Ponselku berdering untuk ribuan kalinya hari ini. Nama kontak Ruby berkedip di layar, tetapi seperti sebelumnya, aku mengabaikan panggilannya. Dia telah mencoba untuk meneleponku sejak kemarin.Aku sedang tidak ada dalam kondisi terbaik untuk berbicara dengannya. Dia masih berhubungan dengan dunia dan orang-orang yang ingin kujauhi. Karena itulah aku ingin menjauhi Ruby untuk sementara.“Berikan aku segelas lagi,” pintaku pada bartender segera setelah ponselku berhenti berdering. Hari ini adalah ulang tahunku dan inilah caraku merayakannya. Sendirian di bar, minum beberapa jenis racikan minuman, masih merasa sakit hati dari perkataan kasar Rowan. Aku mencoba sekuat tenaga untuk mendorong pikiran itu jauh-jauh. Sudah kucoba lebih keras lagi untuk melupakan setiap kata itu, tetapi sulit. Perkataan itu seakan sudah terpatri di keningku layaknya sebuah tato. Kami sudah menikah bertahun-tahun, dan tidak pernah terlintas di benakku bahwa dia berpikir aku tidak lebih dari seorang pelacur.
“Aku baik-baik saja. Aku hanya sedang tidak ingin berbicara dengannya sekarang.” Aku berbicara dengan suara yang lantang. Musik di bar tidak terlalu kencang, tetapi terasa kencang di waktu yang sama.“Apakah kamu ada di bar atau semacamnya?” Tanyanya saat seseorang meneriakkan bahwa musik yang diputar adalah music kesukaannya. “Ya...benar.”“Apakah kamu mabuk?”“Hanya pusing,” jawabku. Padahal aku berencana untuk minum sampai masuk.“Apakah kamu sudah ada driver pengganti?”Aku tertawa. Karakteristik polisinya keluar saat ini, dan aku menyukainya. Aku juga menyukai bahwa dia khawatir tentang bagaimana aku akan pulang.“Tidak, tetapi aku akan naik taksi,” jawabku. “Oh, tidak boleh. Berikan aku waktu sepuluh menit,” katanya sebelum memutus sambungan. Aku menatap layar ponselku dengan mengerutkan keningku. Heran mengapa dia mengatakan itu. Aku mengacuhkannya, aku tidak mengambil pusing. Hari ini adalah tentang melupakan segalanya dan membebaskan diriku. Aku tidak tahu waktu sudah ber
Sembilan tahun yang lalu, Ponselku berbunyi akan notifikasi, membangunkanku dari tidurku yang tidak nyenyak. Untuk beberapa alasan, aku tidak bisa tidur nyenyak selama dua tahun belakangan ini. Sebagian dari diriku berpikir bahwa ini karena Rowan. Hati dan pikiranku tidak tenang karena dia tidak di dekatku lagi. Insomniaku mulai saat dia berkuliah dua tahun yang lalu. Selama dia di kampus, aku jarang tidur, tetapi ketika dia di rumah untuk istirahat, aku tertidur seperti bayi. Aku mengerang, karena malam ini kulewati tanpa tidur, aku bangun dan memeriksa ponselku. Aku terkejut, tetapi segera merasa senang ketika kulihat notifikasi apa itu. Aku membayar seseorang untuk memasang aplikasi pelacak untuk Rowan. Sekarang, aplikasi itu memberitahu bahwa dia sedang di rumah. Aku melompat dari ranjangku, segera mengganti pakaian. Dia mungkin kembali dengan Emma, atau Travis, atau Gabriel, tetapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin melihatnya, meskipun dari jauh. Setelah aku selesai bersiap-
