"Kamera siap, 5...4...3...2...1..."
Tangan seorang kru memberikan aba-aba sebagai tanda kamera mulai menyala dan acara sedang di tayangkan secara live ke seluruh Indonesia.
"Demikianlah pemirsa, kabar yang dapat kami sampaikan pada hari ini, saya, Selena Audrey beserta seluruh kru dari Morning News pamit undur diri dan selamat beraktifitas."
" 3...2...1...Off..."
Dan semua kru mulai bertepuk tangan, menandakan kalau acara berita pagi hari ini telah usai.
"Mbak Selena, ini materi dari anak-anak untuk Midnight News nanti malam," kata Rahayu sambil mengantarkan berkas draft materi pada Selena. "Oh, satu lagi, tadi Pak Dimas tanya, apa Mbak Selena yakin, nanti malam bisa? Mbak Selena kan baru saja berduka."
"Jangan khawatir Ayu, saya bisa kok," jawab Selena sambil membaca draft yang baru saja diberika asistennya itu. "O ya, apa Pak Dimitri sudah ada di ruangannya?" tanyanya lagi.
"Ada Mbak. Cuma..., mungkin moodnya hari ini kurang begitu baik."
"Oh, baiklah, terima kasih," kata Selena sambil berjalan meninggalkan studio berita.
"Mbak Selena, jangan lupa nanti siang ada rapat gabungan dengan team lain!" teriak Rahayu mengingatkan.
Selena segera berbalik dan memberi kode ok dengan tangannya.
"Yu, Selena kemana?" tanya Pak Dimas menghapiri Rahayu.
"Sepertinya mau ke ruangan Pak Dimitri, Pak," jawab Rahayu.
"Eh, kamu sudah tanya, Apa Selena bisa bawain Midnight News malam ini? Jangan sampai kita lagi yang pusing gara-gara dia tiba-tiba cancel begitu aja," tanya Pak Dimas.
"Sudah, Pak. Mbak Selena yakin kalau dia bisa tugas malam ini. Jadi Pak Dimas tidak perlu khawatir. "
"Bagus. Selena, Selena, kadang kalau dipikir dia itu terbuat dari apa? Kemarin baru saja mengurus pemakaman ayahnya, Eh, hari ini dia sudah langsung genjot kerja lagi."
"Iya sih Pak, tadi pagi aja mukanya masih sembab dan pucat," jawab Rahayu.
"Yah, kita berdoa saja, semoga dia kuat sampai nanti malam," lanjut Pak Dimas. "Nggg..., atau begini saja, nanti, kalau jadwal dia sedang kosong, kamu ingatkan supaya dia istirahat dulu. Sayah hanya berharap nanti malam kondisinya bisa lebih segar."
"Setahu Ayu, jadwal Mbak Selena hari ini cukup padat. Tetapi, Ayu akan ingatkan."
***
Selena berjalan selangkah demi selangkah menuju ruangan Dimitri. Rambut panjang sebahunya sudah tersisir dengan rapi, wajah pucatnya sudah tertutup oleh pekatnya riasan make up, hanya saja, Selena tidak bisa menyembunyikan rasa pening di kepalanya akibat tangisan semalaman. Mungkin seharusnya ia menuruti kata-kata rekan kerjanya.
"Apa lebih baik jika ia istirahat dulu di rumah?" pikir Selena sambil memegangi kepalanya. "Tidak, tidak," bisiknya dalam hati. Bagi Selena lebih baik bekerja hingga lelah, daripada menangis di apartemennya sendirian. Itulah alasannya mengapa ia bersikeras untuk masuk kerja hari ini.
Hampir selama dua tahun Selena mengurus Papa seorang diri. Sejak perusahaan keluarganya dinyatakan bangkrut, seluruh pelayan yang biasanya bekerja untuk melayani, tidak lagi bekerja untuk mereka. Sebenarnya masih banyak pegawainya yang ingin bekerja untuk membantu Selena, bahkan rela digaji seadanya, tetapi Selenalah yang menolak. Selena tidak ingin ketidakpastian finansialnya turut menjadi beban bagi orang lain.
