"Itu membuktikan bahwa bumbung bambu tidak berisi air, tapi sesuatu yang lebih berat dari air. Yang benar adalah patung emas itu ada di dalamnya!" lanjut Bayu.
Benda berat itulah yang menyebabkan tali bumbung menekan kuat seperti mencekik sehingga menimbulkan bekas di kulit bahu."Beraninya kau bicara sembarangan!" Bayan angkat goloknya hendak hendak menebas kepala Bayu.Akan tetapi, orang ke empat yang dari tadi diam saja tiba-tiba bergerak menjambret bumbung bambu yang masih menggantung di bahu Bayan seraya langsung membantingnya ke lantai.Brakk!Bumbung bambu pecah dan mencelatlah sebuah benda berat berguling ke lantai. Patung kecil berwarna kuning berbentuk rupa dewa Whisnu."Bayan, beraninya kau berbohong!" bentak Barep langsung naik pitam.Pada saat itu Bayan hendak kabur, tapi orang ke empat tadi langsung menyarangkan beberapa pukulan yang menyebabkan Bayan tersungkur.Orang ke empat ini segera menotokDi salah satu teras bangunan sebelah utara tampak tiga orang tua yang beberapa hari lalu menyaksikan pertarungan Bayu di bukit kecil. Mereka adalah dua kakek-kakek dan satu nenek-nenek.Sementara di sisi selatan tampak berdiri dua orang menghadap ke arah para pendekar. Sepertinya mereka yang akan memimpin pertemuan ini.Mereka adalah tokoh yang berhubungan dengan padepokan ini. Sepasang suami istri, sepasang pendekar yang telah menorehkan nama besar mereka.Yang laki-laki bisa dibilang satu-satunya murid Padepokan Cakrabuana yang masih ada yaitu Wirapati yang juluk Si Tapak Sakti.Yang satunya adalah istrinya. Murid terbaik perguruan Teratai Emas yang juga telah hancur yaitu Parwati Si Walet Putih.Di antara pendekar lainnya ada juga Jaya Antea Pendekar Cakar Sakti.Beberapa saat kemudian Wirapati tampak maju beberapa langkah ke tengah. Dia mengangkat satu tangannya pertanda meminta perhatian kepada para hadirin."Sampur
Banyak orang sudah menyangka Ki Abiasa ikut terbunuh dalam pembantaian di Padepokan Cakrabuana delapan tahun lalu. Sekarang mereka melihat dengan jelas kalau sang sesepuh padepokan tersebut masih hidup.Kalau saja mukanya tidak ditutup kain, orang serba hitam ini menunjukkan rasa terkejutnya."Yang Maha Kuasa masih menghendaki aku tetap hidup untuk mengungkap kebenaran. Justru Pendekar Angin Petir-lah yang menyelamatkan aku saat sekarat sampai akhirnya bisa pulih seperti yang kalian lihat sekarang!"Meski separuhnya sudah terbongkar siapa pelaku pembantaian yang sebenarnya, tapi orang serba hitam sepertinya tidak gentar sama sekali. Dia begitu yakin dengan kekuatan yang dimilikinya."Saya juga bersaksi kalau Pendekar Angin Petir bukan pelakunya!" Suara ini berasal dari salah satu kakek yang berdiri di teras bangunan sebelah utara.Semuanya menoleh ke arah sana. Si kakek tersebut lalu menarik jenggot dan rambut putihnya yang ternyata palsu
Ki Abiasa berhasil mengimbangi lawan walaupun mengeluarkan tenaga yang lebih menguras.Pada saat itulah Bayu segera mengirim suara batinnya setelah mendapatkan inti sari ilmu dan jurus yang digunakan Kupra dalam kitab Buana Sampurna baris sekian halaman sekian.Bayu memberikan petunjuk baik gerakan sebagai perlawanan jurus lawan atau bagaimana cara mengalirkan hawa sakti dan tenaga dalam guna menghalau ilmu Jari Petir yang menjadi andalan Kupra.Semua yang menyaksikan terperanjat termasuk Kupra juga. Yang awalnya menebak Ki Abiasa akan terdesak dalam beberapa jurus justru tiba-tiba saja mampu mengimbangi lawan.Bahkan petir-petir yang melesat dari jari-jari Kupra dibuat meleset, hanya menemui tempat kosong.Sementara pertarungan terus berlangsung sengit. Panji malah terpusat kepada Asmarini. Tentu saja karena wajah gadis itu sangat mirip dengan ibunya."Nyai, lihat gadis itu!" kata Panji kepada istrinya."Siapa dia, Kang
