Aku masih bergulung di selimut ketika pagi menyapa. Rasanya sangat malas untuk beranjak dari kasur empuk ini. Beberapa kali menguap karena masih ngantuk. Dering ponsel memaksaku untuk bangkit. Mungkin itu sebuah berita penting, karena saat ini aku sedang dalam misi pencarian.Ternyata panggilan video dari Mas Wisnu. "Selamat pagi?" sapanya saat kami bertatapan melalui layar ponsel."Apa kamu juga sudah mengucapkannya pada Sinta?" sahutku dengan suara khas orang bangun tidur."Ayolah, Nyia. Jangan bahas dia kalau kita sedang ngobrol," sewotnya. Membuatku mengulum senyum."Biar kamu ingat kalau sudah punya istri." Aku semakin menggodanya. Membuat Mas Wisnu Demak cemberut dan buatku itu sangat lucu."Pagi sekali dia sudah bangun. Setelah itu pergi ke rumah sepupunya itu," ujarnya. Sorot matanya teduh ketika kami bertatapan."Oh, rajin sekali dia," sahutku tanpa mengalihkan tatapan. Ingat, Nyia, ingat! Dia suami orang! "Dia
Pov Haris "Kamu kenapa, Mas?" tanya Rindu yang baru saja keluar dari kamar mandi.Sesaat tatapan kami beradu, membuatku ragu untuk mengatakan yang sejujurnya. Aku takut jika Rindu marah dan tak mau lagi melayaniku. "Gak ada apa-apa, Sayang." Nyatanya hanya itu yang keluar dari bibirku. Aku bangkit kemudian menghampirinya. "Aku keluar dulu, mau nemenin Aurel main." "Kan udah ada Sus yang jaga." Rindu mencegahku. Wanita yang masih memakai handuk itu menatapku, ada kecurigaan di sorot matanya. "Ada apa sih, Mas? Kalau ada masalah cerita dong," ucapnya manja. Wanita bertubuh bak gitar spanyol itu melingkarkan tangannya di leherku. Bibir sensualnya mengecup lembut bibir ini. Ah, Rindu memang bisa membuatku melayang bahagia."Mas pusing, dengan biaya pernikahan kita, Sayang. Apa permintaanmu itu tidak terlalu berlebihan?" ucapku hati-hati.Mendengar penuturanku, Rindu sontak melepaskan tangannya. "Gitu aja sudah pusing. Masa, baru mau ng
Saat ini aku dan Tania sudah resmi berpisah. Entah mengapa, sejak itu aku merasa ada yang kurang dalam hidup ini. Tiga tahun bersama, Tania telah membuatku nyaman dengan segala sikap dan perilakunya. Tania membuatku merasa dihargai dan dibutuhkan, walaupun semua fasilitas yang kunikmati adalah miliknya. Tak pernah sekalipun dia mengungkit hal itu, bahkan ketika ibuku menghinanya. Kuakui, didikan orang tuanya cukup hebat, hingga Tania menjadi pribadi yang baik.Tania memang tidak bekerja, tetapi uangnya tak pernah habis. Tiga bulan sekali bapaknya yang seorang petani itu mengirim uang dari hasil panen. Belum lagi kalau habis menjual sapi, mertuaku itu pasti mengirim banyak uang ke rekening Tania. Ah, bodohnya aku, telah melepaskan tambang emas hanya demi wanita yang hanya pintar di ranjang, tapi aku suka.Aku semakin pusing dengan perang dingin antara Sinta dan Rindu. Entah apa yang terjadi dengan kedua wanita itu, baik Sinta atau Rindu tak ada yang mau bercerita.
