Pekerjaan membongkar seluruh isi kapal serta pemasangan kembali rumah-rumah di bekas Dewa Tanaru selama tiga hari berjalan lancar, siang dan malam. Pekerjaan itu melibatkan ribuan pekerja yang mayoritas para kaum pria. Sementara kaum wanita kebanyakan membantu di dapur umur bersama Baojia dan Fang Yin.
Di atas kapal, La Mudu mengawasi kesibukan yang berlangsung di daratan itu bersama Meilin.
Dato Hongli mendekati keduanya dari arah belakang. “Kauturunlah untuk melihat-lihat perkembangan pemasangan rumah-rumah di desamu. Ato dengar, pemasangan rumah istana itu hampir selesai. Biar Ato sendiri yang berada di kapal ini.”
“Eh, iya, Ato...! Memang sebaiknya saya turun dulu untuk meninjau ke desa,” sahut La Mudu.
“
Tak lupa kepada keenam penyamun insyaf La Mudu berkata,“Kakanda Sangga, Parange, Landa, Parada, Sunta, dan Geta...! Para Amancawa ini merupakan para wanita baik-baik. Hanya saja mereka bukan para gadis. Usia mereka berkisar dua puluh tujuh hingga tiga puluh tahun, tak terpaut jauh dengan usia kalian. Mereka wanita yang baik dan cantik-cantik. Jika masing-masing kalian berminat, kalian bisa meminang salah satu dari mereka untuk menjadi istri kalian. Kalian bisa menghadap saya untuk meminangnya. Itu salah satu syarat jika kalian ingin tinggal di desa ini.” Tampaknya La Mudu tak ingin merendahkan derajat dari para wanita simpanan itu. Karena pada dasarnya wanita-wanita itu memang orang baik-baik yang dipaksa untuk ikut ke Pulau Sangiang. Artinya, itu menjadi isyarat bagi yang mengetahui masa lalu mereka, wajib menutupinya rapat-rapat.
“Masuklah, Bumi Osu,” ucap La Mudu sembari bangkit dari tidurnya dan mengenakan kembali jubahnya. “Apakah semua penghuni pulau sudah meninggalkan pulau?” “Pulau sudah kosong dari penghuninya, Ananda Jawara,” sahut Bumi Osu sembari meletakkan pantatnya di atas permadani, berhadapan dengan La Mudu. “Lantas apa saja yang tersisa di pulau saat ini?” “Bangunan yang tersisa hanyajompadan isinya, Ananda Jawara. Saya punya rencana untuk mengajak warga untuk membongkarjompa-jompaitu dan membawanya ke daratan berikut isinya.” (Jompa= lumbung padi).&nbs
Karena Uma na’e (Istana Sandaka) belum rampung pemasangannya, maka rombongan dari utusan keenam kerajaan itu menginap di rumah-rumah di sekitar Uma Na’e yang telah rampung pemasangannya secara darurat. Baru keesokan harinya, setelah matahari sudah siang, rombongan utusan dari keenam kerajaan itu kembali ke kapalnya masing-masing untuk berlayar. Tiap utusan kerajaan masing-masing mendapatkan satu peti sahara besar perhiasan emas dan perak dari La Mudu untuk dipersembahkan kepada raja mereka masing-masing. Dan tak lupa La Mudu memberi buah tangan berupa sekantong perhiasan emas dan perak juga kepada tiap urusan, seperti janjinya kemarin. Setelah keenam kapal utusan dari keenam kerajaan itu telah berlayar, La Mudu tidak kembali ke kapal, namun langsung menuju Uma Na’e (Istana Sandaka) yang diikuti oleh segenap wanita yang tel
La Mudu hanya menunduk mendengar cerita itu, namun Putri Mantika hanya menatap kosong ke depan tapi kedua mata indahnya telah digenangi oleh cairan bening. Ia membiarkan saja air matanya menetes satu-satu menimpa bagian pahanya. Hal yang makin memilukan hatinya adalah, ternyata laki-laki yang selama hidupnya ia panggil sebagai “ayahanda” dan yang sangat menyayangi dan memanjakannya adalah justru sang pembantai dan pemangsa kedua orang kkandungnya yang asli. Andaikata saudara kembar dampitnya, La Mudu, tidak datang atau tewas dalam tragedi yang sangat memilukan itu, tentu selamanya ia tetap menganggap bahwa La Afi Sangia alias Paduka Sandaka Dana adalah ayah kandungnya. “Terima kasih atas ceritanya, Ama Pancala,” ucap La Mudu. “Kita tak perlu lagi larut dalam kesedihan. La Afi Sangia dan orang-orang yang terlibat
La Mudu dan Putri Mantika menyaksikan acara pembagian itu di beranda depan Uma Na’e. Keduanya tak henti-hentinya tersenyum melihat wajah-wajah bahagia para warga saat menerima bagiannya masing-masing. Saat itu Dato Hongli muncul dari dalam. Dan tanpa berkata apa pun, sang mantan jenderal perang dari Negeri Siane itu duduk di kursi di sebelah kanan muridnya. “Eh, Ato...Sudah selesai semedinya?”bertanya La Mudu dan mencium tangan gurunya. “Hm,” gumam Dato Hongli, lalu balik bertanya, “Belum selesai pembagiannya...?” “Ini sudah melewati separuhnya dari keseluruhan penerimanya, Ato.” 
