Rowan. Kakiku menapaki tanah berpaving saat berlari. Aku biasanya lari di pagi hari, tapi hari ini aku memutuskan yang sebaliknya. Sudah sekitar jam tujuh malam, dan aku perlu untuk lari saat ini.Aku mengencangkan tempo lariku, merasakan otot-ototku terbakar. Aku ingin lari dari rasa bersalahku. Ingin lari dari sakit hatiku. Aku ingin lari dari kebodohanku sendiri.Rasa bersalah akan seberapa banyak aku telah menyakiti Ava menelanku hidup-hidup. Menghancurkanku dari dalam. Aku belum bisa menemuinya sejak aku menyadari perasaanku padanya.Aku menatap diriku di depan kaca, dan semua yang kulihat hanyalah manusia biasa. Aku merasa jijik akan kelakuanku sendiri. Jijik akan apa yang telah kulakukan padanya.Kupikir aku adalah pria baik-baik. Pria yang akan mencintai secara brutal. Aku selalu bangga akan diriku karena mempertahankan cintaku pada Emma. Kupikir itu berarti perasaanku padanya benar adanya. Apa yang tidak kusadari ialah saat melakukan itu, aku malah menyakiti wanita yang seben
Aku sampai di rumahku tiga puluh menit kemudian. Udara yang dingin tidak bisa mendinginkan seisi benakku yang memanas. Aku ingin merangsek masuk ke rumah Ava dan mengklaimnya. Aku ingin memerintahkannya bahwa dia tidak bisa keluar bersama si Calvin ini. Aku ingin menyatakan cintaku padanya.“Pak Wijaya, ada yang mau bertemu dengan Anda,” ujar kepala pelayanku begitu aku menginjakkan kaki di rumah.“Siapa itu?” Tanyaku.Sebelum dia bisa menjawab, suaranya menggangguku. Aku mengumpat saat aku berbalik badan untuk menghadapnya. Sial! Aku tidak ada waktu atau kesabaran untuk menghadapinya.“Ada yang bisa kubantu, Emma?” tanyaku saat kurasakan Raynaldi, kepala pelayanku pergi. Aku mengamati wajahnya. Dia memang cantik, tapi aura kecantikannya sudah memudar di mataku. Aku sudah mencoba mencari-cari sisa perasaan yang dulu aku miliki padanya, tapi tidak ada yang tersisa. Ruang yang semula menyimpan perasaan itu sudah benar-benar kosong. “Apa kabarmu, Ro?” Dia bertanya alih-alih menjawab per
Ava.“Ibu, apakah Ibu sudah hampir selesai?” teriak Noah dari arah pintu kamarku. “Sudah hampir waktunya. Kita akan terlambat.”“Tunggu sebentar!” aku berteriak balik sambil dengan cepat memakai baju untuk hari ini.Belakangan ini, aku lebih nyaman mengenakan terusan, jadi itulah yang kupakai. Aku mengenakan terusan musim panas yang lucu dengan tali tipis dan panjangnya di atas lututku. Aku memasangkannya dengan sandal. Karena kami akan menghabiskan waktu kebanyakan dengan berjalan, kupikir akan lebih nyaman dengan menggunakan sandal.Rambutku digelung ke belakang dengan anak-anak rambut yang membingkai wajahku. Aku tidak mengenakan banyak riasan di wajah. Itu kebanyakan karena aku merasa malas untuk melakukannya. Aku sebenarnya malas untuk pergi hari ini. Aku mudah lelah belakangan ini dan aku tidak mau mengacaukan hari ini dengan kelelahan begitu cepat. Senyum di wajah Noah dan Guntur-lah yang membuatku mengubah pikiranku. Mereka berdua begitu antusias untuk hari ini. Guntur membut