Pov Haris Ini adalah kali pertama kami bertemu setelah sidang terakhir perceraian kami. Mantan istriku itu terlihat berbeda, dia terlihat semakin menarik, kembali seperti dulu saat pertama kali bertemu. Aku segera mengalihkan pandangan, tak tahan rasanya ditatap dedemit rupa oleh Tania.Apa mungkin Tania juga akan mengusut tentang penjualan rumahnya? Ah, tidak. Orang-orang yang kuajak kerjasama sudah sangat profesional. Gak mungkin Tania tak percaya. Apalagi dasarnya Tania itu baik, pasti dia takkan mempermasalahkan tentang penjualan rumah itu. Buktinya sampai sekarang dia diam-diam saja.Sinta ditahan karena ada sangkut pautnya dengan beredarnya foto-foto Tania, walaupun sebagian ada yang editan. Lelaki yang menjadi tersangka utama mengatakan jika dia diminta oleh seseorang yang dicurigai adalah Sinta. Jadi, untuk sementara waktu Sinta akan ditahan di kantor polisi sebelum ditetapkan menjadi tersangka. Sontak ibunya kembali berulah, wanita
"Hei! Itu foto asli ya, bukan editan!" sahut Sinta dan itu menjadi boomerang untuk dirinya sendiri."Wow, Bu Sinta. Terima kasih untuk pengakuan Anda. Sekarang juga anda ditetapkan sebagai tersangka." "Tidak, Pak. Tidak! Maksud saya foto-foto itu terlihat sangat asli," sanggah Sinta. Namun, petugas yang duduk di depannya tidak menggubrisnya."Pengakuan Ibu Sinta tadi, sudah cukup dijadikan bukti dan banyak juga saksinya. Jadi begini." Lelaki bertubuh gempal itu menjeda kalimatnya untuk berdehem. "Apabila kita memotret seseorang tanpa izinnya dapat dikenakan hukuman maksimal sepuluh tahun kurungan. Jika ditambah dengan penyebaran di medsos tanpa izin dapat menambah hukuman dua tahun penjara dengan denda seratus lima puluh juta," imbuh petugas itu membuat kami melongo mendengarnya. Kesalahan sepele seperti itu saja hukuman tak main-main."Aku akan membayar denda," sahut ibunya Sinta. "Berapa tadi? Seratus lima puluh juta kan? Ba
Sungguh hiburan yang sangat menarik. Ternyata sedalam itu rasa yang dimiliki Sinta pada Mas Haris. Lalu untuk apa pernikahannya dengan Mas Wisnu? Kasihan sekali lelaki berkulit cokelat itu. Setelah urusannya selesai aku pun segera berlalu, tanpa menoleh sedikitpun pada Sinta. Sebenarnya ada rasa tak tega walaupun cuma sedikit, mengingat kedekatan kami dulu. Namun, aku akan tetap maju, agar Sinta bisa belajar dari semua ini. Mungkin, ini adalah cara Tuhan menegurnya.Sekarang aku akan fokus pada kasus penjualan rumah. Semoga saja prosesnya semudah kasus Sinta ini. Hingga tak membutuhkan waktu lama untuk memberi kejutan pada lelaki tak tahu malu itu.Di luar kantor, terlihat Mas Wisnu tengah bersitegang dengan mertuanya juga Mas Haris dan Rindu tentunya. Entah apa yang diperdebatkan. Sepertinya cukup serius."Apa?!" seru ibunya Sinta, raut wajahnya nampak tidak terima. Tangannya yang penuh dengan emas itu bertolak pinggang.
