Liman menghela nafas panjang lalu melanjutkan ceritanya"Aku sudah lelah jadi buronan dan penjahat. Orang-orang suruhan mantan kekasih ibumu terus memburu kami sampai ke lereng Lawu lalu menyerangku. Di saat aku sudah terdesak karena kalah jumlah dengan pengeroyokku, seorang Resi menolongku menyembunyikanku di Kampung Gaib di dekat Pasar Dieng.""Siapa Resi itu Bapak?""Dia adalah Mbah Jalak, dialah yang mengajakku meninggalkan dunia hitam. Hal lain yang membuatku ingin meninggalkan dunia hitam adalah karena ibumu bersedia menikah denganku asal tidak lagi menjadi perampok,"ungkap Liman."Baiklah Bapak, sekarang sudah jelas semuanya bagiku. Aku tidak peduli dengan masa lalu Bapak dan Ibu, tapi aku menyayangi kalian. Aku berharap setelah ini Bapak dan Ibu masih bersama,"kata Dhesta berharap."Ya Dhesta aku akan mengusahakannya. Tapi aku minta janganlah kamu membenci ibumu karena kesalahannya. Aku tahu dia melakukan hal itu karena dia ingin punya anak dari keturunan yang baik dari keluar
Orang itu menunjuk Dhesta lalu berkata pada teman-temannya."Bocah itu memiliki Kapak Setan! Dia pasti tahu keberadaan Liman sekarang!"Salah seorang gerombolan pendekar berkapak itu maju ke hadapan Dhesta. Tubuhnya tinggi besar. Tubuh Dhesta hanya setinggi pundaknya sehingga Dhesta harus menengadah kalau berbicara. Rambutnya panjang dan tak tersisir, wajahnya penuh codet bekas luka dengan brewok yang kasar. Dari cara orang-orang memperlakukannya, tampaknya dia pemimpin gerombolan itu. Dia bertanya dengan suara keras dan parau."Hei bocah, apa kamu kenal Liman?"Orang itu dia manusia tapi wujudnya seram seperti genderuwo, batin Dhesta.Pemuda itu dengan santainya bertanya balik."Memangnya kalau aku kenal kenapa, kalau tidak kenal kenapa?"Pria genderuwo itu gusar ketika Dhesta asal menjawab pertanyaannya."Bocah kurang ajar, kamu kenal Liman tidak?"Dari kejauhan Dhesta melihat pelayan sudah akan menghidangkan makanan namun tiba-tiba mundur melihat Dhesta sedang berhadapan dengan pr
Hari ini hari pertama Rangga datang ke Padepokan Sekar Jagad milik Mpu Waringin untuk belajar silat. Dengan diantar oleh Jalu murid senior di padepokan, tibalah mereka di sebuah ruangan besar berlantai paving terakota yang disusun rapi dengan tikar pandan tergelar di atasnya. Beberapa murid menoleh ke arah Jalu dan Rangga, sedangkan yang lainnya acuh tak acuh asyik rebahan bersantai di tikarnya setelah seharian beraktivitas. Jalu menunjuk ke sudut ruangan. "Ini ruang tidurnya, di pojok sana masih ada tempat kosong." "Baik Kangmas, terimakasih,"jawab Rangga. Rangga berjalan menuju pojok kamar sambil membawa buntelan pakaian ganti melewati beberapa murid yang sudah tiduran di atas tikar. "Permisi, permisi numpang lewat." Tiba-tiba, Rangga merasa keseimbangannya hilang. "Brruuuk," Rangga jatuh tersungkur, seseorang telah menjegal kakinya. "Ha ha ha ha....si anak manja jatuh. Aduuh kasian kamu...sakit ya," Hasta salah satu murid di padepokan dan teman-temannya menertawaka
Samar-samar Rangga mendengar suara langkah kaki menghampirinya dan suara teman-temannya memanggil namanya. Saat Rangga terbangun dia mendapati dirinya berada di kamar dan Mpu Waringin sudah duduk di sampingnya. “Tak kusangka ternyata tubuhmu begitu lemah, baiklah besok kamu tidak usah belajar silat, kamu belajar ilmu pengobatan dengan Gondo,” ujar Mpu Waringin. “Maafkan saya guru, mungkin tadi karena bangun kesiangan, saya tidak sempat sarapan dan langsung berlatih.” “Tidak apa-apa, sekarang istirahatlah dulu. Besok aku mau bertapa selama 3 bulan. Jadi aku tidak dapat mengajar kalian, semua urusan telah kuserahkan pada Jalu dan para murid senior.” Keesokan harinya, situasi bukannya membaik tapi justru semakin memburuk. Bukannya belajar ilmu pengobatan, Jalu menghukum Rangga dengan menyuruhnya bekerja di dapur menyiapkan makanan bersama para abdi yang bekerja di padepokan. Sebelum subuh, Rangga sudah memulai kegiatannya lalu menghidangkan bubur sagu untuk sarapan pada para m
