Yusuf tahu bahwa khotbah ibu mertuanya itu tidak akan ada habisnya dan sama sekali tak beralasan untuk terus didengarkan. Dia hanyalah kacung di keluarga tersebut. Dia meninggalkan istrinya pun karena memang Pak Harmoko sendiri yang menyuruhnya untuk pergi.
Akhirnya, Yusuf menemukan Pak Harmoko telah menantikannya, berdiri sendirian di ujung koridor, dengan ekspresi dingin dan serius tergambar di wajahnya.
“Apa kamu benar-benar meninggalkan tomat yang sudah kita beli di ladang petani?” tanya Pak Harmoko.
“Maafkan aku, Yah. Aku...”
“Bukankah sudah kukatakan, serahkan saja soal Rayna padaku?” Harmoko memotongnya dengan dingin. “Apa kau pikir aku terlalu tua untuk mengurus semua omong kosong ini? Aku telah membantu persalinan istriku 3 kali di masa lalu. Tak satu pun dari mereka menemukan masalah. Kau hanya perlu melakukan apa yang aku perintahkan. Tomat sebanyak itu kau telantarkan? Sekarang siapa yang harus menanggung kerugian ini?”
“Kalau begitu, biar aku dan Bobby kembali untuk mengambilnya,” balas Yusuf masih menundukkan kepala.
“Kembali ke sana dan membawa truk kita? Pikirkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk biaya bahan bakar dan juga gaji sopir,” sergah Harmoko.
Di sana Yusuf terdiam mendengarkan khotbah dari mertuanya. Setidaknya sedikit berbeda dari ibu mertuanya, sang ayah mertua masih bisa bersikap tenang dan menahan suaranya, tak asal membentaknya di keramaian.
Kedua orang mertuanya itu bagaikan dua buku antitesis yang saling bertolak belakang baginya. Yang satu melarangnya pergi, yang satu lagi menyuruhnya untuk pergi. Terlalu sering dia ditempatkan di posisi sulit, bagai memakan buah simalakama.
“Tapi, Ibu sendiri yang menyuruhku menelantarkan barang-barang itu,” balas Yusuf.
“Tak bisakah kau pakai otakmu itu sedikit? Kau itu laki-laki, harus bisa tenang dalam kondisi seperti ini. Dari sana ke sini butuh waktu 2-3 jam. Sebelum kau sampai, semua urusan di sini juga sudah selesai? Apa salahnya kau naikkan saja barang-barang itu dulu,” bantah Ayah mertuanya.
“Pikirku juga begitu, Yah. Tapi aku tak berani membalas kata-kata Ibu,” balas Yusuf.
“Kau harus mengerti. Ibu mertuamu itu cuma asal memarahimu saja. Meski kau turuti pun, dia tetap akan memarahimu. Kalau tau akan kena marah juga, setidaknya selamatkan dulu barang kita. Jadi laki-laki itu jangan lemah begitu,” jelas Harmoko.
Harmoko pun menghela nafas sembari geleng kepala sekali. Karena seingatnya, istrinya sendiri yang mengusulkan agar Yusuf pergi ke ladang petani mengingat sulitnya mereka saat ini berurusan dengan para petani tersebut. Meski semua juga tahu kalau Rayna sedang hamil tua.
Sejatinya, Yusuf tak pernah berbuat sesuatu yang memicu dendam dari sang ibu mertua. Hanya saja, dia terlalu hina di mata sang nyonya besar itu. Bu Harmoko selalu memojokkan Yusuf dan sengaja menempatkannya di posisi yang serba salah.
Hal itu diperburuk dengan keberadaan David, suaminya Rani yang merupakan seseorang lulusan Magister Manajemen dari keluarga cukup terpandang. Dia adalah pria pilihan dari Bu Harmoko, tidak seperti Yusuf yang hanya seorang anak petani. Keberadaannya menjadikan status Yusuf semakin buruk saja di mata ibu mertuanya itu.
