"Maksudmu?" Mas Rudi balik bertanya, matanya sudah memerah dipenuhi genangan air.Aku tidak menjawab, namun mata ini menyorotnya dengan tatapan tajam mengintimidasi."Kau menuduhku?" ucapnya sambil menunjuk diri sendiri.Aku terdiam, semakin yakin dengan prasangka ini."Aku tidak mengatakan itu," jawabku cepat. Mas Rudi mengusap kasar wajah tegangnya, berdecis sinis, mencoba menutupi kegugupannya."Jangan berpikir macam-macam, Larissa. Aku sedang terkurung disini, mana mungkin aku melakukan hal gila seperti itu." ucapnya bernada sinis."Aku hanya berselingkuh, tidak dengan menyakiti darah dagingku." bantahnya lagi."Itu tidak mungkin!" tegasnya menatap lurus.Ya. Secara fisik, memang benar dia tidak menyakiti Dila. Tapi secara psikolog tentu saja dia sudah melakukannya."Ya," aku menganggukan kepala. "Ragamu memang terkurung di penjara ini, namun tidak dengan isi kepalamu!" ucapku tenang.Menghadapi makhluk astral sepertinya memang dibutuhkan ketenangan. Aku tidak ingin lepas kendali,
"Ck! Mau apa lagi sih, dedemit itu!" rutukku kesal sambil membuka pintu mobil."Ini dia orangnya!" keningku mengkerut, menatap heran, saat melihat tetangga depan rumah berkacak pinggang sambil menyorotku dengan tatapan sinis."Ada apa ini?" tanyaku sambil menutup pintu mobil. Jujur saja, aku merasa ada hal janggal saat melihat wajah nyinyir Hella dengan senyum mengejek kearahku.Hella seolah memamerkan, bahwa dia mempunyai banyak pembela saat ini."Mbak Rissa, saya kasih tau yah. Sama Adik itu jangan dzolim. Kasihan tuh, bawa-bawa anak kecil bolak-balik kerumah ini, tapi tidak pernah dikasih masuk, malah diusir terus!" ketus Mbak Wulan, sambil bersedakap dada. Wajahnya begitu sinis, seolah aku ini adalah musuhnya.Aku bergeming, menatap satu demi satu lima perempuan yang ada di depanku."Iya ... kalau ada masalah tuh, bok ya di bicarakan baik-baik. Saya sebagai tetangga saja tidak tega melihatnya. Dia dari kemarin siang datang kesini loh, panas-panasan. Anaknya sampai nangis menjerit-
"Karna Hella ... sudah BERZINA dengan suami saya." ucapku tegas, penuh penekanan."Astagfirulloh ...."Kompak semua orang terperangah, mereka semua saling pandang, lalu menatap tak percaya kearah Hella yang wajahnya sudah berubah sepucat mayat.Mata Hella mengejrap berulang kali, mulutnya celengap-celengap seperti ikan emas yang kesulitan untuk bernafas.Sesak?Aah ... ini belum seberapa. Kartu matimu masih banyak ditanganku, La.Aku memamerkan senyum puas, saat sorot mata Hella bersibobrok dengan netraku."Benar begitu, Mbak?" tanya Mbak Rena."Beneran, Mbak?" Ibu muda menatap intens, menunggu jawaban, Hella.Hella tergagap, matanya mendelik kekiri dan kanan dengan seulas senyum yang dipaksakan."Ti--" belum sempat Hella bersuara, kalimatnya sudah terpotong oleh ucapan ketus Ibu gendut."Ya ampun! Pelakor ternyata ..." timpal Ibu gendut."Dih, pelakor!" sahut Ibu muda dengan ekpresi jijik."Dia yang jahat dong. Ketipu kita," sambung Ibu muda kesal.Hella semakin panik, keringat dingi
"Sudah beres, Neng?" tanya Bik Narti saat aku memasuki rumah."Sudah," jawabku lega."Bibik geregetan sekali sama, Hella. Benar-benar tidak tahu malu. Masih saja mengusik kehidupan, Neng Rissa. Maunya apa sih!" gerutu Bik Narti."Entahlah, yang jelas dia ingin aku memungutnya kembali." jawabku sambil menjatuhkan bobot diatas sofa.Hhh ... rasanya lelah sekali."Dasar pelakor. Pak Rudi dipenjara. Bingung dia, Neng. Mau numpang hidup sama siapa," balas Bik Narti dengan wajah kesal. Aku hanya tersenyum, dalam hati membenarkan ucapan Bik Narti."Dila aman, Bik?" tanyaku."Aman, Neng. Tadi pas lagi ramai didepan, Bibik kunci pintu kamar terus nonton film kartun kesukaan, Non Dila." jawab Bik Narti.Aku manggut-manggut, mendengar ucapan Bibik."Oh ... iya. Kemasi semua barang-barang, Bik. Kita akan pindah besok pagi." ucapku setelah menyesap teh hangat buatan Bik Narti."Pindah, Neng?" aku menganggukkan kepala."Oke, Neng." jawab Bik Narti penuh semangat.***Ofd."Loh, pamit kemana?" ucap M
