Aku benar-benar tidak mengerti. Mengapa sekarang? Apa yang mereka harapkan dari ini?“Maaf darimu, mungkin?” Suara yang sama berbisik. Maafku. Sebuah kata yang sederhana, tetapi begitu rumit. Bagaimana bisa aku memberikan apa yang mereka mau, ketika mereka tidak memberikannya padaku? Bagaimana bisa aku memaafkan mereka ketika mereka menghancurkanku? Bagaimana bisa aku melupakan semuanya ketika mereka tidak membiarkanku hidup dalam damai atas apa yang terjadi?Ethan benar. Baik aku dan Rowan sama-sama mabuk, tetapi hanya aku yang diadili. Yang disalahkan adalah aku. Akulah yang diejek oleh mereka, yang diremehkan oleh mereka, dan dirundung oleh mereka. Akulah yang mendapat siksaan baik mental maupun fisik. Aku menerima semuanya. Aku menanggung kesalahan itu, meskipun tidak harus kuindahkan. Namun, kulakukan karena aku mencintai Rowan. Semakin kupikirkan, semakin aku merasa marah. Aku bisa merasakan tangisan amarah ingin berjatuhan, tetapi kali ini aku tidak ingin menahannya. Aku su
Rowan. Aku sedang bersiap-siap untuk pesta. Aku tidak sedang ingin berpesta, tetapi aku harus pergi. Pemilik Yayasan Harapan mengadakan pesta makan-makan untuk menghargai seluruh donaturnya. Karena aku adalah salah satu dari donatur, aku diundang. “Ada apa, Brian? Aku sibuk,” jawabku setelah mengecek siapa yang menelepon.“Kami sudah tahu itu DNA siapa dari sampel darah yang kami ambil dari rumah Nona Santoso,” katanya dengan lugas. Namanya membuatku tercekat. Kata terakhir yang kuucapkan padanya masih bergema di benakku. Tidak seharusnya aku mengatakan hal sejahat itu, tetapi aku benar-benar marah saat dia memukul Emma.“Lalu?” Tanyaku buru-buru. Kuharap ini adalah berita baik. Aku sangat ingin menyelesaikan masalah Ava dan melupakannya. “Aku tidak memiliki kabar bagus,” jawabnya membuatku mengerang. “Apa yang terjadi?”“Kami menemukan laki-laki ini. Dia terkenal dengan nama Bisa Hitam. Dia sudah dalam pencarian kami sejak lama sebab dia adalah pembunuh bayaran. Seseorang member
Kami sampai tepat waktu dan aku menghela nafas lega. Mobil berhenti dan aku keluar, lalu aku membantu Emma keluar. Blitz kamera mulai menyambut kami begitu kami berjalan di karpet merah. “Pak Wijaya, benarkah Anda sekarang bersama Emma Santoso, kakak mantan istri Anda?” Tanya satu reporter. “Ada yang bilang bahwa Nona Emma adalah kekasih Anda, tetapi situasi memaksa Anda untuk bersama Ava Santoso.” Sahut yang lain.“Di mana mantan istri Anda, Pak Wijaya?”“Nona Emma, bagaimana rasanya bersama pria yang pernah menikahi adik Anda? Mereka bahkan memiliki anak.”Aku merasa cengkraman Emma pada lengan atasku mengencang ketika mereka menanyainya pertanyaan itu. Aku menjauhkannya dari para reporter itu saat mereka menanyai kami secara bertubi-tubi. Akhirnya, kami masuk dan disambut ke dalam. Pelaksana acaranya bekerja dengan baik. Aku tidak suka hal ini, tetapi tempatnya terlihat luar biasa. Kami diantar di meja kami. Di sana sudah ada Gabriel, Travis, Ruby, dan Christine yang sudah duduk.
