Kesepuluh mantan pasukan laut kekaisaran, yaitu Liu, Shing, Tomu, Yelu, Bian, Ang Bei, Wong, Haocun, Kangjian, dan Lung telah berhasil membawa serta keluarga mereka ke Tanaru, dan mereka telah hidup tenang dan makmur di wilayah itu. Antara penduduk asli dan pendatang hidup dengan rukun seperti sebuah keluarga yang sangat besar. Perkawinan campuran yang banyak dilakukan, menjadikan hubungan kekeluargaan mereka makin erat.
Suatu hari, La Mudu mendapat laporan dari penduduk tentang adanya sebuah kapal asing yang hendak berlabuh di pelabuhan Wadu Mbolo.
“Sebesar apa kapal itu?” tanya La Mudu.
“Sedikit lebih kecil dari kapalnya Ndai Galara.” Jawab penduduk itu. [ Ndai Galara = Tuanku Kepala Desa).
Setelah pembicaraan itu, Galara La Mudu turun ke ibu kota raja untuk menghadap langsung kepada Paduka Yang Mulia Sangaji Mbojo, Raja Bima, untuk memberitahukan dan meminta izin atas niatnya untuk membentuk angkatan perang sekedar untuk menjaga kemungkinan adanya serangan dari musuh dari bangsa asing seperti Bangsa Belanda. Tentu hal itu wajib dilakukan oleh La Mudu alias Galara Tanaru kepada Baginda Raja Mbojo selaku penguasa tertinggi di Kerajaan Mbojo. “Hamba berharap, suatu saat angkatan perang yang hamba bangun ini dapat menjadi pasukan penyokong bagi angkatan perang Kerajaan Mbojo juga, jika kelak kerjaan ini mendapat musuh seperti yang dialami oleh Kerajaan Goa saat ini, Yang Mulia. Sebab, datangnya kemungkinan buruk itu sama sekali di luar dari perkiraan kita. Bisa terjadi, dan syukur-syukur tidak terjadi. Kewajibab kita, menurut hamba, ada senantiasa waspada dan bersiap se
Galara Mudu mengabulkan permintaan mantan murid dadakannya dan seluruh anak buahnya dikerjakan di kapal-kapal penangkapan ikan dan pengolahan ikan di daratan. Kebetulan perusahaan-perusahaan di Tanaru itu memang masih terus menambah tenaga kerjanya. Hanya rumah penampungan mereka saja yang dibangunkan. Untuk mereka dibangun lagi beberapa puluh rumah di kawasan kaki gunung di sebelah barat perkampungan utama. Seperti usulan La Sangga, di lembah kecil yang berada di barat daya yang bernama Sera Maju, dibangun perkampungan kecil khusus untuk menampung para wanita dan anak-anak serta kaum jompo jika terjadi pertempuran suatu saat nanti. Lembah yang bernama Sera Maju itu adalah sebuah lembah yang berbentuk tapal kuda karena dikelilingi oleh barisan pegunungan berlereng terjal yang berbentuk setengah lingkaran. Di kaki pegunungan itu terdapat sebuah alir
Dato Hongli mendehem kecil sebelum berkata, “Tentu kami sangat menyambut baik keinginan dari para Sangaji. Hanya saja, tempat tinggal yang kami siapkan makin terbatas. Namun jika para Ndai Sangaji berniat untuk membangun rumah-rumah penampungan khusus untuk para calon prajurit masing-masing, kami sangat berterima kasih. Untuk lahannya, kami bisa mengusahakannya. Di sekitar Tanaru masih banyak lahan yang kosong.” Ucapan yang sama, telah disampaikan pula oleh sang mantan jenderal perang kekaisaran Dinasti Ming itu terhadap para utusan kerajaan lainnya. “Baiklah, Dato, Galara, kami akan menyampaikan hal ini kepada Paduka Sangaji kami,” sahut utusan dari Kerajaan Mbojo, yang diikuti oleh ucapan yang sama dari para utusan kerajaan lainnya. Seperti kesepak
Apa yang diramalkan oleh Dato Hongli itu terbukti beberapa bulan kemudian. Kompeni Belanda yang berada di wilayah Celebes mengirimkan lima kapal perang menuju Tanaru. Lima kapal perang besar itu berisi lebih kurang seribu serdadu. Para nelayan dan kapal penangkap ikan dari Tanaru yang sedang melakukan kegiatannya di Selat Celebes telah memantau kedatangan kapal-kapal itu langsung mengangkat layar dan segera balik ke Tanaru untuk memberitahukan kepada Galara Tanaru, La Mudu. La Mudu pun segera mempersiapkan segala sesuatunya. Termasuk hal pertama yang dilakukan adalah memasang ratusan meriam di sepanjang pesisir sekitar Tanaru, yaitu mulai Pelabuhan Wadu Mbolo sampai ke Pantai Panjang. Demikian juga kapal-kapal perang bekas pampasan dari Pulau Sangiang yang di dalamnya masih terpasang meriam, pun langsung disiapkan di sekitar Selat Gilibanta dengan berpura-pura sebagai kapal nelayan. Di kap