Aku secara perlahan menatap ke arah sumber suara dan melihat Rowan duduk di sebelahku. Seakan aku yang berharap dia muncul. Bukan itu saja. Untuk kali pertama sejak aku mengenalnya, Rowan tidak mengenakan setelan jas. Dia sedang memakai kaus dengan leher V dan celana denim biru.“Untuk apa kamu ada di sini?” Aku bertanya sebab merasa tidak percaya bahwa dia ada di sini.“Noah berkata kamu akan ada di sini, jadilah aku ke sini juga,” katanya sambil mengedikkan bahunya dengan santai, seakan yang dikatakannya terdengar masuk akal.Merasa tidak tahan lagi dengan kehadirannya, aku berdiri dan berjalan menjauh tanpa berkata sepatah kata lagi. Aku mendengarnya memanggil namaku, tapi aku mengacuhkannya.Aku pergi ke toilet dan mencoba menenangkan diriku. Kenapa sekarang? Kenapa dia tidak bersikap seperti ini bertahun-tahun lalu? Kenapa saat aku memutuskan untuk melupakan segalanya, dia tiba-tiba berubah? Dia tidak bisa bersikap seenaknya seperti itu.Aku menyipratkan air ke wajahku, mengeraska
Dia sedikit lebih tinggi dari Calvin, tapi itu tidak membuat Calvin mundur.“Aku sudah cukup muak karenamu. Cukup sudah kamu mengontrol hidupku. Kenapa kamu tidak segera mati saja, supaya kita semua tidak kerepotan,” ujar Calvin pada Rowan.Aku membeku berdiri, tidak percaya akan apa yang dikatakannya. Kebencian terpampang di matanya. Sesuatu yang tidak pernah kubayangkan adalah aku akan berhubungan dengan Calvin. Kemarahan dan kepahitan jelas, tapi kebencian? Tidak pernah.“Kamu mengharapkan itu? Bahkan setelah bertahun-tahun kamu mencoba membuktikan bahwa kamu berhasil, padahal tidak. Kebenarannya tetaplah kamu tidak akan pernah menjadi diriku. Emma tidak mencintaimu dulu dan Ava tidak akan mencintaimu sekarang karena hatinya milikku.”Perkataan itu sepertinya mendorong Calvin untuk mengayunkan tinjunya ke rahang Rowan. Tidak butuh waktu lama bagi Rowan untuk pulih sebelum dia berkelit. Segera saja pertengkaran mereka dimulai.Aku berdiri di sana melihat ke mereka, berharap aku mengh
Kepalaku seperti akan mau meledak dan seisi kepalaku berserakan di ruang tamuku. Aku sama sekali tidak ada waktu untuk tenang.Benakku ramai sekali akan pemikiran. Tidak pernah berhenti. Tidak pernah hilang. Lama-lama aku bisa benar-benar gila.“Baik, sekarang aku mau kamu fokus ke kunci dan serangga yang kita pelajari,” ujarku pada Imelda, salah satu murid lesku. “Kalau mau jago dalam kunci dikotomi, kamu harus fokus ke dua hal itu.”Aku berharap ini bisa mendistraksiku dari pikiranku, tapi aku benar-benar salah. Pikiranku melayang ke mana-mana setiap waktu.Maria menganggukkan kepalanya, memberiku pertanda bahwa dia mengerti.“Kategori pertama, ada sayap besar dan memiliki sayap kecil dan tidak bersayap. Menurutmu kira-kira yang mana jawabannya?”Dia mengamati serangga di buku sebelum menatapku. Awalnya, dia terlihat tidak yakin, tapi akhirnya dia membuka mulut dan berbicara.“Hanya ada satu serangga bersayap besar di daftar ini, jadi kupu-kupu yang cocok di kategori itu.”Aku tersen
“Aku tidak berpikir begitu.”Dia selalu menutup mulutnya rapat-rapat soal Ibu dari anaknya. Aku tidak tahu apa-apa. Apakah mereka menikah, lalu bercerai? Apakah mereka menjalin hubungan di luar nikah? Berapa lama mereka mengenal satu sama lain?Aku tidak yakin dia akan memberi tahu informasi yang perlu kuketahui. Lagipula, aku tidak ingin dia merasa menderita. Sebab setiap kali aku menyebutnya, dia langsung sebal atau marah.“Tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku juga kebanyakan memilih untuk memikirkan masalahku sendiri,” dia terdiam sejenak. “Tapi, bukan berarti aku tidak bisa membantumu ini,” dia menunjuk ke taman kecil.“Terima kasih,” aku tersenyum ketika dia berlutut.Aku memberinya sepasang sarung tangan, dan dia mengikuti arahanku.“Anak-anak sedang apa?” tanyaku.“Main game. Aku terkejut akan seberapa dekat mereka akhirnya. Mereka benar-benar tidak terpisahkan. Aku tidak pernah membayangkan kejadian ini di benakku, apalagi melihat seberapa benci aku dengan ayahnya Noah.”Aku menger
