Yang paling merasa ditinggalkan di antara seluruh pengantar adalah Meilin, tentunya. Ia belum begitu lama menikmati kebersamaan dengan sang suami, tapi sudah harus berpisah. Ia berdiri di antara Putri Mantika yang merupakan kekasih dan calon istrinya La Turangga, Dewi Kamuni (Dewi Kemuning Senja) yang merupakan kekasih dan calon istrinya La Santara, La Nilam Pambinta yang merupakan kekasih dan calon istrinya La Jangga Jo, La Shinta Panala yang merupakan kekasih dan calon istrinya La Pabise, serta Dewi Wunta Ntara kekasihnya La Lewamori. Gadis pemalu yang terakhir ini adalah putri dari mendiang Dewa Bangga, dan usianya masih lebih muda dari gadis-gadis yang berdiri dengannya saat itu. Sederet gadis cantik itu tak bergeming di tempatnya berdiri hingga dua kapal yang mereka antar itu lenyap oleh lengkungan laut dan sudut pulau. Mereka mengiringi kepergian para laki-laki yang mereka cinta itu dengan
Selama sang murid mengadakan pelayaran, otomatis yang menjadi orang yang paling didengarkan kata-kata dan perintahnya oleh segenap orang yang berada di Desa Tanaru adalah Dato Hongli. Sang mantan jenderal perang dari kekaisaran Dinasti Ming itu menggantikan posisi sang murid dalam kebijakan apa pun yang menyangkut kepemimpinan di desa yang baru kembali dibangun itu. Beliau harus hadir dan menjadi petunjuk dalam setiap geliat kehidupan warga desa mulai terlihat di segala sektor itu. Bagi yang bekerja di sawah dan ladang mereka mulai sibuk menggarap wasah dan ladang mereka, begitu pun yang beternak. Lalu yang menggeluti kehidupan lewat laut, nelayan pun menjalankan pekerjaan mereka dengan tanpa rasa takut lagi akan diserang oleh perompak mana pun lagi. Untuk usaha pelayaran dan penangkapan ikan, orang yang sudah memulai usahanya adalah Bumi Osu. Enam kapal penangkap ikan dan satu kapal be
La Saladi menepuk dahinya. Ia nyaris lupa dengan tujuannya. Ah, gara-gara tertawan oleh kecantikan para bidadari ia menjadi lalai. “Iya, Dato. Kami datang ke mari dalam rangka membawa pesan dari Paduka Sangaji meminta kesediaan Dato atau Jawara Mudu untuk memberikan pelajaran ilmu beladiri dan ilmu kesaktian lainnya terhadap putra dan putri raja, atau mungkin terhadap pajuri-pajuri kerajaan.” “Hm...,” Dato Hongli manggut-manggut. “Ya, saya belum bisa memutuskan saat ini. Biarlah semua keputusan saya serahkan kepada murid saya, La Mudu. Saya pribadi ya senang-senang saja. Tapi seperti Tuan-Tuan lihat, usia saya adalah usia istirahat sembari menikmati ujung usia saya. Tapi jangan khawatir, saya akan membicarakannya dengan murid saya jika sudah kembali dari pelayarannya. Kelak saya akan mengirimkan utusan ke istana untuk membawa pesan keputusannya.”
Setelah melewati Kota Quanzhou, La Mudu dan kelima sahabatnya melintasi sebuah padang Dongbu Xi Shu Caoyuan yang luas dan panjang. Jalur itu merupakan salah satu jalur alternatif yang menghubungkan Kota Quanzhou dengan kota-kota atau daerah-daerah lain di sebelah timur bahkan menuju ke Ibu Kota Pey King. Dalam jarak tertentu, selalu ada pemukiman yang cukup luas dengan kehidupan masyarakatnya yang tenang. Namun dari kondisi rumah-rumah mereka yang tampak kurang begitu terawat, bisa dipastikan kondisi negeri ini belum begitu pulih benar setelah terjadi keruntuhan Kekaisaran dari Dinasti Ming beberapa puluh tahun yang silam. Saat keenamnya mampir untuk mengisi perut mereka di sebuah warung makan yang cukup ramai di sebuah pemukiman yang bernama Shezhihu, mereka kurang mendapat sambutan yang ramah dari pada pelanggan yang sedang menikmati maka
Saat rombongan La Mudu telah berada di mana kuda-kuda mereka diikat, pemuda yang tadi dikejar oleh lima laki-laki datang tergopoh-gopoh dan berkata, “Pendekar Mata Lebar, ijinkan saya untuk mengikuti rombongan kalian. Jika saya pulang sendiri saya pasti akan dihadang dan dibunuh oleh kelompok tadi. Kumohon...!” “Kami akan menuju Ziangxi. Tempat tinggalmu di mana?” tanya La Mudu. “Ya, saya juga tinggal di daerah sekitar itu. Tolonglah saya, Pendekar Mata lebar...!” La Mudu melihat ke lima sahabatnya lau mengamati wajah pemuda yang lusuh itu. “Namamu siapa...?” “Nama saya Shun Shin, Pendekar Mata Lebar...”&nbs
Malam itu bulan sedang purnama sehingga perjalanan dapat dilanjutkan kembali dengan tanpa banyak menemui hambatan. Sebelum malam larut mereka telah sampai di kota Bai Lianhua. Sebuah kota kecil yang cukup ramai. Menurut Shun Shin dulu kota ini merupakan kota yang sangat indah dan dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai penjuru untuk berlibur menikmati udara lereng pegunungan sejuk dengan alir sungainya yang indah dan jernih. Oleh Shun Shin, La Mudu dan kelima sahabatnya di bawa ke sebuah tempat penginapan yang termasuk paling bagus di kota itu. Penginapan itu berlantai dua. Lantai atas terdiri dari kamar-kamar yang disewakan, sementara di lantai bawah merupakan semacam restoran dan bar istilah kita zaman kini. “Paman, masih adakah kamar yang masih kosong?”
