Penjara Rungsep. Lasmini telah berhasil menemukan ayahnya dalam keadaan selamat. Tetapi semua belum berakhir. Mereka harus dapat keluar dari penjara Rungsep dengan selamat.
“Bagaimana kita keluar dari sini, lewat jalan yang tadi terlalu sulit, mungkin kita tidak bisa lagi melewatinya!” tanya Lasmini.
“Ikuti aku!” kata Tumenggung Jatibarang dengan tenang.
Semua segera mengikuti Tumenggung Jatibarang, keluar dari sel. Melompati lubang jebakan dan menuju sebuah sudut di ruangan kubah itu.
“Mundur semua!” kata Tumenggung Jatibarang sambil jongkok dan menekan lantai di bawahnya. Tiba-tiba ada lubang terbuka di lantai di bawah mereka. Sebuah lorong gelap terbentang di bawah mereka.
“Ayo, turun, ini jalan rahasia yang kubuat,” kata Tumenggung Jatibarang.
Semua tampak ragu-ragu.
“Ayo!” ajak Sarip kepada yang lainnya.
Semua lalu memasuki lorong rahasia itu. Ketika semua sudah m
Pataroeman. Pagi hari. Pitung, Jampang, Rais, Ji’i dan Ballan berkumpul di dekat sungai di sebuah tanah lapang. Mereka membicarakan rencana mereka selanjutnya. Keempatnya adalah buronan VOC, tentu riskan jika harus kembali ke Batavia.“Sebenarnya gue masih pingin di Batavia, di sono banyak temen-temen gue,” kata Jampang. “Lagipula, gue harus buat perhitungan dengan Ki Sima!” lanjut Jampang.“Ya, terserah elu dah, kalo gue mau kembali ke Rawabelong aje,” kata Pitung.“Ke Rawabelong, mau bunuh diri?” sahut Rais.“Nggak lah, kite kan punya tempat perlindungan!” kata Pitung.“Bener juga si Pitung,” kata Ji’i. “Di sana banyak yang kita kenal, mudah mencari bantuan,” lanjutnya.“Tapi sebenarnya aku lebih suka menetap di Batavia, sambil menunggu pasukan Mataram yang akan menyerang, sehingga kita bisa membantu pasukan Mataram,” tiba-tiba Pitun
Di sebuah kepulauan tersembunyi yang tidak terdapat dalam peta manapun. Pagi hari. Ratusan penduduk Kandanghaur telah mendarat di pulau itu dengan selamat, mereka di tempatkan di barak-barak yang telah dibangun sebelumnya. Lahan pertanian telah tersedia lengkap dengan berbagai tanaman. Pohon-pohon di sepanjang jalan berbuah lebat. Air jernih mengalir di sepanjang jalan menuju barak-barak itu.Cornelis de Bagijn menerima daftar nama-nama penduduk dari Siva dan menyuruhnya untuk menempatkan mereka sesuai dengan daftar pada barak yang sudah ditentukan.Cornelis segera memerintahkan dua puluh pasukan VOC bawahannya untuk segera menempatkan penduduk sesuai yang sudah ditentukan pada daftar nama itu.Sementara itu Siva didampingi oleh Herman Bondervijnon dan Otto Vollehaven memandangi ratusan orang Kandanghaur yang mulai ditempatkan di barak-barak itu.“Kalian sudah tahu apa yang harus dikerjakan?” tanya Siva memandang tajam pada Herman dan Ot
Siang hari di rumah Pieter Cortenhoef. Batavia. Jampang, Pitung, Rais, Ji’i, dan Ballan sudah menempati rumah itu. Rumah dengan model Belanda yang kokoh itu cukup nyaman bagi mereka.“Bagaimana elu bisa kenal pemilik rumah ini?” tanya Jampang sambil tiduran di sebuah sofa yang cukup empuk pada Ballan.“Eh, aku kan sudah lama jadi budak dan tinggal di benteng, jadi kenal semua penjaga benteng. Bahkan sebelum Pieter jadi penjaga, aku sudah lebih dulu ada di sana,” jawab Ballan.“Hubunganmu cukup baik?” tanya Jampang.“Aku berhubungan baik dengan banyak serdadu VOC, aku yang melayani kebutuhan mereka!”“Tetapi elu kan yang bunuh salah satu dari mereka?” desak Jampang.“Aku tidak tahu siapa yang kutusuk dan nasibnya seperti apa, apakah terbunuh atau terluka. Waktu itu yang ada dalam pikiranku adalah melarikan diri karena takut disuntik cairan merah itu!”Jampang