Kupra laksana ditimpa gunung. Bangunan terdekat di sebelah selatan ikut hancur terkana hantaman telapak tangan raksasa itu.Sementara tubuh Kupra terdengar retak tulang-tulangnya, tapi sosoknya masih tampak menggeliat-geliat kesakitan. Dari sepuluh jarinya masih keluar petir-petir kecil.Semua pendekar bersorak girang, tapi tak ada satu pun yang bertindak tidak kesatria. Kalau mau bisa saja mereka turun mengeroyok menghabisi musuh yang selama ini telah meresahkan dunia persilatan.Agak jauh di tempat terpisah, tampak seorang wanita berumur tiga puluhan tahun menatap penuh kepuasan saat melihat Kupra tersiksa sedemikian rupa.Di sebelah kirinya wanita ini menggandeng seorang anak laki-laki yang berumur tujuh tahun. Anak ini tampak polos saja menyaksikan kejadian mengerikan itu.Tanpa disadari wanita ini sejak tadi menjadi perhatian Jaya Antea alias Pendekar Cakar Sakti. Sepertinya satu-satunya murid perguruan Lodaya Sakti yang tersisa ini
Wanita yang membawa anak juga tengah berjalan menuruni lereng. Di belakangnya Jaya Antea tampak selalu mengikuti. Percakapan beberapa waktu lalu hanya berupa perkenalan saja.Jaya Antea sepertinya ingin selalu menemani wanita yang membawa anak itu. Namun, wanita itu seperti tidak nyaman. Hingga akhirnya wanita ini berhenti melangkah lalu berbalik."Kenapa kau mengikutiku?"Jaya Antea terdiam tidak bisa menjawab. Ada perasaan halus terhadap perempuan ini. Perasaan yang belum pernah dia alami sebelumnya."Aku, aku ...." Mulut Jaya Antea jadi kelu."Apa maksudmu?""Aku ... Ingin menikahimu!"Wanita ini terperanjat mendengar ucapan Jaya Antea yang terkesan dipaksakan berani. Sedangkan Jaya Antea menahan debaran keras dalam dadanya.Setelah mengucapkan kalimat tadi, dia merasa seperti baru saja menghancurkan belenggu yang mengunci mulutnya."Apa-apaan kau ini. Baru saja bertemu hari ini, kau sudah macam-maca
Sampai lima tombak, tidak ada lagi gangguan, tapi Bayu merasa belum aman selagi masih di dalam hutan itu. Tiba-tiba terdengar suara dari atas.Bayu segera melompat ke depan sejauh dua tombak setelah dia melihat apa yang ada di atas.Brukk!Sebuah kerangkeng besar terbuat dari kayu hampir saja mengurungnya."Benar, tampaknya penguasa hutan ini ingin menangkapku! ujar Bayu.Tapi hutan apa ini?Bayu sudah berjalan lagi. Kalau yang merintanginya adalah penghuni hutan ini maka setelah keluar tidak akan mengganggu lagi.Bisa jadi penyerang itu si Iblis Petir yang mengincar nyawanya. Mengingat dirinya sudah membuat Kupra sekarat.Masalahnya Bayu tidak tahu berapa lama lagi keluar dari hutan itu? Berapa panjang jalan setapak yang dia lalui? Namun, Bayu tidak takut sama sekali, dia selalu siap jika ada rintangan lagi yang menghadang.Jauh di ujung sana sekitar puluhan tombak tampak pepohonan sudah tidak rapat la