Rowan.“Apakah Noah mampir?” tanya ibuku padaku.“Tidak hari ini, Ibu. Aku lupa memberi tahu Ava, dan aku tidak ingin membebaninya,” ujarku saat aku berjalan ke rumah Kate.Hari ini pertemuan bulanan kami. Seperti yang kali terakhir, aku tidak mau berada di sini. Satu-satunya alasan aku ada di sini karena aku sudah berjanji pada Ibu kalau aku akan datang.“Ibu merindukannya, Kate juga. Dia benar-benar mau bertemu dengannya.” Dia berhenti sejenak. “Sekarang karena dia dan Ava hubungannya tidak baik, dia hanya bisa bertemu Noah di pertemuan bulanan ini.”Aku mau merasa kasihan padanya, tapi tidak bisa. Memang aku terdengar seperti bajingan, betul, tapi aku percaya bahwa kami mendapatkan apa yang pantas bagi kami. Ini hukuman kami akan perlakuan kami pada Ava.“Mungkin lain kali,” kataku sambil melewatinya.Ibu dan Kate bersahabat selama bertahun-tahun. Dia akan melakukan apapun bagi sahabatnya. Hal terakhir yang kumau atau kubutuhkan adalah berdiri di sana selama hampir tiga puluh menit
Aku menggelengkan kepalaku dan menepis pemikiran itu. “Ibu tidak tahu. Ayah bilang ini kejutan.”“Aku suka kejutan!” serunya. “Astaga,” gumamku. “Ayo pergi.”Lilly secara hati-hati menaruh bukunya sebelum melompat turun dari ranjangnya. Dia meraih tanganku dan menarikku keluar dari kamarnya. Kami melihat Gabriel menunggu kami di pintu sambil menyilangkan kakinya, dan melipat tangannya di dada bidangnya. Dia mengenakan kaus berleher V hitam yang terlihat ketat di pundaknya. Paha berototnya dibalut oleh celana jins Calvin Klein. Pose tubuhnya seperti ini membuatnya lebih menarik. “Suka apa yang kamu lihat?” goda Gabriel dengan senyuman miring. Perkataannya menarikku dari pemikiranku. “Hmm,” gumamku.Lilly mendecakkan lidahnya, untuk mengingatkanku bahwa dia ada di sini. “Aku tahu Ayah itu tampan, tapi kalian berdua ini menjijikkan.”“Tunggu saja sampai kamu bertumbuh dewasa dan bertemu dengan pria yang membuat jantungmu berdegup,” godaku sambil mencubit pipinya dengan lembut. “Setiap
Hana“Aku ingin kamu dan Lilly menemaniku ke suatu tempat,” ujar Gabriel.Aku di kamar kami dan melipat baju bersih. Memang, kami memiliki asisten rumah tangga, tapi aku tidak terbiasa untuk dibantu dalam pekerjaan rumah. Rasanya aneh bahwa aku terbiasa melakukan segalanya sendirian, dan sekarang ada orang lain yang melakukan hal itu untukku. Aku suka sibuk. Aku tidak bisa menghabiskan akhir pekan dengan tidak melakukan apa-apa. “Orangtuamu akan kemari untuk makan malam, Gabriel. Apakah kamu sudah melupakannya?” tanyaku. Aku membawa sebagian dari baju yang sudah terlipat itu dan berjalan menuju lemari kami yang luas, di mana aku menaruhnya sesuai tempatnya. Gabriel itu sepertiku, sangat rapi. Sedangkan Eddy tidak, dan hal itu sering membuatku kesal sampai aku marah. Kami menikah, jadi kami harus menemukan cara untuk betah tinggal bersama dengan kekurangan masing-masing. Memang tidak mudah, tapi kami selalu menemukan jalannya. Aku keluar dari tempat lemari dan melihatnya terduduk di
