Mas Wisnu berdiri di depan pintu bersama dengan ibunya. Wanita senja itu sama terkejutnya sepertiku. Bahkan, waktu pun seolah berhenti demi sebuah pertemuan yang belum pernah kubayangkan sekalipun, hingga aku tersadar setelah Mas Wisnu mengucap salam.
"Assalamualaikum, Nyia?" ucapnya dengan tatapan sendu."Waalaikumussalam." Setelah membalas salam, aku langsung mengulurkan tangan untuk salim pada Mas Wisnu. Lelaki itu menyambutnya dengan sebuah senyuman, berbeda dengan sang ibu yang mengabaikan uluran tanganku."Ayo, silakan masuk, Mas, Bu." Aku berusaha bersikap ramah, bagaimanapun juga dia adalah wanita yang telah melahirkan lelaki yang kucinta."Nu, Sinta bilang, kamu akan mengajak ibu ke rumah istri mudamu, kenapa ke rumah dia?" tanya ibunya Mas Wisnu, mengabaikan tawaranku, bahkan dia seolah berat untuk menyebut namaku. Sikapnya ini membuatku menelan ludah karena gugup dan takut."Masuk dulu, Bu." Kembali aku"Sinta yang berandil besar dalam semua ini, dia yang selalu mendekatkan aku dengan Mas Wisnu." Lagi aku terdiam, menahan gejolak rasa yang ingin tumpah. Aku emosi karena terbawa suasana, sehingga aku harus berusaha kuat untuk meredamnya. "Sinta yang membawa wanita lain ke dalam Rumah tanggaku dengan Mas Haris. Dia ingin menghancurkanku, Bu. Jadi, sebelum Sinta merasakan sakitnya diduakan, aku sudah pernah merasakannya, Bu," ucapku dengan suara bergetar."Lalu kamu membalas semua sakitmu itu, Nak? Apa yang kamu dapatkan? Kebahagiaan? Atau kepuasan karena sudah membalas sakit hatimu pada Sinta?" Wanita senja itu menatapku dengan tajam. "Bu saat ini Ibu lagi kurang sehat, lebih baik Ibu istirahat dulu." Mas Wisnu berusaha menengahi kami. Lelaki itu terlihat sangat kacau, mungkin dia bingung mana yang harus dibela. Mungkin itu juga yang membuat Sinta berbuat jadi seenak hatinya. "Awalnya memang seperti itu Bu, tapi kenyataannya
Aku merasa menjadi orang terbodoh di dunia, mengapa segila ini hingga mau merawat lelaki yang sudah tak berguna seperti Mas Haris? Apa yang bisa kuharapkan dari lelaki cacat seperti itu?Entah dibutakan oleh apa, aku bisa begitu memujanya. Mungkin, dulu Mas Haris memang pantas untuk dipertahankan, tapi sekarang? Sepertinya aku harus menyetel ulang otakku."Bude, ada yang ingin aku bicarakan."Wanita yang tengah menikmati makan siangnya itu menoleh, sementara mulutnya masih sibuk mengunyah makanan. Tatapannya tak beralih dariku yang sudah duduk di kursi depannya."Bicara saja, Sin. Ada apa?" tanyanya setelah menelan makanannya. Setelah itu dia kembali sibuk menyendok nasi di piringnya."Aku berubah pikiran, Bude. Jadi, setelah selesai makan, kalian semua harus pergi dari sini." Ucapanku sontak menghentikan gerakannya. "Apa? Apa kamu bilang?" tanyanya setelah susah payah menelan nasi yang mungkin saja
"Kurang ajar!" sentaknya sambil kembali melayangkan tangannya di pipiku."Kamu memang pantas mendapatkan itu. Anjing saja mengerti balas budi, sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan kalian!" ledekku, dan itu semakin membuatnya murka."Kurang ajar!" Lagi dan lagi, pipiku merasakan pedasnya sebuah tamparan. "Lon te! Sundal! Baji ngan!" Bude menganyunkan tangannya setiap kali mengumpat, hingga membuat pipiku kebas dan mati rasa. Wanita senja itu meringis kesakitan, sementara suaminya berteriak memanggil namanya cukup keras setelah kakiku berhasil menendang perutnya."Berani kamu ya?! Rasakan ini! Kali ini tak hanya tamparan, tapi juga tendangan. Semua bagian tubuhku terasa mati rasa. Melihatku tak berdaya, keduanya dengan cekatan mengikat kedua tanganku."Urusin dia baik-baik! Kalau memang sudah tak bisa diharapkan, habisi saja!" pesannya dengan napas tersengal-sengal setelah berhasil mengikat tanganku. Setelah sekali lagi menampar dan menendan