"Maaf, Riss. Si Bagas ini, kalau bicara memang ceplas-ceplos." Ryan terkekeh malu.Aku hanya menarik nafas, mengeleng kepala melihat kekonyolan mereka. Sepertinya mereka sangat dekat."Oke ..." Bagas menarik nafas, tubuhnya menegak, berwajah serius."Bisa kita lebih serius? Tolong kerja samanya. Saat ini aku sedang berada di dekat client." Bagas menatap lekat netra, Ryan."Hoo, oke!" ujar Ryan sambil mengangkat tangan, menyatukan jari telunjuk dan jempolnya."Ehm ... bisa kamu jelaskan masalah ini dengan jelas. Meski aku sudah mendengar berita ini dari, Ryan. Tapi aku ingin mendengar semuanya dari clientku sendiri." pinta Bagas, kali ini wajahnya lebih antusias dari sebelumnya.Mata itu menyorot tajam, aku menghela nafas menyungging senyum kecut mengingat harus membahas tentang kedua musang itu."Astaga ...." Mendengar kisahku, Bagas tak henti menggelengkan kepala. Wajah yang tadi serius kini berubah mendung dengan tatapan iba."Lalu Hella, dia berada dimana sekarang?" tanya Bagas. A
Adam menatap lurus, seolah melihat kesungguhanku. Samar aku lihat Adam tersenyum miring, lalu menganggukkan kepalanya."Lu yakin?""Hmm!" aku mengangguk tegas."Oke," gumam, Adam seraya mengangguk pelan. "Tapi ..." kepala Adam celingukan, sebelum akhirnya mencondong agar lebih dekat denganku."Semua engga gratis," bisiknya pelan."Ini beresiko, kalau gagal ... bisa saja, gua ikut masuk ke penjara." sambungnya."Lu tenang aja. Motor gua, jadi milik lu. Kalau lu berhasil menjalankan tugas ini."Adam menyematkan senyum, kembali duduk ketempat semula."Kapan sidang kedua?" tanyanya."Tiga hari lagi," jawabku. Adam tak menjawab, namun senyum miring dibibirnya sudah mengatakan bahwa dia menyetujui rancana."Waktu besuk sudah habis!" suara petugas menggema didalam ruangan. Tatapan mata sinis selalu melekat padaku, tiap kali petugas sombong itu melihat keberadaan ini."Mau berbuat jahat apa lagi lu?" tanya petugas bernama Ryan dengan tatapan menyelidik.Aku tak menggubris, meneruskan langkah
Belum sempat aku menekan remote yang melekat dikunci mobil, pandanganku terhenti pada sosok laki-laki yang begitu familiar sedang berjongkok tepat disamping mobilku."A-dam ..." gumamku pelan, sambil mengamati gerak-geriknya yang sangat mencurigakan.Adam terlihat sibuk dibawah kolong mobil, mataku mengedar mencari keberadaan kamera pengawas, setahuku diarea parkir ada satu cctv."Hhh ... cctv menghadap arah lain. Itu berarti, tidak ada yang mengawasi kegiatannya." gumamku pelan sambil terus mengamatinya."Selesai juga," suara Adam terdengar sumringah, dia menepuk baju dan celana yang berdebu secara bergantian.Jarak antara aku dan dia hanya 10 meter, mata terus mengawasi gerak gerik dan sekitar. Waspada jika ada orang lain yang menemaninya."Tinn!"Suara klakson mobil terdengar saat aku menekan remot kontrol. Adam terlonjak kaget, sambil menepuk dadanya."Astaga, Ris-sa!" Mata itu terbelalak, Adam kembali memegangi dada saat sorotnya melihat keberadaanku.Aku tersenyum tipis, kaki me
"Lalu, saya harus bagaimana?" tanyaku gusar."Kalau memang bukan, Mbak Rissa yang menyebarkan. Mbak tidak perlu khawatir. Saya akan mencari tahu, siapa kiranya yang menyebar video itu." jawab Bagas."Oke. Saya serahkan semua sama, Mas Bagas. Semoga kali ini sidang berjalan dengan lancar. Tidak ada drama lagi." ucapku pelan."Mah ..." suara cempreng milik, Dila terdengar. Tak lama wajah imutnya menyembul dibalik pintu."Eh, anak Mamah sudah bangun. Kenapa sayang?" aku meregangkan tangan, Dila langsung masuk kedalam pelukkanku."Laper, sarapan yuk, Mah." ucapnya manja."Hayu, Mamah pun sudah laper." jawabku."Ini siapa, Mah?" Dila menunjuk, Bagas."Oh ... ini, teman kerja Mamah." jawabku."Hai, cantik." Bagas mengangkat tangan, sambil tersenyum lebar. Dila meringis, menyembunyikan wajah malunya."Dila memang begini, kalau bertemu orang baru." jelasku. Bagas mengangguk, masih tersenyum kearah Dila."Sudah, sarapan, Mas?" tanyaku."Eh, sudah. Ini saja minum kopi, sudah cukup." balas Bagas
