Hal pertama yang Bian tangkap setelah memasuki kawasan rumah sakit ialah gerombolan wartawan yang tengah diamankan oleh beberapa satpam.
"Tung—"
Bian tidak membiarkan Deus menyelesaikan kalimatnya, langsung melompat turun begitu saja dari mobil dan mendekati meja resepsionis.
"Pasien atas nama Theana Nenggala ada di mana?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Maaf. Kami tidak bisa memberi informasi pribadi."
"Damn! Saya keluarganya!"
Si Resepsionis nampak menahan kesal. "Daritadi, sudah ada sepuluh orang yang mengaku sebagai saudaranya. Maaf, Dek. Mungkin kamu penggemar berat Mbak Thea. Tapi tolong mengerti, ya. Pasien sedang sakit dan tidak bisa diganggu."
"Fuck!" umpatnya keras, membuat beberapa petugas dan wartawan di sekitar sana mengalihkan mata padanya. "Pertama, saya nggak ngada-ngada. Kedua, saya bukan penggemar creepy yang sampe bohong cuma buat ketemu Mam—Theana Nenggala! Dan ketiga, Mbak gak punya hak buat ngelarang seorang keluarga jenguk keluarganya sendiri!"
"Maaf sekali lagi. Kami tidak bisa."
Emosinya sudah mencapai ubun-ubun dan nyaris meledak kalau saja seseorang tidak segera menariknya menjauh.
"Lo gila, ya?! Lo mau ngaku ke semua orang kalo lo anak Thea?!" Itu Deus. Kini keduanya berada jauh dari jangkauan orang-orang, jadi percakapan yang berlangsung antar keduanya dipastikan aman. "Gue tahu lo khawatir, tapi jangan buat kekacauan apa pun!"
Bian menganga tak percaya, lantas tertawa sinis setelahnya. "Om yang gila! Mama saya lagi terluka dan satu-satunya hal yang Om takutin cuma itu?!"
Bukan Deus namanya kalau menerima kekalahan begitu saja. "Lo pikir Thea bakal seneng kalo hal ini kesebar? Lo pikir dia bakal nangis terharu liat lo jenguk dia? Kalo lo emang mau ngancurin hidup Nyokap lo, go ahead!"
Bian terdiam begitu saja. Perpaduan antara sakit hati akan ucapan Deus sekaligus sebagian dirinya yang membenarkan fakta kalau semua itu benar adanya. Bagaimana bisa Bian lupa? Ia hanyalah kesalahan yang tidak diharapkan. Bian tidak bisa membuat kesalahan ceroboh lainnya atau Thea benar-benar akan membuangnya.
"C'mon, Peony." Bian tidak tahu sejak kapan kehadiran Biskara bisa membuatnya selega ini. Bian mengangkat wajahnya, mendapati Biskara tengah menyorot tajam dan penuh permusuhan pada Deus. Dalam satu jurus, lelaki itu menariknya pergi dari hadapan Deus yang .. nampak menyesal? Bian tidak tahu apa yang Biskara bicarakan dengan si Resepsionis, tapi tahu-tahu saja keduanya sudah dikawal oleh beberapa perawat menuju lorong rumah sakit.
Bian belum sempat bertanya saat langkah mereka dihentikan di hadapan sebuah pintu geser ruang inap VVIP berwarna cokelat tua. Perawat-perawat tadi sudah pergi, meninggalkan keduanya dalam keheningan.
"Buka. Your mom is there."
Anehnya, Bian malah merasa .. takut. Bagaimana kalau Thea menolak dijenguk olehnya? Bagaimana kalau di dalam sana ada Saka atau anggota keluarga Thea lainnya? Bagaimana kalau ia malah mengacaukan suasana?
"Kita .. pulang aja."
"You're scared."
"Gak usah sok tahu," dengus Bian. "Gue cuma gak mau mengacaukan keadaan. Mungkin Mama lagi butuh istirahat dan gak mau diganggu siapa pun."
Seolah semesta sedang berkonspirasi untuk memperburuk keadaan, pintu mendadak terbuka dan menampilkan satu sosok yang tak pernah Bian harapkan akan ditemuinya malam ini.
