"Kangmas Baruna...." Ayu memanggil kekasihnya dengan suara serak.Hal yang membuat Baruna tersentak dari duduknya, lalu perlahan dengan rasa tak yakin Baruna menoleh ke belakangnya."Ahh! A-ayu.. kau menyusulku..?!" Baruna berseru terbata, seolah tak percaya dengan penglihatannya."Iya Kangmas. Ayu akan ikut kemanapun Mas Baruna pergi. Jangan tinggalkan Ayu lagi ya Mas," sahut Ayu, seraya duduk di sisi Baruna."Benarkah itu keputusanmu Ayu? Mas tak mau dicap sebagai pembawa lari putri orang.""Tentu saja ini keputusan Ayu, Mas Baruna. Ayulah yang membawa lari putra orang. Hihihii..!" sahut Ayu seraya tertawa geli, namun nampak air mata bergulir di pipinya. Ya, Ayu merasa sangat terharu bisa berada kembali disisi kekasihnya itu. Baruna pun menggenggam tangan Ayu dengan lembut.'Nah, kini masalahnya berbeda jika Ayu yang mendatanginya. Aku tak akan di salahkan baik secara moral maupun etika, karena Ayu sendiri yang telah memilih jalan hidupnya', bathin Baruna agak tenang. Walau tetap s
"Wahh! Akhirnya kita bisa berkumpul lagi sahabat! Hahahaa..!" seru Eyang Cakradewa terbahak gembira sekali."Hahaha! Sepertinya pertemuan rutin 10 tahunan kita, yang sebentar lagi tiba harus di tunda para sahabat! Keadaan Tlatah Pallawa benar-benar sedang dalam kondisi genting!" seru Eyang Shindupalla tertawa senang, menyambut Eyang Cakradewa."Benar sahabat! Sepertinya lebih baik seperti itu!" sahut Eyang Pandunatha setuju."Baiklah aku ikut suara terbanyak saja! Hahaha!" akhirnya Eyang Cakradewa pun menyetujui penundaan pertemuan rutin 10 tahunan mereka di pulau Garuda."Mari kita lanjutkan pembicaraan kita di pendopo istana saja. Gusti Prabu telah mempersilahkan kita menggunakan seluruh lingkup istana, untuk kepentingan penjagaan dan pertahanan kerajaan Pallawa ini.Akhirnya mereka ketiga sahabat sepuh itu pun menuju ke pendopo istana, untuk lebih leluasa saling bicara dan melepas rindu.Sementara Larasati, Panji, Ranti, Jaya, Baruna, putri Lestari, serta Ayu, tengah larut dalam ob
BYAAARRSSSKHHH...!!!!Taman istana bagai pecah berantakkan, saat seluruh pendekar yang berada di sana ledakkan power mereka. Sementara sang patih Sanggatama segera ungsikan sang Maharaja ke tempat yang aman.Kilau cahaya power aneka warna menyelimuti para pendekar, bagaikan lampu taman yang berpijaran. Ya, para pendekar di taman istana Pallawa telah ledakkan segenap power yang mereka miliki."Siapkan pukulan pamungkas kalian semua..!! Saat serangan dari atas datang, Kita hajar serentak dengan pukulan kita semua..!!!" seru lantang Eyang Waranaya kembali mengarahkan. Karena memang posisi mereka mau tak mau harus bertahan. Dan sepuh itu bisa merasakan, betapa dahsyatnya power salah satu penyerang di atas sana.Sementara di ketinggian langit. Nampak kedua tangan Arya hingga lengannya telah dilapisi power berwarna hitam pekat berkobar, dengan selimut cahaya keemasan terang menyilaukan.Di lain sisi Eyang Balatapa juga telah siap dengan aji Pancageni Nerokonya. Nampak kesepuluh jari tangann
"Tapi tenanglah Shindupalla. Di saat Dewa meloloskan seorang Ksatria Iblis Neraka ke bumi. Maka di saat yang sama, para Dewa juga turunkan seorang Ksatria Semesta Pamungkas untuk menumpasnya," ujar Eyang Waranaya tersenyum tenang."Maksud Eyang, saat ini telah hadir juga seorang Ksatria Semesta Pamungkas di jagad ini?!" sentak Eyang Pandunatha terkejut."Tentu saja dia sudah ada di dalam barisan bersama kita. Bukankah dia yang memindahkanmu ke sini?!" sahut Eyang Waranaya kembali tersenyum."Ahhh..! Demi Hyang Agung..!!" seru ketiga sepuh itu bersamaan. "Jalu..! Kenapa kita sampai melupakannya?!" seru Eyang Shindupalla, dengan wajah merah karena rikuhnya.'Bodohnya aku! Tentu saja Jalu adalah jawaban, atas segala malapetaka yang akan ditimbulkan oleh Ksatria Iblis Neraka itu!' seru bathin Eyang Shindupalla, merasa bodoh dan malu."Ahh! Kau benar Eyang Waranaya. Kerendahan hati Jalu telah menutup mata kita, bahwa memang hanya dialah yang pantas menyandang sebutan 'Ksatria Semesta Pamu
"Lalu bagaimana dengan Jalu?" Eyang Pandunatha bertanya pada Eyang Shindupalla."Sebaiknya sementara waktu ini kita biarkan saja dulu Jalu beristirahat untuk memulihkan powernya. Pemindahan pasukkan dua tlatah kemarin pastilah telah menguras energinya. Pada saatnya nanti dia pasti muncul di waktu yang tepat," ujar Eyang Waranaya, menanggapi pertanyaan Eyang Pandunatha."Kurasa benar apa yang dikatakan Eyang Waranaya, Pandunatha. Jalu saat ini pasti tengah memulihkan dirinya untuk sementara waktu. Dia pasti akan muncul pada saat yang tepat," ujar Eyang Shindupalla. Dia sepakat dengan saran Eyang Waranaya, untuk tidak mengganggu Jalu sementara waktu."Bisa dipahami Eyang. Baiklah, semoga Jalu dalam keadaan baik-baik saja saat ini," ucap Eyang Pandunatha akhirnya."Baiklah jika tak ada yang keberatan, berarti kita akan membentuk keempat pasukkan itu besok. Bagi yang tadi terluka dalam, masih ada waktu untuk memulihkan diri. Lusa kita harus sudah bergerak dan berjaga di tiga wilayah itu.