Sudah dua tahun yang lalu, Soerya Farma Medicine dinyatakan pailit. Sebagian besar modal perusahaan dikorupsi oleh salah seorang karyawan kepercayaan Papa, hingga pabrik itu terus merugi dan pada akhirnya tidak sanggup lagi memenuhi biaya produksi.
Kejadian yang begitu menyakitkan hingga Papa harus menjual seluruh asetnya, untuk melunasi seluruh kerugian materi kepada para pemilik saham terbesar Grup Soerya. Terutama pada seluruh keluarga besar Soeryaatmadja, sepupu-sepupu ayahnya.
Langkah-langkah kaki Selena terasa semakin berat, mengingat saat-saat buruk yang terjadi begitu cepat pada keluarganya. Ketika tiba-tiba pihak kepolisian menghentikan pengusutan kasus penipuan itu dan membuat Papa merasa begitu down. Apalagi ketika melihat semua rumah, tanah, kendaraan, aset, serta perabot mewahnya yang dijual satu per satu demi membayar seluruh hutang kerugian tersebut.
"Selena," sapa seseorang dari arah belakang. Suara pria yang tidak asing di telinga.
Selena segera berbalik, walaupun kepalanya mulai tidak bisa diajak kompromi. Pandangannya berkunang-kunang dan kakinya mulai kehilangan keseimbangan.
Pria tersebut menyadari kondisi kesehatan Selena yang kurang baik. Dengan sigap, ia menangkap bahu Selena dan membantunya berdiri dan menyeimbangkan badan.
"Kamu ga apa-apa?" tanya sosok tersebut.
Pengelihatan Selena yang buram kini mulai kembali pulih. Dihadapannya, tampaklah sesosok pria berbadan tegap, tinggi, kulitnya sedikit kecoklatan akibat terkena cahaya matahari terus menerus. Rambut panjangnya diikat ke belakang, serta kumis dan janggut yang tumbuh tidak beraturan pipinya. Pakaiannya begitu santai, hanya mamakai kaus dan celana pendek berwarna coklat muda, tidak serapih pegawai In One TV lainnya.
Setelah semuanya tampak jelas, Selena mulai mengenali sosok pria di hadapannya.
"Ray, kamu lagi di Jakarta?" tanya Selena sambil berusaha berdiri tegak.
Raymond mengangguk dan berkata, "Pesawat pagi, ini baru saja sampai. Anak-anak lagi beresin perlengkapan shooting. Selena, apa kamu baik-baik saja? Kamu tampak kurang sehat?"
"Sedikit pusing, mungkin karena kelelahan, setelah minum obat, dan istirahat sebentar, pasti sudah normal lagi," jawab Selena sambil memegangi kepalanya yang masih terasa berat.
"Kalau begitu, biar saya antar ke ruangan kamu," kata Raymond bersiap-siap untuk memapah bahkan menggendong badan Selena.
"Ehm, ehm...," kata suara dari belakang. Suara orang paling dikenal di In One TV, anak pemilik stasiun TV ini, suara seorang Dimitri Soedibrata.
"Selamat siang, Pak," ujar Raymond menyapa Dimitri yang berdiri tepat belakang mereka.
Dimitri memandang Raymond dengan tatapan sinis seperti biasanya, dan langsung berjalan melewatinya begitu saja.
"Selena, kamu sudah masuk kerja?" tanya Dimitri sambil memisahkan kekasihnya dari jangkauan tangan pria lain.
Selena mengangguk lemah.
"Kita bicara di ruangan saya saja, ada yang penting untuk dibicarakan," ajak Dimitri sambil menarik tangan Selena.
Selena mempercepat langkah kakinya mengikuti langkah kaki Dimitri yang panjang. Dari caranya menarik tangan Selena, sepertinya apa yang dikatakan Rahayu benar adanya, mood Dimitri tidak telalu baik hari ini. Begitu sampai di kantor pribadinya, Dimitri segera masuk dan menutup pintunya rapat-rapat.
