Langit Jakarta pagi itu kelabu, seakan menyimpan firasat buruk yang akan segera terjadi. Amora Andromeda baru saja kembali dari perjalanan bisnis bersama Gerald David di Korea Selatan. Cuaca dingin Seoul masih terasa menyelimuti tubuhnya meski kini ia telah kembali ke Indonesia yang panas. Namun, bukan cuaca yang membuat gadis itu resah, melainkan sebuah pesan yang baru saja masuk di ponselnya.
Ken Fernando : Amora, kita percepat pernikahan menjadi minggu depan. Semua persiapan akan aku urus. Jangan khawatir, hanya perlu persetujuanmu.Amora memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong. Tubuhnya mendadak kaku. Ken Fernando, tunangannya sekaligus pria yang pernah menjadi suaminya di kehidupan sebelumnya, kembali menunjukkan sisi otoriternya. Bayangan pernikahan mereka yang kacau balau di kehidupan sebelumnya terlintas di benaknya—perselingkuhan, pertengkaran, dan luka yang tak pernah sembuh sepenuhnya.Gerald yang duduk di sampingnya menyadari perubahanLangit Jakarta malam itu tampak kelam, seolah menyuarakan gejolak hati Amora yang tak menentu. Ia berdiri di depan cermin besar di apartemennya, memandang bayangan dirinya yang tampak sempurna dengan gaun hitam elegan. Namun, di balik penampilan tanpa cela itu, pikirannya penuh pertanyaan. Ken benar-benar nekat mempercepat pernikahan mereka. Dalam seminggu, ia akan menjadi istrinya—lagi. Amora mengepalkan tangan, menahan emosi yang bergejolak. Ini semua pasti bagian dari permainan busuk Ken dan Angel. Mereka ingin menyiksanya di kehidupan ini seperti mereka menghancurkannya dulu. Namun kali ini, ia tidak akan kalah. Gerald telah membantunya menyusun rencana matang untuk mengguncang bisnis Ken. Pertemuan malam ini dengan para tiran bisnis adalah langkah penting dalam permainan catur balas dendamnya. Ponsel Amora bergetar. Nama Gerald muncul di layar. “Sudah siap?” suaranya terdengar tegas. “Ya. Aku akan segera ke sana,” jawab Amora sambil mengambil tasnya. “Bagus. Aku tun
Langit pagi yang cerah berangsur mendung ketika mobil Ken meluncur keluar dari pusat kota. Amora duduk di samping pria itu dengan hati yang gelisah. Pertanyaan demi pertanyaan berputar di benaknya. Ken tidak memberitahu tujuan mereka dengan jelas, hanya mengatakan ada sesuatu yang ingin dibicarakan di tempat yang lebih privat. “Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Ken?” tanya Amora dengan nada tajam. Ken hanya tersenyum tipis tanpa menoleh. “Kamu akan tahu nanti.” Jawaban itu membuat Amora semakin tidak nyaman. Ia mengamati jalan yang semakin sepi dan berkelok. Hutan kecil dan perbukitan mulai menggantikan gedung-gedung tinggi. “Ken, hentikan mobil ini,” perintah Amora. Ken tetap diam, wajahnya tetap tenang namun penuh otoritas. Amora merasa ada yang tidak beres. Ia merogoh ponsel di dalam tasnya dengan cepat, namun sebelum sempat menghubungi Gerald, Ken merampas ponsel itu dan melemparkannya ke kursi belakang. “Tidak ada komunikasi dengan siapa pun sekarang,” ujar Ken din
Udara pagi yang biasanya segar terasa berat saat Gerald membawa Amora keluar dari lokasi penyekapan. Dengan wajah tegas yang tidak menyisakan celah untuk emosi lain, Gerald memastikan Amora berada di sisinya tanpa sedikit pun lepas dari genggamannya. “Gerald, aku baik-baik saja,” ujar Amora dengan suara lemah, mencoba meyakinkan pria itu. “Kamu tidak baik-baik saja,” balas Gerald cepat tanpa menoleh. Amora tahu tak ada gunanya berdebat. Gerald sedang dalam mode protektif yang tak bisa ditawar. Mobil mereka melaju dengan cepat menuju rumah sakit terdekat. Di sepanjang perjalanan, Gerald terus menatap lurus ke jalan, namun tangannya tetap menggenggam erat jemari Amora, seolah takut kehilangan gadis itu lagi. Sesampainya di rumah sakit, Gerald langsung memanggil dokter untuk memeriksa kondisi Amora. Dalam waktu singkat, perawat membawa Amora ke ruang pemeriksaan. --- Setelah serangkaian pemeriksaan selesai, Gerald masih belum puas. “Kita ke ruang radiologi. Aku ingin memasti