"Sori. Kalian siapa, ya?"
Bian langsung mati kutu, mengepalkan jemarinya kuat-kuat. "Kita salah kamar. Maaf." Ia sudah hendak kabur secepatnya dari hadapan Saka kalau saja Biskara tidak sigap menahan lengannya.
"Malam, Om. Kami ke sini untuk menjenguk Theana Nenggala."
"Sori, tapi kalian punya hubungan apa dengan tunangan saya?"
Bian sudah melempar sorot penuh peringatan pada Biskara, meminta lelaki itu tidak mengatakan satu kata pun yang dapat menimbulkan kesalahpahaman.
"Saka!" Suara itu membuat atensi ketiganya teralih. Deus muncul dari ujung lorong, tengah berlari menuju ketiganya. Napasnya masih putus-putus kala Deus tiba di dekat mereka. "Ini anak gue." Telunjuknya menunjuk Bian tanpa keraguan sedikit pun.
"Sejak kapan lo punya .. anak?" Saka mengernyitkan dahi. "Apa dia .."
"Iya. Dia anak adopsi gue." Deus memaksakan senyum lebar yang malah membuat Bian kian muak. "Gimana kondisi Thea? Kenapa lo gak kabarin gue?"
"Ah, soal itu. Gue udah coba telpon lo daritadi. Tapi hape lo nggak aktif. Gue juga udah kasih tahu Om Benua dan Tante Shena. Mereka udah beli tiket ke Jakarta besok pagi." Kalau maksud Deus adalah untuk mengalihkan perhatian Saka, maka ia berhasil. Saka sepenuhnya lupa akan persoalan 'siapa Bian' dan mempersilakan ketiganya masuk ke dalam.
"S-saya mendadak mules. Saya titip salam aja buat Tante Thea. Permisi." Itu kata Bian sesaat sebelum kakinya melangkah memasuki ruangan.
Tanpa menunggu reaksi tiga orang di sana, Bian segera berbalik dan melangkah cepat ke sembarang arah, membawa serta hatinya yang lagi-lagi remuk redam.
*
Deus sadar ia memiliki banyak kekurangan terlepas dari fisik sempurna dan citranya di mata masyarakat. Ia kerap melakukan kesalahan dan tak jarang menyesalinya. Namun menyakiti hati seorang bocah enam belas tahun tidak termasuk dalam kesalahan yang Deus rencanakan.
Setelah selesai berbincang dengan adiknya yang sepertinya tidak terluka parah, Deus segera mencari Bian. Biskara? Bocah itu ikut menghilang tepat setelah Bian pergi. Berkali-kali ia berusaha menghubungi nomor Bian, tapi nihil.
Kalau boleh jujur, Deus memang merasa sedikit .. kasihan. Tapi ia juga tidak mungkin membiarkan hidup Thea hancur begitu saja. Damn. Kenapa ia harus terjebak dalam posisi sulit seperti ini, sih?
Otaknya berpikir keras, mencoba mengulik berbagai kemungkinan keberadaan Bian. Apa anak itu sudah pulang bersama Biskara? Bagaimana kalau Bian melakukan hal konyol karena terlampau sakit hati akan ucapannya?
Seolah dinding-dinding rumah sakit mendengar suara hatinya, Biskara muncul dari belokan koridor dengan wajah datarnya yang kali ini terlihat agak redup. Deus segera menghampirinya, menahan bahu lelaki itu dengan satu tangan.
"Mana Bianca?"
Tidak ada keramahan sedikit pun dari sorot Biskara. Lelaki itu menepis tangan Deus. "Kalo Om cuma mau bikin Peony sedih, mending gak usah temuin dia."
Deus membuang napas kesal, namun sadar kalau ucapan Biskara tidak sepenuhnya salah. "Mana dia?"
"Tolong janji satu hal."
Deus mengangkat alis.