"Selena, are you out of your mind? Sudah kubilang, kamu istirahat dulu di apartemen. Jangan sampai semua kru mengira kalau aku memaksa kamu untuk masuk kerja hari ini," kata Dimitri dengan nada yang cukup tinggi.
"Sorry, Dim. But, you know me... walaupun ada di apartemen, aku juga tetap tidak bisa beristirahat. So...I think I will be better here," jawab Selena yang masih merasa pusing.
Mendengar nada bicara Selena yang begitu lelah, Dimitri mulai menurunkan sedikit emosinya.
"Sorry, honey. I just want to make sure that you're ok. That's all," jawab Dimitri sambil merangkul Selena. "Seperti ya g kamu tahu, setelah Om Poetra ga ada, aku sudah berjanji untuk selalu jagain kamu. Dan aku hanya ingin memastikan kalau kamu akan baik-baik saja. "
"Thank you, Dim. I understand."
"O ya, Selena, tadi aku ketemu Rahayu, katanya kamu nyariin aku, ada apa?"
Selena terdiam sebentar, dia takut Dimitri tersinggung dengan apa yang ingin ditanyakannya. Akan tetapi, mau tidak mau, Selena tetap harus menanyakannya.
"Dim,"panggil Selena dengan suara berat. "Kalau boleh tahu, berapa hutang Papa sama papamu?"
Dimitri terdiam mendengar pertanyaan Selena, ia tidak menyangka kalau Selena akan membahas hal itu dalam situasi masih berduka seperti hari ini.
"Selena, please. Don't you think about it, aku yakin papa juga ga akan keberatan waktu memberikan pinjaman itu ke Om Poetra. My dad and yours are best friend. So, don't ask that question again, ever."
"I know, Om Elio memang ga keberatan memberikan pinjaman itu, hanya saja, kalau boleh aku tahu berapa jumlah pinjaman Papa?"
"Sudahlah Selena, itu tidak perlu dipikirkan. As long as you with me, everthing gonna be ok, trust me," jawab Dimitri sambil tersenyum.
"Hah? As long as ? Gimana maksudnya?" tanya Selena bingung.
"Selena," panggil Dimitri sambil menggenggam tangan kekasihnya. " Jangan ungkit masalah ini lagi. Aku sudah bicarakan masalah ini dengan Papa, dan kami setuju untuk menganggap lunas semua hutang ayahmu, so, its over," jawab Dimitri.
Mendengar jawaban Dimitri, Selena hanya dapat diam. Selena tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada kekasihnya itu. Apakah dia harus merasa tersanjung dan melupakan masalah itu, atau tetap mengikuti permintaan papa untuk membayar semua hutangnya.
"C'mon honey, jangan dipikirkan lagi, kita sudah seperti keluarga, daripada kita bicarakan masalah hutang, sebaiknya kita bahas lain saja," kata Dimitri mengalihakan membicaraan siang ini. "So, Selena, how do you think? Menurutmu di antara dua topik ini, mana yang lebih menarik untuk dibahas esok hari?" kata Dimitri sambil menyodorkan kertas dokumen pada Selena.