“Dia bilang dia belum siap. Dia ingin fokus pada sekolahnua dulu. Mengapa begitu? Tidakkah dia mencintaiku?” Dia bertanya dengan nada suara penuh dengan sakit hati. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Sebagian dari diriku bersyukur karena Emma menolaknya, sedangkan yang lainnya sakit karena melihatnya sakit. “Kamu pria luar biasa, Rowan. Jika dia tidak ingin menikahimu, maka itu ruginya dia sendiri. Kalau kataku, lupakan dia, kamu bisa menemukan yang lebih baik.” Aku mengangkat gelasku. Dia menatapku sejenak sebelum tersenyum. “Ada benarnya juga,” katanya sambil mengulurkan gelasnya juga, untuk bersulang. Aku tidak tahu sudah berapa lama kami di sini. Kami berbicara, menari, dan minum. Ketika kami pergi, kami mabuk. Dia lebih mabuk dariku. Dia mengajakku untuk menginap di hotel dengannya dan aku setuju. Aku tidak bisa pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Orangtuaku akan mengulitiku hidup-hidup. Aku bahkan tidak bisa berdiri dengan benar. Dia menelepon taksi, beberapa menit k
Aku menatapnya dan berusaha menepis rasa sakitku. Dia terlihat seperti membutuhkan seseorang, jadi aku berjalan ke arahnya dan menepuk pundaknya. Mencoba untuk menenangkannya. Namun, dia malah bereaksi kasar. Dia mendorongku hingga aku terjatuh.“Jangan berani memegangku, jalang!” Geramnya. Kepahitan dan amarah terdengar dari suaranya. Aku berdiri, tangisan memenuhi pelupuk mataku. “Rowan, aku tidak pernah merencanakan ini agar terjadi.”Aku tahu dia sudah membenciku.“Pergilah. Aku tidak mau melihat wajahmu lagi,” katanya lalu terduduk di ranjang. Tangisan memenuhi wajahnya. Aku berharap ini hanya mimpi buruk, tetapi tidak. Aku sudah mengacaukan segalanya. ************ Dua hari kemudian. “Di mana jalang sialan itu?!” Kudengar teriakan Emma dari bawah. Jantungku berdegup, seakan mau meledak. Aku sudah tahu Rowan pasti memberitahu Emma segalanya. Sekarang dia pasti ingin membunuh seseorang. Sebelum aku bisa bersembunyi layaknya seorang pengecut, pintu kamarku dibuka secara kasar
Dua bulan kemudian. Aku menatap tes kehamilan dengan ketakutan. Aku melihat saat garisnya perlahan menjadi dua, menandakan aku benar hamil. Aku ingin hasilnya salah, aku mengambil yang lain dan sama saja. Aku hamil anak Rowan. Hidupku beberapa bulan terakhir ini seperti di neraka. Aku ditolak bukan hanya oleh keluargaku, tetatpi juga di sekolah. Semua orang tahu apa terjadi antara aku dan Rowan, tetapi tidak ada yang memercayaiku bahwa aku mabuk. Semua kesalahan dibebankan di pundakku sebab aku adalah jalang yang menggoda pacar kakakku ketika dia mabuk. Di sekolah aku dirundung dan diasingkan di kota. Ayah dan ibuku jarang berbicara padaku akhir-akhir ini. Emma benar-benar mengabaikanku, berkata bahwa aku sudah mati baginya. Untuk Travis, aku tidak lagi hidup di dunia ini. Aku belum melihat maupun berbicara pada Rowan sejak malam itu. Hatiku hancur lagi dan lagi sejak beberapa minggu ini. Tidak ada obat bagi rasa sakit dan penolakan yang bertubi-tubu. Jika kupikir hidup sudah bu
Tidak ada cara lagi selain lewat jendela. Aku mengambil kursi dan memukul jendela dan teralis hingga pecah. Aku mendorongnya hingga lepas. Aku mengeluarkan koperku hingga terjatuh. Seperti yang kubilang, kamarku terletak paling jauh, jadi kegaduhan ini tidak akan terdengar oleh siapa pun. Aku perlahan memanjat turut, berhati-hati oleh pecahan kaca. Aku menghela nafas lega ketika aku turun. Senang akhirnya aku bisa turun, aku mengambil dan menyeret koperku. Mataku terpaku pada ponselku saat memesan taksi. Kesenanganku sirna ketika aku menabrak seseorang. Aku menengadah dan merasa hatiku mencelos ketika mendapati mataku bertemu dengan mata Rowan. “Apakah kamu benar-benar akan kabur dengan bayiku?” Tanyanya, nada suaranya keras. Aku mengepalkan tanganku, melepas koperku. “Sudah kubilang pada Ibu itu bukan bayimu,” bohongku sambil mundur. Tidak mungkin aku akan membesarkan bayiku di tengah lingkungan yang toksik. Di mana semuanya membenci ibunya. “Beraninya kamu berbohong padaku,” g
