM yang menulikan telinga membuat Sabit mengerang kesal. "Lo tahu, kalo bisa milih. Gue lebih baik jatuh hati sama cowok baik-baik kayak lo. Peluang gue patah hati akan berkurang, kan?"
Sade terkekeh lagi, kali ini terdengar .. pedih. "Saya nggak sebaik itu, Sabitha."
Sabit tidak membalas, melainkan menegakkan kembali tubuhnya. Tanpa memberi sedikit pun peringatan, Sabit mengalungkan lengannya begitu saja pada tengkuk Sade. Wajah keduanya begitu dekat, membuat Sade bisa merasakan terpa napas Sabit yang terasa hangat.
"You're drunk."
"Gak semabuk itu buat melakukan ini." Jantung Sade nyaris dibuat meledak saat bibirnya diterjang begitu saja oleh bibir ranum Sabit yang sialnya terasa begitu manis dan memabukkan.
Kalau menjadi baik saja tidak cukup, salahkan Sade jika sekali ini saja ia menjadi egois? Sade tidak berusaha menjauh sekalipun Sabit menekan bibirnya kian dalam. Bahkan kini ia turut mengambil peran, melumat bibir Sabit pelan dan hati-hati. Napas keduanya terengah usai ciuman panas itu berakhir.
Sabit mengerjap sekali, menatapnya penuh penyesalan. "I'm so sorry, Sade."
"Kenapa minta maaf? Apa mencium saya bahkan adalah kesalahan buat kamu?" Jemari Sade bergerak, menelusuri bibir wanita di depannya. "Give me one more chance. Saya janji akan mundur dan menghilang selamanya dari hidup kamu kalau saya gagal."
"Sade .."
"Sabitha Giovanni."
Sabit menunduk sedikit, menggigit bibirnya pelan. Ia menghela napas sekali, lantas mengangkat wajahnya. "Satu kesempatan."
Senyum terbit dari bibir Sade. Tangannya mengusap puncak kepala Sabit lembut. "Trust me. Menyakiti kamu akan jadi hal terakhir yang akan saya lakuin."
*
Setelah melarikan arah matanya ke setiap penjuru arah, Deus menemukan mereka. Ada yang membakar dirinya kala mendapati Sabit sedang berada dalam gendongan Sade, nampak tidak sadarkan diri. Dengan langkah cepat, ia segera menghampiri keduanya.
"Gue yang anter dia pulang." Tidak ada keramahan sedikit pun saat Deus mengucapkan kalimat itu. Sade nampak sedikit terkejut akan kehadirannya, namun secepat itu pula menggantinya dengan raut tenang.
"Saya yang bersama dia sejak awal. Saya yang harus antar dia pulang."
Deus menggeram samar. "Gue sahabatnya! Jelas gue lebih bisa dipercaya daripada lo!"
"Maaf, Deus. Tapi saya udah berjanji untuk membawa Sabit pulang."
"Bacot! Gue mau pulang!" Raungan itu terdengar dari balik punggung Sade. Sabit masih memejamkan mata, nampak teramat teler.
Deus mendengus, hendak meraih Sabit, namun Sade malah bergerak menjauh. Melihatnya, tatapan Deus kian menyalang tak senang. "Maksud lo apa?!"
"Sabit harus segera pulang. Kalau kamu seperti ini terus, waktu akan terbuang sia-sia, Thadeus."
Cara Sade memanggilnya, Deus tidak menyukainya. Hanya satu orang yang selalu memanggilnya dengan nama lengkap seperti itu. "Cut it off, Pradipta. Gue gak mau ribut sama siapa pun malem ini."
"Saya gak ada niatan bertengkar dengan siapa pun, Nenggala. Kamu yang daritadi menghalangi jalan saya."
"Lo—" Kata-kata pedas lainnya sudah hendak tersembur dari mulut Deus, tapi tertahan begitu saja lantaran ponselnya bergetar tanpa henti. Ia mengeluarkan benda pipih itu, sudah hendak menolak panggilan kalau saja matanya tidak membaca sederet nama yang tertera di atas layar. "Shit." Ini jelas bukan saat yang tepat bagi Benua untuk menelponnya.
Mengangkat panggilan itu sekarang—di tengah hentakan musik keras dan suara para manusia yang tidak layak didengar orang tua mana pun-hanya akan membuatnya dipenggal hidup-hidup oleh Benua. Namun tidak mengangkatnya juga sama saja mencari mati.
"Seems like you're busy. Saya duluan." Deus tidak bisa lagi mencegah kepergian Sade dan Sabit.