Seperti biasa, Raymond memulai harinya dengan secangkir susu coklat hangat. Salah satu hal yang paling dirindukannya ketika kembali ke Jakarta. Ketika berada di daerah terpencil atau bahkan di tengah hutan belantara, minuman seperti ini hanya sebatas persediaan. Jika persediaan habis, Raymond dan kru Wildlife Adventure hanya dapat menikmati minuman hangat seperti ini dalam imajinasi masing-masing. Tetapi di Jakarta, kapan saja dia mau, susu coklat hangat selalu tersedia dimana saja.Tidak terasa, sudah lima tahun Raymond menjadi pembawa acara Wildlive Adventure, dan siapa dapat menyangka kalau seorang mantan anak jalanan bisa mendapatkan pekerjaan prestisius di kantor ini. Dari seorang Raymond Bintang, seorang kru pengangkat peralatan shooting, hingga menjadi Ray Rimba host tampan dan gagah idaman para wanita.Dengan bermodal wajah proporsional nyaris sempurna dan badan tegap berotot hasil kerja kerasnya mengangkut peralatan shooting yang berat-berat, Raymond bahkan bisa mendapat peke
"Raymond mana?" tanya Dimitri dengannada tinggi ketika Sonia masuk ke dalam ruangan rapat."Tadi habis bantu pemotretan untuk B Blog, Pak. Mungkin sebentar lagi ke sini," jawab Sonia."Coba telepon!" perintah Dimitri."Baik, Pak. Saya akan coba hubungi," jawab Sonia sambil mengeluarkan telepon genggamnya.Selena sudah berada di dalam ruang rapat bersama Dimitri sejak tadi. Tidak seperti wajah Dimitri yang tampak penuh amarah, wajah Selena terlihat pucat pasi hampir menyerupai mayat hidup. Sakit kepalanya sudah hampir tidak tertahan lagi. Sesungguhnya Selena berniat untuk beristirahat di dalam kantor pribadinya siang ini, tetapi dia tidak bisa menolak ketika Dimitri sendiri yang memintanya untuk menghadiri rapat ini.Sesunggunya ia bisa saja menolak, tapi masalahnya, bukanlah seorang Selena Audrey jika ia tidak memaksakan dirinya untuk bekerja keras. Selena selalu bertanggung jawab atas semua pekerjaanya. Selena juga tidak berniat untuk mencari-cari alasan dan tampak lemah dan rapuh di
Tidak ada yang senang jika harus berbicara dengan Dimitri, bagi Sonia dan Raymond orang itu tidak pernah bisa diajak bicara baik-baik. Tetapi bagi Selena, Dimitri adalah cinta pertamanya. Sejak kecil mereka berdua cukup akrab, terutama pada pertemuan-pertemuan bisnis kedua orang tuanya.Walaupun Selena sempat berpacaran dengan banyak pria lain. Akan tetapi, semenjak kuliah di Amerika, Dimitri bukan hanya kakak kelas yang baik, tapi juga sahabat curahan hati Selena. Itulah mengapa ketika Dimitri mintanya untuk menjadi kekasihnya, tanpa berpikir panjang, Selena segera menerimanya.Selena sudah terbiasa mendampingi Dimitri, ia tahu bahwa terkadang kekasihnya bukanlah pria yang sempurna. Selena juga tahu, dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk memperbaiki watak temperamental kekasihnya itu. Selena hanya bisa membantu sebisa yang dia mampu, untuk menutupi dan memperbaiki kesalahan Dimitri dari belakang. Dan itu akan selalu dilakukannya, termasuk hari ini.Setelah rapat selesai, Selena seger