"Huuaahh...!!! Huaaahhh...!!!" kedua pasukkan berteriak bergemuruh saling menggertak, memecahkan suasana perbatasan wilayah yang tadinya sepi.Sprath..! ... Sprathh..!!! Ribuan anak panah dari pasukkan Eyang Pandunatha melesat cepat lepas dari busurnya. Ya, mereka melepaskan anak panahnya, yang sejak tadi telah mereka bidikkan ke arah musuh. Panah-panah pasukkan Pallawa pun melesat ke angkasa hingga hingga titik tertingginya, lalu jatuh deras bagaikan hujan ke arah pasukkan pemberontak. Sementara dari pasukkan pemberontak sedikit terlambat, hanya ratusan anak panah saja yang sempat melesat dari busurny. Karena sebagian besar dari mereka, sudah terpanah lebih dulu oleh pasukkan panah Pallawa pimpinan Eyang Pandunatha.Dan secara serentak kedua pasukkan penyerang bersenjata frontal melesat maju, bagai berlomba menyongsong musuh."Tetap di belakang halang rintang..!!" teriak Panji dan Larasati mengingatkan pasukkan Pallawa.Ya, rupanya pasukkan Pallawa memang telah menempatkan pasukkan
Blaph..! Jalu lenyap seketika dari tempat itu. Sementara sepeninggal Eyang Pandunatha, pasukkan Pallawa secara perlahan terbantai oleh para ketua sekte pasukkan pemberontak.Karenanya mau tak mau Panji dan Larasati harus maju menghadapi Ki Taksaka. Dan tentu saja mereka berdua bukanlah lawan Ki Taksaka.Beberapa kali 'Pukulan Seribu Bayangan' Larasati menghantam ke arah Ki Taksaka, namun Ki Taksaka bagai tak merasakan pukulan itu dengan aji Perisai Kabut Nerakanya."Hahahaa! Apakah masih ada pukulan yang lebih ampuh lagi?!" seru Ki Taksaka bergelak menantang. Pandangannya nampak mengejek Larasati, yang tengah menatap Ki Taksaka dengan tatapan penuh dendam dan kebencian.Ya, Jalu memang sudah menceritakan pada Larasati, bahwa Ki Taksaka adalah otak dari pembantaian sekte Rajawali Emas. Hal yang mengakibatkan kedua orangtua mereka terbunuh."Hiahhh..!!" Blaazth..! Blaazth.!!Dengan seruan keras, Panji melesat masuk lontarkan 'Pukulan Matahari dan Rembulan'nya. Dua bola cahaya berkiblat
"Awass..! Musuh telah mendekt..!!" seru lantang seorang penjaga perbatasan, dari atas pohon yang cukup tinggi."SEMUANYA BERSIAP..!" seru lantang Eyang Shindupala, yang didampingi oleh Eyang Cakradewa di sebelahnya."SIAAPPP..!!" seru bergemuruh pasukkan Pallawa di perbatasan Grandala itu.Tak lama kemudian nampak debu mengepul dari kejauhan, suara derap dan ringkik kuda yang ditunggangi Eyang Balatapa dan beberapa pimpinan sekte yang mengiringinya terdengar di kejauhan.Perbatasan di antara wilayah Larantuka dan Grandala memang berupa tanah kering. Berbeda dengan perbatasan Larantuka dengan wilayah lainnya, yang ditumbuhi pepohonan serta hutan cukup lebat. Bagai dua wilayah yang di batasi oleh sebuah tanah lapang selebar 60 depa(120 meteran)."BERHENTI..!!" terdengar seruan bergema Eyang Balatapa menghentikan pasukkannya. Sungguh dia tak menyangka, bahwa pasukkan Pallawa akan berjaga di perbatasan wilayah.Tadinya dia beranggapan pasukkan kerajaan Pallawa sama sekali belum bersiaga,