Masa sekarang. “Jadi begitulah. Mereka memiliki alasan untuk membenciku. Aku adalah penghancur hubungan,” kataku sambil merasakan air mata menggenang di mataku. Mengingat hal ini membuatku merasa sakit. Aku dulu sangat bodoh dan naif. Aku berpikir bahwa aku bisa membuatnya mencintaiku setelah kuhancurkan hidupnya. Sembilan tahun berlalu dan aku masih membayar harga untuk mencintai Rowan Wijaya. “Bukankah itu bukan salahmu?” Tanya Ethan, jemarinya mengelusku. “Benar. Aku membiarkan rasa obsesiku untukny menang dan karena itu, aku membuat kesalahan terbesar dalam hidupku.” Tangisanku jatuh. Jika saja aku bisa memutar waktu kembali. Jika saja aku bisa merubahnya. Aku hidup dalam penyesalan. Kuharap aku mendengarkan suara hatiku. Kuharap aku memerhatikan suara itu, bukannya mengabaikannya. Pastilah itu akan menyelamatkanku dari rasa sakit dan sakit hati. Astaga. Aku berharap aku menyadari aku hamil lebih awal. Aku akan kabur lebih awal. Aku akan kabur dan tidak pernah bilang Rowan ba
Sepanjang makan malam kami habiskan dalam diam. Dia memang harus minta maaf padaku, tapi aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Kalau aku harus jujur, aku tidak pernah mengira kalau Gabriel akan minta maaf padaku. Jadi, saat melihatnya melakukannya dengan tulus, aku dibuat tidak bisa berkata-kata. Kami selesai makan malam dan menelepon layanan kamar untuk kemari membereskan piring-piring kami. “Aku mau tidur. Apakah kamu perlu sesuatu sebelum aku tidur?” tanyaku begitu piring-piring sudah dibereskan dan karyawan hotel sudah meninggalkan kamar kami. Jauh di lubuk hatiku, aku merasa panik saat berpikir akan berbagi kamar dengan Gabriel, tapi mabuk udaraku menenggelamkan kecemasanku. “Aku juga mau tidur. Aku benar-benar lelah.”Aku menahan gelombang kepanikanku. Kupikir, aku akan tidur sebelum dirinya seperti biasanya. Hal itu akan memberiku waktu untuk rileks dan beristirahat sebelum dia bergabung dengan diriku. Aku sudah berpikir akan sudah tertidur saat dia memutuskan untuk ke ra
“Kamar mandi sudah kosong,” ujarku pada Gabriel ketika aku melangkah ke ruang tengah. “Aku sudah memesan makanan, silahkan makan tanpa menungguku.” Dia lalu berjalan melewatiku dan memasuki kamar mandi. Rasanya aneh kalau makan tanpa dirinya, dan aku juga tidak lapar. Jadi, aku mengambil ponselku dan memeriksa surel yang masuk, dan memikirkan apa saja yang dibutuhkan untuk besok. Aku tidak perlu menunggu lama, sebab kurang dari sepuluh menit kemudian, Gabriel sudah keluar dari kamar dengan kaus rumah dan celana panjang. “Kamu belum makan?” tanyanya sambil mengangkat alisnya saat menatap ke makanan.“Rasanya aneh kalau makan tanpa dirimu, padahal kamu yang memesan ini semua buat kita.”Dia menyeret kursinya dan mulai membuka makanan itu. Setelah mengambil beberapa porsi kecil, aku mulai makan. Aku sangat lelah meskipun sudah tidur di pesawat. Aku tidak bisa berhenti membayangkan kasur. Aku memang menolak untuk tidur bersama Gabriel, tapi sekarang aku tidak bisa berhenti memikirkanny