Baik Emma dan Christine menatapnya dengan terkejut dan penuh amarah. Mungkin karena belum pernah ada yang berani berbicara seperti itu pada mereka. Emma mengepalkan tangannya. Amarah berkilat dari sorotnya. “Cukup, Ruby. Aku tidak akan menoleransimu berbicara pada Emma seperti itu, dia adikku. Jika kamu tidak bisa menghormatinya, maka pergilah,” geram Travis padanya. Ruby kemudian ganti melirik Travis. “Mungkin saja kamu lupa, Ava adalah adikmu, tetapi sepertinya kamu tidak memedulikannya. Toh, kamu juga termasuk orang yang menginjaknya dan memperlakukannya seperti sampah,” Lalu dia berdiri. “Aku dengan senang hati aku pergi. Aku lebih memilih berada di rumah, daripada menghabiskan malam dengan orang-orang bajingan seperti kalian. Kalian membuatku muak.”“Ruby...” Travis memohon, nada suaranya dengan cepat berubah. Namun, dia sudah berbalik dan pergi. Suasana di meja menjadi hening saat kami melihatnya pergi. Namun, saat dia akan pergi, dia dihentikan oleh pengawal. Pengawal itu men
“Apa?” Bisik Emma di sebelahku dengan terkejut. Seisi ruangan menjadi hening. Semua orang terkejut. Tidak ada yang mengira bahwa Ava-lah pendiri dari organisasi sebesar itu. Astaga, aku sempat menikahinya dan aku juga tidak tahu. Mungkin semua orang bertanya-tanya jika aku tahu identitas Ava yang sebenarnya atau tidak. “Apakah kamu mengetahui ini?” Tanya Gabriel, matanya terbelalak dan mulutnya menganga. “Tidak.” Geramku karena tidak mengetahuinya. Aku melihatnya saat dia kembali ke kursinya. Dia berdiri dan Ethan berdiri sambil menautkan tangannya. Dengan senyuman, Ava membalas uluran tangannya dan dia mengajaknya berjalan ke panggung. Aku mengeraskan rahangku ketika dia menaruh tangannya di punggungnya yang terekspos saat dia membantunya naik tangga. Ketika dia sudah naik, Ethan turun. Ava memeluk Maria sebelum dia ke mimbar. Dia tersenyum sebelum berdeham. “Hai,” Dia tertawa kecil degan tergugup. “Untuk alasan satu dan lain hal, lebih mudah bagiku untuk berada di ruangan pen
“Sempurna.” Dia tidak berkata sepatah kata apa pun, dia hanya mengambil tabletnya dan mulai mengetik sesuatu di sana.“Hei,” Ujar Emma. “Bukankah itu Caleb Kurniawan dari Perusahaan Kurniawan di bidang teknologi? Apa yang dilakukannya dengan Ava? Apakah dia mengenalnya?Aku melihat ke arah pandangannya. Pria muda yang bersama Ava, pantas saja dia terlihat familiar. Perusahannya didirikan sekitar dua tahun yang lalu. Dia adalah pemimpin termuda dan sudah menorehkan namanya di dunia bisnis. Dalam usia dua puluh tahun, dia sudah sukses. Teknologinya menjadi popular dan dia menjadi sorotan orang-orang. Aku benar-benar terpojok. Aku khawatir dia akan menggantikan posisiku sebagai pengusaha nomor satu di negara ini. Bocah itu sudah membuat pengusaha yang lainnya kewalahan. “Oh, iya. Beliau adalah salah satu penerima dari Yayasan Harapan. Dia adalah yatim piatu dan Ava menaunginya. Dia juga yang sadar kalau Caleb adalah jenius dalam teknologi. Dia mendorongnya untuk mengasah bakatnya. Keti
“Beraninya kamu!” Suara penuh amarah Ava terdengar. Brenda mencibir, seperti dia ada hal yang penting untuk dilakukan. “Bukan salahku bahwa dia tidak melihat langkahnya. Gaun ini edisi terbatas yang sangat mahal dan anak sialan ini hampir menghancurkannya dengan mencipratkan jus di atasnya.”Brenda dan Ava tidak pernah akur. Aku tahu dia dirundung di sekolah dan Brenda-lah perundungnya yang terparah. Anak kecil yang mereka bicarakan berlindung di balik Ava. Umurnya tidak lebih dari lima tahun. Dia cantik dengan gaun berwarna pink, wajah yang berbentuk hati, bibir penuh dan rambut panjang tergerai di bahunya. Aku bisa membayangkan memiliki gadis kecil dengan mewarisi mataku dan rambut cokelat Ava. Aku membeku di tempatku. Apa-apaan? Pikiran dari mana itu? Aku menggelengkan kepalaku dan menepis pikiran itu. Aku terfokus pada Ava. Sepertinya Ava akhirnya memberinya pelajaran. “Apakah kamu becanda? Benar-benar merupakan alasan bodoh untuk menyakiti anak kecil, saat kita ada di sini ka
