Malam itu, hujan rintik-rintik membasahi jalanan kota, menambah suasana dingin yang merayap hingga ke dalam hati Amora. Dia duduk di kursi belakang mobilnya, tangannya menggenggam erat ponselnya seolah takut ada pesan atau panggilan mendadak dari Ken. Wajahnya tampak gelisah, meski dia berusaha keras menyembunyikannya.
Mansion yang Gerald siapkan berada di pinggiran kota, jauh dari keramaian. Bangunan megah dengan arsitektur klasik Eropa itu berdiri kokoh di tengah taman yang luas. Amora memandang ke luar jendela mobil saat gerbang besi besar terbuka perlahan, menandakan bahwa dia telah sampai. "Bu Amora, kita sudah sampai," ujar sopirnya dengan nada hormat. Amora mengangguk singkat. "Tunggu di sini. Jangan pergi ke mana-mana," katanya tegas. Dia melangkah keluar dari mobil, membawa payung kecil untuk melindungi dirinya dari rintik hujan. Udara dingin menyambutnya, menusuk kulit meski dia mengenakan mantel panjang. Amora memperhatikan sekeliling dengan waspada, memastikan tidak ada yang mengikuti atau mengawasinya. Ketika dia mencapai pintu depan mansion, seorang kepala maid—seorang wanita paruh baya dengan seragam hitam dan apron putih—membuka pintu dan membungkuk hormat. "Selamat malam, Nona Amora. Tuan Gerald telah menunggu Anda. Ikuti saya." Amora hanya mengangguk, mengikuti langkah maid itu melewati lorong-lorong luas yang diterangi cahaya chandelier. Dinding-dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan klasik, dan lantainya terbuat dari marmer yang memantulkan suara langkah kaki mereka. Suasana di dalam mansion terasa megah, tetapi sekaligus sunyi, seolah setiap sudutnya menyimpan rahasia yang tak terungkap. Ketika mereka tiba di sebuah ruang kerja yang besar, pintu kayu berukir itu dibuka oleh maid. Gerald berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Dia mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung hingga siku, memberikan kesan santai namun tetap berwibawa. "Amora," sapa Gerald sambil berbalik, matanya menatapnya tajam namun hangat. "Kau datang." "Ya," jawab Amora singkat, menutup payungnya dan meletakkannya di dekat pintu. "Apa ini benar-benar perlu? Tempat sebesar ini hanya untuk kita bertemu?" Gerald tersenyum tipis, melangkah mendekat. "Aku ingin memastikan kita memiliki tempat yang aman untuk berbicara. Aku tidak ingin ada yang tahu tentang ini, terutama Ken." Amora menghela napas, melepas mantelnya dan menyerahkannya pada maid sebelum duduk di salah satu sofa mewah yang ada di ruangan itu. Gerald duduk di seberangnya, mengambil sebuah map dari meja dan menyerahkannya kepada Amora. "Ini rencana selanjutnya," katanya serius. Amora membuka map itu dan mulai membaca. Matanya menyipit saat dia melihat detail rencana yang telah disusun oleh Gerald. "Kau benar-benar sudah mempersiapkan semuanya," gumamnya. "Harus," jawab Gerald. "Ken bukan orang yang mudah dikalahkan. Jika kita ingin menghancurkannya, kita harus bermain lebih pintar darinya." Amora mengangkat wajahnya, menatap Gerald dengan tatapan tajam. "Dan bagaimana dengan Angel? Wanita itu bukan hanya licik, tapi juga sangat protektif terhadap Ken. Jika dia mencium sedikit saja rencana kita, semuanya akan hancur." Gerald tersenyum samar. "Itulah gunanya kita bekerja sama. Kau tahu cara menghadapi Angel lebih baik daripada aku. Aku akan fokus pada Ken." Amora menutup map itu dan meletakkannya di meja. "Aku masih tidak yakin dengan ini, Gerald. Jika Ken tahu aku bekerja sama denganmu, dia tidak akan hanya menghancurkan aku, tapi juga semua orang yang terlibat denganku." Gerald bersandar di sofa, menatap Amora dengan serius. "Aku tahu risikonya. Tapi aku juga tahu, kau tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang Ken. Dia sudah cukup membuatmu menderita, Amora. Jika kita