"Bangke!" Ia mengumpat keras, lantas segera menepi ke toilet yang sepi untuk menelpon Benua balik.
"Halo, Pa?" Diputarnya kunci pintu hingga terdengar suara 'klik.'
"Kamu di mana?"
"Ng .. lagi .. lagi ke apotek bentar buat beli obat! Kenapa, Pa?"
"Papa dan Mama ada di rumah kamu."
"Oh, o—APA?!" Matanya melotot lebar, nyaris keluar dari rongganya. Sial. Ia bahkan nyaris lupa kalau kini ada seorang bocah SMA di rumahnya! "KOK PAPA GAK BILANG-BILANG DULU?!" Ah, benar. Benua dan Shena datang ke Jakarta untuk menjenguk Thea. Bagaimana bisa ia melupakan hal sepenting itu?!
"Hadeh, kenapa teriak-teriak, sih? Kamu pikir Papa udah budeg?!"
"Nggak gitu!" Deus menyanggah cepat, menggigit kuku jarinya cemas. "Aku ke sana sekarang! Papa jangan macem-macem, ya?!"
"Jadi bener."
"Bener apa?!" Deus makin panik. Berbagai pikiran negatif sudah hinggap di otaknya.
"Dugaan Papa."
"Dugaan yang mana?!"
"Thadeus Nenggala! Apa kata Alkitab soal berhubungan dengan anak di bawah umur?!"
Deus tidak tahu harus serangan jantung karena terkejut atau lega. Ia membenturkan keningnya ke dinding. "Aku pulang sekarang. Papa, tolong jangan apa-apain anak itu. Oke? I'll be there in ten minutes!"
"Lima menit, Thadeus."
Mungkin jet lag kali ini adalah yang terparah bagi seorang Thadeus Nenggala. Sudah seminggu berlalu sejak kunjungannya ke Amerika, tapi bahkan efeknya masih begitu terasa hingga detik ini. Siang bolong begini dan ia diterjang kantuk luar biasa. Selain itu, kepalanya terasa seperti digebuki satu kampung, pusing sekali. Padahal kemarin bukan pertama kalinya ia mengunjungi negeri Paman Sam. Ia baru akan bangkit, berniat membuat secangkir kopi kala bel rumahnya ditekan dengan brutal. Deus bergerak ogah-ogahan dari kasur, melenggang keluar untuk mengecek lewat interkom. Matanya menyipit saat mendapati sosok tak terduga itu. Tak butuh banyak waktu untuk ia beringsut mendekati pintu dan membukanya. "Thea? Lo ngapain di sini?!" Itu Theana Nenggala, adik perempuannya yang seharusnya berada di Italia saat ini. "Gue punya anak." Itu kalimat pertama yang meluncur dari mulut adiknya. Diucapkan dengan cepat dan tegas. Butuh beberapa detik untuk Deus mencerna kalimat Thea yang diucapkan dengan
Hari ini semuanya berjalan cukup normal. Deus terbangun tepat pukul delapan. Rumahnya kosong kala ia melangkah keluar kamar, membuatnya nyaris lupa kalau ia baru saja menampung seorang bocah jika saja ia tidak mendapati sepasang sandal bulu merah muda di dekat kulkasnya. Tak perlu cenayang untuk menebak kalau Bian sedang bersekolah saat ini. Deus tidak berniat tahu bagaimana anak itu menjalani kegiatannya sehari-hari. Toh, tidak penting juga baginya. Ia hanya perlu memastikan Bian tidak merusak pernikahan adiknya, kan? Lagipula, sepertinya Bian juga tidak akan senang jika Deus terlalu ikut campur dengan urusannya. Suara bel yang ditekan mengantar langkahnya untuk memeriksa interkom. Wajah sangar yang terpampang nyata di sana memercikan ide di kepalanya untuk segera kabur lewat pintu belakang. Tapi menghindar dari kemurkaan seorang Sabitha Giovanni bukan langkah yang tepat. Bisa-bisa besok ia berakhir muntah paku. Belum sempat ia bergerak untuk mengambil langkah, pintu sudah terkua