“Memberitahumu apa?”“Segalanya. Mengenai Yayasan Harapan dan fakta bahwa kamu tidak kesulitan uang. Mengapa kamu membiarkan kami untuk merendahkanmu?”Dia mendengus sebelum berbalik untuk menatapku. “Lalu, kapan seharusnya aku memberitahumu? Kamu bahkan tidak mau di sekitarku dan melakukan segala cara untuk memastikan kita tidak akan bersama untuk waktu yang lama.”Aku menatap manik matanya dalam-dalam. Ada yang baru di sorotan matanya. Sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Ada juga yang hilang darinya. Dia melanjutkan dan menatap ke taman luar. “Selain itu, apakah kamu akan tertarik? Sejauh yang kuingat, kamu tidak memedulikan apa pun menyangkut aku.”Pandanganku melayang ke orang-orang yang berjalan masuk dan keluar ke taman. Dia benar. Aku bersikap dingin padanya. Aku mewajarkan bahwa aku tidak perlu memedulikan wanita yang telah menghancurkan hidupku. Aku membenci Ava dan menunjukkannya lewat bagaimana aku memperlakukannya selama bertahun-tahun. Aku selalu menyombongkan bahwa aku a
Hana“Apa maumu, Gabriel? Seperti yang kamu lihat, aku sedang tidak ingin bicara.” Aku bangkit dari lantai sambil menghapus air mataku.Kata-kata Lilly masih terngiang di kepalaku serta menyayat hatiku berulang kali. Aku mengusap rambutku untuk mencoba mengusir rasa sakit yang kurasakan. Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu dia mungkin tidak akan menerimanya dengan baik.Maksudku, bagaimana bisa seseorang menerimanya dengan baik ketika ibunya tiba-tiba mengungkapkan bahwa pria yang selama ini dianggapnya Ayah ternyata bukan ayahnya? Bahwa dia telah dibohongi dan tidak ada yang mau memberi tahu kebenarannya hingga keadaan memaksa. Aku mengerti perasaannya dan paham reaksinya. Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapi kata-katanya dan rasa sakit yang kulihat di matanya.“Dia tidak benar-benar bermaksud begitu,” ujar Gabriel sambil berjalan lebih dekat ke kamarku.Aku menatapnya tajam dan merasakan sesuatu yang buruk membuncah di dalam diriku. “Bagaimana kamu tahu? Kamu bahkan belum cukup
HanaMinggu ini benar-benar kacau. Sejak kembali ke kota ini, rasanya aku terus-menerus berlarian menyelesaikan berbagai urusan tanpa sempat istirahat sedikit pun.Setidaknya Lilly sekarang merasa lebih nyaman. Gabriel menolak untuk mengirim kasurnya karena kasur di sini lebih nyaman, tapi dia setuju untuk mengirimkan seprai dan selimutnya. Itu sudah cukup membuat perubahan, dan sekarang dia bisa tidur nyenyak sepanjang malam.Gabriel … dari mana aku harus memulainya? Dia pulang ke rumah meskipun larut malam, tapi hanya sebatas itu. Kami saling menghindari dan mencoba hidup seperti tidak saling ada. Kurasa ini cara terbaik untuk kami. Ini akan mencegah Lilly melihat kami bertengkar terus-menerus.“Ibu, katanya ingin bicara denganku?” Suara Lilly menarikku dari lamunanku.Aku meletakkan pakaian yang sedang kulipat dan duduk di tempat tidur sebelum memberi isyarat padanya untuk melakukan hal yang sama. Dia melangkah mendekat dengan dahi berkerut dan duduk di sebelahku.Kami berada di kam