Batavia. Rumah Pieter Cortenhoef. Ballan tiba-tiba jatuh tersungkur dengan tubuh berubah berwarna kemerahan dan dua tanduk tumbuh di dahinya. Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i kebingungan, tidak tahu harus menolong dengan cara apa.“Ambil air!” teriak Pitung pada Rais.Rais segera berlari ke belakang mengambil air dalam sebuah ember.“Ini!” teriak Rais, sambil menyerahkan seember air itu pada Pitung.“Maksudku air minum!” teriak Pitung.“Oh!”Rais berlari lagi ke dapur untuk mengambil air minum.“Ini!” Rais menyerahkan segelas air minum kepada Pitung.“Terima kasih!” Pitung mengambil gelas yang diberikan Rais dan langsung meminumnya.Rais memandang dengan heran.“Bajigur!, kukira untuk Ballan,” protes Rais.“Siapa yang bilang, aku kan minta air minum,” kata Pitung sambil meringis.“Argh!” B
Hutan Rungsep. Menjelang siang. Tumenggung Jatibarang yang berhasil dibebaskan dari penjara berkumpul di tepi hutan Rungsep bersama pasukan yang dipimpin oleh Lasmini anak perempuannya. Mereka berhasil keluar dari penjara Rungsep dengan melalui lorong rahasia yang hanya diketahui oleh Tumenggung Jatibarang.“Apa rencana ayahanda selanjutnya?” tanya Lasmini pada ayahnya.“Tentu saja kita harus mengumpulkan kekuatan dan merebut kembali Jatibarang. Aku tidak rela Jatibarang dikuasai oleh Karta Sentana dan orang-orang VOC!” kata Tumenggung Jatibarang dengan berapi-api.Tentu saja dia sangat marah dan dendam pada Karta Sentana yang telah mengkhianatinya. Orang yang sangat dipercayanya ternyata bekerjasama dengan VOC untuk mengambil alih kekuasaan di Jatibarang.“Kira-kira berapa orang yang dapat kita kumpulkan untuk melawan Karta Sentana?” tanya Tumengggung Jatibarang pada Lasmini.Lasmini tidak bisa menjawab, karena
Hutan Rungsep. Matahari sudah hampir tepat di atas ubun-ubun. Pasukan Karta Sentana dibantu oleh pasukan VOC mengepung rombongan Tumenggung Jatibarang. Senapan siap ditembakkan, pasukan VOC yang memegang senapan siap menembak, tinggal menunggu aba-aba dari Karta Sentana. Begitu juga pasukan panah di baris kedua, siap melepaskan anak panah mereka. Tumenggung Jatibarang dan pasukannya juga sudah siap menghadapi segala serangan. Meskipun mereka menyadari kalau jumlah mereka kalah banyak, tetapi mereka tidak gentar sedikitpun. “Ah, apa ini!” “Aduh!” “Awas!” “Hiii!!” Tiba-tiba terjadi keributan di bagian belakang pasukan Karta Sentana. Pasukan VOC yang siap menembak menjadi kehilangan konsentrasi dan membalik badan untuk melihat ke bagian belakang. Ratusan ular tanpa diketahui asal mulanya, datang menyerang pasukan Karta Sentana, muncul dan menyerang dari berbagai arah, membuat pasukan Karta Sentana kocar-kacir. Beberapa orang
Siang hari. Rumah Pieter Cortenhoeff. Batavia. Setelah mengalami perubahan wujud akibat serum kehidupan yang disuntikkan padanya, Ballan mencoba mencari cara untuk menyembuhkan dirinya. Menurut pemikiran Ballan, orang yang menyuntikkan cairan itu, Antony van Leeuwenhoek, pasti mampu menyembuhkannya.“Kenape elu harus nyari die?” tanya Jampang penasaran.“Dia yang menyuntikan cairan itu, jadi aku yakin dia pasti punya obatnya!” jawab Ballan yakin.“Emangnya elu tahu dimane tempat tinggalnya?” desak Jampang.“Aku tahu, para ilmuwan yang bekerja di benteng Holandia menempati rumah di kawasan Weltevreden, Rumah Antony juga ada di daerah itu, walau aku tidak tahu pasti,” kata Ballan.“Biasanya jam berapa mereka keluar dari benteng?” tanya Pitung.“Biasanya sekitar pukul lima sore, mereka akan berbondong-bondong pulang,” jawab Ballan.“Hmm, kalau begitu kita harus