Sejak peristiwa penyekapan yang hampir merenggut nyawanya, Amora tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Ken telah menunjukkan bahwa ia tak segan-segan menggunakan cara keji untuk mengontrolnya. Jika ia ingin bertahan dan menjalankan rencana balas dendam ini, ia harus memperkuat dirinya, baik secara fisik maupun mental. Di suatu pagi yang masih berselimut kabut, Amora berdiri di halaman luas rumah latihan milik Gerald. Keringat mengalir di pelipisnya, namun ia tidak peduli. Kakinya menjejak tanah dengan tegas, tubuhnya dalam posisi bertahan. Di depannya, Gerald berdiri dengan ekspresi serius. “Serang aku,” perintah Gerald dengan suara rendah namun tegas. Amora mengerutkan dahi. “Aku baru belajar beberapa hari. Aku nggak yakin bisa menyentuhmu.” Gerald menyeringai tipis. “Justru itu tantangannya. Jangan berpikir terlalu banyak. Ikuti instingmu.” Tanpa menunggu lebih lama, Amora melangkah maju dan melayangkan pukulan ke arah Gerald. Namun dengan mudah, pria itu menghi
Udara pagi yang dingin menyelimuti halaman luas tempat Amora dan Gerald berlatih setiap hari. Embun masih menempel di dedaunan, sementara matahari pagi perlahan menyembulkan sinarnya dari balik pegunungan. Namun, tak ada waktu bagi Amora untuk menikmati keindahan alam. Pagi ini, latihan mereka lebih intens dari biasanya. Amora berdiri dengan napas terengah-engah, tubuhnya berkeringat setelah serangkaian latihan bela diri yang membuat otot-ototnya tegang. Di depannya, Gerald berdiri dengan tenang, tongkat kayu di tangan kanannya. “Fokus,” ujar Gerald dengan nada tegas. “Serangan terakhirmu terlalu mudah ditebak.” Amora mengertakkan giginya. “Aku sudah mencoba yang terbaik.” “Coba lebih keras lagi.” Tanpa menunggu aba-aba, Amora melangkah maju dan melayangkan pukulan ke arah Gerald. Pria itu dengan mudah menghindar, namun kali ini Amora tidak berhenti. Ia terus menyerang dengan kombinasi pukulan dan tendangan, mencoba mengecoh lawannya. Gerald akhirnya tersenyum tipis saat A
Amora menggenggam ponselnya erat, telapak tangannya berkeringat dingin. Matanya tak mampu lepas dari serangkaian foto dan pesan yang baru saja diterimanya. Ken—pria yang telah bersumpah mencintainya sampai mati—terlihat memeluk mesra seorang wanita lain di dalam sebuah apartemen. Wanita itu adalah Angel, seseorang yang pernah menjadi teman baiknya. Dadanya sesak, emosi bercampur aduk dalam dirinya. “Beraninya mereka,” gumam Amora dengan suara bergetar, antara marah dan hancur. Ia menatap jalanan yang basah di depannya, memutuskan untuk menghadapi mereka malam itu juga. Tanpa berpikir panjang, Amora meraih kunci mobilnya dan meninggalkan rumah dengan tergesa-gesa. Apartemen itu berdiri megah di tengah kota. Ken membelinya secara diam-diam, jauh dari pengetahuan Amora. Ternyata, apartemen itu bukan hanya tempat rahasia bagi Ken untuk bersembunyi, tapi juga tempat ia menutupi perselingkuhannya dengan Angel. Amora memarkir mobilnya sembarangan di depan apartemen. Ia tak peduli pad