tidak melakukan ini sekarang, kapan lagi?" Amora terdiam, kata-kata Gerald menusuk tepat ke hatinya. Dia tahu pria itu benar, tetapi rasa takutnya masih begitu besar. Gerald melanjutkan, suaranya lebih lembut namun tegas. "Aku tidak akan membiarkan dia menyakitimu lagi. Kau hanya perlu percaya padaku." Amora menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Dia mengalihkan pandangannya ke jendela, menatap hujan yang semakin deras. "Baiklah," katanya akhirnya. "Aku akan melakukan ini. Tapi kau harus berjanji, Gerald. Apapun yang terjadi, kau tidak akan meninggalkanku." Gerald berdiri dan berjalan mendekati Amora, lalu berlutut di depannya. Dia menggenggam tangan Amora, menatapnya dengan mata yang penuh tekad. "Aku berjanji, Amora. Aku akan selalu ada untukmu. Kita akan melewati ini bersama." --- Diskusi mereka berlangsung selama berjam-jam, membahas setiap detail dari rencana mereka. Gerald menjelaskan bagaimana dia akan mencoba mendekati Ken dari sisi bisnis, sementara Amora akan terus memainkan perannya sebagai pasangan yang setia. Mereka juga membahas bagaimana cara memanfaatkan kelemahan Angel, termasuk ambisinya yang sering kali membuatnya ceroboh. Amora merasa sedikit lega setelah mendengar rencana itu, meskipun dia tahu jalan yang harus mereka tempuh masih panjang dan berbahaya. Ketika akhirnya mereka selesai, Gerald mengantar Amora ke pintu depan. Hujan sudah mulai reda, tetapi udara malam tetap dingin. "Jaga dirimu," kata Gerald pelan, menatap Amora dengan penuh perhatian. Amora mengangguk. "Kau juga." Ketika dia melangkah masuk ke mobilnya, Amora merasa ada beban yang sedikit terangkat dari pundaknya. Namun, di balik rasa lega itu, dia juga merasa takut. Apa yang akan terjadi jika Ken mengetahui rencana mereka? Dan apakah Gerald benar-benar bisa dia percaya? Mobil itu melaju menjauh dari mansion, meninggalkan Gerald yang berdiri di pintu, menatap kepergian Amora dengan ekspresi yang sulit ditebak. Dia tahu rencana ini bukan hanya tentang membalas dendam, tetapi juga tentang melindungi wanita yang dia cintai. Namun, dia juga tahu, semakin dalam mereka terlibat, semakin sulit untuk keluar. Dan ketika permainan ini berakhir, tidak ada jaminan bahwa semuanya akan berjalan sesuai harapan mereka. Langit malam menjadi saksi bisu dari permulaan rencana besar yang penuh risiko ini. *** To Be Continue ....Amora duduk di tepi tempat tidurnya, tangan terlipat di depan dada, matanya menerawang ke luar jendela. Hujan masih turun dengan deras, menciptakan suasana sendu yang sesuai dengan kekosongan yang ia rasakan. Malam itu, setelah pertemuan dengan Gerald, pikirannya dipenuhi berbagai perasaan yang bercampur aduk. Ada rasa cemas, ada juga semangat yang perlahan mulai bangkit—rencana balas dendam yang kini sedang ia jalankan. Gerald sudah memulai langkah pertama dalam permainan besar ini. Dia ingin Amora masuk ke dalam dunia Ken dengan cara yang paling licik—membuatnya menjadi bagian dari perusahaan Gerald. Melalui langkah ini, Gerald berharap bisa memberikan informasi yang diperlukan untuk menggulingkan Ken. Tentu saja, bagi Amora, ini bukan sekadar tentang menghancurkan Ken. Ada bagian dari dirinya yang ingin melihat pria itu jatuh, agar ia bisa menebus segala rasa sakit yang telah ia alami. Namun, ada juga bagian dari dirinya yang bergejolak, khawatir akan konsekuensi dari