Punggung wanita itu membelakangiku, begitu juga dengan Guntur. Aku tidak perlu mengkhawatirkan Calvin, sebab dia terlihat begitu tergila-gila dan mengarahkan perhatiannya pada setiap perkataan wanita itu dengan senyuman lembut di bibirnya.Lagi-lagi, perasaan tidak nyaman menyusupi diriku. Mengapa aku merasa aku tidak bisa bernafas? Kerongkonganku terasa tercekat melihatnya. Aku berfokus pada mereka. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan karena mereka berjarak beberapa meja dariku, tapi kedamaian dan kebahagiaan di wajah Calvin sudah cukup untuk membuatku tahu apa yang tengah terjadi. Dia sedang berkencan dan Guntur ikut. Wanita itu bahkan tidak mempermasalahkannya, tapi tidak mungkin aku akan membiarkan wanita lain menggantikanku di kehidupan putraku. Aku tidak bisa melihat Guntur, tapi aku tahu, seperti dengan Calvin, dia senang bisa berada di sini. Calvin pasti akan langsung pergi dengan putra kami kalau dia merasa sebaliknya. Entah mengapa, aku tetap ada di sana meski
Perkataan Merrisa terus terngiang di telingaku bahkan setelah kami makan. Kami sedang memakan hidangan penutup kami. Aku suka es krim, tapi hari ini aku tidak bisa menikmatinya. Tidak ketika dia sudah membuatku meragukan segala yang kuyakini selama beberapa tahun terakhir ini. “Kenapa kamu begitu diam?” tanyanya setelah menaruh milkshake-nya ke meja. “Apakah kamu memikirkan apa yang kukatakan padaku?”Kalimat terakhirnya dikatakannya sambil tersenyum miring sambil bersandar kembali di kursinya. “Tentu tidak,” bohongku. “Aku hanya penasaran caraku untuk membuat Calvin dan Guntur memaafkanku. Tidak peduli seberapa keras kupikirkan, sepertinya tidak ada jalannya.”Sebagai seorang pengacara, aku terbiasa untuk memandang segala hal dari seluruh sisi ketika aku membela klienku. Itulah yang membuat pekerjaanku begitu lancar. Aku membereskan segalanya dan bisa menangani seluruh hasilnya. Aku melakukan itu pada masalahku sekarang dan kuyakin tidak ada harapan. Aku mungkin tidak mencintai Cal
“Kenapa aku harus membiarkanmu untuk meyakinkanku keluar makan siang?” keluhku sambil melihat pemandangan di depan kami. Sudah lama sekali sejak aku keluar dari rumah keluarga kami. Sepertinya terakhir kali aku keluar adalah saat aku menghadiri pernikahan Ava. Sejujurnya, aku bahkan terkejut bahwa dia mengundangku. Di antara semua orang, kupikir aku akan menjadi orang terakhir yang diinginkannya hadir di pernikahannya. “Sebab kamu harus keluar,” balas Merrisa sambil menarikku dari pemikiranku. “Aku biasanya keluar dari rumah, Merrisa,” ujarku untuk membela diriku. Dengusannya begitu membuatku kesal. “Pergi ke taman tidak terhitung keluar,” balasnya. “Sekarang, berhentilah mengeluh dan duduk serta nikmati. Kamu pasti akan menyukai ini, aku janji.”“Aku tidak yakin.”Setelah itu aku bersandar ke kursi dan menutup mataku. Benakku berkecamuk akan ribuan pemikiran di setiap menitnya. Aku tidak bisa mengendalikannya sama sekali. Setelah pembicaraanku dengan Merrisa di kamarku, benakku