"Kamu yakin mau bertemu Sinta sekarang?" tanyanya setelah batuknya reda. Walaupun tadi sempat terkejut bahkan sampai tersedak, kini dia sudah terlihat tenang. Mata elangnya menatapku. Manik hitamnya terkesan tajam, tetapi sangat menenangkan."Iya, Mas. Sepertinya waktunya udah tepat. Aku sudah mendapat restu dari ibu mertua, jadi, apapun yang terjadi aku sudah siap," ucapku membuat Mas Wisnu tersenyum, sorot matanya pun berubah menjadi teduh."Kuantar, ya," tawarnya yang langsung kubalas dengan sebuah anggukan."Ya dong, tapi kamu masuknya belakangan ya. Setelah dirasa keadaannya cukup genting baru kamu masuk," gurauku. Kami tertawa bersama. Namun, sekejap kemudian seling menutup mulut mengingat ada ibu yang sedang beristirahat."Sepertinya kamu sudah merencanakan semuanya ini dengan baik. Syukurlah kalau begitu, aku jadi tenang," ucapnya setelah itu Mas Wisnu menghela napasnya."Nggak ada, Mas. Pingin t
"Ya Allah, Bibik. Kayak sama siapa saja. Bibik pergi aja, Ratna aman bersamaku." Ada yang berbeda dari sorot mata yang terlihat teduh itu. Sepertinya bibik sangat berat meninggalkan Ratna.Aku dan Mas Wisnu mengantar paman dan bibik sampai di halaman. Sementara Ratna dia masih asyik dengan kesibukannya di dalam rumah. Lambaian dan senyum bibik menjadi tanda perpisahan kami. Aku merasa ada yang aneh, tapi tak tau apa itu.Saat kembali masuk aku dikejutkan dengan ibu yang melangkah tertatih sambil berpegangan pada dinding. Gegas aku menghampiri dan membantunya."Ibu mau ke kamar mandi?" Aku bertanya setelah memapahnya."Iya, Nak," sahutnya dengan suara pelan. "Terima kasih ya," imbuhnya. Ada yang berdesir di hati setelah mendengar dia menyebutku tadi. 'Nak' sudah lama tak ada yang memanggilku seperti itu.Selesai dari kamar mandi, aku dan ibu duduk di ruang tengah, di mana ada Ratna juga. Mas Wisnu sendiri tadi lang
Seolah dejavu, aku kembali merasakan kesedihan yang mendalam. "Mereka orang baik, Mas. Mengapa secepat itu Allah memanggilnya?" ratapku ketika menyaksikan proses demi proses jenazah bibik dan paman, hingga sampai masuk ke liang lahat."Kamu tahu, Nyia. Tanaman itu yang diambil duluan itu yang bagus. Misalanya, kamu nanam jagung, pas mau buat dadar jagung, kamu pasti ambil yang paling bagus kan? Dari segi bentuk juga banyaknya biji." Mas Wisnu menghiburku. Sejak kedatangan jenazah, lelaki ini selalu ada di sisiku, merangkul pundakku."Mas tadi juga lihat jenazahnya kan? Tak ada luka yang berarti, tapi mengapa mereka bisa meninggal?" Aku masih bergumam, menyangkal ucapan Mas Wisnu, seolah tak percaya dengan takdir Tuhan. Aku, yang dalam keadaan tidak berduka bisa berkata, bahwa maut, jodoh dan rejeki sudah ditulis di Lauh Mahfudz. Namun, sekarang aku seolah menolak dan menyangsikan semua itu. Tuhan, maafkan aku."Kematian bisa datang kapan saja, Nyia. Bahkan, saat raga terasa sehat tanp