“Apa kira-kira kapal-kapal ini kuat untuk pelayaran jauh?” “Tentu saja, Ananda Jawara. Karena kapal-kapal ini merupakan kapal-kapal Bugis yang terkenal kuat dan terbuat dari kayu-kayu dengan mutu terbaik,”Bumi Osu merasa heran dengan pertanyaan itu, lalu ia bertanya balik kepada La Mudu, “Apakah itu berarti Ananda Jawara berencana untuk melakukan pelayaran jauh?” “Iya, Bumi Osu,”sahut La Mudu tanpa melihat kepada lawan bicaranya, “saya berencana akan melakukan pelayaran menuju Negeri Sinae.” “Negeri Sanae...?”Wajah Bumi Osu menunjukkan kekagetannya. “Jauh sekali negeri itu, Ananda Jawara.” “Iya, benar! Menuru
Sore perlahan turun. Pantai Naru yang berhadapan langsung dengan kokohnya Gunung Sangiang keadaannya tetap ramai oleh orang-orang yang melaut dan menunggu para suami atau saudara mereka yang pulang dari melaut. Wajah-wajah mereka terlihat ceriah penuh keakraban dan kekeluargaan. Sebuah suasana yang demikian lama tak mereka rasakan. Mereka adalah warga Tanaru dan desa-desa di sekitarnya. “Kapan Kak Turangga memulai usaha penangkapan ikannya?”bertanya Putri Mantika. Saat itu keduanya sedang duduk bersisian di sebuah punggung batu karang di pinggir pantai. “Kakak sudah membicarakannya dengan kakakmu, La Mudu. Sekembali dari Daratan Sinae, usaha itu akan segera Kakak buka. Tapi sebelum itu, ada hal penting yang akan Kakak lakukan...,” sahut La Turangga.&
Yang paling merasa ditinggalkan di antara seluruh pengantar adalah Meilin, tentunya. Ia belum begitu lama menikmati kebersamaan dengan sang suami, tapi sudah harus berpisah. Ia berdiri di antara Putri Mantika yang merupakan kekasih dan calon istrinya La Turangga, Dewi Kamuni (Dewi Kemuning Senja) yang merupakan kekasih dan calon istrinya La Santara, La Nilam Pambinta yang merupakan kekasih dan calon istrinya La Jangga Jo, La Shinta Panala yang merupakan kekasih dan calon istrinya La Pabise, serta Dewi Wunta Ntara kekasihnya La Lewamori. Gadis pemalu yang terakhir ini adalah putri dari mendiang Dewa Bangga, dan usianya masih lebih muda dari gadis-gadis yang berdiri dengannya saat itu. Sederet gadis cantik itu tak bergeming di tempatnya berdiri hingga dua kapal yang mereka antar itu lenyap oleh lengkungan laut dan sudut pulau. Mereka mengiringi kepergian para laki-laki yang mereka cinta itu dengan
Melihat keadaan perkembangan Tanaru yang demikian pesat dengan kekayaan dan pendapatannya yang demikian tinggi dan ditambah dengan pelabuhan lautnya yang makin ramai itu, maka Raja Mbojo pun menetapkan Tanaru sebagai pusat pemerintahan untuk wilayah timur Kerajaan Mbojo, dan La Mudu diangkat langsung sebagai Galara Na’e (setingkat gubernur zaman sekarang). Akibat kepemimpinan Galara Na’e Mudu sangat dimuliakan oleh rakyat Mbojo di wilayahnya, menjadikan Tanaru mengalami perkembangan yang makin pesat. Sejak diresmikan sebagai pusat pemerintahan di wilayah kerajaan bagian timur, Tanaru benar-benar telah menjelma sebagai sebuah bandar yang sangat ramai. Pelabuhan Wadu Mbolo yang merupakan pelabuhan terakhir dan persinggahan, pun makin ramai, dan menjadikannya sebagai pintu utama masuknya rejeki dan pendapatan bagi Bandar Tanaru. Kapal-kapal dagang besar antarnegeri pun makin banyak yang keluar masuk di pel
