Saat matahari sudah berada di sepertiga bola langit di belahan barat, ketiganya sudah berada di sebuah wilayah yang bernama Gedong. Menurut Logro, mereka sudah berada separuh jalan.
“Mudah-mudahan kita bisa mencapai tujuan masih terang hari,”ucap Klowor.
“Mudah-mudahan,” sahut Lorgo.
La Mudu mendadak menarik tali kekang kudanya.
“Kenapa Pendekar berhenti...?” bertanya Lorgo.
La Mudu mengangkat dagunya. “Di depan ada seorang laki-laki tua. Mungkin seorang pengemis.”
&n
Kesepuluh laki-laki sontak menoleh. Namun mereka dibuat nyaris jantungan, karena di saat yang bersamaan La Mudu melempar kedua golok di tangannya secara bersamaan dan langsung menancap di sela-sela kaki laki-laki bercodet di pipi dan di sela-sela sang ketua gerombolan. Wajah kedua laki-laki langsung pucat. Dengan cepat pula keduanya mencabut goloknya itu, lalu mereka pun meninggalkan tempat itu tanpa mengatakan apa pun. Tak lama kemudian, La Mudu dan kedua penunjuk jalannya melanjutkan perjalanan ke arah barat. Wilayah yang menuju ke arah barat merupakan daerah bebukitan. Namanya Bukit Kapur. Mengikuti petunjuk sang penunjuk jalan, Logro, mereka mengambil jalan melingkar dan melalui sebuah pinggiran lembah yang cukup luas. Menurut Logro, dia dan beberapa orang dari Desa Pringkuning pernah datang di tempat itu untuk b
“Syarat untuk memasuki agama ini tentu yang pertama adalah niat yang kuat, tulus, dan tanpa paksaan, sebelum berikrar dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu dua kalimat kesaksian dalam bahasa arab, yang bunyinya,“ashaduʾanlailahaʾillallāh, w* ashadu anna Muhammadan Rasulullah, yang artinya “aku bersaksi bahw* tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”. Apa maksudnya? Bukan hanya berucap. Berucap itu gampang, Angger. Kesaksian di sini adalah di mana kita sebagai seorang hamba bersaksi, bahw* yang mencipta langit, bumi, dan segala mahluk yang ada di dalamnya, menghidupkan dan yang mematikan manusia, memberi rejeki kepada segala mahluk, serta yang disembah oleh sekalian ala
“Benar sekali, Dato. Karena itu kami hanya membawa satu kapal saja barang dagangan, agar cepat habis sembari menunggu keluarga kami dijemput.” “Menurut aku ya, kalian berangkat sebagian atau berangkat semuanya sama baiknya, agar masing-masing kalian dapat menjemput keluarga kalian masing-masing. Hanya saja, agar pelayaran kalian terarah kalian sewa para nakhoda sekaligus pembaca arah yang dulunya pernah disewa oleh La Mudu, termasuk sepuluh atau dua puluh orang sebagai anak buah kapalnya.” “Baiklah, Dato. Kami juga sudah merencakan seperti itu,” sahut Kangjian. “Jangan lupa, saat kalian turun di daratan, kalian tetap mengenakan pakaian adat Mbojo, agar penyamaran kalian makin kuat. Ohya, rencanan
Karena untuk sekedar menghormati undangan dari keenam laki-laki bulai itu, selebihnya ingin sedikit mengetahui mereka dari dekat, La Mudu pun bersedia ikut ke tempat yang mereka sebut markas itu. Di markas La Mudu benar-benar disambut bak seorang pahlawan besar, lebih-lebih setelah mendengar cerita dari keenam teman mereka yang seakan-akan sangat tak masuk akal. Karena salah satu dari keenam pria bule, yaitu Sergeant Ruben Van Douwe, merupakan salah satu pemimpin sebagian besar serdadu, maka mereka mempercayai cerita itu, dan mereka pun sangat kagum dan menghormati La Mudu. “Sergeant Ruben, komandan kita sedang menderita sakit panas tinggi akibat kakinya yang patah, apa kira-kira Strijder Mudu bisa menyembuhkannya?”berkata salah seorang serdadu kepada Sergeant Ruben Van Do