"Apa yang aneh, Mas?" Aku semakin bingung dengan sikapnya."Sinta. Setiap hari yang menghubungiku itu budenya. Setiap aku mau bicara dengan Sinta, dia selalu bilang kalau Sinta sibuk mengurus Haris. Sementara setiap hari budenya meminta uang lebih.""Mungkin, Sinta beneran sibuk, Mas. Bisa aja, kan?""Iya, sih, tapi tetap saja aneh, Nyia." Setelah itu kami sama-sama diam, aku kembali memikirkan Ratna. Entah Mas Wisnu tengah memikirkan apa. Sinta mungkin. Terserah lah.Setelah beberapa saat dalam keheningan, ibu memanggil untuk mengajak makan malam. Aku dan Mas Wisnu pun segera bangkit."Ibu kok repot-repot masak toh, Bu?""Nggak pa-pa, Nyia. Ibu jenuh kalau diam saja. Lagian kan ibu sudah sehat."Penampilan sambel terasi buatan ibu mertua sangat menggugah selera. Saat hendak duduk, aku baru teringat Ratna. Setelah bilang pada Mas Wisnu kalau hendak mencari Ratna, aku segera beranjak mencari keberadaan adik
"Kalau melakukan pekerjaan itu yang bener, Sin. Lihat semua masih kotor, dah kamu kerjakan lagi," titah bude sambil melempar piring yang dipegangnya. Badanku gemetar mendengar benturan antara piring dan lantai. Wanita yang dulu sangat kucintai itu memang tak pernah berkata keras, tapi sangat menakutkan."Bersihkan, setelah itu baru makan," imbuhnya sambil melangkah pergi. Aku tak bisa menjawab, karena mulutku dilakban sangat banyak sampai memutari kepala. Sedangkan tangan dan kakiku di rantai. Entah sudah berapa kali aku tak sadarkan diri dan sadar di tempat yang sama. Jika bisa meminta, aku ingin Tuhan mencabut nyawaku saja, dari pada hidup seperti ini.Mereka memang tak menyiksa ragaku, tak pernah memukul atau melakukan kekerasan fisik, hanya saja bude dan pakde tak membiarkan aku beristirahat, ada saja yang harus kukerjakan. Semua semakin berat karena aku tidak leluasa bergerak, dan dalam kondisi lapar.Mas Haris hanya bisa menatapku dari atas kurs
"Serius kamu sudah nikah?" tanyanya dengan wajah jenaka, nampak jelas kalau dia meremehkanku, menganggap ucapanku adalah candaan belaka."Alhamdulillah, iya, Sin," sahutku sambil tersenyum."Kenapa dia nggak kamu ajak ke sini? Harusnya diajak dong, biar nggak disangka hoax.""Dia suamiku," ucapku sambil menoleh sekilas pada Mas Wisnu.Aku tersenyum melihat perubahan pada wajah Sinta, sepertinya dia menahan napasnya. Wajahnya perlahan memerah, menandakan kalau saat ini dia tengah dikuasai angkara."Kalian?! Tidak mungkin! Mas! Kamu jangan diam saja! Katakan kalau yang dikatakan Tania tidak benar, Mas!" teriaknya, secepat kilat Sinta mendorong tubuhku, beruntung Mas Wisnu sigap menangkap."Semua yang dikatakan Tania adalah kebenarannya, Sin. Kami telah menikah beberapa bulan yang lalu. Ingat, kamu juga sudah mengizinkannya," ucap Mas Wisnu. Saat ini dia sudah berada diantara aku dan Sinta."Aku memang mengizinkanmu menikah
"Lakukan kalau kamu ingin melakukannya." Aku yang mendengar ucapan Mas Wisnu sampai menggigit bibir. "Apa? Kamu tega Mas! Kamu tega menyuruhku bunuh diri? Kamu tega meninggalkanku sendirian? Sekarang aku sudah tak punya siapa-siapa!""Ini adalah jalan terbaik untuk kita," sahut Mas Wisnu suaranya tetap terdengar tenang."Ini pasti hasutan wanita itu! Istri keduamu! Ternyata dia memang benar-benar ular. Semuanya breng sek! Kamu, orang tuaku, Haris, orang tuanya, ibumu, Tania! Semua breng sek!" Bahkan, dalam setiap amarahnya, Sinta masih saja menyebut namaku."Tak ada yang menghasutku. Semua ini sudah lama kupikirkan. Jika dulu kamu selalu mengancamku karena rasa balas budi. Sekarang aku sudah membayarnya. Jadi, tak ada lagi yang memberatkan langkahku untuk pergi. Jangan menyalahkan orang lain atas perpisahan ini. Karena sejatinya kita tidak pernah bersama. Renungkan kenapa semua ini bisa terjadi. Aku juga bukan orang suci, tapi aku belajar untuk m