Aku yang masih masih ada di kamar segera keluar. Siapapun dia akan kuucel-ucel perutnya.Ibunya Sinta dan Mas Wisnu sedang berdiri tepat di depan pintu. Jika Mas Wisnu terlihat sungkan, tidak dengan wanita setengah baya di sampingnya."Kenapa ribut-ribut? Ada perlu apa? Ini bukan hutan, jadi pakailah sopan santun." Sengaja hanya membuka pintu sebatas badanku."Hei, Nyia. Kurang ajar kamu ya, kamu itu yang tidak punya sopan santun sama orang tua. Ngomong kok ngawur!""Ini masih pagi, Bu. Dan ibu sudah bikin kegaduhan. Apa mau tak panggilin Pak Rt?""Kamu ini benar-benar wanita jahat ya, Nyia. Rugi aku datang ke sini pagi-pagi! Ingat ya, Nyia. Aku akan selalu datang ke sini sebelum kamu cabut tuntunannya! Ayo, Nu!"Setelah berucap ibunya Sinta itu langsung berbalik dan melangkah pergi. Sementara Mas Wisnu, lelaki berkulit cokelat itu masih menyempatkan diri untuk tersenyum. Namun, senyum manis itu beru
Bukan Sinta namanya kalau tidak bisa bersandiwara. Melihatku masuk ke ruang sidang, wanita itu langsung berdiri dan menghampiri kemudian memelukku. "Maafkan aku, Nyia. Kemarin itu aku hanya bercanda, tak mengira kamu akan semarah ini. Hingga mau memenjarakanku. Lupakah kamu dengan persahabatan kita? Apa ini salah satu balas dendammu? Menganggapku telah menghancurkan pernikahanmu dengan Mas Haris?" Sinta menjeda kalimatnya untuk membersihkan ingusnya yang meler karena menangis."Mas Haris sendiri yang memintaku mencarikan madu untukmu, dia bilang pernikahannya denganmu sudah dititik bosan. Dia jenuh denganmu, Nyia. Harusnya kamu bangga, Mas Haris tidak selingkuh, dia memilih memberimu jalan terbaik menuju surga. Harusnya kamu mikirnya ke sana, Nyia!" Sinta meraung. Posisinya masih merangkulku, sementara aku sendiri sudah mati rasa dengannya. Sahabat? Ingin rasanya aku tertawa mendengar kata itu keluar dari mulutnya yang penuh dengan kebusukan.
"Serius kamu sudah nikah?" tanyanya dengan wajah jenaka, nampak jelas kalau dia meremehkanku, menganggap ucapanku adalah candaan belaka."Alhamdulillah, iya, Sin," sahutku sambil tersenyum."Kenapa dia nggak kamu ajak ke sini? Harusnya diajak dong, biar nggak disangka hoax.""Dia suamiku," ucapku sambil menoleh sekilas pada Mas Wisnu.Aku tersenyum melihat perubahan pada wajah Sinta, sepertinya dia menahan napasnya. Wajahnya perlahan memerah, menandakan kalau saat ini dia tengah dikuasai angkara."Kalian?! Tidak mungkin! Mas! Kamu jangan diam saja! Katakan kalau yang dikatakan Tania tidak benar, Mas!" teriaknya, secepat kilat Sinta mendorong tubuhku, beruntung Mas Wisnu sigap menangkap."Semua yang dikatakan Tania adalah kebenarannya, Sin. Kami telah menikah beberapa bulan yang lalu. Ingat, kamu juga sudah mengizinkannya," ucap Mas Wisnu. Saat ini dia sudah berada diantara aku dan Sinta."Aku memang mengizinkanmu menikah
"Lakukan kalau kamu ingin melakukannya." Aku yang mendengar ucapan Mas Wisnu sampai menggigit bibir. "Apa? Kamu tega Mas! Kamu tega menyuruhku bunuh diri? Kamu tega meninggalkanku sendirian? Sekarang aku sudah tak punya siapa-siapa!""Ini adalah jalan terbaik untuk kita," sahut Mas Wisnu suaranya tetap terdengar tenang."Ini pasti hasutan wanita itu! Istri keduamu! Ternyata dia memang benar-benar ular. Semuanya breng sek! Kamu, orang tuaku, Haris, orang tuanya, ibumu, Tania! Semua breng sek!" Bahkan, dalam setiap amarahnya, Sinta masih saja menyebut namaku."Tak ada yang menghasutku. Semua ini sudah lama kupikirkan. Jika dulu kamu selalu mengancamku karena rasa balas budi. Sekarang aku sudah membayarnya. Jadi, tak ada lagi yang memberatkan langkahku untuk pergi. Jangan menyalahkan orang lain atas perpisahan ini. Karena sejatinya kita tidak pernah bersama. Renungkan kenapa semua ini bisa terjadi. Aku juga bukan orang suci, tapi aku belajar untuk m