Malam itu juga La Mudu pamit kepada Sergeant Ruben Van Douwe untuk melanjutkan perjalanannya. “Jika kami ke Pulau Sumbawa, di manakah kami bisa menemui Strijder Mudu?” bertanya Sergeant Ruben. “Tuan Ruben dapat mencari saya di sebuah desa yang bernama Tanaru. Tempatnya di penghujung timur Pulau Sumbawa,”jawab La Mudu. “Ta-na-ru. Korporaal Berend, tolong kaucatat nama desanya Strijder Mudu.” “Klaar, Sergeant!” “Baiklah, saya pamit, Tuan Ruben. Assalamualaikum.”&nbs
Ketika layar utama digulung, laju perahu langsung berkurang sehingga kapal perompak yang disebut kapal lanun langsung mendekat. Kapal lanun yang lumayan besar itu langsung memepeti perahu yang ditumpangi oleh La Mudu. Para perompak yang jumlahnya puluhan orang itu menatap ke arah perahu dan melihat seorang pemuda yang berdiri dengan sikap santai di pinggir perahu. La Mudu tak akan membiarkan para perampok di lautan itu untuk turun ke bawah perahu yang ditumpanginya. Dengan satu gerakan menyentak kecil, tubuhnya langsung melenting ke atas kapal lanun dan berdiri di haluan kapal. Para anggota lanun yang sebelumnya tak menyangka si pemuda tiba-tiba akan melakukan tindakan yang luar biasa seperti itu, sangat tercekat, kaget, dan sekaligus geram karena merasa ditantang. Serentak pula puluhan a
Keesokan harinya La Mudu melanjutkan perjalanan ke arah timur lalu menyeberang ke Pulau Sumbawa. Begitu ia menginjakkan kakinya di pulau itu, dengan karomah yang dimilikinya, ia mampu mencapai ujung timur pulau itu, Desa Tanaru, dalam waktu yang singkat. Saat melihat kemunculannya yang tiba-tiba, seluruh penduduk desanya bersortak-sorai. Yang paling berbahagia tentulah seisi Istana Sandaka (Uma Na’e), terutama kedua istrinya, Meilin dan Ming Wei, serta kedua buah hatinya, Indra Kala dan Dewi Samudera. Dewi Samudera saat diambil dan digendong oleh ayahnya, langsung menangis dan minta kembali kepada ibunya. Tapi tatapannya tak beralih dari wajah sang ayah. Semua orang dibuat tertawa. Hampir setengah hari La Mudu menggunakan waktunya untuk bercengkerama den
Kesepuluh mantan pasukan laut kekaisaran, yaitu Liu, Shing, Tomu, Yelu, Bian, Ang Bei, Wong, Haocun, Kangjian, dan Lung telah berhasil membawa serta keluarga mereka ke Tanaru, dan mereka telah hidup tenang dan makmur di wilayah itu. Antara penduduk asli dan pendatang hidup dengan rukun seperti sebuah keluarga yang sangat besar. Perkawinan campuran yang banyak dilakukan, menjadikan hubungan kekeluargaan mereka makin erat. Suatu hari, La Mudu mendapat laporan dari penduduk tentang adanya sebuah kapal asing yang hendak berlabuh di pelabuhan Wadu Mbolo. “Sebesar apa kapal itu?” tanya La Mudu. “Sedikit lebih kecil dari kapalnya Ndai Galara.” Jawab penduduk itu. [ Ndai Galara = Tuanku Kepala Desa).