Pov Larissa."Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih sayang serius banget?" Mas Bagas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Bagas dengan wajah prihatin."Aamiin ..." aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada di dalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Hella terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya D
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ....Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai ..." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Larissa semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapny
Pov Hella."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahku
Pov Hella."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck ..." laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Bebaskan saja, jangan di pendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berpikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak pikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu b
"Mati saja kau, Buk. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ...."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru m
"Mas ...."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu ..," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf
ByurrrLimpahan air menerjang wajah, aku tergelagap dengan nafas terengah-engah."Hm ... saya bilang apa? Dia terlalu manja, dikit-dikit pingsan!" cibir seorang petugas wanita sambil berkacang pinggang.Dengan kasar, aku menyeka sisa air yang menempel diwajah. Hatiku pilu diperlakukan serendah ini."Bersihin sisa airnya! Jangan manja. Atau saya pindahkan ketahanan yang penghuninya sapleng semua." ketusnya dengan senyum miring menyerigai.Tubuhku benar-benar lemas, mata berkunang saat mencoba bangkit dari atas lantai."Cepeeet. Lelet banget!" Petugas bermana Mira itu menarik kasar, lalu mendorong keras tubuhku hingga mendarat kencang disudut tembok."Lelet!!" cebiknya sembul meninggalkan ruang tahananku."Dia emang terkenal brutal. Ga punya perasaan. Kalau dia lagi kontrol, jangan sesekali memasang wajah sakit. Dia ga suka," jelas Ira tanpa aku minta.Aku hanya diam, mata memanas menahan bulir air mata."Sana ganti baju, nanti masuk angin." titahnya, sok perhatian.Aku mengangguk pelan
Pov Diana.Suara bel rumah mengusik ketenanganku dengan Mas Mahesa. Aku segera beranjak dari sofa berjalan untu membuka pintu utama."Mah ..." Aku tersenyum tipis saat melihat kedatangan Mamah Hana."Kurang ajar sekali perempuan liar itu, bukti sudah di depan mata. Masih saja berkelit-kelit," gerutunya sambil berjalan melewatiku. Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya bisa mengekori dari belakang."Nasib Mamah buruk sekali bisa bertemu dengan orang seperti itu, Di." Keluhnya sambil menjatuhkan tubuh diatas sofa."Gimana, Mah. Sidangnya?" tanya Mas Mahesa sambil melipat koran yang tadi dia baca, lalu menaruhnya dibawah meja."Nyebelin!" sembur Mamah. "Ngeles saja kaya belut. Kesel banget Mamah," gerutunya."Ngeles gimana, Mah?" tanyaku penasaran."Dia masih tidak mau ngaku. Padahal ada saksi mata, Dokter yang kemarin itu, dia sudah meluangkan waktu untuk datang di persidangan pagi tadi." jawab Mamah panjang lebar.Mas Mahesa menyimak dengan antusias, sesekali dia mimijat pelipisnya.