Setibanya di luar, mereka mengikat Rangga di sebuah tonggak, memukuli dan menendangnya sampai babak belur sambil memakinya. “Ampun…tolong hentikan...sakiit! Bukan aku yang membunuhnya!” “Bohong, buktinya sudah ada, kamu kan yang membantu Gondo membunuh Guru!” maki salah seorang murid. Mereka kembali memukuli Rangga tanpa ampun hingga pemuda itu muntah darah. Rangga menderita luka dalam yang teramat parah. “Sudah cukup, tenaga kalian masih diperlukan. Besok kita adili dia, jika terbukti dia bersalah, kalian boleh memukulinya sampai mati. Sementara biar dia di sini dulu, sekarang kita rawat jenazah Guru dan mempersiapkan upacara pemakaman,” perintah salah seorang sesepuh di padepokan. Beberapa murid yang memukuli Rangga masuk ke pondok meninggalkan Rangga sendirian dalam keadaan terikat. Mereka akan merawat jenazah Mpu Waringin dan mempersiapkan upacara pemakaman. Setelah semua orang pergi, suasana kembali sepi dan gelap. Lokasi padepokan yang terletak di hutan di lereng gu
Rangga telah siuman dari pingsannya, dia mendapati dirinya berbaring di tempat tidur batu. Kepalanya masih terasa pusing dan dadanya masih terasa sesak. Aroma ramuan herbal yang pekat menyergap hidungnya. Rangga mencoba bangun, dia mengangkat kepala dan tubuhnya perlahan, tapi ternyata tubuhnya masih terasa sakit ketika bergerak. "Aaargh!"Rangga berseru tertahan. Tubuh Rangga kembali ambruk, pemuda itu merasakan rasa sakit yang luar biasa di dada dan perutnya serta sakit kepala yang luar biasa. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki masuk ke kamar. "Aah...syukurlah kamu sudah bangun!" Rangga terkejut dan menoleh, seorang nenek-nenek berdiri dihadapannya, dia membawa nampan yang penuh dengan guci-guci kecil dan cawan. Tapi lagi-lagi Rangga terkejut ketika menyadari siapa nenek itu. Hampir saja dia berteriak ketakutan. Nenek itu adalah nenek yang membukakan pintu untuknya. "Mbah, ternyata Simbah itu orang ya,"ujar Rangga dengan polosnya. Nenek itu tertegun
Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangannya. Jalu menoleh, terlihat Hasta masuk sambil membawa satu gendul tuak dan dua cawan. Jalu memandang Hasta dengan pandangan menyelidik curiga. "Mau apa kamu masuk kemari tanpa izinku?!" Namun Hasta tak sedikitpun terlihat marah atau tersinggung. Dia tetap tersenyum sambil berjalan mendekati Jalu dan menepuk bahunya. "Jangan marah dulu Kangmas Jalu. Aku hanya ingin merayakan keberhasilanmu merebut Kitab Sang Hyang Agni. Setelah ini Kangmas pasti bakal menjadi pendekar tanpa tanding." Wajah Jalu mulai melunak, tampaknya dia senang mendengar pujian Hasta yang setinggi langit. Tapi sejurus kemudian dia menghela nafas panjang. "Hasta, aku tidak sekedar ingin menjadi pendekar tanpa tanding, tapi aku juga ingin menjadi pejabat istana. Aku yakin setelah menguasai ilmu Sang Hyang Agni kemudian terkenal sebagai pendekar tanpa tanding, Gusti Ratu Tribuana pasti bersedia menjadikanku sebagai seorang pejabat." Hasta tertegun dan membatin