"Selama hidupnya, Peony hampir gak punya siapa pun di sisi dia. Gak ada yang bela dia saat dia berantem sama temen sekelas. Gak ada yang negur dia saat dia buat salah. Gak ada yang mengapresiasi dia saat dia melakukan suatu kebaikan. Jadi, tolong. Apa pun yang terjadi,
Om harus ada di pihak Peony."Deus mengerang, menarik dirinya menubruk dinding, memantulkan kening berkali-kali pada permukaannya. "Shit. Gue bahkan gak bisa nolak. Kenapa hidup dia harus semenyedihkan itu, sih?!" Ia kembali beralih ke depan Biskara, bersedekap. "Dan kenapa lo seakan tahu semuanya?!"
"Peony ada di rooftop." Biskara berlalu begitu saja. Walaupun kesal karena sikap kurangajar anak itu, Deus memilih mengabaikannya. Dengan langkah lebar, ia menuju lift. Jarinya langsung saja menekan tombol untuk mencapai tingkat paling atas gedung.
Angin malam yang menusuk menyambutnya kala pintu kaca di depannya terdorong terbuka. Matanya langsung saja menemukan sosok yang daritadi mengganggu pikirannya. Mulutnya sontak menganga saat otaknya menarik kesimpulan secara impulsif. Deus langsung berlari menuju titik di mana Bian berada, menarik anak itu turun dari beton pembatas di sisi atap.
"Lo nyari mati, ya?!" Deus bertanya galak, menatap anak itu nyalang. "Lo mau bunuh diri gitu aja? Lo bego? Lo masih muda! Hidup lo masih panjang! Masih banyak yang bisa lo raih di masa depan! Lo pikir mati bisa nyelesain semuanya?!"
Bian menganga, menatapnya seolah Deus ini baru saja melontarkan bahasa alien. "Siapa yang mau bunuh diri sih, Om?"
"Hah? Lo bukannya tadi mau bunuh diri?!"
"Saya gak setolol itu, Om." Bian memutar bola mata, melempar sorot jengah pada Deus yang kini nampak seperti orang bego.
"Oh." Deus berdeham canggung, menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Terus ngapain berdiri di pinggir kayak gitu? Bahaya, tahu?!"
Bian mengedikkan bahu cuek. "Pengen aja."
Hening. Deus tidak tahu harus berkata apa lagi dan Bian nampaknya juga tidak berusaha mencari topik untuk mencairkan suasana canggung di antara mereka.
"Ng .. soal tadi .."
"Lupain aja." Bian menoleh padanya, mengerjap sekali. "Yang Om bilang bener, kok. Saya gak seharusnya besikap kayak gitu. Saya gak boleh egois dan biarin hidup Mama hancur gara-gara saya."
Deus mengalihkan matanya pada pemandangan Jakarta di bawah sana, menghela napas berat. "Keadaan Thea baik-baik aja. Lo gak usah khawatir."
"Iya."
"Sumpah. Lebih baik lo marah-marah kayak nenek lampir daripada diem gini," ucap Deus dengan nada frustasi. "Lo berhak marah sama gue. Gak seharusnya gue ngomong kayak tadi. Gue minta maaf."
Selama hidupnya, Deus bisa menghitung dengan jari berapa kali ia pernah mengucapkan maaf pada orang lain. Gengsinya terlalu tinggi untuk mengakui kesalahan. Kalau dua bulan lalu ada yang mengatakan padanya jika ia akan berakhir di atas atap rumah sakit dengan seorang bocah SMA bergender perempuan dan dengan mudahnya mengatakan maaf, ia tidak akan percaya.