Akan tetapi, ketika ratusan prajurit laut sudah turun ke sekoci-sekoci di kedua sisi kapal-kapal mereka, tiba-tiba dentuman meriam terdengar menggelegar dan beruntun. Peluru-peluru besar sebesar tempurung kelapa itu langsung menghantam keempat kapal secara bertubi-tubi dan membuat dinding kapal besar yang lumayan besar itu bobol bolong di mana-mana. Tetapi kapal yang tengah yang ditumpangi oleh sang perwira pemimpin tak mendapat serangan. Seluruh pasukan laut Belanda yang sama sekali tak menduga mendapat sambutan yang seolah-olah tak masuk akal itu, teramat kaget dan panik. Keadaan huru hara pun terjadi. Mereka yang belum melakukan persiapan sama sekali menjadi kalang-kabut. Lebih-lebih serangan meriam itu disusul oleh suara senapan yang bagai petasan renteng. Segenap prajurit laut langsung merunduk di perut sekoci-sekoci yang mereka tumpangi untuk melindungi diri mereka dari terjangan pelor-pelor itu. Sebagian besar langsung menerjunkan
Peristiwa tertawannya hampir seribu serdadu laut Kerajaan Belanda oleh angkatan perang Tanaru itu menjadi berita yang menggemparkan seantero Kerajaan Bima hingga ke kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya. “Semua itu tentu tak lepas dari kehebatan pemimpin mereka dalam mengatur siasat. Di Tanaru terdapat dua benteng yang sangat kokoh, yaitu Ndai Galara sendiri yang merupakan panglima perangnya dan gurunya yang merupakan mantan jenderal perang sebuah kekaisaran di Dataran Sinae yang menjadi pengatur siasatnya. Latihan perang yang mereka lakukan selama ini akhirnya terlihat hasilnya,”ucap Sangaji Mbojo dengan penuh rasa bangga di hadapan para pembesar kerajaannya. “Aku harap, peristiwa itu menjadi sebuah pelajaran bagi kita selaku sebuah kerajaan untuk tetap waspada dan mempersiapkan diri. Saya ingin, latihan perang angkatan perang kita h
Galara Mudu sangat haru mendengar kesungguhan hati dari para serdadu tawanan itu, lalu kemudian berkata, “Baiklah, saya menghormati keputusan kalian, seperti saya menghormati kalian selama kalian berada di desa ini. Jika memang kalian ingin bergabung dan melatih pajuri baru, saya persilakan...!” Para wakil serdadu tawanan tak mampu menutupi rasa gembira di wajah mereka. Mereka ternyata sudah membicarakan tentang predikat pahit yang mereka terima kelak jika mereka menolak untuk kembali ke Celebes. Mereka akan akan dikutuk oleh bangsanya karena dianggap sebagai serdadu-serdadudesertie(pembangkang). Namun bagi mereka, predikat itu jauh lebih baik daripada mereka disebut sebagai penjajah dan membunuh rakyat yang tak berdosa di kemudian hari! Sepekan kemudian, datang utusan dari Sangaji Mbojo yang memberi kabar, bahwa ada hampir sepuluh kapal dari Celebes dan beberapa
Tiga hari berselang, datang laporan dari Kerajaan Mbojo bahwa ada sekitar lima kapal perang Kompeni Belanda dari arah Celebes dan dua kapal penyokong dari arah barat. Kemungkin dari wilayah komando Lombok atau Bali. Mendapat laporan itu, Galara Mudu dan Dato Hongli segera melakukan koordinasi dengan berbagai pimpinan pasukan di berbagai bagian (divisi). Tiap-tiap bagian langsung mengatur posisi mereka masing-masing. Di luar dugaan, sehari sebelum pasukan penyerbu itu mencapai dataran bagian timur Pulau Sumbawa, pasukan sukarela dari berbagai desa datang dari berbagai desa di wilayah Kerajaan Mbojo berdatangan ke wilayah Tanaru. Jumlah mereka ada ribuan dengan menunggang kuda mereka. Mereka adalah para pemuda dan laki-laki tangguh yang terbiasa dalam berburu, terlihat dengan senjata panah dan tombak yang mereka bawa.