Beberapa menit kemudian, kami sudah berada di luar kamar kami, dan tiba-tiba perasaan asing menyergapku. Gabriel membuka pintu dan mendorongnya terbuka. Kami disambut oleh foyer yang dihiasi oleh lantai marmer yang berkilauan di bawah cahaya lembut lampu gantung yang mewah dan mencetak pola menawan di tembok. Lalu, ada area tengah yang luas, dihiasi oleh sofa empuk dan jendela besar yang memanjang dari lantai hingga langit-langit, yang menangkap bayangan kota yang memukau, mereka berkilauan layaknya lautan bintang-bintang. Terdapat juga sistem hiburan yang dapat membuat malam kami semakin nyaman, lalu ada juga dapur cantik dengan peralatan masak dari stainless steel dan meja dapur luas yang sempurna untuk memasak berbagai makanan. Ruang makan yang mewah juga memiliki suasana hangat, diperuntukkan untuk pertemuan antar kerabat. “Sepertinya kamu menyukainya?” tanya Gabriel dengan nada menggoda. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Seperti yang kukatakan, keluargaku juga sempat kaya, ka
Pesawat jet ini sedikit mengalami lonjakan di landasan. Tangan Gabriel menyelamatkanku dari jatuh terjerembab saat pesawat sudah mendarat. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil memandangku. “Ya.”Setelah Gabriel memberi tahuku soal wanita yang pernah dicintainya, tidak banyak yang terjadi setelah itu. Dia masih membawa luka yang masih menghantuinya. Luka yang masih membekas dalam dirinya.Aku bisa melihatnya dari sorot matanya setelah dia memberi tahuku segalanya. Dia tidak mau membicarakannya lagi. Dia sudah menceritakan hal soal dirinya yang tidak diketahui oleh orang lain, bahkan oleh saudara kembarnya. Aku tidak mendorongnya untuk melanjutkan ceritanya setelah itu. Aku tidak mendorongnya untuk memberi tahuku apa yang terjadi setelah dia mengetahui kebenarannya, atau apa yang terjadi pada wanita itu. Perasaannya saat ini rentan, dan aku paham bahwa dia butuh waktu untuk menenangkan dirinya, jadi aku memberikan ruang baginya. Aku menghabiskan setengah waktuku dengan memba
Bukankah cinta itu rasanya indah sekali? Tapi aku merasakan sesuatu telah terjadi. Sesuatu telah berubah. Kalau segalanya baik-baik saja, dia pasti akan bersama dirinya sekarang. Dia tidak akan pernah menikahiku. Suaranya serak saat dia melanjutkan perkataannya. “Segalanya berjalan dengan sempurna. Dia sangatlah luar biasa dan setiap harinya aku terus jatuh cinta lebih lagi padanya. Aku belum memperkenalkannya pada Rowan, sebab aku menginginkannya bagi diriku sendiri. Aku tidak menyembunyikannya, tapi aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya sebelum dia bertemu dengan keluargaku. Setiap hari aku bangun sambil berpikir, betapa beruntungnya diriku bisa menemukan seseorang sepertinya. Kamu tahu dunia kita, Hana, dan kamu tahu menemukan orang yang cocok tidaklah mudah.”Seperti itulah bagaimana cara kerja lingkungan kami. Sulit untuk menemukan seseorang yang benar-benar mencintaimu. Beberapa pernikahan di lingkungan kami hanyalah kesepakatan bisnis semata dan hanya sedikit pern
“Hana?” panggilnya. “Oh, maaf. Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri tadi.” Aku lalu menggelengkan kepalaku untuk menepis pemikiranku. “Ya, aku sudah selesai berkemas.”“Baguslah, ayo pergi.”Sejam kemudian, kami sudah duduk di jet pribadi Gabriel. Tapi kali ini, aku menemaninya untuk menandatangani sebuah kesepakatan bisnis. “Apakah segalanya baik-baik saja? Apakah kau membutuhkan sesuatu? Aku bisa memanggil pelayan untuk membawakanmu apa pun yang kamu inginkan,” ujar Gabriel begitu jetnya lepas landas. Lihat apa yang kumaksud? Dia sangat perhatian. Di pernikahan pertama kami, dia tidak seperti ini. Aku tidak mengingat apa yang dilakukan Gabriel pernah menorehkan senyuman padaku. Bahkan, yang terjadi sebaliknya. Dia tidak pernah memikirkan apa yang kubutuhkan atau kuinginkan. Dia tidak pernah peduli apakah aku nyaman atau tidak. Dia tidak pernah peduli apakah aku hidup atau tidak. Dia hanya benar-benar tidak memedulikanku. Tapi sekarang sudah berbeda, itulah mengapa aku merasa ru