Melihat keadaan perkembangan Tanaru yang demikian pesat dengan kekayaan dan pendapatannya yang demikian tinggi dan ditambah dengan pelabuhan lautnya yang makin ramai itu, maka Raja Mbojo pun menetapkan Tanaru sebagai pusat pemerintahan untuk wilayah timur Kerajaan Mbojo, dan La Mudu diangkat langsung sebagai Galara Na’e (setingkat gubernur zaman sekarang). Akibat kepemimpinan Galara Na’e Mudu sangat dimuliakan oleh rakyat Mbojo di wilayahnya, menjadikan Tanaru mengalami perkembangan yang makin pesat. Sejak diresmikan sebagai pusat pemerintahan di wilayah kerajaan bagian timur, Tanaru benar-benar telah menjelma sebagai sebuah bandar yang sangat ramai. Pelabuhan Wadu Mbolo yang merupakan pelabuhan terakhir dan persinggahan, pun makin ramai, dan menjadikannya sebagai pintu utama masuknya rejeki dan pendapatan bagi Bandar Tanaru. Kapal-kapal dagang besar antarnegeri pun makin banyak yang keluar masuk di pel
Tugas pertama yang diberikan oleh Baginda Raja kepada Lalu Galising memperbesar dan memperkuat lagi angkatan perang kerajaan. Atas perintah dan petunjuk dari sang Baginda Raja, Lalu Museng selaku pelaksana panglima perang lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru secara besar-besaran, baik untuk prajurit darat maupun prajurit laut. Dan atas petunjuk dari sang panglima utama, Lalu Galising merumbak seluruh kepemimpinan dari segala tingkatan angkatan perang dari pejabat yang kurang kinerjanya dengan perwira-perwira dan bintara-bintara yang cerdas dan sangat loyal. Ribuan tamtama dan bintara baru itu oleh Lalu Galising digembleng terlebih dahulu dengan ilmu kependekaran dalam taraf tertentu, sehingga prajurit-prajurit itu kelak akan menjadi prajurit yang sangat tangguh dan militan. Untuk mewujudkan kebijakannya itu, Lalu Galising mendatangkan ratusan pendekar jebolan Padepokan Tanaru yang merupakan saudara seperguruannya untuk me
Sebuah prosesi pernikahan yang tergolong mewah dan besar dilangsungkan satu bulan kemudian setelah acara lamaran. Pestanya berlangsung selama dua hari berturut-turut dan digelar tak ubahnya sebuah perkawinan di kalangan putra-putri raja-raja. Itu bisa dimaklumi, karena soal biaya bagi La Mudu atau Tanaru secara umum tak menjadi masalah. Kebetulan juga Ang Bei dan Ming Mei, orang tuanya An Bao Yu, adalah salah seorang juragan kaya di Tanaru. Namun demikian, semua biaya perkawinan berikut pestanya itu sudah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Uma Na’e (Galara Mudu). Dalam pesta walimah itu dipersembahkan berbagai hiburan dan pertunjukan dari dua bangsa, yaitu dari Bangsa Sinae (Tiongkok) maupun Bangsa Mbojo. Berpuluh-puluh ekor kerbau dan kambing dipotong untuk dinikmati oleh para tamu dari berbagai kalangan. Para tamu yang hadir dalam pesta walimah itu bukan
Di kota kerajaan yang luas dan ramai itu, Lalu Galising, yang ditemani Lalu Rinde dan saudara-saudara seperguruannya, mengajak Ambayu untuk menikmati berbagai hiburan di lingkungan istana maupun di sekitar kota, atau berbelanja berbagai barang yang disukai oleh sang kekasih. Jika sewaktu-waktu pergi berburu rusa, terkadang Lalu Galising mengajak sang kekasih untuk ikut serta. Ambayu bukan gadis yang lemah. Dia juga adalah calon seorang pendekar yang memiliki kekuatan fisik jauh di atas yang dimiliki oleh gadis biasa umumnya. Ia juga sangat lihai dalam berburu. Dengan menggunakan kuda pacu tunggangannya, ia berkali-kali mampu memburu rusa liar dan membunuhnya dengan cara ditombak atau dipanah. Keberhasilannya itu selalu mendapat pujian dari sang kekasih, Lalu Galising, dan juga para murid-murid padepokan yang menyertai mereka. Setahun kemudian, atau 5 tahun genap L