Mau tak mau Bayu harus mengikuti instruksi suara tanpa wujud itu. Dia melangkah maju. Suasana hatinya dibuat setenang mungkin. Dia masih bisa merasakan kekuatan yang dimilikinya.Berarti dia bisa menggunakannya saat melewati yang dinamakan ujian itu. "Tenaga Bintang, mungkin itu kekuatan yang ada di dalam Cincin Kamulyan!" batin Bayu.Seperti apa lawan pertama yang akan dihadapinya. Ada rasa menyesal setelah memakai Cincin pusaka itu. Tahu bakal begini, dia tak akan mencoba memakainya.Karena seluruh alam terlihat berwarna putih, Bayu merasa sedang jalan di tempat saja walau sudah berapa puluh langkah dia lewati. Keadaanya tetap sama seperti tidak kemana-mana.Baru setelah beberapa saat perubahan alam terlihat secara tiba-tiba. Bayu kini memasuki sebuah padang rumput yang sangat luas. Sejauh mata memandang hanya rumput dan ilalang yang tampak di depan mata. Namun, di atas tetap langit putih. Alam ini terang, tapi tidak ada matahari di a
Begitu mendarat, Eyang Ismaya sudah memutar sangat cepat sambil membabatkan tongkat. Bayu bersalto lagi, melakukan gerakan seperti semula. Memastikan benda yang menempel di tengkuk Eyangnya itu.Bayu penasaran dengan benda aneh itu.Ketika Eyang Ismaya berputar lagi, Bayu tidak menghindar. Dia siapkan tenaga besar pada tangannya. Dia menunggu serangan datang.Trang!Tongkat dan tangan berbenturan keras. Pada saat itu Bayu memutar tubuhnya hingga mendekati Eyangnya bergerak lincah hingga posisinya berada di belakang sang sesepuh.Secepat kilat tangannya disabetkan ke tengkuk mengenai benda aneh yang menempel di sana.Cesss!Sosok Eyang Ismaya tiba-tiba berubah menjadi asap putih lalu terhirup masuk ke lubang hidung Bayu. Beberapa saat pemuda itu tak sadarkan diri dalam posisi berdiri."Bagus, sekarang masuklah ke gerbang itu. Ujian selanjutnya ada di dalam!"Suara tanpa rupa terdengar lagi setelah Bayu
Seperti gurunya, tubuh Kupra juga hancur berserakan. Seakan tidak puas, ibu dan anak ini sampai menginjak-injak serpihan tubuh Kupra yang menjadi seperti pasir. Pertempuran berakhir. Dua tokoh golongan hitam paling kuat saat ini telah menemui ajalnya. Sementara itu Bayu dan Asmarini sudah tidak ada di tempatnya. Mereka sudah berjalan meninggalkan wilayah desa Rancawaru. "Sekarang ceritakan, bagaimana kau bisa jadi pawang hujan?" Asmarini mendengkus kesal. "Pawang hujan, pawang hujan!" "Oh, ya, ya! Bidadari Pengendali Air!" Akhirnya Asmarini tersenyum. Kemudian sambil berjalan gadis ini menceritakan pengalamannya. "Setelah kita berpisah waktu itu, tiba-tiba datang seseorang yang mengaku gurunya ibuku!" "Nenek Pancasari?" Bayu tahu karena pernah mendengar dari ayahnya. "Benar!" "Lalu?" Nenek Pancasari yang dulu telah mengu
Iblis Petir yang tadinya duduk bersila segera meloncat ke atas ikut berdiri di sebelah Kupra di atas atap. Pasalnya dia merasakan hawa dingin meresap dari tanah. Guru dan murid ini mengerahkan seluruh kekuatan yang dimiliki. Tubuh Agnibali mulai dikabari api, sedangkan Iblis Petir melindungi dirinya dengan zirah yang terbuat dari kilatan-kilatan petir. Hawa panas kedua orang ini berusaha menyeruak tindihan hawa dingin dari atas dan bawah. Bahkan akhirnya sosok kedua orang ini ditutupi oleh kobaran api. Tentu saja keduanya tidak merasakan panas karena ini adalah kekuatan dari mereka sendiri. Kobaran api itu untuk melindungi diri dari hawa dingin yang menyerang. Sementara itu wanita berpakaian dan bercadar hitam menarik nafas lega setelah adanya hawa dingin dari bawah dan langit tampak meredup. Dia tidak perlu mengerahkan tenaga lebih banyak lagi seperti sebelumnya. Yang ditunggu-tunggu sepertinya telah tiba.
