Dua bulan kemudian. Aku menatap tes kehamilan dengan ketakutan. Aku melihat saat garisnya perlahan menjadi dua, menandakan aku benar hamil. Aku ingin hasilnya salah, aku mengambil yang lain dan sama saja. Aku hamil anak Rowan. Hidupku beberapa bulan terakhir ini seperti di neraka. Aku ditolak bukan hanya oleh keluargaku, tetatpi juga di sekolah. Semua orang tahu apa terjadi antara aku dan Rowan, tetapi tidak ada yang memercayaiku bahwa aku mabuk. Semua kesalahan dibebankan di pundakku sebab aku adalah jalang yang menggoda pacar kakakku ketika dia mabuk. Di sekolah aku dirundung dan diasingkan di kota. Ayah dan ibuku jarang berbicara padaku akhir-akhir ini. Emma benar-benar mengabaikanku, berkata bahwa aku sudah mati baginya. Untuk Travis, aku tidak lagi hidup di dunia ini. Aku belum melihat maupun berbicara pada Rowan sejak malam itu. Hatiku hancur lagi dan lagi sejak beberapa minggu ini. Tidak ada obat bagi rasa sakit dan penolakan yang bertubi-tubu. Jika kupikir hidup sudah bu
Tidak ada cara lagi selain lewat jendela. Aku mengambil kursi dan memukul jendela dan teralis hingga pecah. Aku mendorongnya hingga lepas. Aku mengeluarkan koperku hingga terjatuh. Seperti yang kubilang, kamarku terletak paling jauh, jadi kegaduhan ini tidak akan terdengar oleh siapa pun. Aku perlahan memanjat turut, berhati-hati oleh pecahan kaca. Aku menghela nafas lega ketika aku turun. Senang akhirnya aku bisa turun, aku mengambil dan menyeret koperku. Mataku terpaku pada ponselku saat memesan taksi. Kesenanganku sirna ketika aku menabrak seseorang. Aku menengadah dan merasa hatiku mencelos ketika mendapati mataku bertemu dengan mata Rowan. “Apakah kamu benar-benar akan kabur dengan bayiku?” Tanyanya, nada suaranya keras. Aku mengepalkan tanganku, melepas koperku. “Sudah kubilang pada Ibu itu bukan bayimu,” bohongku sambil mundur. Tidak mungkin aku akan membesarkan bayiku di tengah lingkungan yang toksik. Di mana semuanya membenci ibunya. “Beraninya kamu berbohong padaku,” g
Masa sekarang. “Jadi begitulah. Mereka memiliki alasan untuk membenciku. Aku adalah penghancur hubungan,” kataku sambil merasakan air mata menggenang di mataku. Mengingat hal ini membuatku merasa sakit. Aku dulu sangat bodoh dan naif. Aku berpikir bahwa aku bisa membuatnya mencintaiku setelah kuhancurkan hidupnya. Sembilan tahun berlalu dan aku masih membayar harga untuk mencintai Rowan Wijaya. “Bukankah itu bukan salahmu?” Tanya Ethan, jemarinya mengelusku. “Benar. Aku membiarkan rasa obsesiku untukny menang dan karena itu, aku membuat kesalahan terbesar dalam hidupku.” Tangisanku jatuh. Jika saja aku bisa memutar waktu kembali. Jika saja aku bisa merubahnya. Aku hidup dalam penyesalan. Kuharap aku mendengarkan suara hatiku. Kuharap aku memerhatikan suara itu, bukannya mengabaikannya. Pastilah itu akan menyelamatkanku dari rasa sakit dan sakit hati. Astaga. Aku berharap aku menyadari aku hamil lebih awal. Aku akan kabur lebih awal. Aku akan kabur dan tidak pernah bilang Rowan ba