Yang membuat ibu mertuanya itu semakin kesal, Yusuf yang hanya anak petani dari kampung ini malah menikahi Rayna yang merupakan putri sulung di keluarga. Setidaknya, Bu Harmoko berharap seorang pria terpandang seperti David inilah yang menikahi putri sulungnya itu.
“Ayah, mobilnya sudah siap,” panggil David dari kejauhan.
Panggilan itu menghentikan khotbah Harmoko sesaat dan mengalihkan perhatiannya dari Yusuf. Mereka berdua melihat David tersenyum dari jauh di pintu masuk, menunggu Pak Harmoko untuk keluar bersamanya.
“Kamu tinggal di sini bersama yang lain. Aku harus pergi menemui Pak Mahzar. Tetap aktifkan HP-mu. Aku mungkin akan meneleponmu nanti,” pesan Pak Hamoko pada Yusuf sebelum dia pergi.
Di sana David terus manggut-manggut menundukkan kepalanya seperti seekor anjing manja saat Pak Harmoko berjalan ke arahnya. Sebenarnya, Pak Harmoko tidak pernah menyukai sikap seperti itu darinya. Tapi dia tidak bisa juga menunjukkan ketidaksenangannya. Karena David adalah menantu kesayangan yang dipilih Bu Harmoko sendiri untuk Rani.
David melirik sedikit ke arah Yusuf, dengan seringai buruk, sadar kalau Yusuf baru saja kena marah.
“Jadi benar mereka menelantarkan barang kita di ladang petani, Yah? Teledor sekali si Yusuf sampai berbuat seperti itu,” ucap David sembari membukakan pintu mobil, mencoba kembali mengungkit-ungkit kesalahan Yusuf.
“Sudah, jangan dibahas lagi,” sergah Pak Harmoko nampak tak senang berlarut-larut dengan cerita itu. “Masih ada hal yang lebih penting yang harus kita selesaikan.”
Berbeda dengan Yusuf yang menangani sebagian besar bisnis Pak Harmoko di ladang para petani, si menantu emas yang selalu berpenampilan parlente ini selalu berada di zona nyaman keluarga Harmoko. Namun begitu, dia masih saja membenci Yusuf untuk segala kepercayaan yang diberikan Pak Hamoko pada Yusuf.
Karena latar belakang Yusuf dari keluarga petani pekerja keras, Pak Harmoko mendapati Yusuf lebih dapat diandalkan daripada David. Namun, semakin Pak Hamoko menaruh kepercayaan pada Yusuf, semakin Bu Harmoko membencinya. Tak jarang juga David memanas-manasi dan menjelek-jelekkan Yusuf di depan kedua mertuanya itu.
Untuk beberapa waktu belakangan, Yusuf berpikir untuk berhenti bekerja dengan sang mertua karena permintaan dari sang istri, entah apa alasannya.
“Apa dia marah lagi padamu, Sayang?” tanya Rayna pada suaminya.
“Tidak juga. Kami baru saja berdiskusi tentang situasi di pasar,” balas Yusuf menimpali.
“Jadi, apa kamu sudah memberi tahu Ayah bahwa kamu akan berhenti bekerja padanya?”
“Belum!”
“Baru-baru ini, cara mereka menjalankan bisnis hampir seperti mafia saja. Aku tidak ingin keluarga kecil kita ikut campur dengan masalahnya,” jelas Rayna.
“Kamu harus tahu seberapa besar kepercayaan yang diberikan ayahmu padaku. Aku takut dia akan kecewa, atau mungkin, dia akan membenciku. Kau tahu, kondisi di pasar sedang sulit-sulitnya untuk ayahmu saat ini,” balas Yusuf.
Saat ini, Harmoko mendapat saingan berat di pasar dari kelompok Mahzar. Keduanya bisa dikatakan telah menguasai usaha distribusi produk sayuran di provinsi tersebut. Begitu juga dengan beberapa daerah pertanian di kawasan perbatasan provinsi terdekat.
