Pov Wisnu
"Kamu apa-apaan, Sin?! Bikin malu saja! Kamu sendiri yang tadi menyuruhku membantu Tania karena dia mau pindah. Kamu juga yang bikin heboh! Sampai kapan kamu mengusik kehidupan Tania, Sinta?!" Semakin hari, sikap Sinta membuatku senewen. Hampir semua ucapannya jauh dari kenyataan."Kamu kenapa sih, Mas? Marah-marah gak jelas! Tugasmu itu hanya menuruti permintaanku, udah itu saja! Ndak usah protes! Ingat siapa yang membantumu hingga bisa seperti sekarang!" Selalu itu saja yang dijadikannya senjata untuk melemahkanku. Namun, kali ini Sinta benar-benar keterlaluan. Bodohnya aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menolak setiap keinginannya.Ibu, ibu adalah alasan Sinta untuk lebih mengikatku. Wanita yang telah melahirkanku itu sangat mencintai Sinta, karena Sinta memperlakukannya dengan baik dan loyal. Walaupun kutahu semua itu hanya sandiwara."Berhenti melakukan hal yang gak baik, Sin. Kita jalani hidup ini dengan sewajarnya. Jangan lagiKabar begitu cepat tersebar. Kedua mertuaku begitu murka melihat anaknya seolah tak berdaya. Sumpah serapah keluar dari mulut ibu mertua. Namun, Sinta kembali beraksi. Dia dengan air mata yang menganak sungai di pipi, mati-matian membelaku. Mengatakan bahwa semua ini salah Tania.Mas Haris dan calon istrinya juga datang, lelaki yang kuanggap seperti saudara itu menghadiahiku sebuah bogem mentah, tepat di wajah. Membuat cairan hangat dan kental keluar dari hidungku yang sepertinya patah."Bang sat! Tega kamu menyakiti Sinta!" murkanya. Kembali sebuah bogem dia lepaskan. Semua menjerit, Sinta dengan tubuh yang seolah rapuh menahannya, kemudian memelukku yang kepayahan.Ekor mataku menatap ibu yang tengah meringkuk di sudut ruangan. Wanita itu merasa bersalah atas apa yang sudah kulakukan."Mas Wisnu tidak bersalah, Mas. Ini memang salahku, terlalu percaya dengan Tania. Aku memang sering meminta Mas Wisnu saat Tania butuh teman dan aku tak bisa. Tak
Aku tetap berangkat ke bengkel, setelah mengobati hidung dan memastikan ibu baik-baik saja. Walaupun, wanita yang sangat kuhormati itu mendiamkanku. Tak masalah, asal dia masih bisa tersenyum bersama Sinta.Sampai di bengkel, sudah ada beberapa pelanggan yang antri. Mereka menatapku heran, tetapi tetap saja menyapa ketika aku lewat. Bahrul, salah satu pegawaiku menghampiri dan menyerahkan nota pembayaran untuk kutotal. Sesekali dia melirik kearahku. Di bengkel aku hanya mengawasi dan mentotal biaya yang harus dibayar pelanggan, sambil sesekali melayani pembeli yang mencari onderdil sepeda motor.Bengkel sudah tutup, tapi aku enggan untuk melangkah pulang. Iseng aku membuka aplikasi biru. Akun yang pertama kali terlihat adalah akun Sinta, itu karena dia sering mentag akunku.'Alhamdulillah, satu masalah teratasi. Hempaskan sahabat toxic, apalagi yang terang-terangan hendak merebut suami kita'Postingannya mendapatkan ratusan lika dan komentar. Rata
Pov Wisnu[Besok di warung lesehan tempo hari] terkirim dan langsung terbaca. Tania sedang mengetik.[Jam berapa, Mas?] Balasan masuk dari Tania.Aku menimbang-nimbang sebentar. [Sehabis Dzuhur, bisa?][Ok, makasih ya, Mas] balasnya cepat.[Sama-sama, Nyia] Ada yang lega di dalam hati, setelah berbalas pesan dengan Tania. Mungkin, kekhawatiran tentangnya telah hilang.Aku enggan menebak apa yang akan dibicarakan Tania, sepertinya cukup serius hingga dia menghubungiku lebih dulu. Aku langsung menghapus pesan darinya, khawatir akan dibaca Sinta dan akan dijadikan sebagai senjata untuk semakin menyudutkanku. Apa ini sebuah kesalahan, Tuhan? Semua tergantung niat, sahutku dalam hati.Malam ini terasa sangat panjang. Apakah diluar sana, ada seseorang yang mengalami masalah hidup seperti yang kualami ini. Terjebak dalam sebuah pernikahan yang penuh dengan sandiwara, dan sangat sulit untuk melepaskan diri.Aku baru mas