Ruangan di sebelah kamar Hasta adalah tempat penyimpanan obat dan bahan-bahan obat. Gembong membuka pintu ruang penyimpanan bahan obat, situasi di dalam gudang begitu gelap. Dia mengambil lampu sentir yang tergantung di dinding lalu masuk dan memeriksa di dalamnya. Terdengar bunyi mencicit dan bunyi benda yang saling berbenturan di belakang lemari. "Cit cit cit! Glodak glodak glodak!" Gembong mendekati lemari, beberapa tikus bermunculan dari bawah lemari penyimpanan bahan obat, disusul dengan seekor kucing yang melompat dari atas lemari. Saat melompat, kucing itu menyenggol tangan Gembong yang sedang memegang sentir. "Sialan, tikus tikus !" Tikus-tikus berlarian dari balik lemari. Gembong yang tampak sangar dan perkasa ternyata takut dengan tikus. Karena terjangan kucing, lampu sentir yang dibawa Gembong terjatuh dan minyak kelapa bahan bakar lampu sentir tumpah ke lantai. Minyak yang terkena api langsung terbakar merembet ke tumpukan kayu, akar kering dan rak yang diatas
Orang itu menunjuk Dhesta lalu berkata pada teman-temannya."Bocah itu memiliki Kapak Setan! Dia pasti tahu keberadaan Liman sekarang!"Salah seorang gerombolan pendekar berkapak itu maju ke hadapan Dhesta. Tubuhnya tinggi besar. Tubuh Dhesta hanya setinggi pundaknya sehingga Dhesta harus menengadah kalau berbicara. Rambutnya panjang dan tak tersisir, wajahnya penuh codet bekas luka dengan brewok yang kasar. Dari cara orang-orang memperlakukannya, tampaknya dia pemimpin gerombolan itu. Dia bertanya dengan suara keras dan parau."Hei bocah, apa kamu kenal Liman?"Orang itu dia manusia tapi wujudnya seram seperti genderuwo, batin Dhesta.Pemuda itu dengan santainya bertanya balik."Memangnya kalau aku kenal kenapa, kalau tidak kenal kenapa?"Pria genderuwo itu gusar ketika Dhesta asal menjawab pertanyaannya."Bocah kurang ajar, kamu kenal Liman tidak?"Dari kejauhan Dhesta melihat pelayan sudah akan menghidangkan makanan namun tiba-tiba mundur melihat Dhesta sedang berhadapan dengan pr
Liman menghela nafas panjang lalu melanjutkan ceritanya"Aku sudah lelah jadi buronan dan penjahat. Orang-orang suruhan mantan kekasih ibumu terus memburu kami sampai ke lereng Lawu lalu menyerangku. Di saat aku sudah terdesak karena kalah jumlah dengan pengeroyokku, seorang Resi menolongku menyembunyikanku di Kampung Gaib di dekat Pasar Dieng.""Siapa Resi itu Bapak?""Dia adalah Mbah Jalak, dialah yang mengajakku meninggalkan dunia hitam. Hal lain yang membuatku ingin meninggalkan dunia hitam adalah karena ibumu bersedia menikah denganku asal tidak lagi menjadi perampok,"ungkap Liman."Baiklah Bapak, sekarang sudah jelas semuanya bagiku. Aku tidak peduli dengan masa lalu Bapak dan Ibu, tapi aku menyayangi kalian. Aku berharap setelah ini Bapak dan Ibu masih bersama,"kata Dhesta berharap."Ya Dhesta aku akan mengusahakannya. Tapi aku minta janganlah kamu membenci ibumu karena kesalahannya. Aku tahu dia melakukan hal itu karena dia ingin punya anak dari keturunan yang baik dari keluar
Tubuh Liman bergetar menahan amarah, kapak untuk menebang pohon yang dipanggulnya diangkat lalu diarahkan pada Nyai Liman. Melihat gelagat Liman yang hendak membunuh isterinya, Rangga berinisiatif mencegah. Saat menengadah, Nyai Liman terkejut melihat kapak suaminya sudah terangkat siap membelahnya. Perempuan itu berteriak ketakutan "Aaarrrgh!" "Ki Sanak...jangan!"Rangga maju mencegah Liman yang melayangkan kapak ke arah isterinya. "Jeeeb!"kapak menancap di lantai tanah. Rangga merasa lega, Liman tidak jadi membunuh isterinya. Mendengar ada keributan di luar, Dhesta keluar rumah melihat apa yang terjadi. Pemuda itu terkejut saat melihat ibunya menangis di samping kapak dan bapaknya yang termangu-mangu di depan ibunya. "Bapak, apa yang terjadi?" Dhesta memeluk ibunya yang masih menangis ketakutan. "Ibu, apa yang terjadi?" Mata Dhesta melirik ke arah kapak yang tertancap di tanah di samping ibunya, pikirannya langsung bergerak ke satu hal, wajahnya langsung berubah.