Emma. “Kamu harus keluar dari kamarmu, Emma. Kamu tidak bisa menghabiskan harimu di dalam sini.” Aku mendengar perkataan Ibu, tapi aku tidak menatapnya sebab mataku tetap terfokus pada drama sedih yang sedang kutonton. Aku duduk di ranjangku dengan masih memakai piyama dan beberapa cemilan yang berceceran di sekitar selimutku. Aku minum bermacam-macam minuman dan sekotak besar es krim, yang mana tengah menjadi adiksiku saat ini. Gorden kamarku tertutup dan menghalangi sinar matahari masuk sedari aku menutup gorden ini sejak beberapa bulan lalu. “Itulah yang sudah kucoba katakan padanya, tapi wanita itu tidak mau mendengarku!” dengus Merrisa. Aku bisa merasakan kata-katanya menusuk di hatiku, tapi aku sama sekali tidak mengindahkannya. Aku hanya mau sendirian untuk meresapi penderitaanku. Lagipula, akulah yang membawa penderitaan ini sendiri. “Apa yang akan Guntur katakan kalau dia melihatmu seperti itu? Kamu begitu berantakan, begitu juga dengan ruanganmu. Aku tidak tahu kapan ter
Aku melihat Rowan begitu kami masuk. Sama seperti kembarannya, dia memakai jas hitam. Kami berjalan ke depan kapel saat pendeta berjalan masuk ke dalam.“Hai, Hana,” sapa Rowan dengan sopan dan menyambutku dengan senyumannya. Aku benar-benar terkejut. Dia sudah sangat berubah, dia tidak seperti Rowan yang kuingat. Sebelumnya, dia selalu terlihat dingin dan datar, seolah dia menganggap seluruh orang tidaklah penting. Tapi sekarang, dia terlihat hangat. Seolah kekelaman yang dulu menyelimutinya sudah sepenuhnya sirna. “H ... Hai,” balasku dengan terbata-bata. Aku penasaran apakah dia berhasil kembali bersama mantan pacarnya. Lagipula, semua orang tahu bahwa dia berubah setelah dia kehilangan dirinya dan terpaksa untuk menikahi Ava. Ah, pasti dia sudah kembali bersama mantan pacarnya. Dia begitu membenci Ava, jadi perubahan ini pastilah karena kakaknya Ava, Emma. “Bisa kita mulai sekarang?” sela si pendeta dan kami bertiga mengangguk. Aku berdiri di sebelah Gabriel dan Rowan berdiri
Aku menyelesaikan riasakanku sebelum menatap diriku di kaca. Aku benar-benar gugup sebab hari ini adalah hari pernikahanku yang ketiga kali. Memang kedengarannya aku kecewa akan hal ini, ‘kan? Satu-satunya hal yang menenangkanku adalah aku akan menikahi pria yang sama yang kunikahi bertahun-tahun yang lalu, suamiku yang pertama. Sembari memakai mantelku, aku mengambil tasku dan berjalan keluar dari kamar. Udara di sana seakan menyengatku seiring dengan rasa kecemasan yang menjalari setiap jengkal tubuhku. Gabriel sudah membawakan kontrak yang baru yang sudah disetujui malam itu, dan sekarang, sehari setelahnya, kami menuju ke gereja untuk pemberkatan. “Apakah kamu sudah siap?” tanya Gabriel saat aku berjalan ke ruang tamu. Aku tidak bisa menjawab. Aku merasa aku tidak bisa berpikir, jadi aku hanya mengangguk. “Kenapa aku tidak bisa pergi bersama Ibu?” keluh Lilly yang membuatku berbalik ke arahnya. Dia sedang duduk di sofa yang berbentuk L sembari mengernyitkan dahinya dan melip
Dia mendorong dokumen itu ke arahku di atas meja. Aku mengambilnya dan mulai membacanya. Aku akan meminta pengacaraku memeriksanya nanti, tapi penting juga bagiku untuk memahami isi kontrak itu sendiri terlebih dahulu. Satu hal yang diajarkan kakakku adalah jangan pernah menandatangani apa pun tanpa membacanya dengan seksama.Dasar-dasar yang kami diskusikan sebelumnya tercantum di sana. Kontrak ini akan berlaku minimal selama dua tahun. Setelahnya, aku akan mendapatkan Perusahaan Gelora dan sedikit tunjangan. Gabriel juga akan terus membiayai Lilly. Dia juga menegaskan bahwa dia ingin Lilly diakui sebagai putrinya dan Lilly harus menyematkan nama Wijaya di nama belakangnya. Itulah poin-poin terpenting bagiku, jadi setelah membaca dan mengulangi bagian itu, aku meletakkan kertas-kertasnya.“Ada keluhan?” tanyanya sambil menyodorkan pulpen ke arahku.“Tidak, tapi aku ingin menambahkan beberapa ketentuan,” ujarku sambil menatap pulpen itu, tapi tidak segera mengambilnya.“Ketentuan sepe