Amora terbangun dengan tubuh dingin dan napas memburu. Keringat membasahi dahinya saat matanya menatap langit-langit kamar yang tampak asing, tapi anehnya... familiar. Dinding krem, tirai putih melambai pelan terkena angin pagi dari jendela terbuka. Semua terasa seperti mimpi—tapi terlalu nyata untuk diabaikan. Tangannya menggenggam seprai satin yang halus. Ia menoleh ke arah cermin di seberang tempat tidur. Wajah yang memandangnya kembali adalah wajah mudanya. Tanpa luka. Tanpa kerutan. Tanpa bekas kelelahan hidup yang dulu menggerogotinya pelan-pelan sampai akhir. Gadis itu sontak turun dari kasur, berjalan menuju meja rias dimana terdapat ponsel nya yang tergeletak. Layar ponsel menyala menampilkan lock screen foto selfie dirinya dan Angel saat kelulusan. Bukan seperti ini lock screen ponsel nya, setelah pernikahan nya dan Ken dia selalu memberikan jejak Ken di dalam hidup nya, salah satu nya foto pernikahan mereka untuk lock screen ponselnya. Amora menatap tanggal yang ter
Gerald menatap intens gadis yang berdiri di hadapan nya itu, pria itu mengamati sebentar lalu mengangguk. “Duduklah, apa kau tidak lelah berdiri dan hanya menatapku?” Gerald memberi isyarat pada Amora, membuat gadis itu duduk dengan gerakan sedikit canggung. “Kau tidak bersikap dingin karena keterlambatanku bukan?” tanya Amora sekali lagi, meyakinkan perasaan nya sendiri karena takut membuat suasana hati pria itu memburuk. Bisa kacau rencana yang sudah disusun itu jika tidak mendapatkan bantuan dari Gerald. Gerald mengangkat satu alisnya dengan ekspresi bertanya, “Kenapa kau berpikir seperti itu?” “Ya, kupikir kau adalah musuh tunanganku dan aku juga penasaran apa yang membuatmu mau bertemu denganku berdua dan ….” Amora melihat sekeliling, “Di tempat seperti ini.” “Kau terlalu meremehkan profesionalitas, Nona.” Gerald terkekeh, kemudian menyodorkan segelas whisky yang baru saja dia tuangkan pada Amora. “Minum?” tanya Gerald dengan nada menawarkan. “Tentu saja, mengapa ha
Udara pagi yang dingin menyelimuti halaman luas tempat Amora dan Gerald berlatih setiap hari. Embun masih menempel di dedaunan, sementara matahari pagi perlahan menyembulkan sinarnya dari balik pegunungan. Namun, tak ada waktu bagi Amora untuk menikmati keindahan alam. Pagi ini, latihan mereka lebih intens dari biasanya. Amora berdiri dengan napas terengah-engah, tubuhnya berkeringat setelah serangkaian latihan bela diri yang membuat otot-ototnya tegang. Di depannya, Gerald berdiri dengan tenang, tongkat kayu di tangan kanannya. “Fokus,” ujar Gerald dengan nada tegas. “Serangan terakhirmu terlalu mudah ditebak.” Amora mengertakkan giginya. “Aku sudah mencoba yang terbaik.” “Coba lebih keras lagi.” Tanpa menunggu aba-aba, Amora melangkah maju dan melayangkan pukulan ke arah Gerald. Pria itu dengan mudah menghindar, namun kali ini Amora tidak berhenti. Ia terus menyerang dengan kombinasi pukulan dan tendangan, mencoba mengecoh lawannya. Gerald akhirnya tersenyum tipis saat A
Sejak peristiwa penyekapan yang hampir merenggut nyawanya, Amora tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Ken telah menunjukkan bahwa ia tak segan-segan menggunakan cara keji untuk mengontrolnya. Jika ia ingin bertahan dan menjalankan rencana balas dendam ini, ia harus memperkuat dirinya, baik secara fisik maupun mental. Di suatu pagi yang masih berselimut kabut, Amora berdiri di halaman luas rumah latihan milik Gerald. Keringat mengalir di pelipisnya, namun ia tidak peduli. Kakinya menjejak tanah dengan tegas, tubuhnya dalam posisi bertahan. Di depannya, Gerald berdiri dengan ekspresi serius. “Serang aku,” perintah Gerald dengan suara rendah namun tegas. Amora mengerutkan dahi. “Aku baru belajar beberapa hari. Aku nggak yakin bisa menyentuhmu.” Gerald menyeringai tipis. “Justru itu tantangannya. Jangan berpikir terlalu banyak. Ikuti instingmu.” Tanpa menunggu lebih lama, Amora melangkah maju dan melayangkan pukulan ke arah Gerald. Namun dengan mudah, pria itu menghi