Desa Xianghu adalah sebuah desa yang terletak di sebuah lembah yang dikelilingi oleh lereng gunung dengan sebuah sungai besar yang yang menjadikan desa itu menjadi sebuah desa yang subur. Andaikata tanah-tanah pertanian di desa itu belum dimiliki oleh orang-orang kota yang memiliki uang, tentu rakyat desanya sangat makmur dengan berbagai hasil pertanian mereka yang dapat dipanen kapan saja. Desa itu berjarak tidak begitu jauh dari Kota Ziangxi. Menurut Shun Shin, penduduk desa itu banyak yang berpindah mencari penghidupan di kota, karena di desa mereka itu tak mampu menopang kehidupan mereka yang hanya sebagai buruh tani. Alur-alur sungai pun yang seharusnya bisa memakmurkan mereka dengan hasil ikannya yang melimpah, sudah dipatok dan dikuasai oleh para pemilik modal dari kota dengan membangun jaring-jaring bambu yang besar untuk menja
Rumah yang ditinggali oleh keluarga Baoyu seperti kebanyakan rumah di pedesaan, tidak terlalu besar dan tak ada hal yang istimewa apa pun, kecuali didominasi oleh kondisi kumuh, walau mungkin dulunya rumah kayu ini termasuk mewah. Kayu-kayunya masih terlihat yang asli, tak ada yang baru, menandakan bahwa tak ada perbaikan sama sekali. Menurut Yuwan, rumah itu warisan dari kakek mereka dari ayahnya. “Mengapa kalian tidak mencari penghidupan yang baru di kota seperti beberapa warga desa lainnya?” bertanya La Mudu. “Keadaan di kota pun belum terlalu nyaman untuk tinggali dan usaha, Saudara Ipar. Terlebih untuk kita orang desa yang masuk ke kota. Para bekas pesetia Dinasti yang runtuh masih sangat banyak yang berusaha untuk mengembalikan kaisar mereka yang
Yue Yin, Ming Wei, dan Shun Shin menatap wajah La Mudu bersamaan. Yue Yin menggeleng-geleng. “Tidak Mudu, tempat ini sudah tak cocok lagi dengan kami. Terlalu banyak kenangan di tempat ini bersama Jenderal Hongli. Lagi pula kami makin kesulitan hidup di kota yang keras ini, sementara Gong Fai dan Ming Wei terbiasa hidup sebagai petani saja di desa.” “Umpama saya kasih Lao Ma modal yang cukup untuk hidup di sini dan memulai usaha, apakah Lao Ma tetap menolak untuk tinggal di sini?” “Kami tidak akan hidup di sini, Pendekar Mata Lebar! Sebagai apa kami ini tinggal di rumah sebesar ini?!”spontan Shun Shin alias Gong Fai berkata dengan nada yang tinggi. “Kalau Pendekar Mata Lebar mau membawa orang-orang itu untuk ikut ke negerimu, mengapa k
Melihat keadaan perkembangan Tanaru yang demikian pesat dengan kekayaan dan pendapatannya yang demikian tinggi dan ditambah dengan pelabuhan lautnya yang makin ramai itu, maka Raja Mbojo pun menetapkan Tanaru sebagai pusat pemerintahan untuk wilayah timur Kerajaan Mbojo, dan La Mudu diangkat langsung sebagai Galara Na’e (setingkat gubernur zaman sekarang). Akibat kepemimpinan Galara Na’e Mudu sangat dimuliakan oleh rakyat Mbojo di wilayahnya, menjadikan Tanaru mengalami perkembangan yang makin pesat. Sejak diresmikan sebagai pusat pemerintahan di wilayah kerajaan bagian timur, Tanaru benar-benar telah menjelma sebagai sebuah bandar yang sangat ramai. Pelabuhan Wadu Mbolo yang merupakan pelabuhan terakhir dan persinggahan, pun makin ramai, dan menjadikannya sebagai pintu utama masuknya rejeki dan pendapatan bagi Bandar Tanaru. Kapal-kapal dagang besar antarnegeri pun makin banyak yang keluar masuk di pel