Batavia. Menjelang matahari tenggelam. Sebuah kereta kuda dengan cepat melintas di jalanan yang berdebu. Derap kaki kuda terdengar di seluruh jalanan. Rais yang mengemudikan kereta kuda itu, menatap jalanan di depannya dengan penuh konsentrasi. Sementara di belakang ada Ji’i yang duduk sambil memegangi Antony yang dalam keadaan pingsan.Kereta itu melaju terus langsung menuju rumah Pieter Cortenhoeff. Tak berapa lama kemudian, sampailah kereta kuda itu di rumah Pieter Cortenhoeff. Jampang, Pitung, dan Ballan sudah menunggu. Begitu kereta kuda itu berhenti, mereka langsung mengerumuni kereta kuda itu.“Bagaimana? Berhasil?” tanya Pitung sambil melihat isi kereta kuda.“Ya, apa ini orangnya?” tanya Rais memastikan.Ballan lebih mendekat dan mengamati orang yang tergeletak pingsan di atas kereta.“Ya, benar ini orangnya,” ucap Ballan.“Ayo, segera kita bawa masuk!” kata Jampang.Rais
Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu
Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter
Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur
Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m
Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc
Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke
Kyai Rangga melihat gudang perbekalan yang sudah tidak berbentuk lagi, porak-poranda, semua sapi yang dibawa mati dalam keadaan mengenaskan. Ada yang terbakar, ada yang terbunuh, dan ada yang tercebur ke laut. Semua perbekalan sudah tidak berbentuk lagi. Kesedihan tampak di wajah Kyai Rangga, walau dia sangat senang dengan kedatangan Suropati dan kawan-kawan. Tetapi kesedihan tidak dapat disembunyikan dari wajahnya.Sakera yang hendak mengajak Kyai Rangga bergurau mengurungkan niatnya ketika melihat raut wajah Kyai Rangga. Dia ikut memandang reruntuhan benteng darurat di pelabuhan.“Tidak ada harapan lagi, pasukan Mataram tidak akan mendapat perbekalan yang dibutuhkan,” kata Kyai Rangga pada dirinya sendiri.“Bukankah kita dapat mendatangkan lagi?” tanya Arya Tejawungu.“Tidak ada waktu lagi,” jawab Kyai Rangga pendek.Mendadak dari kejauhan Lembu Sora dan Bhre Wiraguna berkuda dengan cepat menghampiri Kyai Rangg
Panasnya tornado api membuat kapal raksasa yang terbuat dari baja memerah dan mulai meleleh. Semua sudah membayangkan penumpang kapal raksasa itu sudah tewas karena kepanasan. Tetapi dugaan itu meleset, karena baja di kapal itu hanya lapisan luarnya. Saat lapisan bajanya meleleh, tampaklah lapisan berwarna putih di dalamnya, bahan yang tahan api dan sangat kuat. Semua yang memandang dengan takjub, benar-benar kapal yang luar biasa.Sementara itu Bayu, Agni, Anila, dan Lindhu sudah mulai kehabisan tenaga. Tornado api perlahan mulai mengecil dan lenyap. Air laut kembali normal. Bayu jatuh terduduk, begitu juga Agni, Anila, dan Lindhu. Tenaga mereka benar-benar terkuras.“Bagaimana ini, kapal itu tidak dapat dihancurkan!” kata Arya Tejawungu.“Kita bertempur sampai titik darah penghabisan!” kata Kyai Rangga sambil berdiri, tenaganya sudah pulih kembali.Semua mata memandang ke arah kapal raksasa di laut, menunggu apa yang selanjutnya
Pelabuhan Sunda Kelapa. Menjelang tengah hari. Pasukan asing berpakaian hitam-hitam datang menyerbu ke dermaga. Pasukan Mataram tidak sanggup menghadapinya, senjata pasukan asing itu begitu mematikan. Kyai Rangga yang masih memulihkan tenaganya hanya dapat memandang pasukan asing itu menyerbu.“Gawat! Apa yang harus kami lakukan?” tanya Arya Tejawungu pada Kyai Rangga.“Biar kami saja yang menghadapi mereka!” kata Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka didampingi oleh Lindhu, Agni, dan Anila.Kyai Rangga tampak tersenyum senang melihat kedatangan empat saudara seperguruan itu. Kini dia merasa tenang dan melanjutkan memulihkan tenaganya, karena yakin empat orang itu akan sanggup mengatasi pasukan asing itu.Keempat penguasa kekuatan alam itu segera menyerbu pasukan asing. Agni mengeluarkan api yang dibantu oleh Anila sehingga menimbulkan tornado api yang segera menyambar pasukan asing.Tornado api itu berputar dengan cepat dan membakar semua pasukan asing yang mendekat. Pasukan a