Cahaya hangat yang membias di wajahku membuatku bangun. Awalnya, aku bingung mengapa aku ada di kamarku, tetapi kemudian lengan berat di pinggangku membuatku teringat akan apa yang telah terjadi. Aku mulai panik, sampai-sampai takut untuk membangunkan Ethan. Aku tidak ingin membangunkannya sekarang. Tidak ketika aku sedang panik seperti ini. Tidak ketika seisi kepalaku sedang kacau. Pelan-pelan aku bangun dan meninggalkan kasur. Dia berbalik badan dan menggumamkan sesuatu di tidurnya, tetapi dia tidak bangun. Aku menghela nafas lega sambil memakai baju dan mengambil ponselku dari nakas. Aku berjalan berjinjit ke pinty dan membukanya perlahan hingga suara deritan pintu terdengar. Aku menengok, segera lega karena Ethan asih tertidur. Selimut menutupi pinggangnya, memperlihatkan otot perutnya yang terpahat sempurna dan tangannya menutupi wajahnya. Aku meneguk ludah dan meninggalkan ruangan. Aku menuruni anak tangga dengan perasaan malu, meskipun aku berada di rumahku sendiri. Rasa sa
Aku benar-benar tidak mengerti. Mengapa sekarang? Apa yang mereka harapkan dari ini?“Maaf darimu, mungkin?” Suara yang sama berbisik. Maafku. Sebuah kata yang sederhana, tetapi begitu rumit. Bagaimana bisa aku memberikan apa yang mereka mau, ketika mereka tidak memberikannya padaku? Bagaimana bisa aku memaafkan mereka ketika mereka menghancurkanku? Bagaimana bisa aku melupakan semuanya ketika mereka tidak membiarkanku hidup dalam damai atas apa yang terjadi?Ethan benar. Baik aku dan Rowan sama-sama mabuk, tetapi hanya aku yang diadili. Yang disalahkan adalah aku. Akulah yang diejek oleh mereka, yang diremehkan oleh mereka, dan dirundung oleh mereka. Akulah yang mendapat siksaan baik mental maupun fisik. Aku menerima semuanya. Aku menanggung kesalahan itu, meskipun tidak harus kuindahkan. Namun, kulakukan karena aku mencintai Rowan. Semakin kupikirkan, semakin aku merasa marah. Aku bisa merasakan tangisan amarah ingin berjatuhan, tetapi kali ini aku tidak ingin menahannya. Aku su
Rowan. Aku sedang bersiap-siap untuk pesta. Aku tidak sedang ingin berpesta, tetapi aku harus pergi. Pemilik Yayasan Harapan mengadakan pesta makan-makan untuk menghargai seluruh donaturnya. Karena aku adalah salah satu dari donatur, aku diundang. “Ada apa, Brian? Aku sibuk,” jawabku setelah mengecek siapa yang menelepon.“Kami sudah tahu itu DNA siapa dari sampel darah yang kami ambil dari rumah Nona Santoso,” katanya dengan lugas. Namanya membuatku tercekat. Kata terakhir yang kuucapkan padanya masih bergema di benakku. Tidak seharusnya aku mengatakan hal sejahat itu, tetapi aku benar-benar marah saat dia memukul Emma.“Lalu?” Tanyaku buru-buru. Kuharap ini adalah berita baik. Aku sangat ingin menyelesaikan masalah Ava dan melupakannya. “Aku tidak memiliki kabar bagus,” jawabnya membuatku mengerang. “Apa yang terjadi?”“Kami menemukan laki-laki ini. Dia terkenal dengan nama Bisa Hitam. Dia sudah dalam pencarian kami sejak lama sebab dia adalah pembunuh bayaran. Seseorang member
Kami sampai tepat waktu dan aku menghela nafas lega. Mobil berhenti dan aku keluar, lalu aku membantu Emma keluar. Blitz kamera mulai menyambut kami begitu kami berjalan di karpet merah. “Pak Wijaya, benarkah Anda sekarang bersama Emma Santoso, kakak mantan istri Anda?” Tanya satu reporter. “Ada yang bilang bahwa Nona Emma adalah kekasih Anda, tetapi situasi memaksa Anda untuk bersama Ava Santoso.” Sahut yang lain.“Di mana mantan istri Anda, Pak Wijaya?”“Nona Emma, bagaimana rasanya bersama pria yang pernah menikahi adik Anda? Mereka bahkan memiliki anak.”Aku merasa cengkraman Emma pada lengan atasku mengencang ketika mereka menanyainya pertanyaan itu. Aku menjauhkannya dari para reporter itu saat mereka menanyai kami secara bertubi-tubi. Akhirnya, kami masuk dan disambut ke dalam. Pelaksana acaranya bekerja dengan baik. Aku tidak suka hal ini, tetapi tempatnya terlihat luar biasa. Kami diantar di meja kami. Di sana sudah ada Gabriel, Travis, Ruby, dan Christine yang sudah duduk.