"Bagaimana keadaan Sinta?" tanyanya setelah pelayanan tadi pergi.Aku menggeleng sambil berdecak. "Mungkin ini kurang baik, membicarakan istri dengan wanita lain." Aku terkekeh. "Tapi, berhubun ada hubungannya denganmu, sebaiknya kita dibicarakan." Tania menatapku intens. Ah, mengapa sekarang Tania terlihat berbeda."Aku minta maaf atas tindakannya kemarin," imbuhku setelah sepersekian detik pikiranku melalang buana."Aku sakit hati, Mas. Walaupun sudah berusaha memaafkan. Sinta sudah keterlaluan dan aku ndak bisa seperti bapak.""Aku tahu, dan dia sama sekali tidak merasa bersalah." Aku menghela napas panjang jika mengingat perbuatan Sinta kemarin."Nyia, apa ini salahku yang tak bisa tegas sama dia?" Entah keberanian dari mana, aku bisa curhat sama Tania. Apa karena rasa nyaman ini?"Aku gak tahu, Mas. Yang kutahu, memang ada karakter orang seperti itu. Syukur-syukur Mas Wisnu bisa membuatnya berubah me
Akhirnya aku resmi menyandang status baru. Status yang bisa membuat wanita dipandang rendah. Entah mengapa dan sejak kapan janda dipandang sebagai wanita yang harus diwaspadai. Padahal jika bisa, wanita juga tidak ingin menjadi janda jika pasangannya setia dan tak neko-neko.Tak sedikit yang menyayangkan gagalnya pernikahanku dengan Mas Haris. Wajar mereka beranggapan seperti itu karena tidak tahu yang sebenarnya. Apalagi selama ini, sikap Mas Haris terlihat baik di sini. Bapak saja terkecoh, apalagi mereka yang hanya melihat bungkusnya saja.Rumah dalam keadaan sepi ketika aku sampai. Mungkin, bapak masih di sawah. Baru saja aku sampai di kamar mandi untuk mencuci muka dan kaki, terdengar salam dari luar. Aku pun kembali melangkah keluar sambil membalas salam."Apa kabar, Nyia?" sapa Sinta yang sudah berdiri di depan pintu. Wanita itu begitu percaya diri. Apa dia lupa, dengan apa yang sudah dilakukannya padamu sebulan yang lalu?
"Mbak Tania! Mbak Tania! Assalamualaikum!"Aku yang tengah tidur siang tergagap mendengar kegaduhan di luar rumah. Walaupun kesadaran belum sepenuhnya penuh, aku bergegas keluar, setelah menarik jilbab instan di sandaran kursi dan memakainya asal."Ada apa ini?" tanyaku panik setelah melihat dua orang di depan pintu yang juga terlihat panik. "Pak Malik, Mbak! Pak Malik—" Satu diantara mereka hendak menjelaskan. Namun, terlihat kesulitan."Bapak di sawah, Pak? Ada apa?" Aku masih tak mengerti arah pembicaraan ini."Pak Malik mengalami kecelakaan, Mbak. Sekarang dibawa ke rumah sakit," ujar satunya. "Innalilahi Bapak!" jeritku tertahan. "Pak, tolong antar aku ke rumah sakit ya, aku ambil tas dulu.""Iya, Mbak," sahutnya, aku bergegas masuk untuk mengambil yang aku butuhkan.Dalam perjalanan aku tak bisa tenang. Berkali-kali meminta Pak Sulkan untuk mempercepat laju mo