Melihat tingkah Burung Jalak yang aneh itu, Rangga merasa orang di depannya ini orang baik. Walaupun wajahnya terlihat sangar, dengan kulit yang hitam karena terbakar matahari dengan tubuh yang gempal dan besar. Pantas saja dia dinamakan Liman yang artinya Gajah. Badannya besar seperti gajah. Tapi sepertinya dia orang baik, batin Rangga. Akhirnya Rangga memutuskan untuk mengikuti orang itu. "'Baiklah, saya ikut kamu. Tapi siapa nama Ki Sanak?" "Panggil saja Liman, rumahku ada di lereng bawah. Mampir dululah ke rumahku. Kita bisa makan dan minum wedang jahe supaya badanmu hangat. Sepertinya kamu masuk angin,"Liman menunjuk lereng di bawahnya. "Siapa namamu?"tanya Liman lagi. "Aku Rangga." Liman tersenyum ramah, lalu memberi tanda pada Rangga untuk mengikutinya. "Ayo, kita pergi, sebentar lagi saatnya makan siang." ***** Setelah beberapa saat berjalan, sampailah mereka di sebuah rumah sederhana yang terbuat dari kayu beratapkan kulit kayu. Seorang wanita berusia
"Wuuurr wuurr wuurr." Beberapa Banaspati mulai menyambar-nyambar di dekat kepalanya namun mereka tidak dapat menyentuh Rangga. Suaranya yang seperti bunyi kompor pompa menderu-deru di dekat telinganya. Pemuda itu memejamkan mata sambil terus berjongkok dan menempelkan kedua telapak tangannya di tanah. Selama tangan dan kaki masih menyentuh tanah, Banaspati tak akan dapat menyentuhnya. Dengan hati-hati Rangga mencoba mengambil pedang yang digembol di punggungnya untuk berjaga-jaga jika ada Banaspati mendekat, dia akan menebasnya. Dari kejauhan mulai terdengar suara ayam jago berkokok. Bola api Banaspati yang semula mengelilingi kepala Rangga tiba-tiba saja berpencar menjauh. Pagi telah tiba, banaspati tidak bisa lagi berlama-lama di luar karena matahari sudah terbit. Suara deru api banaspati perlahan menjauh dan akhirnya menghilang dibalik pepohonan hutan. Rangga bernafas lega, dia melihat ke atas, langit gelap mulai terlihat terang, kicau burung hutan menyambut pagi mulai
"Menurutku kamu sudah terlalu lelah, kamu istirahat saja dulu,"ujar Rahu.Mendadak Rangga teringat sesuatu"Mbah Jalak, saya kehilangan teman saya Ki Awehpati. Saat anda membawa saya keluar dari Pasar Dieng, saya tidak bertemu lagi dengan Ki Awehpati."Mbah Jalak terdiam mengingat kembali peristiwa di Pasar Dieng."Saat itu aku juga menarik tangan Awehpati keluar dari pasar Dieng. Seharusnya dia sudah bersamamu atau mungkin dia masuk ke jalur lain. Yang jelas dia sudah tidak berada di Kampung Gaib,"kata Mbah Jalak.Rangga sedikit lega mengetahui Awehpati sudah tidak berada di Kampung gaib. "Ya, semoga saja Ki Awehpati keluar lewat jalur lain,"ujar Rangga."Setelah ini kamu mau pulang ke timur atau mau menyelesaikan urusanmu dengan Palupi?"tanya Rahu.Mendengar nama Palupi kembali disebut, sontak wajah Dumilah dan Pembayun berubah cemberut. Namun Rangga tidak menyadari perubahan itu."Ya, mumpung masih di sini, saya juga akan ke Sywagrha membereskan pengembalian kitab Sang Hyang Agni