HanaSudah hampir dua minggu sejak Gabriel membuat janji padaku yang meluluh lantakkan seluruh pertahananku, aku hampir memberinya kesempatan kedua. Aku bersumpah, aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan sebahagia ini. Hidupku bersama Eddy memanglah indah, tapi saat bersama dengan Gabriel, hidupku jauh lebih indah lagi. Mungkin karena Gabriel-lah pria yang kucintai. Dialah pria yang memiliki tempat di hatiku selama hampir satu dekade. Bohong kalau kukatakan aku tidak takut. Masih ada sebagian kecil diriku yang berpikir segalanya akan berbalik. Lagipula, ini bukan kali pertama dalam hidupku, di mana orang yang kukasihi diambil dariku. Ada juga ketakutan bahwa segalanya berjalan dengan begitu mudah, ah kalian tahu lah. Seperti, bukankah seharusnya segalanya sedikit lebih sulit? Sedikit lebih susah. Sedikit lebih menantang ... atau hanya ini sisi diriku yang tidak mau maju?Mungkin aku terbiasa untuk tidak mendapat apa yang kuinginkan, yang mana membuatku bertanya-tanya ketika akhirn
Dia sekali lagi memandang mobilnya sebelum melangkah masuk. Kemudian dia berhenti sejenak, matanya bergerak mengamati ruangan itu.Mungkin sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali dia menginjakkan kaki di rumah ini. Terakhir kali, kalau tidak salah, adalah setelah dia ditembak saat pemakaman Ayah.Pandangannya terlihat muram. Aku bisa melihat bayangan kekelaman memenuhi pandangannya. Beban kenangan buruk yang dia bawa tentang rumah ini dan orang-orang di dalamnya. Apakah Guntur akan terbayang oleh hal yang sama karena aku? Karena apa yang telah aku lakukan?Aku tidak mau itu terjadi.Aku memang tidak banyak berada di sini setelah dia dan Rowan menikah, tetapi aku ada saat kami masih kecil. Aku tidak secara langsung mau mengakuinya sebagai saudaraku, seperti yang lainnya, aku mengabaikannya. Kami seharusnya menjadi saudara, tapi aku memperlakukannya seolah dia tidak pantas berada di sini. Orang lain juga melakukan hal yang sama. Saat melihatnya sekarang, aku bisa memahami apa yang Mia
Perkataan Mia terus terngiang di kepalaku bahkan saat aku memasuki mobilku. Kebenaran itu brutal. Tidak mudah untuk menelan pil pahit, tetapi aku harus menelannya.Alih-alih keluar dari tempat parkir dengan terburu-buru seperti biasanya, aku hanya duduk di dalam mobil dan membiarkan air mata mengalir. Aku tidak bisa menghentikannya, meskipun aku mau. Ruangan itu dipenuhi suara tangisanku. Isakanku terasa menyiksa dari dalam, seolah-olah seluruh bebanku menghantamku sekaligus.Kepalaku terjatuh ke kemudi karena aku sudah tidak bisa lagi menahannya. Rasa maluku sudah tertanam di diriku. Rasa malu itu terukir jauh di dalam diriku seperti sebuah tato yang terkutuk.Kenapa aku membiarkan semuanya sampai sejauh ini? Kenapa aku menyakitinya seperti itu? Kenapa aku membiarkan keegoisanku merusak ikatan yang bisa aku miliki dengan Guntur?Kenapa. Kenapa. Kenapa?Kalau saja kutahu bahwa suatu hari nanti aku akan sangat ingin memeluk Guntur. Ingin menjadi bagian dari hidupnya. Ingin mendengar dia
Ava memberikannya sebuah kasih Ibu, yang mana tidak kuberikan padanya. Kasih itulah yang sudah didambakannya dariku untuk diberi padanya. Aku menyadarinya sekarang. Ketika dia bertemu dengan Ava. Saat dia membangun hubungan dengannya, bahkan setelah kebenarannya diketahui, itulah saat dia menyerah padaku. Saat itulah Guntur berhenti untuk memedulikan akan hubungan di antara kami. “Aku mendengarmu, Emma.” Mia lalu memberiku tisu. “Aku mendengarmu, tapi aku harus bertanya. Di mana tekadmu ini dulu? Mengapa dulu kamu menolak untuk berhubungan dengan Guntur?”Aku juga sudah menanyakan hal itu berulang kali ke diriku sendiri. Selama delapan tahun, aku menepis eksistensinya. Selama delapan tahun, aku memperlakukannya seolah dia tidak ada. Selama delapan tahun, aku tidak mengasihinya. “Aku paham bahwa mungkin ini kedengarannya seperti sebuah alasan bodoh kalau dipikir sekarang, tapi saat itu aku tidak mau berurusan dengan apa pun dan siapa pun yang mengingatkanku akan kehidupanku saat Rowa