Melihat keadaan perkembangan Tanaru yang demikian pesat dengan kekayaan dan pendapatannya yang demikian tinggi dan ditambah dengan pelabuhan lautnya yang makin ramai itu, maka Raja Mbojo pun menetapkan Tanaru sebagai pusat pemerintahan untuk wilayah timur Kerajaan Mbojo, dan La Mudu diangkat langsung sebagai Galara Na’e (setingkat gubernur zaman sekarang). Akibat kepemimpinan Galara Na’e Mudu sangat dimuliakan oleh rakyat Mbojo di wilayahnya, menjadikan Tanaru mengalami perkembangan yang makin pesat. Sejak diresmikan sebagai pusat pemerintahan di wilayah kerajaan bagian timur, Tanaru benar-benar telah menjelma sebagai sebuah bandar yang sangat ramai. Pelabuhan Wadu Mbolo yang merupakan pelabuhan terakhir dan persinggahan, pun makin ramai, dan menjadikannya sebagai pintu utama masuknya rejeki dan pendapatan bagi Bandar Tanaru. Kapal-kapal dagang besar antarnegeri pun makin banyak yang keluar masuk di pel
Tugas pertama yang diberikan oleh Baginda Raja kepada Lalu Galising memperbesar dan memperkuat lagi angkatan perang kerajaan. Atas perintah dan petunjuk dari sang Baginda Raja, Lalu Museng selaku pelaksana panglima perang lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru secara besar-besaran, baik untuk prajurit darat maupun prajurit laut. Dan atas petunjuk dari sang panglima utama, Lalu Galising merumbak seluruh kepemimpinan dari segala tingkatan angkatan perang dari pejabat yang kurang kinerjanya dengan perwira-perwira dan bintara-bintara yang cerdas dan sangat loyal. Ribuan tamtama dan bintara baru itu oleh Lalu Galising digembleng terlebih dahulu dengan ilmu kependekaran dalam taraf tertentu, sehingga prajurit-prajurit itu kelak akan menjadi prajurit yang sangat tangguh dan militan. Untuk mewujudkan kebijakannya itu, Lalu Galising mendatangkan ratusan pendekar jebolan Padepokan Tanaru yang merupakan saudara seperguruannya untuk me
Sebuah prosesi pernikahan yang tergolong mewah dan besar dilangsungkan satu bulan kemudian setelah acara lamaran. Pestanya berlangsung selama dua hari berturut-turut dan digelar tak ubahnya sebuah perkawinan di kalangan putra-putri raja-raja. Itu bisa dimaklumi, karena soal biaya bagi La Mudu atau Tanaru secara umum tak menjadi masalah. Kebetulan juga Ang Bei dan Ming Mei, orang tuanya An Bao Yu, adalah salah seorang juragan kaya di Tanaru. Namun demikian, semua biaya perkawinan berikut pestanya itu sudah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Uma Na’e (Galara Mudu). Dalam pesta walimah itu dipersembahkan berbagai hiburan dan pertunjukan dari dua bangsa, yaitu dari Bangsa Sinae (Tiongkok) maupun Bangsa Mbojo. Berpuluh-puluh ekor kerbau dan kambing dipotong untuk dinikmati oleh para tamu dari berbagai kalangan. Para tamu yang hadir dalam pesta walimah itu bukan
Di kota kerajaan yang luas dan ramai itu, Lalu Galising, yang ditemani Lalu Rinde dan saudara-saudara seperguruannya, mengajak Ambayu untuk menikmati berbagai hiburan di lingkungan istana maupun di sekitar kota, atau berbelanja berbagai barang yang disukai oleh sang kekasih. Jika sewaktu-waktu pergi berburu rusa, terkadang Lalu Galising mengajak sang kekasih untuk ikut serta. Ambayu bukan gadis yang lemah. Dia juga adalah calon seorang pendekar yang memiliki kekuatan fisik jauh di atas yang dimiliki oleh gadis biasa umumnya. Ia juga sangat lihai dalam berburu. Dengan menggunakan kuda pacu tunggangannya, ia berkali-kali mampu memburu rusa liar dan membunuhnya dengan cara ditombak atau dipanah. Keberhasilannya itu selalu mendapat pujian dari sang kekasih, Lalu Galising, dan juga para murid-murid padepokan yang menyertai mereka. Setahun kemudian, atau 5 tahun genap L