Baik Emma dan Christine menatapnya dengan terkejut dan penuh amarah. Mungkin karena belum pernah ada yang berani berbicara seperti itu pada mereka. Emma mengepalkan tangannya. Amarah berkilat dari sorotnya. “Cukup, Ruby. Aku tidak akan menoleransimu berbicara pada Emma seperti itu, dia adikku. Jika kamu tidak bisa menghormatinya, maka pergilah,” geram Travis padanya. Ruby kemudian ganti melirik Travis. “Mungkin saja kamu lupa, Ava adalah adikmu, tetapi sepertinya kamu tidak memedulikannya. Toh, kamu juga termasuk orang yang menginjaknya dan memperlakukannya seperti sampah,” Lalu dia berdiri. “Aku dengan senang hati aku pergi. Aku lebih memilih berada di rumah, daripada menghabiskan malam dengan orang-orang bajingan seperti kalian. Kalian membuatku muak.”“Ruby...” Travis memohon, nada suaranya dengan cepat berubah. Namun, dia sudah berbalik dan pergi. Suasana di meja menjadi hening saat kami melihatnya pergi. Namun, saat dia akan pergi, dia dihentikan oleh pengawal. Pengawal itu men
EmmaAku memandangi kekacauan yang ada di depanku. Aku tidak begitu yakin harus apa. Aku sudah memikirkannya selama beberapa hari ke belakang ini, dan masih saja tidak bisa kutemukan jawaban tepat akan kenapa aku merasa seperti ini. Aku sudah mencoba untuk memikirkannya, tapi sama sekali tidak ada yang terpikir olehku. Apa yang kutahu adalah aku merasa aneh. Seakan ada hal yang salah atau buruk yang akan terjadi. Aku tidak bisa menepis perasaan itu, tidak peduli sekeras apa yang kucoba. Perasaan itu masih menghampiriku dan tertancap di hatiku. Pernahkah kalian merasa seperti itu? Seolah kalian mendapat ramalan soal sesuatu yang akan terjadi? Hal ini membuatku frustasi, sebab aku tidak bisa menepisnya, dan aku seolah akan gila dibuatnya. Aku menghela nafas dan menatap tanganku yang ditutupi sarung tangan. Mia menyarankan agar aku melakukan sesuatu untuk melupakan kekhawatiranku dan rileks. Kemarin, aku berbicara dengan Ava dan berbicara padanya soal ini. Dia menyarankan agar aku mula
“Aku akan berbicara dengan orang tuaku.”Kami berbalik, dan terkejut saat melihat Ava berdiri beberapa langkah dari kami, fokusnya tertuju pada Travis.“Balas dendam mereka sudah berlangsung terlalu lama.”“Belum cukup lama menurutku,” sahut Reaper dengan suara penuh rasa jijik. “Mengingat perlakuanmu terhadap Ava, aku tidak akan berhenti jika aku jadi mereka.”“Serius? Lalu bagaimana dengan saudaramu? Dia mempermainkannya dan memanfaatkannya,” balas Travis dengan penuh amarah.“Itu benar, tapi dia akan membayar untuk itu untuk waktu yang sangat lama ... Tapi, bagaimana denganmu dan keluargamu? Ethan mempermainkannya selama beberapa bulan tetapi akhirnya jatuh cinta padanya. Kamu, di sisi lain, memperlakukannya dengan sangat buruk sejak dia masih kecil. Bisakah kamu benar-benar membayar rasa sakit hati yang telah kamu sebabkan padanya?”Rowan menegang saat mendengar nama Ethan dan cinta yang dimilikinya untuk Ava. Aku mengenal saudaraku, dan kami sudah membicarakan ini beberapa kali. D