“Apakah Ibu benar-benar harus pergi?” tanya Lilly dengan pandangan yang berganti-ganti ke arahku dan koper yang terbuka di kamarku. Aku benci persiapan di menit-menit terakhir, tapi kami benar-benar sibuk di kantor selama beberapa hari terakhir ini, jadi setiap kali aku sampai di rumah, yang bisa kupikirkan hanyalah tidur. Kakiku sangat pegal dan aku tidak memiliki tenaga untuk melakukan hal selain makan dan tidur. “Ya,” balasku dengan lembut. “Ada sebuah kesepakatan penting dan ayahmu harus di sana untuk menandatanganinya ...”“Aku tidak paham mengapa aku tidak boleh ikut dengan Ibu? Aku mau melihat bagaimana cara Ayah melakukannya, cara dia menyetujui sebuah kesepakatan.”Aku tengah melipat sepotong pakaian terakhir, sebuah blus satin berwarna biru sebelum memasukkannya bersamaan dengan baju yang lainnya. Setelah selesai, aku menutup koperku sebelum menaruhnya di lantai.“Kamu pasti paham kalau kamu tidak boleh ikut,” jawabku sambil duduk di kasur. “Kenapa tidak?”“Karena kamu mas
Pernahkah kalian dibuat kehilangan kata-kata oleh perkataan seseorang? Seolah mereka membuatmu tidak bisa mengucap sepatah kata pun dan merasa bodoh di waktu yang sama? Itulah apa yang diperbuat oleh perkataannya padaku. Aku benar-benar membeku mendengar perkataannya sampai aku merasa merinding. Aku melihat sorot mata dan mendengar nada suaranya. Dia benar-benar serius dan baru saja melontarkan sebuah janji. Sebuah janji yang mau dipenuhinya. Apa yang kalian katakan pada situasi seperti ini? Bagaimana kalian menjawabnya? Apa jawaban kalian?Sisi dirinya ini benar-benar asing bagiku. Beri aku Gabriel yang arogan, egois, kasar dan yang suka menyakitiku, maka aku akan tahu bagaimana cara menanganinya. Tapi, sisi dirinya yang ini? Aku sama sekali buta akan sisi yang ini. Aku tidak tahu apa-apa soal bagaimana cara untuk berurusan atau menanganinya. Aku menyetujui pernikahan ini dengan tujuan yang jelas. Aku tahu apa yang sedang kuperbuat. Aku sudah bersiap untuknya, tapi sekarang, dia su
Dia berjalan ke arah bar kecil di pojok kantornya dan mengambil satu pak es serta menyelimutinya dengan handuk sebelum kembali ke arahku. Dengan lembut, dia meraih tanganku dan menempatkan es itu di atasnya. “Apakah sakit?” tanyanya dengan begitu lembut, sampai aku hampir tidak mendengarnya.“Sedikit.”“Aku tidak mengira kalau kamu akan berani untuk meninju seseorang.”Aku tertawa, sebab aku juga tidak mengira aku akan seberani itu. “Aku sudah tidak tahan lagi dan langsung beraksi tanpa berpikir lagi. Maafkan aku, sebab aku membuatmu dalam masalah. Seharusnya aku tidak meninju dia. Perilaku itu tidak menunjukkan citra diri dari seorang istri bos dengan baik.”Dia mendekatkan dirinya dan menatap intens ke mataku. “Jangan pernah minta maaf untuk membela dan mempertahanku dirimu sendiri, Hana. Kamu itu istriku, biarkan mereka tahu bahwa kamu bukanlah orang yang bisa sembarangan diinjak-injak.”“Aku tidak paham. Apakah kamu tidur dengannya?” Aku menyemburkan pertanyaan itu secara tiba-ti