"Ibu setelah punya menantu lagi, jadi pinter ya, atau jangan-jangan memang dia yang mengajari."Wanita itu menghela napas, sepertinya ucapanku telah menyentil perasaan, masa bodoh. Aku lakukan itu biar dia tahu kalau aku tidak suka dia terlalu dekat dengan maduku."Ibu tadi bawa buah jeruk kamu mau ibu kupasin?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Nggak, Bu. Malas! Oh iya, kenapa ya, Bu? maduku itu nggak mau ke sini? Ibu pernah tanya ke dia nggak?""Enggak, Sin, tapi dia pernah bilang ke ibu. Dia akan menemuimu kalau kondisimu sudah sehat." Ibu mengambil buah jeruk yang ada di kresek, kemudian mengupasnya tanpa bertanya padaku. Sepertinya dia benar-benar ingin menantangku"Sok peduli, padahal aslinya dia seneng kan aku seperti ini? Biar bisa mendapatkan Mas Wisnu seutuhnya. Buktinya sampai sekarang dia tak mau bertemu denganku.""Sinta, kondisimu baru saja pulih, jadi sebaiknya kamu tidak usah memikirkan hal-hal seperti itu. Istir
Baru sekarang aku merasakan sangat dicintai oleh seorang lelaki. Mas Wisnu, suami yang selama ini ku anggap tidak berguna, bahkan kehadirannya tak kuanggap sama sekali, selalu ada untukku. Aku yakin dia lebih memilihku daripada istri mudanya.Setiap malam dia selalu menjagaku di rumah sakit, walaupun sikapnya masih dingin dan tak banyak bicara. Wajar, karena selama ini kamu memang jarang berkomunikasi. Mulai sekarang aku akan belajar mencintainya, melupakan masa lalu dan juga Tania. Ternyata, kebencianku pada Tania telah menghancurkan hidupku. Entah ke mana wanita itu, sejak kedatangannya waktu itu, dia tak lagi menampakkan batang hidungnya ke sini. Padahal aku ingin berterima kasih padanya karena dulu menolak Mas Wisnu. Juga ingin memberitahunya, jika aku mampu dimadu.Aku bisa membuktikan apa yang dulu pernah kuucapkan padanya, karena selama ini tak ada masalah yang berarti antara aku dan maduku. Mas Wisnu cukup adil, dan itu membuatku semakin kagum padanya.
"Kekurangan dan keterbatasan ekonomi, membuatnya menjadi pribadi pekerja keras, dan sangat menghormati serta menghargai orang-orang yang membantu dan berjasa dalam hidupnya. Salah satunya Sinta. Ibu sendiri kurang paham, tepatnya kapan mereka berkenalan. Setelah pergi merantau, tiba-tiba dia datang bersama dengan Sinta, dan mengatakan kalau dia adalah istrinya."Aku masih dia menyimak, sambil memijat kaki ibu. Sebenarnya Ibu menolak, bahkan tadi dia yang mau memijit kakiku. "Aku sangat bahagia, Nak Nyia. Dulu, di mataku Sinta adalah wanita yang baik, tutur katanya lembut. Tak tahunya semua itu hanyalah topeng sandiwara. Ibu benar-benar tertipu, Nak Nyia. Kasihan Wisnu, harus menikung hutan batin yang cukup berat. Saat ini pun, dia dalam posisi sulit. Satu sisi Dia sangat mencintaimu, di sisi lain dia tak tega melihat kondisi Sinta. Tak jarang Ibu melihatnya menangis di masjid rumah sakit."Tak terasa air mataku menetes mendengar penuturan i