"Ngapain juga saya marah? Kan saya udah bilang. Yang Om bilang itu—"
"Shut up. Berhenti anggep diri lo sebagai kesalahan. Bela diri lo sendiri kalo emang gak ada yang bisa lakuin itu buat lo! Apresiasi diri lo sendiri atas hal-hal kecil yang berhasil lo lakuin! Sekalipun gue suruh lo buat melakukan hal yang gak mau lo lakuin, just ignore it! Lo bisa jadi pembangkang dan bahagia dengan cara lo sendiri! Gakpapa kalo pada akhirnya lo berakhir buat gue kesel dan marah asal itu bisa bikin lo lega. Ngerti?" Paragraf itu ia sampaikan tanpa jeda, membuat dadanya sesak sendiri. Melihat Bian hanya diam dengan sorot bingung sekaligus terkejut, Deus mendengus jengkel. "Lupain. Kayaknya tadi gue kerasuk—"
Deus dibuat mematung kala anak itu mengusap cepat sudut matanya dengan buku jari telunjuknya. Sial. Jika ada satu hal yang Deus tidak bisa hadapi, ialah perempuan yang sedang menangis. Apalagi seorang remaja labil berumur enam belas! Keheningan setelahnya diisi oleh isakan-isakan kecil Bian, yang mana membuat Deus semakin mati kutu.
"Jangan nangis, plis. Lo bikin gue makin .. merasa buruk."
Bukannya mereda, tangisan Bian malah semakin besar. Anak itu berjongkok, menundukkan wajah dengan bahu yang bergetar hebat.
"Damn it," gumam Deus pelan. Butuh pergumalan panjang dalam dirinya untuk sekedar melayangkan tangannya ke atas pundak Bian dan menepuk-nepuknya beberapa kali. "Gue bakal tunggu di bawah. Kalo lo udah siap buat pulang, lo bisa telpon gue."
*
Hari ini Bian sudah kembali masuk sekolah seperti biasa. Puluhan pasang mata memandangnya kepo lantaran penampilannya yang tidak biasa. Lengan kiri digips, lutut diperban, telapak tangan dilapisi kasa, serta beberapa luka di sekujur tubuh yang masih belum kering. Bian memilih tidak peduli, melempar bokongnya ke atas bangku dan mulai menekuri buku pelajaran di atas meja.
Matanya sesekali melirik ke bangku di depan sana, milik Biskara. Tumben sekali lelaki itu belum datang. Bian mengembuskan napas sekali, mendadak merasa konyol karena menunggu kehadiran sosok itu. Matanya kembali menekuri angka demi angka di atas lembar buku matematikanya, membuang-buang waktu untuk menemukan penyelesaian setiap soalnya.
"Anjir, lo udah liat postingan lambe turah?"
"Udah! Itu Biskara temen sekelas kita, kan?"
"Iyalah, bego! Siapa lagi cucu Anthony Deskagara kalo bukan dia?"
Bian tidak pernah tertarik dengan gosip apa pun sebelumnya. Tapi mendengar nama Biskara disebut-sebut, mau tak mau telinganya memanjang secara otomatis. Ia masih berpura-pura sibuk sendiri, meneruskan aksi mengupingnya.
"Jadi anak haramnya Gamael Deskagara? Kalo gitu, dia bukan anak kandungnya Fransesca Titiana?" Jantung Bian berhenti berdetak sejenak setelah mendengarnya. Apa katanya? Omong kosong apa ini?
"Katanya sih gitu. Gila banget, ya? Pantesan gue ngerasa aneh. Mukanya gak ada mirip-miripnya sama sekali sama nyokapnya! Ya, walaupun tetep ganteng, sih."
Bian berdiri, segera menghampiri tiga perempuan tukang gosip itu. Ketiganya langsung kicep kala menyadari kehadiran Bian di dekat mereka. "Lo pada bilang apa tadi?"
"H-hah? Yang mana?"
"Soal Biskara!"
"Oh." Ketiganya saling bertukar tatap satu sama lain, memberi kode untuk tidak membangunkan macan betina satu ini. "Maksud lo, soal Biskara yang ternyata cuma anak haram?" katanya takut-takut. Semua jelas tahu, kalau ada hubungan tidak biasa yang terjalin antara kedua peraih ranking paralel posisi pertama dan kedua di kelas sebelas ini. Dan melihat bagaimana ketus dan dinginnya sikap Bianca Peony selama ini, tentu bukan hal bijak untuk membuatnya darah tinggi pagi-pagi begini.
"Cuma?" Bian berkata sinis. "Kenapa dengan cuma anak haram? Apa itu berarti lo pada statusnya lebih tinggi dari dia?" Ketiganya kicep, tidak tahu harus membalas apa. Bian mendengus keras. "Lain kali urusin hidup masing-masing aja. Lo bertiga cuma terkenal karena hobi koar-koar tapi brainless. Mending asah otak daripada kebawelan."