Selena segera berlari. Ia tidak ingin semua orang melihatnya dalam kondisi seperti ini. Lemah, pucat, dan berlumuran air mata. Hanya ada satu tempat di gedung ini yang hampir tidak pernah dikunjungi orang, lantai yang paling nyaman untuk berpikir, yaitu lantai atap, rooftop. Biasanya Selena hanya kemari jika ia membutuhkan udara segar, dan hanya sekedar melihat matahari sore. Tetapi matahari sore ini bukan yang paling indah dalam hidup Selena. Karena betapa terangnya cahaya orange matahari bersinar, hatinya tidak sanggup menyembunyikan perasaan sedihnya, dadanya terasa sesak dan air matanya mengalir deras.Bagaimana mungkin Selena bisa melupakan wajah perempuan itu? Perempuan yang melahirkannya dan juga meninggalkannya dengan menorehkan begitu banyak luka. Mengapa baru sekarang mama mencarinya? Selama 24 tahun hidupnya, mama tidak pernah sekalipun menemuinya. Mengapa harus sekarang?Ketika Selena berumur 3 tahun, mama membawa Selena pergi dari rumah dan ketika Papa datang menjemput, Se
Hari-hari telah berlalu, sejak Mama mencari Selena setelah sekian lama menghilang. Dan kini segalanya sudah berjalan seperti hari-hari normal bagi Selena. Wanita yang selalu mencarinya, masih datang sesekali waktu. Akan tetapi bukan Selena jika tidak pandai menghindar. Dengan bantuan Dimitri, kini pihak keamanan tidak akan pernah membiarkan wanita itu masuk ke dalam gedung, walau hanya sekedar menunggu di dalam lobby. Akan tetapi, sekeras apapun usaha pengusiran dari security, wanita itu tetap datang meski harus menunggu di luar gedung.Begitu giginya perempuan itu, hingga membuat Raymond menemani wanita paruh baya itu untuk sekedar mengobrol. Itu juga jika ia sedang berada di Jakarta. Hingga pada suatu hari keluarlah surat larangan untuk seluruh karyawan In One TV untuk berhubungan dengan wanita tersebut. Hanya berbicara, atau memberikan bantuan, akan menerima sanksi yang cukup keras."Apa susahnya sih bagi Selena untuk menemui wanita itu? Paling juga tante itu cuma mau ngomong sebent
"Jadi bos kecil putus ?" tanya Arya pada Raymond."Mana gue tahu, emang gue siapanya?" jawab Raymond mengalihkan topik pembicaraan."Kata anak-anak shift malem, mereka teriak-teriak berantem di rooftop gitu semalem. Eh, tapi kalau bener, lo yang paling seneng dong ya?" kata Arya sambil menyikut sahabatnya itu."Lah, apa urusannya sama gue?" jawab Raymond pura-pura bingung."Si bos kecil sih memang bukan urusan lu, tapi si mbaknya kan...ehm, ehm..""Ehm..ehm...apaan?""Gebetan lo...""Eh, siapa bilang?""Ya elah Mon, satu gedung In One TV juga tau, sejak si mbak itu masuk kerja di sini, lo uda naksir doi kan?""Eh, siapa bilang..?""Makanya lo mutusin Sonia, karena lo naksir dia kan? Sayang ya Mon, ternyata anak orang tajir. Kalau ga, pasti lo udah deketin dari dulu, sebelum doi jadian sama bos kecil.""Lo mabok ya? Udah ah, omongan lo makin ga nyambung. Kerja sana, gara-gara editan lo ga beres-beres, Pak Wahyu bisa marah lagi. Lo ga kasian sama kita-kita yang pasti kecepretan amarah jg
"Cepet amat? Uda balik lagi ke kantor?" tanya Pak Wahyu"Kan saya tinggal di Mess. Lagipula Mess karyawan kan deket banget dari kantor," jawab Raymond."O iya, gue lupa. Ini surat penugasan, ini kartu penanda jurnalistik, yang Arya gue titip di lo aja ya. Jangan sampe ilang, takutnya perlu. O ya, tadi Sandra sudah ngabarin, kayanya kalian nebeng pesawat TNI, mereka akan ngangkut barang dan alat-alat berat untuk bantu pencarian, sekalian juga ada beberapa reporter dari stasiun TV lain. Sekitar pukul lima sore pesawatnya akan terbang, jadi kamu coba telepon Arya, karena sebentar lagi mobil kantor bakal anterin kalian ke bandara. ""Baik, pak. O ya, reporter yang tugas bareng kita, apa sudah siap?" tanya Raymond memastikan."Oh, Selena, katanya sih dia lagi pulang ke apartemennya. Tapi sebentar lagi juga dia kesini lagi.""SELENA?" tanya Raymond kaget."Tadi Pak Dimitri yang menugaskan dia untuk pergi ke sana," jawab Pak Wahyu."Tapi, pak, seinget saya, Selena ga pernah ngeliput berita di