"Soal Mas Haris bagaimana, Mas?" tanyaku pada Mas Wisnu ketika dia keluar dari kamar mandi. Sengaja menunggunya karena ada banyak hal yang ingin kutanyakan dan kukatakan padanya. Lelaki itu hanya menatapku sekilas, kemudian sibuk memakai bajunya."Apanya? Dia udah dimakamkan?" sahutnya. kali ini dia tengah mengeringkan rambutnya. "Kronologinya bagaimana, Mas? Kok dia bisa meninggal?" Aku benar-benar penasaran."Kalau menurut keterangan polisi, dia terjatuh dari kursi roda, kepalanya membentur ujung ranjang. Hanya itu karena memang tak ada luka yang berarti di tubuhnya." Mas Wisnu melangkah mendekatiku."Haris terlihat sehat, tubuhnya berisi dan juga bersih. Berbeda dengan kondisi Sinta saat kami menemukannya. Sangat miris, Nyia. Tangan dan kakinya dirantai, sementara mulutnya dilakban. Tapi tak ditemukan memar di tubuhnya," imbuhnya setelah duduk di sampingku."Aku tahu, tadi aku dari rumah sakit," kataku sambil
Pagi ini tubuhku terasa sakit semua, sebenarnya setiap hari aku juga merasakannya, tapi hari ini sakitnya lebih parah. Dari kepala sampai ujung kaki, semua terasa ngilu. Tubuhku menggigil dalam gudang yang gelap dan pengap ini. Biasanya bude akan membangunkanku, mengapa hari ini dia tak kunjung membuka pintu.Setelah menunggu dan mulai gelisah karena rasa sakit di kepala yang semakin kuat. Aku mendengar derap langkah, entah milik siapa. Apakah ini sebuah pertolongan? Memikirkan itu semangatku berkorbar, dan dengan sisa-sisa tenaga kupaksakan diri ini bangkit, lalu merangkak ke arah pintu, setelah itu berteriak sekuat yang kumampu."Sepertinya ada orang di dalam!" seru seseorang dari balik pintu. Aku pun semakin bersemangat untuk berteriak."Dobrak saja pintunya!" Mendengar itu, aku langsung bergeser agar tidak terkena daun pintu yang mungkin akan lepas dari bingkainya.Air mataku tumpah setelah pintu berhasil didobrak. "Sinta!" Itu seperti su
"Kalau melakukan pekerjaan itu yang bener, Sin. Lihat semua masih kotor, dah kamu kerjakan lagi," titah bude sambil melempar piring yang dipegangnya. Badanku gemetar mendengar benturan antara piring dan lantai. Wanita yang dulu sangat kucintai itu memang tak pernah berkata keras, tapi sangat menakutkan."Bersihkan, setelah itu baru makan," imbuhnya sambil melangkah pergi. Aku tak bisa menjawab, karena mulutku dilakban sangat banyak sampai memutari kepala. Sedangkan tangan dan kakiku di rantai. Entah sudah berapa kali aku tak sadarkan diri dan sadar di tempat yang sama. Jika bisa meminta, aku ingin Tuhan mencabut nyawaku saja, dari pada hidup seperti ini.Mereka memang tak menyiksa ragaku, tak pernah memukul atau melakukan kekerasan fisik, hanya saja bude dan pakde tak membiarkan aku beristirahat, ada saja yang harus kukerjakan. Semua semakin berat karena aku tidak leluasa bergerak, dan dalam kondisi lapar.Mas Haris hanya bisa menatapku dari atas kurs
"Apa yang aneh, Mas?" Aku semakin bingung dengan sikapnya."Sinta. Setiap hari yang menghubungiku itu budenya. Setiap aku mau bicara dengan Sinta, dia selalu bilang kalau Sinta sibuk mengurus Haris. Sementara setiap hari budenya meminta uang lebih.""Mungkin, Sinta beneran sibuk, Mas. Bisa aja, kan?""Iya, sih, tapi tetap saja aneh, Nyia." Setelah itu kami sama-sama diam, aku kembali memikirkan Ratna. Entah Mas Wisnu tengah memikirkan apa. Sinta mungkin. Terserah lah.Setelah beberapa saat dalam keheningan, ibu memanggil untuk mengajak makan malam. Aku dan Mas Wisnu pun segera bangkit."Ibu kok repot-repot masak toh, Bu?""Nggak pa-pa, Nyia. Ibu jenuh kalau diam saja. Lagian kan ibu sudah sehat."Penampilan sambel terasi buatan ibu mertua sangat menggugah selera. Saat hendak duduk, aku baru teringat Ratna. Setelah bilang pada Mas Wisnu kalau hendak mencari Ratna, aku segera beranjak mencari keberadaan adik