Berbeda dengan Harmoko yang memiliki usaha sendiri dengan ditopang kekayaan dari istrinya, kelompok Mahzar terdiri dari beberapa pengusaha yang mencoba menyabot pasokan produk dan kompak menekan harga pada para petani.
Harmoko sudah mencoba berbagai usaha untuk melobi Mahzar dan komplotan lainnya, untuk tidak terlalu keras menekan harga. Sayangnya, Harmoko merasa bahwa dia tidak bisa mengandalkan Yusuf untuk ini. Saat itulah David memainkan perannya dalam memenangkan kepercayaan Harmoko, menyombongkan soal kepiawaiannya dalam strategi pasar.
Malam itu, Yusuf tak sengaja mendapati David sedang sendirian di dekat kolam renang sembari memegang segelas minuman. Yusuf pun mendatanginya ganti basa-basi dan bertanya soal perkembangan situasi di pasar.
“Jadi, bagaimana respon mereka?” tanya Yusuf kepada David.
David meliriknya sesaat, dan kemudian terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.
“Kacung sepertimu tidak akan mengerti hal semacam ini. Kau urus saja para petani kampungan itu. Kau yang kampungan paling mengerti berurusan dengan mereka,” balas David segera pergi, berniat untuk kembali ke rumahnya.
Namun kemudian, David berhenti sejenak dan berbalik ke arah Yusuf.
“Ngomong-ngomong, sudahkah kau memberi nama pada anakmu? Sekadar saran, lebih baik kau memberinya nama yang keren seperti yang diberikan orang kaya kepada anak mereka. Bukan nama kampungan seperti yang diberikan orang tuamu padamu,” teriaknya dari kejauhan sembari mengangkat gelasnya.
David memastikan kata-kata itu cukup keras untuk didengar oleh orang lain yang ada di Rumah Gadang. Yusuf tidak membalas penghinaan itu. Dia tahu dia memiliki posisi yang lemah dalam keluarga karena rendahnya Bu Harmoko melihatnya dibandingkan dengan David.
Kenyataannya, seluruh keluarga Harmoko tinggal di satu pekarangan seluas 1 hektar, terdiri dari tiga rumah dan satu garasi besar untuk truk mereka. Salah satunya adalah satu Rumah Gadang untuk keluarga utama yang dibangun dengan mempertahankan arsitektur khas Rumah Gadang Minangkabau, namun dengan sentuhan futuristik ala rumah modern. Yusuf yang menikah dengan Rayna yang merupakan putri tertua, tinggal di Rumah Gadang tersebut bersama kedua mertuanya. Sedangkan Rani dan suaminya, David, tinggal di salah satu dari dua rumah lainnya, terpisah dari keluarga utama. Rumah ketiga dikelola oleh putri bungsu Harmoko bernama Cindy, yang merupakan seorang mahasiswi ilmu politik. Dia menyewakan lima kamar lainnya itu untuk anak kos. David tidak pernah menyembunyikan betapa bencinya dia karena Yusuf bisa tinggal di rumah utama. Tapi bagi Yusuf, hidup bersama mereka seperti menanggung masalah rumit yang tak berkesudahan yang terus dihadirkan oleh Bu Harmoko kepadanya. Contohnya saja, seperti bag