Hari pertama Amora bekerja di perusahaan Gerald tak ubahnya seperti memasuki dunia yang benar-benar asing. Gedung megah dengan lantai marmer yang memantulkan cahaya lampu kristal membuatnya sedikit terintimidasi. Langkah gadis itu terdengar ragu ketika memasuki lantai eksekutif, di mana hanya segelintir orang yang memiliki akses. Setelah disambut oleh resepsionis yang ramah, Amora diarahkan menuju ruang kantor Gerald. Jantungnya berdegup lebih cepat saat pintu kayu berukir itu terbuka, memperlihatkan pria yang menjadi alasan perubahan drastis dalam hidupnya — Gerald David, CEO yang memiliki pesona mematikan sekaligus aura dominan yang membuat siapa pun segan. “Masuk,” suara baritonnya terdengar tegas namun tidak menakutkan. Amora menelan ludah dan melangkah masuk dengan penuh keraguan. Mata tajam Gerald menatapnya tanpa ekspresi, tetapi Amora bisa menangkap ada sedikit rasa ingin tahu di sana. “Mulai hari ini, kamu jadi asisten pribadi aku
Hari kedua Amora bekerja sebagai asisten pribadi Gerald dimulai dengan lebih banyak tantangan. Hari itu, Amora sudah berada di kantor sejak pagi, mencoba memahami ritme pekerjaan yang berbeda jauh dari kehidupannya yang dulu nyaman dan serba ada. Meski masih canggung, gadis itu mulai belajar bagaimana mengatur jadwal serta mempersiapkan berbagai keperluan Gerald. Namun, tak ada yang bisa mempersiapkan Amora untuk apa yang akan terjadi hari ini. “Amora, ikut aku,” suara bariton Gerald terdengar tegas saat ia berjalan keluar dari ruangannya dengan langkah cepat. “Ke mana, Pak?” tanya Amora, berusaha menyamakan langkahnya dengan pria tinggi itu. “Pertemuan dengan klien,” jawab Gerald singkat. Setelah naik ke mobil hitam mewah milik Gerald, suasana sempat hening. Amora sesekali melirik pria itu yang duduk dengan wajah serius di kursi pengemudi. Ada aura otoritatif yang membuat siapa pun di dekatnya merasa kecil, tetapi entah kenapa
Seminggu sebelum Rachel Lee kembali, Amora mendapat kejutan yang tak pernah dia bayangkan. Gerald tiba-tiba memberitahunya tentang perjalanan bisnis ke Korea Selatan. “Kita berangkat besok pagi,” ucap Gerald dengan nada tegas di ruangan kantornya yang elegan. Amora yang sedang berdiri di depannya terbelalak. “Korea Selatan?” Gerald mengangguk tanpa ekspresi. “Ada urusan bisnis dengan Victor Wong di sana. Kamu ikut.” Amora tak mampu menyembunyikan senyumnya. Korea Selatan adalah negara impiannya sejak lama. Namun, ayahnya selalu melarangnya pergi ke sana dengan alasan keamanan yang tak jelas. Tapi kini, bersama Gerald, semua itu mungkin terjadi. “Serius nih?” Amora memastikan dengan nada antusias. Gerald mengangkat alis. “Kenapa nggak serius? Ini urusan kerjaan.” Amora mengangguk semangat. “Baik, Pak! Eh, maksudnya, baik, Gerald.” Mata tajam Gerald menyipit, menangkap kilau kegembiraan di wajah Am
Hari berikutnya dimulai dengan aktivitas padat di ruang rapat. Amora yang kini sudah lebih terbiasa dengan tekanan kerja tetap fokus meskipun suasana rapat bersama Victor Wong masih menyisakan ketegangan. Gerald dengan sikap dinginnya tetap menguasai situasi, memastikan semua keputusan bisnis berjalan sesuai rencana tanpa celah untuk dipermainkan Victor. Setelah beberapa jam yang melelahkan, mereka akhirnya menyelesaikan semua urusan bisnis. Victor yang tampak kesal meninggalkan ruangan lebih dulu, sementara Gerald duduk bersandar di kursinya dengan ekspresi puas. “Masalah selesai,” ucap Gerald singkat. Amora tersenyum lega. “Akhirnya…” Gerald melirik jam tangannya. “Aku janji bakal bawa kamu jalan-jalan, kan?” Mata Amora berbinar. “Serius nih?” Gerald mengangguk. “Ambil tasmu. Kita pergi sekarang.” *** Mereka meninggalkan gedung pertemuan dengan suasana yang jauh lebih santai. Gerald yang biasanya