Tugas pertama yang diberikan oleh Baginda Raja kepada Lalu Galising memperbesar dan memperkuat lagi angkatan perang kerajaan. Atas perintah dan petunjuk dari sang Baginda Raja, Lalu Museng selaku pelaksana panglima perang lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru secara besar-besaran, baik untuk prajurit darat maupun prajurit laut. Dan atas petunjuk dari sang panglima utama, Lalu Galising merumbak seluruh kepemimpinan dari segala tingkatan angkatan perang dari pejabat yang kurang kinerjanya dengan perwira-perwira dan bintara-bintara yang cerdas dan sangat loyal. Ribuan tamtama dan bintara baru itu oleh Lalu Galising digembleng terlebih dahulu dengan ilmu kependekaran dalam taraf tertentu, sehingga prajurit-prajurit itu kelak akan menjadi prajurit yang sangat tangguh dan militan. Untuk mewujudkan kebijakannya itu, Lalu Galising mendatangkan ratusan pendekar jebolan Padepokan Tanaru yang merupakan saudara seperguruannya untuk me
Sebuah prosesi pernikahan yang tergolong mewah dan besar dilangsungkan satu bulan kemudian setelah acara lamaran. Pestanya berlangsung selama dua hari berturut-turut dan digelar tak ubahnya sebuah perkawinan di kalangan putra-putri raja-raja. Itu bisa dimaklumi, karena soal biaya bagi La Mudu atau Tanaru secara umum tak menjadi masalah. Kebetulan juga Ang Bei dan Ming Mei, orang tuanya An Bao Yu, adalah salah seorang juragan kaya di Tanaru. Namun demikian, semua biaya perkawinan berikut pestanya itu sudah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Uma Na’e (Galara Mudu). Dalam pesta walimah itu dipersembahkan berbagai hiburan dan pertunjukan dari dua bangsa, yaitu dari Bangsa Sinae (Tiongkok) maupun Bangsa Mbojo. Berpuluh-puluh ekor kerbau dan kambing dipotong untuk dinikmati oleh para tamu dari berbagai kalangan. Para tamu yang hadir dalam pesta walimah itu bukan
Di kota kerajaan yang luas dan ramai itu, Lalu Galising, yang ditemani Lalu Rinde dan saudara-saudara seperguruannya, mengajak Ambayu untuk menikmati berbagai hiburan di lingkungan istana maupun di sekitar kota, atau berbelanja berbagai barang yang disukai oleh sang kekasih. Jika sewaktu-waktu pergi berburu rusa, terkadang Lalu Galising mengajak sang kekasih untuk ikut serta. Ambayu bukan gadis yang lemah. Dia juga adalah calon seorang pendekar yang memiliki kekuatan fisik jauh di atas yang dimiliki oleh gadis biasa umumnya. Ia juga sangat lihai dalam berburu. Dengan menggunakan kuda pacu tunggangannya, ia berkali-kali mampu memburu rusa liar dan membunuhnya dengan cara ditombak atau dipanah. Keberhasilannya itu selalu mendapat pujian dari sang kekasih, Lalu Galising, dan juga para murid-murid padepokan yang menyertai mereka. Setahun kemudian, atau 5 tahun genap L
Keberhasilan muridnya, Lalu Galising, dalam memimpin dan menumpak gerombolan pemberontak di kerajaan seberang sangat membanggakan bagi La Mudu. Artinya, hasil didikannya secara khusus terhadap muridnya itu tak sia-sia, sudah sangat terlihat nyata hasilnya. Dan hal itu pun membuat kebanggan juga bagi segenap murid Padepokan Tanaru. Baik kakak-kakak seperguan maupun adik-adik seperguruannya, langsung memberikan ucapan selamat kepada Lalu Galising. Setelah mencapai usia 24 tahun, atau setelah 4 tahun ia menjadi murid Pendekar Tapak Dewa alias La Mudu, Lalu Galising telah tumbuh menjadi pemuda yang matang dan sempurna. Wajahnya makin tampan dengan bangun tubuhnya yang tinggi lagi kekar. Dan namanya pun makin terkenal di kalangan masyarakat Tanaru, lebih-lebih di kalangan seperguruannya di Padepokan Tanaru. Setiap ada permintaan bantuan dari kerajaan-kerajaan di Kepulauan Tenggara kepada pihak Ta