Aku masih bergulung di selimut ketika pagi menyapa. Rasanya sangat malas untuk beranjak dari kasur empuk ini. Beberapa kali menguap karena masih ngantuk. Dering ponsel memaksaku untuk bangkit. Mungkin itu sebuah berita penting, karena saat ini aku sedang dalam misi pencarian.Ternyata panggilan video dari Mas Wisnu. "Selamat pagi?" sapanya saat kami bertatapan melalui layar ponsel."Apa kamu juga sudah mengucapkannya pada Sinta?" sahutku dengan suara khas orang bangun tidur."Ayolah, Nyia. Jangan bahas dia kalau kita sedang ngobrol," sewotnya. Membuatku mengulum senyum."Biar kamu ingat kalau sudah punya istri." Aku semakin menggodanya. Membuat Mas Wisnu Demak cemberut dan buatku itu sangat lucu."Pagi sekali dia sudah bangun. Setelah itu pergi ke rumah sepupunya itu," ujarnya. Sorot matanya teduh ketika kami bertatapan."Oh, rajin sekali dia," sahutku tanpa mengalihkan tatapan. Ingat, Nyia, ingat! Dia suami orang! "Dia
Pov Haris "Kamu kenapa, Mas?" tanya Rindu yang baru saja keluar dari kamar mandi.Sesaat tatapan kami beradu, membuatku ragu untuk mengatakan yang sejujurnya. Aku takut jika Rindu marah dan tak mau lagi melayaniku. "Gak ada apa-apa, Sayang." Nyatanya hanya itu yang keluar dari bibirku. Aku bangkit kemudian menghampirinya. "Aku keluar dulu, mau nemenin Aurel main." "Kan udah ada Sus yang jaga." Rindu mencegahku. Wanita yang masih memakai handuk itu menatapku, ada kecurigaan di sorot matanya. "Ada apa sih, Mas? Kalau ada masalah cerita dong," ucapnya manja. Wanita bertubuh bak gitar spanyol itu melingkarkan tangannya di leherku. Bibir sensualnya mengecup lembut bibir ini. Ah, Rindu memang bisa membuatku melayang bahagia."Mas pusing, dengan biaya pernikahan kita, Sayang. Apa permintaanmu itu tidak terlalu berlebihan?" ucapku hati-hati.Mendengar penuturanku, Rindu sontak melepaskan tangannya. "Gitu aja sudah pusing. Masa, baru mau ng
"Serius kamu sudah nikah?" tanyanya dengan wajah jenaka, nampak jelas kalau dia meremehkanku, menganggap ucapanku adalah candaan belaka."Alhamdulillah, iya, Sin," sahutku sambil tersenyum."Kenapa dia nggak kamu ajak ke sini? Harusnya diajak dong, biar nggak disangka hoax.""Dia suamiku," ucapku sambil menoleh sekilas pada Mas Wisnu.Aku tersenyum melihat perubahan pada wajah Sinta, sepertinya dia menahan napasnya. Wajahnya perlahan memerah, menandakan kalau saat ini dia tengah dikuasai angkara."Kalian?! Tidak mungkin! Mas! Kamu jangan diam saja! Katakan kalau yang dikatakan Tania tidak benar, Mas!" teriaknya, secepat kilat Sinta mendorong tubuhku, beruntung Mas Wisnu sigap menangkap."Semua yang dikatakan Tania adalah kebenarannya, Sin. Kami telah menikah beberapa bulan yang lalu. Ingat, kamu juga sudah mengizinkannya," ucap Mas Wisnu. Saat ini dia sudah berada diantara aku dan Sinta."Aku memang mengizinkanmu menikah
"Lakukan kalau kamu ingin melakukannya." Aku yang mendengar ucapan Mas Wisnu sampai menggigit bibir. "Apa? Kamu tega Mas! Kamu tega menyuruhku bunuh diri? Kamu tega meninggalkanku sendirian? Sekarang aku sudah tak punya siapa-siapa!""Ini adalah jalan terbaik untuk kita," sahut Mas Wisnu suaranya tetap terdengar tenang."Ini pasti hasutan wanita itu! Istri keduamu! Ternyata dia memang benar-benar ular. Semuanya breng sek! Kamu, orang tuaku, Haris, orang tuanya, ibumu, Tania! Semua breng sek!" Bahkan, dalam setiap amarahnya, Sinta masih saja menyebut namaku."Tak ada yang menghasutku. Semua ini sudah lama kupikirkan. Jika dulu kamu selalu mengancamku karena rasa balas budi. Sekarang aku sudah membayarnya. Jadi, tak ada lagi yang memberatkan langkahku untuk pergi. Jangan menyalahkan orang lain atas perpisahan ini. Karena sejatinya kita tidak pernah bersama. Renungkan kenapa semua ini bisa terjadi. Aku juga bukan orang suci, tapi aku belajar untuk m