" Ray, Mas Arya!" sapa Selena yang sudah sampai duluan di bandara.Selena sudah rapi dengan seragam lengkap reporter In One TV. Kemeja berwana biru tua, celana panjang berwarna abu-abu muda, serta sepatu boots yang juga senada dengan celananya. Dengan koper kecil dan tas selempang kecil untuk membawa barang keperluannya. Rambut pendeknya sudah dijepit rapih ke belakang, agar tidak menutupi wajahnya yang putih dan bersih. Sedangkan Raymond dan Arya hanya memakai kaus dan celana panjang yang sudah sobek di bagian lututnya dengan ransel besar dan kumal di belakang punggung mereka."Anak news memang beda ya, bro. Kita serasa gembel kalau ada di sebelahnya," bisik Arya kepada Raymond."Hahaha," jawab Raymond menahan tawanya agar tidak terdengar Selena."Hai, Selena, sudah lama menunggu?"tanya Arya pada Selena."Lumayan, kira-kira setengah jam," jawab Selena."Maaf di jalan tadi sedikit macet," jawab Raymond."Ah, sudahlah, yang penting tidak terlambat. Ng... kalau semua sudah siap. Ayo, kit
Andrea menaruh dagunya tepat pada topangan tangannya. Sambil memandangi bulan yang bersinar indah, pikirannya melayang-layang entah kemana. Diambilnya kedua amplop yang berada di atas meja belajarnya. Sebuah amplop coklat berisi panggilan test beasiswa yang akan menjadi masa depannya, dan satu amplop lagi yang sudah berisi surat pengunduran dirinya yang akan diberikannya pada Daniel esok hari. "Mungkin memang sudah jalannya, ini yang terbaik, Andrea, yang terbaik," bisik Andrea untuk menghibur dirinya sendiri. Sesungguhnya Andrea ingin keluar saat semuanya selesai, tetapi perkataan Daniel tadi siang membuatnya sadar. Seberapa lamanya Andrea berada di sisi Daniel untuk membantunya, pada akhirnya ia memang harus meninggalkannya. Saat ini, atau nanti, tidak menjadi masalah. "Tok..., tok...,tok...," pintu kamar Andrea berbunyi. "Masuk," kata Andrea mempersilahkan bapak untuk masuk kamarnya. "Dea, Bapak bikinin teh hangat untuk kamu," kata Bapak sambil menaruh segelas teh di atas meja
Tanganku mulai merogoh ke dalam saku jas, mencari benda yang dengan susah payah kudapatkan hari ini. Aku tahu, pengumumannya sudah keluar dan kami kalah. Agak berat untuk diterima, tapi, sama seperti apa kukatakan sebelumnya... aku tidak peduli. Aku sudah berusaha dan tetap akan berusaha lebih keras lagi. Bagaimanapun juga, aku akan mencari cara agar kita berdua dapat keluar dari jeratan Madam Devil. Aku tahu, perjuanganku masih sangat panjang. Tapi saat ini, ada hal penting yang harus kulakukan. Dan aku tidak mau menundanya lebih lama. Ok, Steven! Sekarang, kamu tinggal mengatakannya. Sandra Bayu Hutama, maukah engkau menikah denganku? Mudah bukan? Tapi...tunggu! Apa cukup jika hanya denga kata-kata seperti itu saja? Apa aku harus menambahkan sedikit kata-kata yang lebih poetic agar peristiwa ini lebih berkesan? Sandra, o sayangku...? Hiiiii, kenapa itu terdengar menjijikan, kurang manly, dan... oh Shit!! Komohon, otak... jangan malas! Ayo bantu aku! Apa yang harus kukatakan padanya?