Gabriel.Kami melihat Ayah kami pergi, langsung menuju ke arah Ibu kami. Menurutnya, kami membosankan, jadi dia memilih Ibu kami, yang katanya lebih menyenangkan daripada kami.Begitu dia berada di luar jangkauan pendengaran, Travis berbalik ke arah kami dengan alis mengernyit.“Aku tidak mengerti kenapa dia ada di sini,” gerutu Travis sambil menatap tajam Reaper.“Ada masalah?” tanya Reaper. Meskipun nadanya tenang, tidak dipungkiri auranya diselimuti oleh aura berbahaya. Tatapan matanya yang berkilat, meskipun terlihat tenang dan terkendali, sudah cukup jadi peringatan bahwa tidak seorang pun seharusnya macam-macam dengannya. Dia adalah ancaman yang nyata, tapi sahabatku terlalu bodoh untuk menyadari itu. Untuk menyadari bahwa Reaper bukan orang lemah, meskipun sekarang dia tampak tidak berbahaya.“Ya, aku punya masalah!” Travis menggeram. “Kamu membunuh ayahku, dan berani-beraninya kamu kemari?”“Aku di sini bersama tunanganku. Apapun masalahmu itu, selesaikanlah sendiri.”Rowan da
Aku punya salah satu produk mereka, dan merupakan produk kesukaanku. Yah, dulunya, sebab aku tidak lagi menggunakannya sekarang saat bersama dengan Gabriel. Ah, kalian pasti tidak akan menyadari perbedaan saat memakainya. Rasanya seperti kelamin pria sungguhan. Mereka punya alat lain, tapi dildo merekalah yang kesukaanku. “Yah, butuh banyak riset, dan kami semua berperan. Sungguh menyenangkan meneliti dan bereksperimen,” imbuh Ava dengan senyumannya.“Karena kamu menyukai produk kami,” ujar Ruby sambil tersenyum miring. “Bagaimana kalau kamu jadi mitra?”Aku mengerutkan kening sambil memikirkan tawarannya. “Aku tidak tahu. Gabriel sudah mengembalikan perusahaan keluargaku. Bukankah terlibat dengan perusahaan alat bantu seks bisa merusak citranya? Kamu tahu betapa angkuhnya orang-orang bisa jadi.”“Jangan khawatir,” Ava menenangkan. “Kami semua semacam mitra diam. Kami punya CEO dan wakilnya, tapi mereka hanya menjadi wajah perusahaan. Kami yang menjalankan semuanya, tentu dengan bant
“Ro!” seru Ava. “Dia akan tetap polos dan suci sampai rambutnya memutih nanti. Akhir dari cerita.” Setelah itu, dia berjalan menjauh sambil menghentakkan kakinya. Pemikiran bahwa Liliana akan berhubungan badan suatu hari nanti jelas mengganggunya. Ava menoleh ke arahku. “Aku tidak mengerti! Bagaimana bisa pemikiran bahwa Liliana berhubungan badan begitu mengganggunya, padahal kita juga melakukan hal yang sama sepanjang waktu? Aku juga putri orang lain, dan dia masih meniduriku!”Aku terkekeh sambil mengusap lengannya dengan lembut untuk menghiburnya. “Jangan khawatir, aku rasa semua pria sama saja jika menyangkut putri mereka. Gabriel mengatakan hal yang hampir sama tentang Lilly ... Ethan juga akan bereaksi serupa, begitu pula Reaper kalau mereka punya anak perempuan. Ayahku dulu sering bilang bahwa dia tidak akan pernah mengizinkan anak laki-laki mendekatiku, dan aku yakin kalau kamu tanya ayahmu, dia pasti berpikir hal yang sama saat kamu lahir. Bahkan, aku tahu dia mungkin benci
Hana. Aku memandang sekitar, mencoba untuk memastikan segalanya sudah sempurna. Kami sudah berada di rumah kami yang baru hari ini, dan kami memutuskan untuk menghelat pesta peresmian bagi rumah baru kami. Bukan pesta besar, kami hanya akan mengundang teman dekat dan keluarga. “Apakah semuanya sudah siap?” tanyaku pada koki. Koki itu terpesona akan rumah ini dan jatuh cinta pada dapur ini. Seperti yang kukatakan sebelumnya, dapur kami ini mimpi bagi setiap koki. Kalau bukan karena dia harus pulang ke rumah untuk keluarganya, aku bersumpah bahwa dia pasti akan tidur di sini. Maksudku di dapur, bukan di rumah ini. “Ya,” jawabnya sambil tersenyum. Matanya berbinar akan kebahagiaan dan keantusiasan. “Semuanya sudah siap.”Seperti yang sudah kukatakan, pestanya tidaklah besar. Hanya akan ada orang tuanya Gabriel, Rowan dan Ava, Travis dan Ruby, Calista dan Reapeer, Noah, Liliana, Guntur, dan Shella. Bel pintu berbunyi, dan aku meninggalkan dapur untuk membukanya. Lilly masih bersiap-si