"Ibu setelah punya menantu lagi, jadi pinter ya, atau jangan-jangan memang dia yang mengajari."Wanita itu menghela napas, sepertinya ucapanku telah menyentil perasaan, masa bodoh. Aku lakukan itu biar dia tahu kalau aku tidak suka dia terlalu dekat dengan maduku."Ibu tadi bawa buah jeruk kamu mau ibu kupasin?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Nggak, Bu. Malas! Oh iya, kenapa ya, Bu? maduku itu nggak mau ke sini? Ibu pernah tanya ke dia nggak?""Enggak, Sin, tapi dia pernah bilang ke ibu. Dia akan menemuimu kalau kondisimu sudah sehat." Ibu mengambil buah jeruk yang ada di kresek, kemudian mengupasnya tanpa bertanya padaku. Sepertinya dia benar-benar ingin menantangku"Sok peduli, padahal aslinya dia seneng kan aku seperti ini? Biar bisa mendapatkan Mas Wisnu seutuhnya. Buktinya sampai sekarang dia tak mau bertemu denganku.""Sinta, kondisimu baru saja pulih, jadi sebaiknya kamu tidak usah memikirkan hal-hal seperti itu. Istir
Baru sekarang aku merasakan sangat dicintai oleh seorang lelaki. Mas Wisnu, suami yang selama ini ku anggap tidak berguna, bahkan kehadirannya tak kuanggap sama sekali, selalu ada untukku. Aku yakin dia lebih memilihku daripada istri mudanya.Setiap malam dia selalu menjagaku di rumah sakit, walaupun sikapnya masih dingin dan tak banyak bicara. Wajar, karena selama ini kamu memang jarang berkomunikasi. Mulai sekarang aku akan belajar mencintainya, melupakan masa lalu dan juga Tania. Ternyata, kebencianku pada Tania telah menghancurkan hidupku. Entah ke mana wanita itu, sejak kedatangannya waktu itu, dia tak lagi menampakkan batang hidungnya ke sini. Padahal aku ingin berterima kasih padanya karena dulu menolak Mas Wisnu. Juga ingin memberitahunya, jika aku mampu dimadu.Aku bisa membuktikan apa yang dulu pernah kuucapkan padanya, karena selama ini tak ada masalah yang berarti antara aku dan maduku. Mas Wisnu cukup adil, dan itu membuatku semakin kagum padanya.
"Kekurangan dan keterbatasan ekonomi, membuatnya menjadi pribadi pekerja keras, dan sangat menghormati serta menghargai orang-orang yang membantu dan berjasa dalam hidupnya. Salah satunya Sinta. Ibu sendiri kurang paham, tepatnya kapan mereka berkenalan. Setelah pergi merantau, tiba-tiba dia datang bersama dengan Sinta, dan mengatakan kalau dia adalah istrinya."Aku masih dia menyimak, sambil memijat kaki ibu. Sebenarnya Ibu menolak, bahkan tadi dia yang mau memijit kakiku. "Aku sangat bahagia, Nak Nyia. Dulu, di mataku Sinta adalah wanita yang baik, tutur katanya lembut. Tak tahunya semua itu hanyalah topeng sandiwara. Ibu benar-benar tertipu, Nak Nyia. Kasihan Wisnu, harus menikung hutan batin yang cukup berat. Saat ini pun, dia dalam posisi sulit. Satu sisi Dia sangat mencintaimu, di sisi lain dia tak tega melihat kondisi Sinta. Tak jarang Ibu melihatnya menangis di masjid rumah sakit."Tak terasa air mataku menetes mendengar penuturan i