"Andrea, gue udah nungguin lo dari tadi, eh.., baru nongol sekarang," kata Pak Mamat divisi ME di rumah sakit ini. "Sorry Pak, tadi pagi bu Novi sudah ngabarin, cuma saya aja yang kelupaan," jawab Andrea sambil mengatupkan kedua tangannya sebagai tanda permintaan maaf. "Ya udah, nih, barang lo udah gue benerin. Cek dulu aja!" kata Pak Mamat sambil memberikan sebuah raket listrik alat penangkap nyamuk pada Andrea. Andrea segera mencari nyamuk kecil yang sudah sejak tadi berdenging di telinganya. Diayunkannya raket itu dan dengan seketika, suara keras dan kilatan listrik muncul dari alat tersebut. "TEK!" bunyi keras muncul ketika alat itu mengenai seekor serangga. "Tuh, udah bagus kan? Gue bilang juga apa," kata Pak Mamat begitu melihat alat itu sudah kembali berfungsi dengan baik. "Makasih Pak. Ng..., saya harus bayar berapa untuk biaya perbaikannya?" tanya Andrea. "Ah, Ga usah, raket lo sih masih bagus, cuma baterenya aja yang melendung. Pas kemaren ada tetangga yang raket nya
Baru satu jam ia resmi bekerja dengan Daniel, Andrea mulai menyesali keputusannya. Baru saja ia memberikan surat pengunduran diri pada Bu Novi, Daniel sudah menyeretnya pergi tanpa memberikannya waktu untuk mengucapkan selamat tinggal kepada rekan-rekan lainnya. Andrea masih tidak enak hati melihat kegundahan di hati bu Novi, sepertinya perempuan malang itu akan menerima banyak komplain hari ini karena pengunduran diri Andrea yang serba tiba-tiba. Untung saja, foto bersama Daniel Leo, cukup dapat menghibur hati Bu Novi di hari buruknya ini.Dan sialnya, bagi Andrea, kejadian buruk di hari ini masih akan terus berlangsung. Melihat Daniel berjalan keluar rumah sakit, beberapa fans dan wartawan sudah menunggunya di koridor luar rumah sakit."Daniel!!!" teriak mereka memanggil nama idola mereka.Melihat kerumunan banyak orang, Andrea merasa begitu tidak nyaman. Ia ingat terakhir kali ia betemu dengan fans-fans Daniel, kejadian yang berakhir dengan perundungan menyebalkan. Setelah beberapa
" dalam kepalaku, aku tidak akan pernah membuatnya menghentikan langkahku. Tidak hari ini, tidak juga nanti. "Selamat sore, hadirin yang terhormat, salam sejahtera bagi kita semua," salamku untuk memulai presentasi hari ini. "Sttt... ga salah ya? Speaker personnya Ruanna masih muda banget!" "Iya, padahal aku berharap Anna Gunadi sendiri yang akan presentasi hari ini. Aku sudah menunggu penampilannya." "Yah, padahal kukira Anna Gunadi sendiri yang akan presentasi mewakili bironya. Tahunya orang lain. Aneh, mengapa mereka mempercayakan presentasi penting seperti ini pada anak kecil itu? " "Atau mungkin mereka sudah pasrah... Tapi masa sih? Sekelas Anna Gunadi pasrah begitu saja? Tapi, aku ngerti sih, kalau mereka takut dengan Architext." Aku mendengar banyak bisikan ketika mereka melihatku berdiri di tengah panggung. Aku tidak tersinggung. Benar-benar tidak tersinggung. Hahaha... memang tidak perlu tersinggung jika mereka memanggilku dengan sebutan anak kecil atau anak baru. Toh, a
Dug... dug... Dug... dug... Dug... dug... "Waaaa... plok...plok… plok..." Dug... dug... Dug... dug... , ok? Setelah membereskan ruangan ini dan membangunkan 'kucing' malas itu," katanya sambil memandang Cat. "Ok!" kataku sambil berjalan keluar mengikuti panitia. "Hei Sandra, break a leg!" sahut Steven sebelum aku meninggalkan ruangan. Hahaha, Sialan... apa dia berharap aku naik panggung untuk menyanyi atau menari balet? Dia tidak perlu mengucapkan mantra sukses pemeran broadway sebelum mereka tampil. Tapi untuk humornya yang super random dan menghibur, kuucapkan sedikit terima kasih. Sedikit saja... ga banyak-banyak. Aku berjalan menuju ke belakang panggung. Yang ternyata hanya berjarak sekitar 10 meter dari ruangan kami bekerja. Tidak jauh, dan kuharap, Steven bisa langsung menyusulku kemari jika aku membutuhkan bantuannya. "t right now!"