Langit Jakarta pagi itu kelabu, seakan menyimpan firasat buruk yang akan segera terjadi. Amora Andromeda baru saja kembali dari perjalanan bisnis bersama Gerald David di Korea Selatan. Cuaca dingin Seoul masih terasa menyelimuti tubuhnya meski kini ia telah kembali ke Indonesia yang panas. Namun, bukan cuaca yang membuat gadis itu resah, melainkan sebuah pesan yang baru saja masuk di ponselnya.Ken Fernando : Amora, kita percepat pernikahan menjadi minggu depan. Semua persiapan akan aku urus. Jangan khawatir, hanya perlu persetujuanmu.Amora memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong. Tubuhnya mendadak kaku. Ken Fernando, tunangannya sekaligus pria yang pernah menjadi suaminya di kehidupan sebelumnya, kembali menunjukkan sisi otoriternya. Bayangan pernikahan mereka yang kacau balau di kehidupan sebelumnya terlintas di benaknya—perselingkuhan, pertengkaran, dan luka yang tak pernah sembuh sepenuhnya.Gerald yang duduk di sampingnya menyadari perubahan
Langit Jakarta malam itu tampak kelam, seolah menyuarakan gejolak hati Amora yang tak menentu. Ia berdiri di depan cermin besar di apartemennya, memandang bayangan dirinya yang tampak sempurna dengan gaun hitam elegan. Namun, di balik penampilan tanpa cela itu, pikirannya penuh pertanyaan. Ken benar-benar nekat mempercepat pernikahan mereka. Dalam seminggu, ia akan menjadi istrinya—lagi. Amora mengepalkan tangan, menahan emosi yang bergejolak. Ini semua pasti bagian dari permainan busuk Ken dan Angel. Mereka ingin menyiksanya di kehidupan ini seperti mereka menghancurkannya dulu. Namun kali ini, ia tidak akan kalah. Gerald telah membantunya menyusun rencana matang untuk mengguncang bisnis Ken. Pertemuan malam ini dengan para tiran bisnis adalah langkah penting dalam permainan catur balas dendamnya. Ponsel Amora bergetar. Nama Gerald muncul di layar. “Sudah siap?” suaranya terdengar tegas. “Ya. Aku akan segera ke sana,” jawab Amora sambil mengambil tasnya. “Bagus. Aku tun
Langit pagi yang cerah berangsur mendung ketika mobil Ken meluncur keluar dari pusat kota. Amora duduk di samping pria itu dengan hati yang gelisah. Pertanyaan demi pertanyaan berputar di benaknya. Ken tidak memberitahu tujuan mereka dengan jelas, hanya mengatakan ada sesuatu yang ingin dibicarakan di tempat yang lebih privat. “Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Ken?” tanya Amora dengan nada tajam. Ken hanya tersenyum tipis tanpa menoleh. “Kamu akan tahu nanti.” Jawaban itu membuat Amora semakin tidak nyaman. Ia mengamati jalan yang semakin sepi dan berkelok. Hutan kecil dan perbukitan mulai menggantikan gedung-gedung tinggi. “Ken, hentikan mobil ini,” perintah Amora. Ken tetap diam, wajahnya tetap tenang namun penuh otoritas. Amora merasa ada yang tidak beres. Ia merogoh ponsel di dalam tasnya dengan cepat, namun sebelum sempat menghubungi Gerald, Ken merampas ponsel itu dan melemparkannya ke kursi belakang. “Tidak ada komunikasi dengan siapa pun sekarang,” ujar Ken din
Udara pagi yang dingin menyelimuti halaman luas tempat Amora dan Gerald berlatih setiap hari. Embun masih menempel di dedaunan, sementara matahari pagi perlahan menyembulkan sinarnya dari balik pegunungan. Namun, tak ada waktu bagi Amora untuk menikmati keindahan alam. Pagi ini, latihan mereka lebih intens dari biasanya. Amora berdiri dengan napas terengah-engah, tubuhnya berkeringat setelah serangkaian latihan bela diri yang membuat otot-ototnya tegang. Di depannya, Gerald berdiri dengan tenang, tongkat kayu di tangan kanannya. “Fokus,” ujar Gerald dengan nada tegas. “Serangan terakhirmu terlalu mudah ditebak.” Amora mengertakkan giginya. “Aku sudah mencoba yang terbaik.” “Coba lebih keras lagi.” Tanpa menunggu aba-aba, Amora melangkah maju dan melayangkan pukulan ke arah Gerald. Pria itu dengan mudah menghindar, namun kali ini Amora tidak berhenti. Ia terus menyerang dengan kombinasi pukulan dan tendangan, mencoba mengecoh lawannya. Gerald akhirnya tersenyum tipis saat A