Dalam beberapa hari ke depan, ibu Yusuf dan adik perempuannya juga akan datang untuk melihat bayi Yusuf yang baru lahir. Ini adalah acara tradisional khusus yang disebut “turun mandi”, di mana semua keluarga akan datang untuk ikut merayakan.“Jadi kamu pesankan pada ibumu untuk membawakanku Lamang Tapai? Aku sudah cukup lama kangen dengan Lamang Tapai buatan ibumu,” kata Rayna pada suaminya“Kamu tidak perlu khawatir. Membawakan Lamang Tapai untuk menantu sudah menjadi tradisi keluarga. Meski aku tidak memintanya, dia sendiri akan membawakannya untukmu,” jelas Yusuf.Sementara itu, Bu Harmoko telah sukses menyebar kebenciannya terhadap Yusuf kepada kerabatnya yang lain. Terutama kepada ayahnya sendiri, Sutan Sati, dengan mengungkit isu soal pemberian nama anak, dengan memanas-manasi bahwa Yusuf terang-terangan mengatakan bahwa wejangannya itu sesuatu yang konyol. Tentu hal itu ikut mempengaruhi reaksi dari kerabatnya yang lain.Di hari acara turun mandi itu, semua kerabat dari pihak k
Yusuf hanya diam, pantang baginya berdebat dengan seorang wanita dalam kondisi seperti itu. Dia terus menatap lurus ke arah Sutan Sati, hingga lelaki tua itu tidak punya pilihan lain selain menyuruh anaknya itu berhenti.“Rosdiana! Cukup!” sergah Sutan Sati.“Bagaimana mungkin aku diam saja! Anak petani itu sudah mulai kurang ajar di rumah ini. Lihat apa yang sudah diperbuatnya. Anjing saja tak akan mau menggigit tangan tuannya," bantah Bu Harmoko. Yusuf hanya bisa menunduk. Dia mencoba menahan amarahnya, mengingat Bu Harmoko masih ibu kandung dari Rayna, merasa tak enak jika harus mendebat balik padanya.Pak Harmoko bergegas membawa Yusuf dan keluarganya, bersama Rayna dan putranya ke rumah lain yang ditinggali Cindy.“Heh?! Aku belum selesai!" teriak Rosdiana.Namun Harmoko mengabaikannya dan segera menjauhkan Yusuf dan keluarganya untuk segera menghentikan keributan tersebut.“Nes, tahan kakakmu!" seru Sutan Sati.Namun Nesty malah memperlihatkan raut wajah kesal dan berjalan menu
Harmoko pun berdiri dan menuju teras rumah sembari mengeluarkan ponselnya untuk segera melakukan panggilan. “Tunggulah sebentar. Kebetulan ada dua truk kita yang akan bertolak menuju kampungmu. Ayah akan memberitahu sopirnya, agar kalian bisa pergi bersama mereka,” jelas Harmoko bergegas keluar dari ruangan itu. Tak lama setelah itu, Harmoko kembali dan memberitahu putri dan menantunya itu bahwa dua truk yang akan pergi itu sudah siap di depan. Yusuf hanya menyempatkan pamit pada ayah mertuanya. Namun hatinya tak kuasa untuk menampakkan muka di hadapan ibu mertuanya lagi. Sementara itu, Bu Harmoko masih mencak-mencak di dapur ditemani oleh beberapa orang saudara iparnya, termasuk satu orang adik perempuannya yang sebelumnya digampar Yusuf. “Awas saja! Memangnya bisa apa dia di rumah ini. Begitu semua acara ini selesai, dia dan ibunya yang kampungan itu tak akan kubiarkan bisa tenang berlama-lama di rumah ini,” geramnya. Tepat di saat Rosdiana berkata seperti itu, suaminya datang k
Saat sampai di rumah, kedatangan Yusuf dan keluarganya menjadi perhatian para tetangga. Satu tetangga ramah yang terdekat, Bi Minah, datang dengan sedikit ekspresi linglung tergambar di wajahnya. “Sudah pulang saja, Mak Sannah?” tanyanya pada Ibu Yusuf. Ibu Yusuf mengangguk sedikit, dan Bi Minah pun juga ikutan manggut-manggut dengan senyuman canggungnya. Ibunya Yusuf tak tahu harus bagaimana bercerita, karena kenyataannya dia tak sampai satu jam menginjakkan kaki di Rumah Gadang besannya di kota. “Dah selesai saja acara “turun mandi” anak si Yusuf?” tanyanya lagi. “Itu si Yusuf dan istrinya datang ke sini bersama anak mereka,” balas Ibu Yusuf sembari tetap sibuk menurunkan barang bawaannya dari mobil Bobby. Yusuf pun lewat sembari membawa barangnya ke dalam. Dia menyempatkan diri menyapa tetangga yang saat ini sedang berdiri di teras rumahnya itu. “Sore, Bi Minah!” sapa Yusuf sedikit menundukkan kepala sambil lalu. “Ah, Iya!” balasnya. Bi Minah nampak semakin pangling menyaksi