Sementara itu, perkembangan kawasan pemukiman di penghujung timur Pulau Sumbawa itu ramainya nyaris sama dengan ramainya ibu kota kerajaan. Terlebih dengan kesibukan yang terjadi di Pelabuhan Wadu Mbolo yang paling mendukung munculnya banyak saudagar-saudagar baru yang kuat. Kehidupan masyarakat di kawasan itu benar-benar aman dan tenteram, karena semua berada dalam kepatuhan pada pemimpin mereka, yaitu La Mudu alias kepala Desa Mudu alias pendekar Tapak Dewa. Tak ada satu pun penjahat atau kelompok penjahat mana pun di kawasan Kepulauan Tenggara yang berani coba-coba membuat kerisauan di kawasan itu. Baru mendengar nama sang pemimpin dari kawasan itu saja hati mereka sudah ciut lebih dahulu. Berani melakukan tindakan konyol di kawasan penghujung timur Pulau Sumbawa itu, sama halnya mereka melakukan tindakan bunuh diri. Sementara dari pihak Kompeni Belanda pun enggan untuk mengusik atau berurusan dengan Tanaru. Lagi pula, tak sediki
Kepulangan La Mudu menjadi kebahagiaan bagi segenap rakyat Tanaru. Keberadaannya sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah mereka merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka. Lebih-lebih yang merasakan kebahagiaannya itu adalah seisi Uma Na’e (Istana Sandaka), yaitu kedua istri dan anak-anak mereka, juga kedua pasang mertuanya. Indra Kelana (anak La Mudu dengan istrinya Meilin) dan Dewi Samudra (Anak La Mudu dengan istrinya Ming Wei) menyambut kehadiran ayah mereka dengan sangat riang gembira. Keduanya langsung menggelayut dalam gendongan di kedua sisi rusuk sang ayah. Lalu kedua bocah itu mendominasi cerita apa pun tentang mereka terhadap ayahnya, termasuk tentang ilmu beladiri yang mereka miliki makin tinggi serta hafalan Al Quran mereka yang sama-sama mencapai beberapa juz. “Luar biasa kedua anak-anak Ayah,” puji La Mudu sembari mencium pipi kedua buah hatinya. “Kalian harus terus belajar sama K
Pendekar Tapak Dewa bersama seluruh warga Desa Sera Guar mengantarkan rombongan pasukan bhayangkara yang akan membawa seluruh anggota penyamun Dewa Lenge itu ke kota raja di batas desa. Ada kelegaan namun juga perasaan rihatin serta kecewa yang dalam di dada setiap orang saat itu. Lega karena gerombolan yang sangat meresahkan itu telah berhasil dibekuk, dan prihatin serta kecewa yang dalam karena kenyataan bahwa pemimpin gerombolan penyamun malam itu ternyata adalah pemimpin mereka sendiri, Lalu Lojang, orang yang sangat mereka percaya, hormati, dan kagumi selama ini. Namun demikian, mereka hanya berharap, semoga Baginda Raja tidak sampai menjatuhkan hukuman gantung kepada pemimpin mereka itu. Mereka yakin, Lalu Lojang hanya sedang tersesat dan terjerumus. Mereka sangat tahu, sebelum kemunculan gerombolan penyamun malam di bawah pimpinannya itu, sang kepala desa itu adalah orang yang sangat baik, pen
Tentu saja mereka tak akan mendapatkan sahutan, karena rumah-rumah itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. “Rumah ini kosong! Ke mana para penghuninya...!?” Rata-rata demikian pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut para anggota gerombolan itu. Namun anehnya, saat mereka menyalakan obor di tangannya masing-masing, mereka menemukan butir-butir emas yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Dan tanpa ragu-ragu mereka mengambil butir-butir emas itu dan memasukkannya di kantong dalam pakaian mereka. “Bagaimana, apakah kalian keluar dari rumah-rumah warga dengan membawa hasil?” Itu yang bertanya adalah Gumang Lanang, ketika seluruh anggota gerombolan telah berkumpul kembali di sebuah tanah yang kosong dalam de