Tugas pertama yang diberikan oleh Baginda Raja kepada Lalu Galising memperbesar dan memperkuat lagi angkatan perang kerajaan. Atas perintah dan petunjuk dari sang Baginda Raja, Lalu Museng selaku pelaksana panglima perang lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru secara besar-besaran, baik untuk prajurit darat maupun prajurit laut. Dan atas petunjuk dari sang panglima utama, Lalu Galising merumbak seluruh kepemimpinan dari segala tingkatan angkatan perang dari pejabat yang kurang kinerjanya dengan perwira-perwira dan bintara-bintara yang cerdas dan sangat loyal. Ribuan tamtama dan bintara baru itu oleh Lalu Galising digembleng terlebih dahulu dengan ilmu kependekaran dalam taraf tertentu, sehingga prajurit-prajurit itu kelak akan menjadi prajurit yang sangat tangguh dan militan. Untuk mewujudkan kebijakannya itu, Lalu Galising mendatangkan ratusan pendekar jebolan Padepokan Tanaru yang merupakan saudara seperguruannya untuk me
Sebuah prosesi pernikahan yang tergolong mewah dan besar dilangsungkan satu bulan kemudian setelah acara lamaran. Pestanya berlangsung selama dua hari berturut-turut dan digelar tak ubahnya sebuah perkawinan di kalangan putra-putri raja-raja. Itu bisa dimaklumi, karena soal biaya bagi La Mudu atau Tanaru secara umum tak menjadi masalah. Kebetulan juga Ang Bei dan Ming Mei, orang tuanya An Bao Yu, adalah salah seorang juragan kaya di Tanaru. Namun demikian, semua biaya perkawinan berikut pestanya itu sudah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Uma Na’e (Galara Mudu). Dalam pesta walimah itu dipersembahkan berbagai hiburan dan pertunjukan dari dua bangsa, yaitu dari Bangsa Sinae (Tiongkok) maupun Bangsa Mbojo. Berpuluh-puluh ekor kerbau dan kambing dipotong untuk dinikmati oleh para tamu dari berbagai kalangan. Para tamu yang hadir dalam pesta walimah itu bukan
Di kota kerajaan yang luas dan ramai itu, Lalu Galising, yang ditemani Lalu Rinde dan saudara-saudara seperguruannya, mengajak Ambayu untuk menikmati berbagai hiburan di lingkungan istana maupun di sekitar kota, atau berbelanja berbagai barang yang disukai oleh sang kekasih. Jika sewaktu-waktu pergi berburu rusa, terkadang Lalu Galising mengajak sang kekasih untuk ikut serta. Ambayu bukan gadis yang lemah. Dia juga adalah calon seorang pendekar yang memiliki kekuatan fisik jauh di atas yang dimiliki oleh gadis biasa umumnya. Ia juga sangat lihai dalam berburu. Dengan menggunakan kuda pacu tunggangannya, ia berkali-kali mampu memburu rusa liar dan membunuhnya dengan cara ditombak atau dipanah. Keberhasilannya itu selalu mendapat pujian dari sang kekasih, Lalu Galising, dan juga para murid-murid padepokan yang menyertai mereka. Setahun kemudian, atau 5 tahun genap L
Keberhasilan muridnya, Lalu Galising, dalam memimpin dan menumpak gerombolan pemberontak di kerajaan seberang sangat membanggakan bagi La Mudu. Artinya, hasil didikannya secara khusus terhadap muridnya itu tak sia-sia, sudah sangat terlihat nyata hasilnya. Dan hal itu pun membuat kebanggan juga bagi segenap murid Padepokan Tanaru. Baik kakak-kakak seperguan maupun adik-adik seperguruannya, langsung memberikan ucapan selamat kepada Lalu Galising. Setelah mencapai usia 24 tahun, atau setelah 4 tahun ia menjadi murid Pendekar Tapak Dewa alias La Mudu, Lalu Galising telah tumbuh menjadi pemuda yang matang dan sempurna. Wajahnya makin tampan dengan bangun tubuhnya yang tinggi lagi kekar. Dan namanya pun makin terkenal di kalangan masyarakat Tanaru, lebih-lebih di kalangan seperguruannya di Padepokan Tanaru. Setiap ada permintaan bantuan dari kerajaan-kerajaan di Kepulauan Tenggara kepada pihak Ta