Mbah Jalak kemudian menyambung cerita Rahu. "Nah itu dia, Pembayun kutemukan di Pasar Dieng, tapi adiknya Retno Palupi keburu diambil Yu Jamu. Sebenarnya Pembayun juga mau diambil Yu Jamu tapi Pembayun berhasil melarikan diri dan bersembunyi di kandang kambing belakang rumahku. Mungkin karena Pembayun sudah berada di halaman rumahku sehingga Yu Jamu segan dan menghentikan pengejarannya." "Aku masih ingat, perempuan penyihir itu menawari kami makanan. Saat itu kami memang kelaparan, tapi aku takut menerima makanan dari orang yang tak kukenal. Apalagi wajahnya menyeramkan bagiku. Cuma Palupi bodoh itu saja yang mau menerimanya. Setelah makan makanan perempuan penyihir itu, Palupi bersedia mengikuti perempuan itu pulang. Dia bahkan lupa bahwa aku adalah saudaranya,"ungkap Pembayun. "Tapi bukankah Mbah Jalak dan Mbah Jamu tinggal di alam sebelah. Bagaimana mungkin kalian bisa memelihara anak manusia bahkan dengan mudahnya keluar masuk ke dunia manusia?"tanya Rangga. Mbah Jalak terk
Mbah Jalak menggeleng "Tidak juga, Yu Jamu bukan ibu kandung mereka,"ujar Mbah Jalak. Rangga sejenak tertegun lalu bertanya "Jadi siapa ibu kandung mereka yang sebenarnya? Mengapa anak kembar tiga ini bisa terpisah?" Sebelum Mbah Jalak menjawab, Rahu menyela "Ceritanya panjang, mari silahkan ke rumahku. Kita ngobrol di sana saja, di rumahku ada tuak dan babi hutan panggang." Mereka lalu berjalan bersama-sama menembus gelapnya malam menuju rumah Rahu. Tak lama kemudian mereka sudah sampai di rumah Rahu. Rahu dan anaknya segera menyiapkan tuak dan babi panggang untuk para tamu. "Silahkan dinikmati, kalian pasti lapar setelah bertarung tadi,"Rahu mempersilahkan tamunya makan. Retno anak Rahu datang membawa sepiring buah Jeruk Bali yang sudah dikupas. "Ini hasil panen dari kebun, silahkan dinikmati,"Retno meletakan piring berisi buah Jeruk Bali di atas tikar. "Terimakasih Retno...." Rangga berhenti sejenak, sejurus kemudian dia tertawa "Kalian bertiga memiliki na
Retno anak Mbah Jalak menyilangkan sebilah keris di leher Retno pencuri yang masih tertelungkup di tanah."Baiklah, sekarang lebih berharga mana nyawa anakmu atau Bunga Ungu itu?"Mbah Jamu tertegun, dia tak menyangka Retno anak Mbah Jalak tega melakukannya."Kamu...kamu tega ya kamu mau bunuh saudaramu sendiri!"teriak Mbah Jamu panik.Retno anak Mbah Jalak mendengus dan berkata"Huuh...aku tidak sudi punya saudara jahat macam setan begini. Kalau anda menolaknya, terpaksa aku akan membunuhnya. Ga guna juga orang licik macam dia,"Retno anak Mbah Jalak menggoreskan ujung kerisnya ke leher Retno pencuri.Sontak Retno pencuri berteriak kesakitan, darah mengucur dari kulit lehernya."Aaarrrgh Ibu...lihat dia mau membunuhku! Ibu cepat lakukan sesuatu, aku sudah tidak tahan lagi!"Retno pencuri menangis keras membuat ibunya semakin bingung. Perlahan raut wajah Mbah Jamu mulai melunak, dia menoleh pada Mbah Jalak dan berkata."Kangmas Jalak, tolonglah bebaskan dia.""Masalah membebaskan anakm