Tidak. Deus bukannya khawatir. Hanya saja, ini sudah nyaris tengah malam dan anak itu bahkan belum menunjukkan batang hidungnya. Segala jenis pikiran buruk sudah mampir di kepalanya. Sekali lagi ia tegaskan, ia bukannya khawatir atau mendadak peduli. Hanya saja, kalau sampai Bian kenapa-napa, pasti dia juga akan terkena getahnya. Kondisi diperburuk karena Deus bahkan tidak punya kontak anak itu.Apa Bian tidak betah tinggal dengannya dan memutuskan untuk kembali ke habitat asalnya? Itu berita bagus, tentu saja. Tapi masalahnya, bahkan kini ia tidak yakin akan apa yang sedang menimpa bocah satu itu. Nyaris gila karena berkutat dengan pikirannya sendiri, Deus memutuskan untuk beranjak menuju kamar Bian, mencari sekiranya apa pun yang bisa memberinya petunjuk untuk menghubungi anak itu. Deus kegirangan sendiri saat akhirnya menemukan buku agenda sekolah Bian yang terletak asal di atas nakas, mengepalkan telapak tangannya di udara layaknya baru saja memenangkan undian. Ia membalik halam
Thea itu gambaran wanita sempurna, kalau menurut Bian. Ia cantik, anggun, ramah, berkelas, dan penyayang. Bian selalu menganggap kalau dirinya adalah satu-satunya yang salah dalam hidup gemilangsang mama. Memang Thea tidak pernah menunjukkan terang-terangan kalau kehadirannya tidak diinginkan. Tapi bukannya jelas? Diasingkan belasan tahun serta bertatap muka hanya dua kali setahun. Bian bukan lagi anak kecil bodoh yang naif. Mudah saja baginya menerka segala kemungkinan. Ada satu momen yang tidak pernah ia lupa. Waktu itu ia masih berumur delapan. Kebetulan, saat itu Thea menetap di Jakarta cukup lama dari biasanya dikarenakan harus menjadi juri dalam satu ajang fashion show di sebuah stasiun televisi nasional.Malam itu hujan badai, menyebabkan Thea terpaksa harus tinggal di apartemen. Bian tidak pernah suka hujan. Namun pengecualian untuk saat itu. Ia bahkan masih ingat permintaan konyolnya saat itu pada Tuhan. Ia ingin hujan badai itu berlangsung selamanya hanya agar dapat memili
Berdiam diri saja di rumah bukan keahlian Bian. Dari tadi, kakinya seolah gatal ingin memijak keluar rumah. Deus belum pulang dan Bi Dean pun sudah pergi sejak satu jam lalu. Ia sepenuhnya sendirian di rumah sebesar ini. Untungnya, Deus sudah memberinya duplikat kunci agar dapat leluasa meninggalkan rumah. Setelah berganti pakaian menjadi lebih layak, ia pun segera memesan taksol untuk pergi ke supermarket terdekat. Niatnya sih ingin membeli bahan makanan untuk dimasak. Mengintip isi lemari dapur Deus, nampaknya pria itu menjunjung tinggi hidup tanpa ribet. Berpuluh-puluh kemasan mi instan menyesaki lemari. Begitu juga belasan telur serta berbagai bungkus bumbu nasi goreng siap pakai. Bian bukan pakar dalam memasak. Namun, hidup bersama Bi Nilam yang bernotabene memiliki keahlian membuat makanan tak kalah enak dari restoran bintang lima selama belasan tahun, mau tak mau Bian jadi banyak belajar.Setibanya di supermarket, Bian langsung saja meraih troli kecil dan menyusuri rak demi r
Hal pertama yang Bian tangkap setelah memasuki kawasan rumah sakit ialah gerombolan wartawan yang tengah diamankan oleh beberapa satpam. "Tung—"Bian tidak membiarkan Deus menyelesaikan kalimatnya, langsung melompat turun begitu saja dari mobil dan mendekati meja resepsionis."Pasien atas nama Theana Nenggala ada di mana?" tanyanya tanpa basa-basi."Maaf. Kami tidak bisa memberi informasi pribadi.""Damn! Saya keluarganya!"Si Resepsionis nampak menahan kesal. "Daritadi, sudah ada sepuluh orang yang mengaku sebagai saudaranya. Maaf, Dek. Mungkin kamu penggemar berat Mbak Thea. Tapi tolong mengerti, ya. Pasien sedang sakit dan tidak bisa diganggu.""Fuck!" umpatnya keras, membuat beberapa petugas dan wartawan di sekitar sana mengalihkan mata padanya. "Pertama, saya nggak ngada-ngada. Kedua, saya bukan penggemar creepy yang sampe bohong cuma buat ketemu Mam—Theana Nenggala! Dan ketiga, Mbak gak punya hak buat ngelarang seorang keluarga jenguk keluarganya sendiri!""Maaf sekali lagi. Ka