Sejak peristiwa penyekapan yang hampir merenggut nyawanya, Amora tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Ken telah menunjukkan bahwa ia tak segan-segan menggunakan cara keji untuk mengontrolnya. Jika ia ingin bertahan dan menjalankan rencana balas dendam ini, ia harus memperkuat dirinya, baik secara fisik maupun mental. Di suatu pagi yang masih berselimut kabut, Amora berdiri di halaman luas rumah latihan milik Gerald. Keringat mengalir di pelipisnya, namun ia tidak peduli. Kakinya menjejak tanah dengan tegas, tubuhnya dalam posisi bertahan. Di depannya, Gerald berdiri dengan ekspresi serius. “Serang aku,” perintah Gerald dengan suara rendah namun tegas. Amora mengerutkan dahi. “Aku baru belajar beberapa hari. Aku nggak yakin bisa menyentuhmu.” Gerald menyeringai tipis. “Justru itu tantangannya. Jangan berpikir terlalu banyak. Ikuti instingmu.” Tanpa menunggu lebih lama, Amora melangkah maju dan melayangkan pukulan ke arah Gerald. Namun dengan mudah, pria itu menghi
Udara pagi yang biasanya segar terasa berat saat Gerald membawa Amora keluar dari lokasi penyekapan. Dengan wajah tegas yang tidak menyisakan celah untuk emosi lain, Gerald memastikan Amora berada di sisinya tanpa sedikit pun lepas dari genggamannya. “Gerald, aku baik-baik saja,” ujar Amora dengan suara lemah, mencoba meyakinkan pria itu. “Kamu tidak baik-baik saja,” balas Gerald cepat tanpa menoleh. Amora tahu tak ada gunanya berdebat. Gerald sedang dalam mode protektif yang tak bisa ditawar. Mobil mereka melaju dengan cepat menuju rumah sakit terdekat. Di sepanjang perjalanan, Gerald terus menatap lurus ke jalan, namun tangannya tetap menggenggam erat jemari Amora, seolah takut kehilangan gadis itu lagi. Sesampainya di rumah sakit, Gerald langsung memanggil dokter untuk memeriksa kondisi Amora. Dalam waktu singkat, perawat membawa Amora ke ruang pemeriksaan. --- Setelah serangkaian pemeriksaan selesai, Gerald masih belum puas. “Kita ke ruang radiologi. Aku ingin memasti
Langit pagi yang cerah berangsur mendung ketika mobil Ken meluncur keluar dari pusat kota. Amora duduk di samping pria itu dengan hati yang gelisah. Pertanyaan demi pertanyaan berputar di benaknya. Ken tidak memberitahu tujuan mereka dengan jelas, hanya mengatakan ada sesuatu yang ingin dibicarakan di tempat yang lebih privat. “Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Ken?” tanya Amora dengan nada tajam. Ken hanya tersenyum tipis tanpa menoleh. “Kamu akan tahu nanti.” Jawaban itu membuat Amora semakin tidak nyaman. Ia mengamati jalan yang semakin sepi dan berkelok. Hutan kecil dan perbukitan mulai menggantikan gedung-gedung tinggi. “Ken, hentikan mobil ini,” perintah Amora. Ken tetap diam, wajahnya tetap tenang namun penuh otoritas. Amora merasa ada yang tidak beres. Ia merogoh ponsel di dalam tasnya dengan cepat, namun sebelum sempat menghubungi Gerald, Ken merampas ponsel itu dan melemparkannya ke kursi belakang. “Tidak ada komunikasi dengan siapa pun sekarang,” ujar Ken din
Langit Jakarta malam itu tampak kelam, seolah menyuarakan gejolak hati Amora yang tak menentu. Ia berdiri di depan cermin besar di apartemennya, memandang bayangan dirinya yang tampak sempurna dengan gaun hitam elegan. Namun, di balik penampilan tanpa cela itu, pikirannya penuh pertanyaan. Ken benar-benar nekat mempercepat pernikahan mereka. Dalam seminggu, ia akan menjadi istrinya—lagi. Amora mengepalkan tangan, menahan emosi yang bergejolak. Ini semua pasti bagian dari permainan busuk Ken dan Angel. Mereka ingin menyiksanya di kehidupan ini seperti mereka menghancurkannya dulu. Namun kali ini, ia tidak akan kalah. Gerald telah membantunya menyusun rencana matang untuk mengguncang bisnis Ken. Pertemuan malam ini dengan para tiran bisnis adalah langkah penting dalam permainan catur balas dendamnya. Ponsel Amora bergetar. Nama Gerald muncul di layar. “Sudah siap?” suaranya terdengar tegas. “Ya. Aku akan segera ke sana,” jawab Amora sambil mengambil tasnya. “Bagus. Aku tun