"Soal Mas Haris bagaimana, Mas?" tanyaku pada Mas Wisnu ketika dia keluar dari kamar mandi. Sengaja menunggunya karena ada banyak hal yang ingin kutanyakan dan kukatakan padanya. Lelaki itu hanya menatapku sekilas, kemudian sibuk memakai bajunya."Apanya? Dia udah dimakamkan?" sahutnya. kali ini dia tengah mengeringkan rambutnya. "Kronologinya bagaimana, Mas? Kok dia bisa meninggal?" Aku benar-benar penasaran."Kalau menurut keterangan polisi, dia terjatuh dari kursi roda, kepalanya membentur ujung ranjang. Hanya itu karena memang tak ada luka yang berarti di tubuhnya." Mas Wisnu melangkah mendekatiku."Haris terlihat sehat, tubuhnya berisi dan juga bersih. Berbeda dengan kondisi Sinta saat kami menemukannya. Sangat miris, Nyia. Tangan dan kakinya dirantai, sementara mulutnya dilakban. Tapi tak ditemukan memar di tubuhnya," imbuhnya setelah duduk di sampingku."Aku tahu, tadi aku dari rumah sakit," kataku sambil
Pagi ini tubuhku terasa sakit semua, sebenarnya setiap hari aku juga merasakannya, tapi hari ini sakitnya lebih parah. Dari kepala sampai ujung kaki, semua terasa ngilu. Tubuhku menggigil dalam gudang yang gelap dan pengap ini. Biasanya bude akan membangunkanku, mengapa hari ini dia tak kunjung membuka pintu.Setelah menunggu dan mulai gelisah karena rasa sakit di kepala yang semakin kuat. Aku mendengar derap langkah, entah milik siapa. Apakah ini sebuah pertolongan? Memikirkan itu semangatku berkorbar, dan dengan sisa-sisa tenaga kupaksakan diri ini bangkit, lalu merangkak ke arah pintu, setelah itu berteriak sekuat yang kumampu."Sepertinya ada orang di dalam!" seru seseorang dari balik pintu. Aku pun semakin bersemangat untuk berteriak."Dobrak saja pintunya!" Mendengar itu, aku langsung bergeser agar tidak terkena daun pintu yang mungkin akan lepas dari bingkainya.Air mataku tumpah setelah pintu berhasil didobrak. "Sinta!" Itu seperti su
"Kalau melakukan pekerjaan itu yang bener, Sin. Lihat semua masih kotor, dah kamu kerjakan lagi," titah bude sambil melempar piring yang dipegangnya. Badanku gemetar mendengar benturan antara piring dan lantai. Wanita yang dulu sangat kucintai itu memang tak pernah berkata keras, tapi sangat menakutkan."Bersihkan, setelah itu baru makan," imbuhnya sambil melangkah pergi. Aku tak bisa menjawab, karena mulutku dilakban sangat banyak sampai memutari kepala. Sedangkan tangan dan kakiku di rantai. Entah sudah berapa kali aku tak sadarkan diri dan sadar di tempat yang sama. Jika bisa meminta, aku ingin Tuhan mencabut nyawaku saja, dari pada hidup seperti ini.Mereka memang tak menyiksa ragaku, tak pernah memukul atau melakukan kekerasan fisik, hanya saja bude dan pakde tak membiarkan aku beristirahat, ada saja yang harus kukerjakan. Semua semakin berat karena aku tidak leluasa bergerak, dan dalam kondisi lapar.Mas Haris hanya bisa menatapku dari atas kurs
"Apa yang aneh, Mas?" Aku semakin bingung dengan sikapnya."Sinta. Setiap hari yang menghubungiku itu budenya. Setiap aku mau bicara dengan Sinta, dia selalu bilang kalau Sinta sibuk mengurus Haris. Sementara setiap hari budenya meminta uang lebih.""Mungkin, Sinta beneran sibuk, Mas. Bisa aja, kan?""Iya, sih, tapi tetap saja aneh, Nyia." Setelah itu kami sama-sama diam, aku kembali memikirkan Ratna. Entah Mas Wisnu tengah memikirkan apa. Sinta mungkin. Terserah lah.Setelah beberapa saat dalam keheningan, ibu memanggil untuk mengajak makan malam. Aku dan Mas Wisnu pun segera bangkit."Ibu kok repot-repot masak toh, Bu?""Nggak pa-pa, Nyia. Ibu jenuh kalau diam saja. Lagian kan ibu sudah sehat."Penampilan sambel terasi buatan ibu mertua sangat menggugah selera. Saat hendak duduk, aku baru teringat Ratna. Setelah bilang pada Mas Wisnu kalau hendak mencari Ratna, aku segera beranjak mencari keberadaan adik