Aku melipat tanganku di atas meja dapur. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan atau berkata apa setelahnya. “Bagaimana rasanya?” tanyaku setelah beberapa saat. “Aku tidak tahu. Aku berbicara pada Noah dan dia berkata padaku bahwa dia juga meminta maaf padanya karena sudah mencoba menghalangi hubungan Paman Rowan dan Tante Ava.”Wow. Aku terkejut mendengarnya. Sepertinya, Emma sudah mencoba untuk meminta maaf pada yang telah disakitinya, termasuk anak-anak yang biasanya diremehkan oleh orang lain. “Dia juga meminta maaf padaku, beberapa minggu yang lalu,” ujarku. “Lalu, bagaimana rasanya?”“Oh, apakah kamu sedang berperan jadi orang tua?” ujarku sambil tertawa kecil. “Tapi, kita sedang tidak membicarakan diriku. Kamulah yang Ayah khawatirkan.”Dia menghela nafas. “Aku tidak tahu. Aku masih marah padanya dan merasa sakit. Dadaku sesak saat memikirkan bagaimana sakitnya dulu saat dia tidak mau berurusan denganku.”“Ayah mengerti itu, anakku. Kamu juga berhak untuk marah. Tidak ada y
Calvin. Aku melihat video yang dikirimkan Anjani padaku dan tertawa perlahan saat melihat seberapa lucunya itu. Dia mengirimkanku video hewan lucu secara acak, sebab dia tahu bahwa video ini akan membuatku tertawa. Tidak satu hari pun terlewatkan tanpa dirinya yang mengirim satu atau dua video. Kalau boleh jujur, aku mendambakan untuk melihatnya dari percakapan kami. Segalanya di antara kami sempurna. Di luar Emma, aku belum pernah seserius ini soal wanita sebelumnya. Memang, aku sudah mencoba untuk melupakaannya ketika aku masuk kuliah, tapi yang kulakukan hanyalah sekedar tidur dengan wanita secara asal, alih-alih melupakan Emma. Jangan lihat aku seperti itu. Semua gadis yang kutiduri sebelum Emma tahu batasan. Mereka tahu bahwa tidak akan ada apa-apa di antara kami, hanya kesenangan semata. Aku sudah membuatnya begitu jelas sebelum tidur bersama mereka. Mereka mengerti dan menerimanya. Hidup sungguh simpel sampai Emma dan aku kembali bertemu. Setelah kali pertama aku tidur denga
“Apa yang kamu rasakan saat melihat Guntur?” tanya Mia. Seperti biasa, matanya begitu ajaib. Menatapku seolah dia bisa melihat sampai menembus jiwaku. Karena aku sudah kembali bekerja, kami harus memindahkan jadwal untuk menyesuaikan jadwal baruku. Kebanyakan sesiku sekarang dijadwalkan antara pukul empat tiga puluh dan enam sore. Aku sudah tahu jawabannya. Aku tidak perlu memikirkannya. Tapi, saat memikirkan hari itu, air mata langsung membanjiri mataku. “Menyayat hati,” lirihku. Aku merasa bahwa perasaanku dipaksa untuk ditarik keluar dari dalam diriku. Ditarik keluar dari sisi terdalam jiwaku. Aku mencoba untuk menahan isakan yang akan lepas, tapi percuma saja. Aku menangis begitu keras sampai aku kesulitan untuk bernafas. “Bagaimana bisa?” tanya Mia sambil mengulurkanku tisu. Aku menerima tisu itu dan menyeka air mata yang membanjiri wajahku. Tapi percuma saja, sebab air mata itu terus mengalir layaknya air terjun. Aku merasa marah pada air mata itu sebab mereka terus berjatu