Keberhasilan muridnya, Lalu Galising, dalam memimpin dan menumpak gerombolan pemberontak di kerajaan seberang sangat membanggakan bagi La Mudu. Artinya, hasil didikannya secara khusus terhadap muridnya itu tak sia-sia, sudah sangat terlihat nyata hasilnya. Dan hal itu pun membuat kebanggan juga bagi segenap murid Padepokan Tanaru. Baik kakak-kakak seperguan maupun adik-adik seperguruannya, langsung memberikan ucapan selamat kepada Lalu Galising. Setelah mencapai usia 24 tahun, atau setelah 4 tahun ia menjadi murid Pendekar Tapak Dewa alias La Mudu, Lalu Galising telah tumbuh menjadi pemuda yang matang dan sempurna. Wajahnya makin tampan dengan bangun tubuhnya yang tinggi lagi kekar. Dan namanya pun makin terkenal di kalangan masyarakat Tanaru, lebih-lebih di kalangan seperguruannya di Padepokan Tanaru. Setiap ada permintaan bantuan dari kerajaan-kerajaan di Kepulauan Tenggara kepada pihak Ta
Sementara itu, perkembangan kawasan pemukiman di penghujung timur Pulau Sumbawa itu ramainya nyaris sama dengan ramainya ibu kota kerajaan. Terlebih dengan kesibukan yang terjadi di Pelabuhan Wadu Mbolo yang paling mendukung munculnya banyak saudagar-saudagar baru yang kuat. Kehidupan masyarakat di kawasan itu benar-benar aman dan tenteram, karena semua berada dalam kepatuhan pada pemimpin mereka, yaitu La Mudu alias kepala Desa Mudu alias pendekar Tapak Dewa. Tak ada satu pun penjahat atau kelompok penjahat mana pun di kawasan Kepulauan Tenggara yang berani coba-coba membuat kerisauan di kawasan itu. Baru mendengar nama sang pemimpin dari kawasan itu saja hati mereka sudah ciut lebih dahulu. Berani melakukan tindakan konyol di kawasan penghujung timur Pulau Sumbawa itu, sama halnya mereka melakukan tindakan bunuh diri. Sementara dari pihak Kompeni Belanda pun enggan untuk mengusik atau berurusan dengan Tanaru. Lagi pula, tak sediki
Kepulangan La Mudu menjadi kebahagiaan bagi segenap rakyat Tanaru. Keberadaannya sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah mereka merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka. Lebih-lebih yang merasakan kebahagiaannya itu adalah seisi Uma Na’e (Istana Sandaka), yaitu kedua istri dan anak-anak mereka, juga kedua pasang mertuanya. Indra Kelana (anak La Mudu dengan istrinya Meilin) dan Dewi Samudra (Anak La Mudu dengan istrinya Ming Wei) menyambut kehadiran ayah mereka dengan sangat riang gembira. Keduanya langsung menggelayut dalam gendongan di kedua sisi rusuk sang ayah. Lalu kedua bocah itu mendominasi cerita apa pun tentang mereka terhadap ayahnya, termasuk tentang ilmu beladiri yang mereka miliki makin tinggi serta hafalan Al Quran mereka yang sama-sama mencapai beberapa juz. “Luar biasa kedua anak-anak Ayah,” puji La Mudu sembari mencium pipi kedua buah hatinya. “Kalian harus terus belajar sama K
Pendekar Tapak Dewa bersama seluruh warga Desa Sera Guar mengantarkan rombongan pasukan bhayangkara yang akan membawa seluruh anggota penyamun Dewa Lenge itu ke kota raja di batas desa. Ada kelegaan namun juga perasaan rihatin serta kecewa yang dalam di dada setiap orang saat itu. Lega karena gerombolan yang sangat meresahkan itu telah berhasil dibekuk, dan prihatin serta kecewa yang dalam karena kenyataan bahwa pemimpin gerombolan penyamun malam itu ternyata adalah pemimpin mereka sendiri, Lalu Lojang, orang yang sangat mereka percaya, hormati, dan kagumi selama ini. Namun demikian, mereka hanya berharap, semoga Baginda Raja tidak sampai menjatuhkan hukuman gantung kepada pemimpin mereka itu. Mereka yakin, Lalu Lojang hanya sedang tersesat dan terjerumus. Mereka sangat tahu, sebelum kemunculan gerombolan penyamun malam di bawah pimpinannya itu, sang kepala desa itu adalah orang yang sangat baik, pen
Tentu saja mereka tak akan mendapatkan sahutan, karena rumah-rumah itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. “Rumah ini kosong! Ke mana para penghuninya...!?” Rata-rata demikian pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut para anggota gerombolan itu. Namun anehnya, saat mereka menyalakan obor di tangannya masing-masing, mereka menemukan butir-butir emas yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Dan tanpa ragu-ragu mereka mengambil butir-butir emas itu dan memasukkannya di kantong dalam pakaian mereka. “Bagaimana, apakah kalian keluar dari rumah-rumah warga dengan membawa hasil?” Itu yang bertanya adalah Gumang Lanang, ketika seluruh anggota gerombolan telah berkumpul kembali di sebuah tanah yang kosong dalam de