Sebenarnya, selama dua tahun lebih ikut dalam bisnis Harmoko, Yusuf lumayan bisa menyimpan uang. Dia bukan tipe orang yang konsumtif. Sementara biaya hidup selama ini ditanggung kelurga Harmoko karena mereka tinggal bersama. Dengan itu juga dia selalu bisa membantu ibu dan juga adiknya di kampung. Begitu juga dengan Rayna yang memiliki simpanan yang lumayan cukup. Meskipun begitu, dua orang suami istri ini berpikir jauh ke depan. Mereka tak mungkin menunggu semua simpanan itu habis duluan baru mencari solusi saat kepepet. “Rayna, kamu balik saja ke rumah dulu bawa Taufiq. Tak baik berpanas-panas di sini,” teriak Yusuf dari balik semak-semak. “Dingin begini dibilang panas,” balas Rayna yang saat ini menggendong bayinya, menemani Yusuf yang sibuk mengurus ladang yang sudah lama ditelantarkan. Yusuf pun berdiri, namun hanya terlihat sedikit kepalanya diantara tingginya semak-semak. “Dingin karena kita berada di ketinggian. Begitu juga dengan anginnya. Tapi terpaan sinar matahari langs
Sesaat kemudian, Rayna nampak sedikit kaget, menemukan sudah cukup banyak kentang terkumpul di ladang yang baru selesai dirambah Yusuf. “Lho, dapat dari mana kentang-kentang ini?” tanyanya. “Dari semak-semak yang dirambah tadi,” jawab Yusuf. “Waaah, bisa dibikin Potato Chips?” tanya Rayna dengan wajah sumringah. Yusuf mengangguk pelan dengan sedikit senyuman. Namun, melihat Rayna yang bersemangat itu, Yusuf malah terpikirkan akan sesuatu yang konyol. Sore itu, Yusuf menghentikan pekerjaannya, dan seluruh kentang-kentang itu diangkut ke rumah dengan dibantu istrinya. Namun sesampainya di rumah, Yusuf malah menebar kentang-kentang itu di lantai di salah satu sudut ruangan. Sementara dia sibuk dengan kentang itu, Rayna datang dengan membawa pisau dan sebuah baskom. “Mau apa?” tanya Yusuf. “Mau mengupas kentangnya,” balas Rayna. “Jangan. Kentang-kentang ini bagus untuk dijadikan bibit,” jelas Yusuf. “Eeeh? Jangan-jangan?” “Melihat kamu semangat begitu, sayang kalau tak dimanfaatka
Namun tiba-tiba Aisyah terpikirkan sesuatu. “Oh? Kalau begitu, masak juga tanggung jawab Abang dong? Trus kenapa Abang serahkan kentangnya ke Emak, sementara Abang ngotot tak bolehkan Aisyah bantu nyuci?” balasnya beretorika. Yusuf pun berdiri menghentikan kucekan cuciannya, sedikit mengerutkan dahi dengan wajah pangling. Tak disangkanya, adiknya itu sudah makin jeli dalam beradu argumen. Dia bingung apa harus kesal atau bangga dengan perkembangannya itu. “Sudah! Kamu bantu Mak saja di dapur sana,” timpal Yusuf, mencoba menolak kekalahannya beradu argumen dengan adiknya itu. “Eh, Bang. Kalau sampai ada yang datang lihat Abang nyuci, bisa-bisa Abang diejek lagi lho. Atau mungkin seisi rumah ini jadi gunjingan orang, seolah tak ada lagi perempuan di rumah ini,” gerutu Aisyah meninggalkannya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Apa yang dikhawatirkan Aisyah pun datang menghampiri rumah mereka. Baru saja dia meninggalkan Yusuf, sudah terdengar suara laki-laki mengucap salam di pintu depan. A