Bian berbalik, langsung membatu kala mendapati oknum yang daritadi menjadi bahan pembicaraan mereka tengah berdiri santai tepat di ambang pintu. Pandang keduanya bertubrukan, namun terputus begitu saja kala Biskara memilih mengalihkan wajahnya cepat dan melempar tas ke atas meja sebelum kembali memutar balik, melenggang pergi dari sana.
*
Sejauh yang Bian ingat, ia tidak pernah memberitahu siapa pun soal siapa dirinya yang sebenarnya. Tapi Biskara tahu. Entah bagaimana caranya, Bian tidak ingat. Mungkin Bian pernah tidak sengaja menyebutnya sewaktu dalam pengaruh alkohol.
Biskara tetaplah Biskara. Laki-laki itu tidak pernah bertanya apa pun. Bahkan sewaktu nama Thea muncul di salah satu talkshow dan teman sekelasnya kompak menonton lewat ponsel masing-masing, Biskara lebih memilih menemaninya merokok di atap sekolah.
Biskara itu .. rumit. Sekalipun Bian tidak pernah melihat emosi berarti dalam dirinya, Bian tetap mampu merasakan ada sesuatu dalam diri Biskara yang tidak biasa. Bian tidak pernah bertanya walaupun penasaran. Dan apa pun itu, Bian tidak pernah menyangka kalau semuanya akan terungkap dengan cara rendahan seperti ini.
Bian menghela napas sekali, memutuskan bergerak mendekati punggung yang daritadi hanya ia pandangi dalam diam. Cincin asap yang menguar di udara menjadi latar belakangnya. Biskara masih diam, tidak menanggapi kemunculan Bian di sampingnya, sibuk menghisap balutan nikotin di selipan jemarinya.
"Bis," panggilnya pelan, terlalu canggung sebenarnya untuk memulai obrolan. Masih belum ada tanggapan hingga sepuluh detik berlalu. "Biskara."
"Pergi, Peony."
Bian mendesah samar. "Lo sendiri yang bilang ke gue buat gak dorong lo menjauh. Lo juga harus lakuin yang sama."
Kekehan miris keluar dari mulut Biskara. "Kenapa? Lo kasihan?"
Bian mengernyit tak senang. "Apa gue keliatan kayak manusia baik-baik yang punya hati besar?"
"Kind of."
"I'll take it as a compliment, Limuel." Bian mendengus, meletakkan lengannya di atas beton pembatas. "Gue gak jago basa-basi ngasih lo petuah hidup. But you know, hidup memang bisa anjing banget. Tapi buat gue, semakin dunia bikin gue down, semakin gue harus bangkit buat kalahin mereka. Gengsi dong kalo sampe kalah."
"Hm."
"Kok tanggepannya gitu doang, sih?!"
Biskara malah tertawa kecil, membuat sesuatu dalam diri Bian merasa lega. "Aneh liat lo sok bijak gini."
"Emang gak tahu terimakasih!"
Biskara mengalihkan wajah ke arah angin bertiup, tidak membiarkan asapnya terhirup oleh Bian. Setelah mengembuskan cincin asap terakhir, dibuangnya benda haram itu ke atas beton, lantas diinjaknya kuat-kuat.
"Thanks, Peony," ujarnya tanpa memandang Bian, masih sibuk menekan sisa batang rokok di bawah alas sepatunya. Kendati demikian, suaranya terdengar tulus. "But instead of ceramah hidup, mungkin lo bisa bantu gue dengan cara lain."
"Apa? Lo mau minta duit? Haduh, rekening gue lagi menip—"
"May I hug you?"
"Hah?"
"Lo gak mendadak bolot, kan?" Biskara mengangkat wajah secara mendadak, membuat Bian langsung mati kutu. Tatapan yang diberikan Biskara juga tidak menyiratkan candaan.