Kupra berpindah tempat, meloncat ke atas atap. Kedua tangannya diputar-putar. Kepalanya terus mendongak ke langit. Dia mengerahkan kekuatan apinya lebih besar lagi. Seketika di seluruh tempat sampai ke pelosok desa diselimuti hawa panas terik bagai di siang hari di musim kemarau. Bahkan tidak terasa sedikit pun semilir angin yang memberikan kesejukan. Perubahan cuaca ini dirasakan dampaknya pada mereka yang tengah bertempur baik anak buah Kupra sendiri atau pendekar golongan putih. Apalagi warga desa yang merupakan orang biasa tidak memiliki kepandaian apa-apa. Mereka merasakan seperti dipanggang. Banyak yang langsung berlari menuju sungai agar tidak kepanasan. Di dalam ruang bawah tanah, Iblis Petir merasakan hawa panas yang disebarkan muridnya itu. "Sepertinya muridku mendapat lawan yang berat. Aku harus membantunya. Kau tetap di sini, kalau kau keluar maka tubuhmu akan seperti dipanggang api sangat panas!"
Hampir semua anak buah yang dibawa Kalacakra akhirnya tewas. Sedangkan yang tersisa tidak kuat lagi menahan gigitan racun dari dalam tubuh sehingga ambruk dengan sendirinya. Termasuk Kalacakra, kini dia terdesak hebat. Tongkat Ki Hanggareksa yang bisa memanjang dan memendek sudah berkali-kali memberikan luka di tubuhnya. Awalnya memang bisa menahan dengan tenaga dalam yang ada, tapi lama-lama tenaganya melemah juga. Apalagi Ki Hanggareksa menghantamkan tongkatnya ke bagian yang berbahaya. Takk! Bukk! Bukk! Senjata cakra yang terbang sudah entah ke mana hilangnya. Senjata yang satunya pun bisa dikatakan tidak berguna lagi. Hanya benda yang digenggam di tangan saja, tapi tak bisa memberikan perlawanan. "Kalian licik!" seru Kalacakra menyadari kalau dia terkena racun, walau tidak tahu siapa dan bagaimana cara racun itu masuk ke tubuhnya. "Ah, baru sekali ini saja. Kalian sendiri melakukan kelicika
Mereka berlima ditambah Lasmini berkumpul di ruang pertemuan. "Sepertinya kelompok aliran putih sudah mulai menyerang," duga Soca Srenggi, ketua perguruan Elang Setan. "Mata-mata melaporkan mereka memang sudah bergerak, tetapi mendadak lenyap begitu saja setelah dekat dengan desa ini," sambung Kalacakra, ketua perguruan Gunung Sindu. Sementara dari tadi Kupra memperhatikan langit yang gelap, tetapi dia tampak tenang saja walau hatinya bertanya-tanya karena hal yang aneh ini. "Saat ini aku hanya menantikan Panji. Apa mungkin dia sudah bisa mengendalikan hujan atau air. Atau mengendalikan angin untuk membawa hujan?" batin Kupra. Lalu datanglah salah satu anggota melaporkan bahwa memang kelompok golongan putih sudah mengepung desa. Ini sungguh mengejutkan karena pergerakan golongan putih tidak terdeteksi ketika sudah dekat ke markas mereka. Akhirnya Agnibali memerintahkan keempat wakilnya untuk me
Parwati menoleh dan langsung kaget. Begitu juga Wirapati yang masih berendam di sungai langsung melesat ke samping Istrinya. Sepasang suami istri ini memang sedang dalam perjalanan menuju desa Rancawaru yang menjadi markas Laskar Raja Api. "Mau apa kau?" sentak Wirapati seraya langsung menyiapkan tenaga sakti. Tentu saja karena sekarang Kupra bukan yang dulu lagi. Sekarang Kupra menjadi pemimpin Laskar Raja Api. "Mau mengambil Parwati!" kata Kupra lantang dengan sorot mata tajam mengancam Wirapati. "Sejak pertama kali melihat dia, aku sudah jatuh hati. Sekarang ada kesempatan untuk membawanya tinggal bersamaku!" "Setan keparat, lancang!" umpat Wirapati. Kupra tertawa lantang sambil melepas hawa sakti panas guna menekan Wirapati. "Sekarang tidak ada lagi yang aku takutkan. Aku bisa membunuhmu semudah membalikkan telapak tangan. Aku adalah penguasa rimba persilatan. Yang kuat yang berkuasa!"