EmmaAku kembali dengan sesi terapi bersama Mia. Aku masih tidak percaya bahwa aku benar-benar menuju kantor Calvin dan meminta maaf. Sejujurnya, kalau ini menyangkut Calvin, aku tidak pernah melakukan hal seberani itu sebelumnya. “Ya?”“Tadi kamu berkata bahwa kamu meminta maaf pada Calvin,” ujarnya sambil mendorong kacamata ke hidungnya. Humidifier di ruangannya membuat suara lembut sambil membuat aroma menenangkan dari lavender di udara. Aku merasa tenang. Aku merasa seolah sedang melayang. Mungkin sudah saatnya bagiku untuk membeli aroma terapi, sebab sejauh ini, aku suka akan dampaknya padaku. “Ya, benar,” jawabku sambil kembali dari angan-anganku. “Dokter membuatku menyadari seberapa salahnya aku dalam memperlakukan Calvin dan meskipun aku sudah menyadari kesalahanku, aku belum pernah meminta maaf padanya.”“Lalu, apa perasaanmu setelah meminta maaf padanya?”“Bebanku terasa sedikit lebih ringan.”Aku menyisirkan jemari di rambutku sebelum menempatkannya ke pangkuanku. Aku men
“Hai, Calvin.” Suara riangnya menarikku dari pemikiranku.Aku tersenyum dan berdiri. Aku memeluk lalu mencium pipinya yang merona. Aku bertemu dengan Anjani saat aku berada di gedung serbaguna dan acara perusahaan konstruksi. Dia adalah seorang arsitek. Kami langsung cocok, yang mana tidak pernah kukira akan begitu sebelumnya. Dirinya yang cerdas dan menawan menarikku begitu dia duduk di sebelahku.Dia sungguh berani saat menanyakan nomorku setelah acara itu selesai. Aku masih mencoba untuk sembuh dari aksiku yang memutus hubungan dengan Emma dari hidupku, tapi entah mengapa aku berakhir dengan mengetikkan nomorku di ponselnya. “Kuharap kamu tidak menungguku terlalu lama,” ujarnya dengan suara lembut saat aku menarik kursi untuknya.Aku tersenyum sebelum duduk di kursiku sendiri. “Sama sekali tidak.”“Pertama-tama, bagaimana kabarnya Guntur?” tanyanya sambil mendekat. Matanya memancarkan kasih sayang. “Aku sangat merindukannya!”Kami berawal menjadi teman. Saling mengirim pesan singk
CalvinKetika aku bangun di pagi hari ini, aku tidak berpikir akan melihat Emma di kantorku untuk meminta maaf. Sebenarnya, setelah membanting pintu di depan mata kepalanya saat terakhir kali aku bertemu dengannya, aku tidak berpikir akan menjumpainya lagi. Kupikir itu adalah akhir dari segalanya. Kupikir itulah hari terakhir aku melihatnya. Aku mengenal Emma, dan aku tahu dia tidak akan menerima penolakan. Aku berpikir dia akan menyerah dan tidak akan pernah menunjukkan batang hidungnya di depanku atau anakku lagi. Alih-alih, dia mengejutkanku. Sudah berapa hari berlalu sejak itu? Beberapa minggu telah berlalu dan dia kembali. Kali ini, dia kembali dengan permintaan maaf, bukan dengan permohonan akan kesempatan untuk menemui Guntur. Aku tidak pernah melihat Emma meminta maaf. Dia hanya akan mengambil yang diinginkannya dan tidak akan merasa bersalah. “Bos, haruskah saya menambahkan Anna sebagai klien potensial kita?” tanya si sekretarisku, Becca, saat berjalan ke kantorku. “Beliau