Bian berdeham canggung. "G-gue—bentar, bentar." Otaknya mendadak kosong, tidak tahu lagi caranya berpikir rasional. Ditariknya oksigen sebanyak-banyaknya sebelum matanya kembali menangkap sorot teduh Biskara. "I prefer to be the one who hugs .. you."
Biskara terlihat sama terkejutnya dengan Bian. Pupilnya sedikit membesar, namun tidak bertahan lama. Karena setelahnya, senyum tipis di bibirnya terbit, disusul oleh pejaman pada mata. "Go ahead."
Bian mengepalkan tangan gugup sebelum akhirnya memberanikan diri maju mendekat, merentangkan lengan untuk mendekap Biskara. Awalnya memang terasa aneh dan mendebarkan, namun entah bagaimana, detik-detik yang berlalu malah mengantarkan kenyamanan asing bagi Bian.
"Thanks a lot, Peony." Bisikan itu lirih, nyaris selirih embusan angin yang menggelitiki sekujur kulit Bian.
Hampir semua jenis wanita pernah Deus pacari. Mulai dari yang feminin, tomboi, songong, lemah lembut, aneh, dan segala jenis lainnya. Tidak ada yang menarik bagi Deus. Maksudnya, Deus mengakui kalau wanita memang ciptaan Tuhan yang indah. Mereka beragam dan unik dengan caranya sendiri. Tapi selama ini, Deus tidak pernah benar-benar memuja atau menginginkan seseorang untuk menjadi pendampingnya.Semua yang dimilikinya saat ini rasanya sudah cukup, tidak perlu ditambah lagi dengan konsekuensi membangun rumah tangga, apalagi mendidik anak. Pekerjaan yang sangat ia nikmati dan memang sesuai passionnya, motto hidup bodo amat yang membuatnya dapat hidup nyaman tanpa merasa perlu perlu memikirkan soal anak-anak kelaparan di Afrika atau kekacauan dunia di luar sana, serta .. Sabit—sosok yang tanpa sadar telah menjadi bagian penting dalam hidup Thadeus Nenggala.Keduanya menghabiskan waktu bersama dengan cara yang sulit dibayangkan oleh orang-orang awam yang masih menganggap bahwa persahabatan
Mungkin jet lag kali ini adalah yang terparah bagi seorang Thadeus Nenggala. Sudah seminggu berlalu sejak kunjungannya ke Amerika, tapi bahkan efeknya masih begitu terasa hingga detik ini. Siang bolong begini dan ia diterjang kantuk luar biasa. Selain itu, kepalanya terasa seperti digebuki satu kampung, pusing sekali. Padahal kemarin bukan pertama kalinya ia mengunjungi negeri Paman Sam. Ia baru akan bangkit, berniat membuat secangkir kopi kala bel rumahnya ditekan dengan brutal. Deus bergerak ogah-ogahan dari kasur, melenggang keluar untuk mengecek lewat interkom. Matanya menyipit saat mendapati sosok tak terduga itu. Tak butuh banyak waktu untuk ia beringsut mendekati pintu dan membukanya. "Thea? Lo ngapain di sini?!" Itu Theana Nenggala, adik perempuannya yang seharusnya berada di Italia saat ini. "Gue punya anak." Itu kalimat pertama yang meluncur dari mulut adiknya. Diucapkan dengan cepat dan tegas. Butuh beberapa detik untuk Deus mencerna kalimat Thea yang diucapkan dengan
Hari ini semuanya berjalan cukup normal. Deus terbangun tepat pukul delapan. Rumahnya kosong kala ia melangkah keluar kamar, membuatnya nyaris lupa kalau ia baru saja menampung seorang bocah jika saja ia tidak mendapati sepasang sandal bulu merah muda di dekat kulkasnya. Tak perlu cenayang untuk menebak kalau Bian sedang bersekolah saat ini. Deus tidak berniat tahu bagaimana anak itu menjalani kegiatannya sehari-hari. Toh, tidak penting juga baginya. Ia hanya perlu memastikan Bian tidak merusak pernikahan adiknya, kan? Lagipula, sepertinya Bian juga tidak akan senang jika Deus terlalu ikut campur dengan urusannya. Suara bel yang ditekan mengantar langkahnya untuk memeriksa interkom. Wajah sangar yang terpampang nyata di sana memercikan ide di kepalanya untuk segera kabur lewat pintu belakang. Tapi menghindar dari kemurkaan seorang Sabitha Giovanni bukan langkah yang tepat. Bisa-bisa besok ia berakhir muntah paku. Belum sempat ia bergerak untuk mengambil langkah, pintu sudah terkua