Amoksa langsung berkelebat dan berdiri di samping Lasmini. Gadis ini baru saja mengeringkan badan beserta pakaiannya menggunakan hawa saktinya. "Memangnya siapa dia sampai-sampai kau seperti melindunginya?" "Dia Lasmini putrinya Ki Rembong!" Belasan laki-laki itu langsung berubah sikap. Mereka membuang hasratnya yang tadi ingin menikmati tubuh Lasmini. Tentu saja karena tidak ingin kena semprot wakil ketua yaitu Ki Rembong. Mereka langsung memberi jalan ketika Amoksa hendak membawa Lasmini ke markas. Tiba di markas Amoksa menyuruh salah seorang untuk melaporkan bahwa Lasmini telah ditemukan. Tentu saja Ki Rembong sangat gembira mendengar kedatangan putrinya. Lasmini langsung disambut dan dibawa ke ruang utama bertemu dengan Ketua Agnibali. Pada saat itulah Kupra terbelalak matanya begitu melihat keanggunan Lasmini. Si gadis mencoba bersikap santun sebagaimana layaknya menghadap s
Ki Abiasa menarik napas sebelum berkata. "Kalau Eyang Resi sudah memerintahkan, apa lagi yang saya cemaskan. Saya sangat yakin dengan keputusan Eyang. Baiklah, saya akan membawa mereka segera bertindak." Hawa sakti berputar-putar di dalam ruangan menghasilkan tiupan udara lembut, lalu perlahan menghilang pertanda seseorang yang dipanggil Eyang tadi juga sudah pergi. Ki Abiasa menghembuskan napas lega. "Akhirnya Eyang Resi Kuncung Putih datang juga!" Tidak menunggu lama lagi, segera Ki Abiasa mengumpulkan empat murid Resi Kuncung Putih dan para pendekar lain yang sudah berkumpul di padepokan. ***000*** Malam hari sebelum Lasmini berangkat. Sepasang kekasih ini sudah diberikan kamar khusus untuk mereka. Walaupun belum terikat pernikahan, tetapi hubungan mereka sudah terlalu dalam. Sebelum Radika pulang dan sebelum Lasmini datang ke sini saja, mereka sudah sangat intim bag
Ada empat perguruan aliran hitam yang sudah bergabung dengan Laskar Raja Api yang diketuai oleh Kupra alias Agnibali. Selain perguruan Cengkar Wulung dan Oray Hideung ditambah perguruan Gunung Sindu yang dipimpin Kalacakra dan perguruan Elang Setan yang diketuai oleh Soca Srenggi. Laskar Raja Api menduduki sebuah desa yang akan dijadikan markas. Desa Rancawaru jadi sasaran karena tempatnya yang strategis, jauh dari desa-desa di sekitarnya dan juga subur. Ki Kuwu beserta perangkat desa sampai sesepuh dibunuh tanpa ampun. Balai desa dijadikan pusat markas. Penduduk desa juga menjadi sasaran kesemena-menaan mereka. Yang laki-laki dipaksa menjadi budak yang harus bekerja melayani segala keperluan mereka. Para wanita yang masih layak sudah pasti dijadikan pemuas nafsu. Sedangkan anak-anak dan orang yang sudah tua renta dihabisi karena tenaga mereka dianggap tidak berguna. Situasi yang mengerikan di