Udara pagi yang biasanya segar terasa berat saat Gerald membawa Amora keluar dari lokasi penyekapan. Dengan wajah tegas yang tidak menyisakan celah untuk emosi lain, Gerald memastikan Amora berada di sisinya tanpa sedikit pun lepas dari genggamannya. “Gerald, aku baik-baik saja,” ujar Amora dengan suara lemah, mencoba meyakinkan pria itu. “Kamu tidak baik-baik saja,” balas Gerald cepat tanpa menoleh. Amora tahu tak ada gunanya berdebat. Gerald sedang dalam mode protektif yang tak bisa ditawar. Mobil mereka melaju dengan cepat menuju rumah sakit terdekat. Di sepanjang perjalanan, Gerald terus menatap lurus ke jalan, namun tangannya tetap menggenggam erat jemari Amora, seolah takut kehilangan gadis itu lagi. Sesampainya di rumah sakit, Gerald langsung memanggil dokter untuk memeriksa kondisi Amora. Dalam waktu singkat, perawat membawa Amora ke ruang pemeriksaan. --- Setelah serangkaian pemeriksaan selesai, Gerald masih belum puas. “Kita ke ruang radiologi. Aku ingin memasti
Langit pagi yang cerah berangsur mendung ketika mobil Ken meluncur keluar dari pusat kota. Amora duduk di samping pria itu dengan hati yang gelisah. Pertanyaan demi pertanyaan berputar di benaknya. Ken tidak memberitahu tujuan mereka dengan jelas, hanya mengatakan ada sesuatu yang ingin dibicarakan di tempat yang lebih privat. “Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Ken?” tanya Amora dengan nada tajam. Ken hanya tersenyum tipis tanpa menoleh. “Kamu akan tahu nanti.” Jawaban itu membuat Amora semakin tidak nyaman. Ia mengamati jalan yang semakin sepi dan berkelok. Hutan kecil dan perbukitan mulai menggantikan gedung-gedung tinggi. “Ken, hentikan mobil ini,” perintah Amora. Ken tetap diam, wajahnya tetap tenang namun penuh otoritas. Amora merasa ada yang tidak beres. Ia merogoh ponsel di dalam tasnya dengan cepat, namun sebelum sempat menghubungi Gerald, Ken merampas ponsel itu dan melemparkannya ke kursi belakang. “Tidak ada komunikasi dengan siapa pun sekarang,” ujar Ken din
Langit Jakarta malam itu tampak kelam, seolah menyuarakan gejolak hati Amora yang tak menentu. Ia berdiri di depan cermin besar di apartemennya, memandang bayangan dirinya yang tampak sempurna dengan gaun hitam elegan. Namun, di balik penampilan tanpa cela itu, pikirannya penuh pertanyaan. Ken benar-benar nekat mempercepat pernikahan mereka. Dalam seminggu, ia akan menjadi istrinya—lagi. Amora mengepalkan tangan, menahan emosi yang bergejolak. Ini semua pasti bagian dari permainan busuk Ken dan Angel. Mereka ingin menyiksanya di kehidupan ini seperti mereka menghancurkannya dulu. Namun kali ini, ia tidak akan kalah. Gerald telah membantunya menyusun rencana matang untuk mengguncang bisnis Ken. Pertemuan malam ini dengan para tiran bisnis adalah langkah penting dalam permainan catur balas dendamnya. Ponsel Amora bergetar. Nama Gerald muncul di layar. “Sudah siap?” suaranya terdengar tegas. “Ya. Aku akan segera ke sana,” jawab Amora sambil mengambil tasnya. “Bagus. Aku tun