"Ibu setelah punya menantu lagi, jadi pinter ya, atau jangan-jangan memang dia yang mengajari."Wanita itu menghela napas, sepertinya ucapanku telah menyentil perasaan, masa bodoh. Aku lakukan itu biar dia tahu kalau aku tidak suka dia terlalu dekat dengan maduku."Ibu tadi bawa buah jeruk kamu mau ibu kupasin?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Nggak, Bu. Malas! Oh iya, kenapa ya, Bu? maduku itu nggak mau ke sini? Ibu pernah tanya ke dia nggak?""Enggak, Sin, tapi dia pernah bilang ke ibu. Dia akan menemuimu kalau kondisimu sudah sehat." Ibu mengambil buah jeruk yang ada di kresek, kemudian mengupasnya tanpa bertanya padaku. Sepertinya dia benar-benar ingin menantangku"Sok peduli, padahal aslinya dia seneng kan aku seperti ini? Biar bisa mendapatkan Mas Wisnu seutuhnya. Buktinya sampai sekarang dia tak mau bertemu denganku.""Sinta, kondisimu baru saja pulih, jadi sebaiknya kamu tidak usah memikirkan hal-hal seperti itu. Istir
Baru sekarang aku merasakan sangat dicintai oleh seorang lelaki. Mas Wisnu, suami yang selama ini ku anggap tidak berguna, bahkan kehadirannya tak kuanggap sama sekali, selalu ada untukku. Aku yakin dia lebih memilihku daripada istri mudanya.Setiap malam dia selalu menjagaku di rumah sakit, walaupun sikapnya masih dingin dan tak banyak bicara. Wajar, karena selama ini kamu memang jarang berkomunikasi. Mulai sekarang aku akan belajar mencintainya, melupakan masa lalu dan juga Tania. Ternyata, kebencianku pada Tania telah menghancurkan hidupku. Entah ke mana wanita itu, sejak kedatangannya waktu itu, dia tak lagi menampakkan batang hidungnya ke sini. Padahal aku ingin berterima kasih padanya karena dulu menolak Mas Wisnu. Juga ingin memberitahunya, jika aku mampu dimadu.Aku bisa membuktikan apa yang dulu pernah kuucapkan padanya, karena selama ini tak ada masalah yang berarti antara aku dan maduku. Mas Wisnu cukup adil, dan itu membuatku semakin kagum padanya.
"Kekurangan dan keterbatasan ekonomi, membuatnya menjadi pribadi pekerja keras, dan sangat menghormati serta menghargai orang-orang yang membantu dan berjasa dalam hidupnya. Salah satunya Sinta. Ibu sendiri kurang paham, tepatnya kapan mereka berkenalan. Setelah pergi merantau, tiba-tiba dia datang bersama dengan Sinta, dan mengatakan kalau dia adalah istrinya."Aku masih dia menyimak, sambil memijat kaki ibu. Sebenarnya Ibu menolak, bahkan tadi dia yang mau memijit kakiku. "Aku sangat bahagia, Nak Nyia. Dulu, di mataku Sinta adalah wanita yang baik, tutur katanya lembut. Tak tahunya semua itu hanyalah topeng sandiwara. Ibu benar-benar tertipu, Nak Nyia. Kasihan Wisnu, harus menikung hutan batin yang cukup berat. Saat ini pun, dia dalam posisi sulit. Satu sisi Dia sangat mencintaimu, di sisi lain dia tak tega melihat kondisi Sinta. Tak jarang Ibu melihatnya menangis di masjid rumah sakit."Tak terasa air mataku menetes mendengar penuturan i