Sementara itu, perkembangan kawasan pemukiman di penghujung timur Pulau Sumbawa itu ramainya nyaris sama dengan ramainya ibu kota kerajaan. Terlebih dengan kesibukan yang terjadi di Pelabuhan Wadu Mbolo yang paling mendukung munculnya banyak saudagar-saudagar baru yang kuat. Kehidupan masyarakat di kawasan itu benar-benar aman dan tenteram, karena semua berada dalam kepatuhan pada pemimpin mereka, yaitu La Mudu alias kepala Desa Mudu alias pendekar Tapak Dewa. Tak ada satu pun penjahat atau kelompok penjahat mana pun di kawasan Kepulauan Tenggara yang berani coba-coba membuat kerisauan di kawasan itu. Baru mendengar nama sang pemimpin dari kawasan itu saja hati mereka sudah ciut lebih dahulu. Berani melakukan tindakan konyol di kawasan penghujung timur Pulau Sumbawa itu, sama halnya mereka melakukan tindakan bunuh diri. Sementara dari pihak Kompeni Belanda pun enggan untuk mengusik atau berurusan dengan Tanaru. Lagi pula, tak sediki
Kepulangan La Mudu menjadi kebahagiaan bagi segenap rakyat Tanaru. Keberadaannya sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah mereka merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka. Lebih-lebih yang merasakan kebahagiaannya itu adalah seisi Uma Na’e (Istana Sandaka), yaitu kedua istri dan anak-anak mereka, juga kedua pasang mertuanya. Indra Kelana (anak La Mudu dengan istrinya Meilin) dan Dewi Samudra (Anak La Mudu dengan istrinya Ming Wei) menyambut kehadiran ayah mereka dengan sangat riang gembira. Keduanya langsung menggelayut dalam gendongan di kedua sisi rusuk sang ayah. Lalu kedua bocah itu mendominasi cerita apa pun tentang mereka terhadap ayahnya, termasuk tentang ilmu beladiri yang mereka miliki makin tinggi serta hafalan Al Quran mereka yang sama-sama mencapai beberapa juz. “Luar biasa kedua anak-anak Ayah,” puji La Mudu sembari mencium pipi kedua buah hatinya. “Kalian harus terus belajar sama K
Pendekar Tapak Dewa bersama seluruh warga Desa Sera Guar mengantarkan rombongan pasukan bhayangkara yang akan membawa seluruh anggota penyamun Dewa Lenge itu ke kota raja di batas desa. Ada kelegaan namun juga perasaan rihatin serta kecewa yang dalam di dada setiap orang saat itu. Lega karena gerombolan yang sangat meresahkan itu telah berhasil dibekuk, dan prihatin serta kecewa yang dalam karena kenyataan bahwa pemimpin gerombolan penyamun malam itu ternyata adalah pemimpin mereka sendiri, Lalu Lojang, orang yang sangat mereka percaya, hormati, dan kagumi selama ini. Namun demikian, mereka hanya berharap, semoga Baginda Raja tidak sampai menjatuhkan hukuman gantung kepada pemimpin mereka itu. Mereka yakin, Lalu Lojang hanya sedang tersesat dan terjerumus. Mereka sangat tahu, sebelum kemunculan gerombolan penyamun malam di bawah pimpinannya itu, sang kepala desa itu adalah orang yang sangat baik, pen
Tentu saja mereka tak akan mendapatkan sahutan, karena rumah-rumah itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. “Rumah ini kosong! Ke mana para penghuninya...!?” Rata-rata demikian pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut para anggota gerombolan itu. Namun anehnya, saat mereka menyalakan obor di tangannya masing-masing, mereka menemukan butir-butir emas yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Dan tanpa ragu-ragu mereka mengambil butir-butir emas itu dan memasukkannya di kantong dalam pakaian mereka. “Bagaimana, apakah kalian keluar dari rumah-rumah warga dengan membawa hasil?” Itu yang bertanya adalah Gumang Lanang, ketika seluruh anggota gerombolan telah berkumpul kembali di sebuah tanah yang kosong dalam de