Langit Jakarta pagi itu kelabu, seakan menyimpan firasat buruk yang akan segera terjadi. Amora Andromeda baru saja kembali dari perjalanan bisnis bersama Gerald David di Korea Selatan. Cuaca dingin Seoul masih terasa menyelimuti tubuhnya meski kini ia telah kembali ke Indonesia yang panas. Namun, bukan cuaca yang membuat gadis itu resah, melainkan sebuah pesan yang baru saja masuk di ponselnya.Ken Fernando : Amora, kita percepat pernikahan menjadi minggu depan. Semua persiapan akan aku urus. Jangan khawatir, hanya perlu persetujuanmu.Amora memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong. Tubuhnya mendadak kaku. Ken Fernando, tunangannya sekaligus pria yang pernah menjadi suaminya di kehidupan sebelumnya, kembali menunjukkan sisi otoriternya. Bayangan pernikahan mereka yang kacau balau di kehidupan sebelumnya terlintas di benaknya—perselingkuhan, pertengkaran, dan luka yang tak pernah sembuh sepenuhnya.Gerald yang duduk di sampingnya menyadari perubahan
Hari berikutnya dimulai dengan aktivitas padat di ruang rapat. Amora yang kini sudah lebih terbiasa dengan tekanan kerja tetap fokus meskipun suasana rapat bersama Victor Wong masih menyisakan ketegangan. Gerald dengan sikap dinginnya tetap menguasai situasi, memastikan semua keputusan bisnis berjalan sesuai rencana tanpa celah untuk dipermainkan Victor. Setelah beberapa jam yang melelahkan, mereka akhirnya menyelesaikan semua urusan bisnis. Victor yang tampak kesal meninggalkan ruangan lebih dulu, sementara Gerald duduk bersandar di kursinya dengan ekspresi puas. “Masalah selesai,” ucap Gerald singkat. Amora tersenyum lega. “Akhirnya…” Gerald melirik jam tangannya. “Aku janji bakal bawa kamu jalan-jalan, kan?” Mata Amora berbinar. “Serius nih?” Gerald mengangguk. “Ambil tasmu. Kita pergi sekarang.” *** Mereka meninggalkan gedung pertemuan dengan suasana yang jauh lebih santai. Gerald yang biasanya
Seminggu sebelum Rachel Lee kembali, Amora mendapat kejutan yang tak pernah dia bayangkan. Gerald tiba-tiba memberitahunya tentang perjalanan bisnis ke Korea Selatan. “Kita berangkat besok pagi,” ucap Gerald dengan nada tegas di ruangan kantornya yang elegan. Amora yang sedang berdiri di depannya terbelalak. “Korea Selatan?” Gerald mengangguk tanpa ekspresi. “Ada urusan bisnis dengan Victor Wong di sana. Kamu ikut.” Amora tak mampu menyembunyikan senyumnya. Korea Selatan adalah negara impiannya sejak lama. Namun, ayahnya selalu melarangnya pergi ke sana dengan alasan keamanan yang tak jelas. Tapi kini, bersama Gerald, semua itu mungkin terjadi. “Serius nih?” Amora memastikan dengan nada antusias. Gerald mengangkat alis. “Kenapa nggak serius? Ini urusan kerjaan.” Amora mengangguk semangat. “Baik, Pak! Eh, maksudnya, baik, Gerald.” Mata tajam Gerald menyipit, menangkap kilau kegembiraan di wajah Am
Hari kedua Amora bekerja sebagai asisten pribadi Gerald dimulai dengan lebih banyak tantangan. Hari itu, Amora sudah berada di kantor sejak pagi, mencoba memahami ritme pekerjaan yang berbeda jauh dari kehidupannya yang dulu nyaman dan serba ada. Meski masih canggung, gadis itu mulai belajar bagaimana mengatur jadwal serta mempersiapkan berbagai keperluan Gerald. Namun, tak ada yang bisa mempersiapkan Amora untuk apa yang akan terjadi hari ini. “Amora, ikut aku,” suara bariton Gerald terdengar tegas saat ia berjalan keluar dari ruangannya dengan langkah cepat. “Ke mana, Pak?” tanya Amora, berusaha menyamakan langkahnya dengan pria tinggi itu. “Pertemuan dengan klien,” jawab Gerald singkat. Setelah naik ke mobil hitam mewah milik Gerald, suasana sempat hening. Amora sesekali melirik pria itu yang duduk dengan wajah serius di kursi pengemudi. Ada aura otoritatif yang membuat siapa pun di dekatnya merasa kecil, tetapi entah kenapa