"Soal Mas Haris bagaimana, Mas?" tanyaku pada Mas Wisnu ketika dia keluar dari kamar mandi. Sengaja menunggunya karena ada banyak hal yang ingin kutanyakan dan kukatakan padanya. Lelaki itu hanya menatapku sekilas, kemudian sibuk memakai bajunya."Apanya? Dia udah dimakamkan?" sahutnya. kali ini dia tengah mengeringkan rambutnya. "Kronologinya bagaimana, Mas? Kok dia bisa meninggal?" Aku benar-benar penasaran."Kalau menurut keterangan polisi, dia terjatuh dari kursi roda, kepalanya membentur ujung ranjang. Hanya itu karena memang tak ada luka yang berarti di tubuhnya." Mas Wisnu melangkah mendekatiku."Haris terlihat sehat, tubuhnya berisi dan juga bersih. Berbeda dengan kondisi Sinta saat kami menemukannya. Sangat miris, Nyia. Tangan dan kakinya dirantai, sementara mulutnya dilakban. Tapi tak ditemukan memar di tubuhnya," imbuhnya setelah duduk di sampingku."Aku tahu, tadi aku dari rumah sakit," kataku sambil
Pagi ini tubuhku terasa sakit semua, sebenarnya setiap hari aku juga merasakannya, tapi hari ini sakitnya lebih parah. Dari kepala sampai ujung kaki, semua terasa ngilu. Tubuhku menggigil dalam gudang yang gelap dan pengap ini. Biasanya bude akan membangunkanku, mengapa hari ini dia tak kunjung membuka pintu.Setelah menunggu dan mulai gelisah karena rasa sakit di kepala yang semakin kuat. Aku mendengar derap langkah, entah milik siapa. Apakah ini sebuah pertolongan? Memikirkan itu semangatku berkorbar, dan dengan sisa-sisa tenaga kupaksakan diri ini bangkit, lalu merangkak ke arah pintu, setelah itu berteriak sekuat yang kumampu."Sepertinya ada orang di dalam!" seru seseorang dari balik pintu. Aku pun semakin bersemangat untuk berteriak."Dobrak saja pintunya!" Mendengar itu, aku langsung bergeser agar tidak terkena daun pintu yang mungkin akan lepas dari bingkainya.Air mataku tumpah setelah pintu berhasil didobrak. "Sinta!" Itu seperti su
"Kalau melakukan pekerjaan itu yang bener, Sin. Lihat semua masih kotor, dah kamu kerjakan lagi," titah bude sambil melempar piring yang dipegangnya. Badanku gemetar mendengar benturan antara piring dan lantai. Wanita yang dulu sangat kucintai itu memang tak pernah berkata keras, tapi sangat menakutkan."Bersihkan, setelah itu baru makan," imbuhnya sambil melangkah pergi. Aku tak bisa menjawab, karena mulutku dilakban sangat banyak sampai memutari kepala. Sedangkan tangan dan kakiku di rantai. Entah sudah berapa kali aku tak sadarkan diri dan sadar di tempat yang sama. Jika bisa meminta, aku ingin Tuhan mencabut nyawaku saja, dari pada hidup seperti ini.Mereka memang tak menyiksa ragaku, tak pernah memukul atau melakukan kekerasan fisik, hanya saja bude dan pakde tak membiarkan aku beristirahat, ada saja yang harus kukerjakan. Semua semakin berat karena aku tidak leluasa bergerak, dan dalam kondisi lapar.Mas Haris hanya bisa menatapku dari atas kurs
"Apa yang aneh, Mas?" Aku semakin bingung dengan sikapnya."Sinta. Setiap hari yang menghubungiku itu budenya. Setiap aku mau bicara dengan Sinta, dia selalu bilang kalau Sinta sibuk mengurus Haris. Sementara setiap hari budenya meminta uang lebih.""Mungkin, Sinta beneran sibuk, Mas. Bisa aja, kan?""Iya, sih, tapi tetap saja aneh, Nyia." Setelah itu kami sama-sama diam, aku kembali memikirkan Ratna. Entah Mas Wisnu tengah memikirkan apa. Sinta mungkin. Terserah lah.Setelah beberapa saat dalam keheningan, ibu memanggil untuk mengajak makan malam. Aku dan Mas Wisnu pun segera bangkit."Ibu kok repot-repot masak toh, Bu?""Nggak pa-pa, Nyia. Ibu jenuh kalau diam saja. Lagian kan ibu sudah sehat."Penampilan sambel terasi buatan ibu mertua sangat menggugah selera. Saat hendak duduk, aku baru teringat Ratna. Setelah bilang pada Mas Wisnu kalau hendak mencari Ratna, aku segera beranjak mencari keberadaan adik