"It's not her fault...!" kataku untuk menurunkan tensi di ruangan ini. "It Is NOT her fault?" tanya Steven seolah-olah tidak percaya dengan perkataanku. Kini matanya beralih padaku, ia memandangku begitu tajam. Ok, kini amarahnya juga berpaling padaku. "Sandra! Kumohon, jangan belain dia lagi. Sejak awal, kalau kamu mendengarkanku..., kalau kamu tidak memasukkan dia dalam team ini, maka semua kejadian ini tidak akan terjadi!" "Kamu benar, aku setuju," kataku sambil memandangi Cat. Berharap kemarahan Steven beralih padaku. Berharap, jika ia melupakan anak itu sebagai luapan emosinya. "Ya, kuakui ini salahku! Silahkan marah padaku! Aku akan menerima semua amarahmu. Tapi..., tidak sekarang, ok? Karena daripada kita menghabiskan waktu untuk marah, untuk berkelahi dan menyalahkan satu sama lain, bisakah kita memikirkan, rencana apa yang harus dilakukan kedepan?" "ak pada kita. Mereka tidak akan mentolerir kasus plagiarisme. Mereka sudah menyelidiki desain yang dikumpulkan Tyo. Jo sebelum
"kata seorang karyawan yang sedang merapihkan barang pajangan di etalase depan. "Iya,Kuakui, aku memang tidak berencana melamarnya hari ini. Sejak lama aku berpikir tentang hubungan kami, dan segala hal yang terjadi di antara kami berdua. Betapa dia begitu berbeda dengan perempuan-perempuan lain yang pernah mengisi hidupku. Seorang di luar akal sehat. Dia tulus, dan apa adanya, dia mengucapkan semua yang ada di hatinya. Dia tidak bisa berbohong, dan yang paling penting, dia wanita bodoh yang tidak pernah meninggalkanku. Siapa yang dapat menduga, jika dia memutuskan untuk kembali, saat kupikir dia akan pergi meninggalkanku senidirian. Dia... dia tidak gentar dengan besarnya masalahku, dia tidak mengatakan apapun tentang dendamku. Dia tidak memintaku untuk memilih antara dirinya atau ambisiku. Dia selalu berdiri di sampingku, menemaniku, bahkan saat aku membenci diriku sendiri, saat aku kesepian. Saat tidak ada satupun yang sanggup bersamaku, wanita cantik itu tidak meninggalkanku sen
""Jam tiga lebih empat puluh lima menit. Ok I get it. Oh, satu lagi... Architext, mereka dapat urutan berapa? Kurasa akan sangat menarik untuk melihat presentasi mereka lebih dahulu. Kita bisa mengambil apa yang baik, lalu bisa membuat strategi untuk melawan mereka." "an mereka?" "Sepertinya begitu," jawabku pasrah. " Hahaha... ya sudahlah..., nanti kita lihat lagi situasinya seperti apa." "Ok, Steven." "Ng... Sandra! Sayang, ini masih pagi, belum jam sepuluh juga. Aku pergi beli sarapan sebentar. Kamu mau makan apa?" "Oh...," jawabku bingung. Sebenarnya aku sedikit mengharapkan Steven untuk kembali ke sini secepatya. Aku tidak peduli betapa laparnya diriku, aku hanya ingin dia menemaniku. Tapi..., biasakah aku memintanya untuk selalu ada di sisiku? Bisakah aku bertindak begitu egois? Walaupun hanya untuk hari ini saja, karena ini hari yang penting untukku, tapi.... "Sayang...? Sandra sayang? Aku beneran lapar," lanjut Steven. "Kamu tidak keberatan jika aku pergi makan sebentar