Keberhasilan muridnya, Lalu Galising, dalam memimpin dan menumpak gerombolan pemberontak di kerajaan seberang sangat membanggakan bagi La Mudu. Artinya, hasil didikannya secara khusus terhadap muridnya itu tak sia-sia, sudah sangat terlihat nyata hasilnya. Dan hal itu pun membuat kebanggan juga bagi segenap murid Padepokan Tanaru. Baik kakak-kakak seperguan maupun adik-adik seperguruannya, langsung memberikan ucapan selamat kepada Lalu Galising. Setelah mencapai usia 24 tahun, atau setelah 4 tahun ia menjadi murid Pendekar Tapak Dewa alias La Mudu, Lalu Galising telah tumbuh menjadi pemuda yang matang dan sempurna. Wajahnya makin tampan dengan bangun tubuhnya yang tinggi lagi kekar. Dan namanya pun makin terkenal di kalangan masyarakat Tanaru, lebih-lebih di kalangan seperguruannya di Padepokan Tanaru. Setiap ada permintaan bantuan dari kerajaan-kerajaan di Kepulauan Tenggara kepada pihak Ta
Sementara itu, perkembangan kawasan pemukiman di penghujung timur Pulau Sumbawa itu ramainya nyaris sama dengan ramainya ibu kota kerajaan. Terlebih dengan kesibukan yang terjadi di Pelabuhan Wadu Mbolo yang paling mendukung munculnya banyak saudagar-saudagar baru yang kuat. Kehidupan masyarakat di kawasan itu benar-benar aman dan tenteram, karena semua berada dalam kepatuhan pada pemimpin mereka, yaitu La Mudu alias kepala Desa Mudu alias pendekar Tapak Dewa. Tak ada satu pun penjahat atau kelompok penjahat mana pun di kawasan Kepulauan Tenggara yang berani coba-coba membuat kerisauan di kawasan itu. Baru mendengar nama sang pemimpin dari kawasan itu saja hati mereka sudah ciut lebih dahulu. Berani melakukan tindakan konyol di kawasan penghujung timur Pulau Sumbawa itu, sama halnya mereka melakukan tindakan bunuh diri. Sementara dari pihak Kompeni Belanda pun enggan untuk mengusik atau berurusan dengan Tanaru. Lagi pula, tak sediki
Kepulangan La Mudu menjadi kebahagiaan bagi segenap rakyat Tanaru. Keberadaannya sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah mereka merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka. Lebih-lebih yang merasakan kebahagiaannya itu adalah seisi Uma Na’e (Istana Sandaka), yaitu kedua istri dan anak-anak mereka, juga kedua pasang mertuanya. Indra Kelana (anak La Mudu dengan istrinya Meilin) dan Dewi Samudra (Anak La Mudu dengan istrinya Ming Wei) menyambut kehadiran ayah mereka dengan sangat riang gembira. Keduanya langsung menggelayut dalam gendongan di kedua sisi rusuk sang ayah. Lalu kedua bocah itu mendominasi cerita apa pun tentang mereka terhadap ayahnya, termasuk tentang ilmu beladiri yang mereka miliki makin tinggi serta hafalan Al Quran mereka yang sama-sama mencapai beberapa juz. “Luar biasa kedua anak-anak Ayah,” puji La Mudu sembari mencium pipi kedua buah hatinya. “Kalian harus terus belajar sama K
Pendekar Tapak Dewa bersama seluruh warga Desa Sera Guar mengantarkan rombongan pasukan bhayangkara yang akan membawa seluruh anggota penyamun Dewa Lenge itu ke kota raja di batas desa. Ada kelegaan namun juga perasaan rihatin serta kecewa yang dalam di dada setiap orang saat itu. Lega karena gerombolan yang sangat meresahkan itu telah berhasil dibekuk, dan prihatin serta kecewa yang dalam karena kenyataan bahwa pemimpin gerombolan penyamun malam itu ternyata adalah pemimpin mereka sendiri, Lalu Lojang, orang yang sangat mereka percaya, hormati, dan kagumi selama ini. Namun demikian, mereka hanya berharap, semoga Baginda Raja tidak sampai menjatuhkan hukuman gantung kepada pemimpin mereka itu. Mereka yakin, Lalu Lojang hanya sedang tersesat dan terjerumus. Mereka sangat tahu, sebelum kemunculan gerombolan penyamun malam di bawah pimpinannya itu, sang kepala desa itu adalah orang yang sangat baik, pen
Tentu saja mereka tak akan mendapatkan sahutan, karena rumah-rumah itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. “Rumah ini kosong! Ke mana para penghuninya...!?” Rata-rata demikian pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut para anggota gerombolan itu. Namun anehnya, saat mereka menyalakan obor di tangannya masing-masing, mereka menemukan butir-butir emas yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Dan tanpa ragu-ragu mereka mengambil butir-butir emas itu dan memasukkannya di kantong dalam pakaian mereka. “Bagaimana, apakah kalian keluar dari rumah-rumah warga dengan membawa hasil?” Itu yang bertanya adalah Gumang Lanang, ketika seluruh anggota gerombolan telah berkumpul kembali di sebuah tanah yang kosong dalam de