Tidak. Deus bukannya khawatir. Hanya saja, ini sudah nyaris tengah malam dan anak itu bahkan belum menunjukkan batang hidungnya. Segala jenis pikiran buruk sudah mampir di kepalanya. Sekali lagi ia tegaskan, ia bukannya khawatir atau mendadak peduli. Hanya saja, kalau sampai Bian kenapa-napa, pasti dia juga akan terkena getahnya. Kondisi diperburuk karena Deus bahkan tidak punya kontak anak itu.Apa Bian tidak betah tinggal dengannya dan memutuskan untuk kembali ke habitat asalnya? Itu berita bagus, tentu saja. Tapi masalahnya, bahkan kini ia tidak yakin akan apa yang sedang menimpa bocah satu itu. Nyaris gila karena berkutat dengan pikirannya sendiri, Deus memutuskan untuk beranjak menuju kamar Bian, mencari sekiranya apa pun yang bisa memberinya petunjuk untuk menghubungi anak itu. Deus kegirangan sendiri saat akhirnya menemukan buku agenda sekolah Bian yang terletak asal di atas nakas, mengepalkan telapak tangannya di udara layaknya baru saja memenangkan undian. Ia membalik halam
Thea itu gambaran wanita sempurna, kalau menurut Bian. Ia cantik, anggun, ramah, berkelas, dan penyayang. Bian selalu menganggap kalau dirinya adalah satu-satunya yang salah dalam hidup gemilangsang mama. Memang Thea tidak pernah menunjukkan terang-terangan kalau kehadirannya tidak diinginkan. Tapi bukannya jelas? Diasingkan belasan tahun serta bertatap muka hanya dua kali setahun. Bian bukan lagi anak kecil bodoh yang naif. Mudah saja baginya menerka segala kemungkinan. Ada satu momen yang tidak pernah ia lupa. Waktu itu ia masih berumur delapan. Kebetulan, saat itu Thea menetap di Jakarta cukup lama dari biasanya dikarenakan harus menjadi juri dalam satu ajang fashion show di sebuah stasiun televisi nasional.Malam itu hujan badai, menyebabkan Thea terpaksa harus tinggal di apartemen. Bian tidak pernah suka hujan. Namun pengecualian untuk saat itu. Ia bahkan masih ingat permintaan konyolnya saat itu pada Tuhan. Ia ingin hujan badai itu berlangsung selamanya hanya agar dapat memili
Berdiam diri saja di rumah bukan keahlian Bian. Dari tadi, kakinya seolah gatal ingin memijak keluar rumah. Deus belum pulang dan Bi Dean pun sudah pergi sejak satu jam lalu. Ia sepenuhnya sendirian di rumah sebesar ini. Untungnya, Deus sudah memberinya duplikat kunci agar dapat leluasa meninggalkan rumah. Setelah berganti pakaian menjadi lebih layak, ia pun segera memesan taksol untuk pergi ke supermarket terdekat. Niatnya sih ingin membeli bahan makanan untuk dimasak. Mengintip isi lemari dapur Deus, nampaknya pria itu menjunjung tinggi hidup tanpa ribet. Berpuluh-puluh kemasan mi instan menyesaki lemari. Begitu juga belasan telur serta berbagai bungkus bumbu nasi goreng siap pakai. Bian bukan pakar dalam memasak. Namun, hidup bersama Bi Nilam yang bernotabene memiliki keahlian membuat makanan tak kalah enak dari restoran bintang lima selama belasan tahun, mau tak mau Bian jadi banyak belajar.Setibanya di supermarket, Bian langsung saja meraih troli kecil dan menyusuri rak demi r