Langit Jakarta pagi itu kelabu, seakan menyimpan firasat buruk yang akan segera terjadi. Amora Andromeda baru saja kembali dari perjalanan bisnis bersama Gerald David di Korea Selatan. Cuaca dingin Seoul masih terasa menyelimuti tubuhnya meski kini ia telah kembali ke Indonesia yang panas. Namun, bukan cuaca yang membuat gadis itu resah, melainkan sebuah pesan yang baru saja masuk di ponselnya.Ken Fernando : Amora, kita percepat pernikahan menjadi minggu depan. Semua persiapan akan aku urus. Jangan khawatir, hanya perlu persetujuanmu.Amora memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong. Tubuhnya mendadak kaku. Ken Fernando, tunangannya sekaligus pria yang pernah menjadi suaminya di kehidupan sebelumnya, kembali menunjukkan sisi otoriternya. Bayangan pernikahan mereka yang kacau balau di kehidupan sebelumnya terlintas di benaknya—perselingkuhan, pertengkaran, dan luka yang tak pernah sembuh sepenuhnya.Gerald yang duduk di sampingnya menyadari perubahan
Hari berikutnya dimulai dengan aktivitas padat di ruang rapat. Amora yang kini sudah lebih terbiasa dengan tekanan kerja tetap fokus meskipun suasana rapat bersama Victor Wong masih menyisakan ketegangan. Gerald dengan sikap dinginnya tetap menguasai situasi, memastikan semua keputusan bisnis berjalan sesuai rencana tanpa celah untuk dipermainkan Victor. Setelah beberapa jam yang melelahkan, mereka akhirnya menyelesaikan semua urusan bisnis. Victor yang tampak kesal meninggalkan ruangan lebih dulu, sementara Gerald duduk bersandar di kursinya dengan ekspresi puas. “Masalah selesai,” ucap Gerald singkat. Amora tersenyum lega. “Akhirnya…” Gerald melirik jam tangannya. “Aku janji bakal bawa kamu jalan-jalan, kan?” Mata Amora berbinar. “Serius nih?” Gerald mengangguk. “Ambil tasmu. Kita pergi sekarang.” *** Mereka meninggalkan gedung pertemuan dengan suasana yang jauh lebih santai. Gerald yang biasanya
Seminggu sebelum Rachel Lee kembali, Amora mendapat kejutan yang tak pernah dia bayangkan. Gerald tiba-tiba memberitahunya tentang perjalanan bisnis ke Korea Selatan. “Kita berangkat besok pagi,” ucap Gerald dengan nada tegas di ruangan kantornya yang elegan. Amora yang sedang berdiri di depannya terbelalak. “Korea Selatan?” Gerald mengangguk tanpa ekspresi. “Ada urusan bisnis dengan Victor Wong di sana. Kamu ikut.” Amora tak mampu menyembunyikan senyumnya. Korea Selatan adalah negara impiannya sejak lama. Namun, ayahnya selalu melarangnya pergi ke sana dengan alasan keamanan yang tak jelas. Tapi kini, bersama Gerald, semua itu mungkin terjadi. “Serius nih?” Amora memastikan dengan nada antusias. Gerald mengangkat alis. “Kenapa nggak serius? Ini urusan kerjaan.” Amora mengangguk semangat. “Baik, Pak! Eh, maksudnya, baik, Gerald.” Mata tajam Gerald menyipit, menangkap kilau kegembiraan di wajah Am
Hari kedua Amora bekerja sebagai asisten pribadi Gerald dimulai dengan lebih banyak tantangan. Hari itu, Amora sudah berada di kantor sejak pagi, mencoba memahami ritme pekerjaan yang berbeda jauh dari kehidupannya yang dulu nyaman dan serba ada. Meski masih canggung, gadis itu mulai belajar bagaimana mengatur jadwal serta mempersiapkan berbagai keperluan Gerald. Namun, tak ada yang bisa mempersiapkan Amora untuk apa yang akan terjadi hari ini. “Amora, ikut aku,” suara bariton Gerald terdengar tegas saat ia berjalan keluar dari ruangannya dengan langkah cepat. “Ke mana, Pak?” tanya Amora, berusaha menyamakan langkahnya dengan pria tinggi itu. “Pertemuan dengan klien,” jawab Gerald singkat. Setelah naik ke mobil hitam mewah milik Gerald, suasana sempat hening. Amora sesekali melirik pria itu yang duduk dengan wajah serius di kursi pengemudi. Ada aura otoritatif yang membuat siapa pun di dekatnya merasa kecil, tetapi entah kenapa