Selang beberapa minggu, kepolisian masih saja belum menemukan keberadaan satu preman yang jadi buronan tersebut. Tentu mereka sadar juga, satu preman itu pasti sudah melarikan diri keluar dari provinsi. Atau mungkin keluar dari pulau Sumatera. Begitu juga dengan laporan orang hilang atas David dan Rani, sampai sekarang belum juga mendapatkan kabar. Kehilangan mereka berdua, sedikit banyak telah memancing dugaan dari tim penyelidik. Pasalnya, mereka masih satu keluarga. Pihak kepolisian menduga hilangnya dua orang tersebut mungkin karena mereka juga telah menjadi target dari orang yang sama yang ingin mencelakai Yusuf. Namun Harmoko meyakinkan polisi bahwa itu tak mungkin ada hubungannya dengan insiden yang menimpa Yusuf. “Kami masih sedang mengusahakannya dalam dua minggu ini. Apa Bapak yakin ini tak ada hubungannya dengan hal yang menimpa menantu Bapak yang seorang lagi?” tanya polisi pada Harmoko. Harmoko pun mendekatkan duduknya pada petugas polisi itu, seperti ingin berkata se
Sore harinya, dua orang petugas dari kepolisian mendatangi rumah sakit di mana Yusuf di rawat. Salah satu dari mereka langsung meminta untuk melepaskan borgol Bobby.“Kenapa di borgol?” tanyanya.“Lah tadi katanya suruh tahan dulu di sini.”Petugas itu hanya memasang wajah memelas dan kemudian masuk ke dalam ruang perawatan untuk mendatangi Yusuf. Kebetulan pada saat itu Yusuf sudah kembali bangun dan sedang makan disuapi ibunya.Polisi yang baru datang itu juga meminta petugas yang menjaga untuk melepaskan borgol di tangan Yusuf. Setelah itu, dia kemudian memberikan sedikit keterangan mengenai kasus yang sedang mereka selidiki.“Kami menemukan luka-luka di bagian kaki. Otot-otot di belakang tumit mereka putus. Begitu juga di bagian lutut dan pangkal lengan. Apa saudara yang melakukannya?”Mak Sannah terdiam mendengar pertanyaan polisi terhadap anaknya itu, dan langsung meletakkan piring makanan di atas meja. Yusuf menepuk lembut lengan ibunya, dan tersenyum seakan mengatakan tak perl
Di gerbang, Rani sempat berpas-pasan dengan Cindy yang kembali dengan motor maticnya. Cindy langsung berhenti di gerbang itu, dan bertanya pada Rani.“Ran, mau ke rumah sakit?” tanyanya.Namun Rani tak menyahut dan terus berlalu.Cindy mengerutkan wajahnya sedikit. Dia tak yakin kalau raut wajah Rani yang tengah diliputi kepiluan itu karena rasa simpati soal apa yang terjadi dengan Yusuf.Sesaat dia berpikir, apa mungkin Rani seperti itu karena mendapatkan kabar buruk. Namun dia tak juga bisa menerima kemungkinan itu, karena baru saja dia sudah mendapatkan berita dari Rayna soal kondisi Yusuf.Dia pun berlalu, dan kembali mengarak motor maticnya itu memasuki perkarangan rumah. Hingga kemudian perhatiannya tertuju pada pintu rumah Rani yang dibiarkan terbuka. Dari situ, baru Cindy menyadari ibunya yang sudah tergeletak di teras rumah.“Buu!”Dia langsung menelantarkan motor, dan bergegas ke teras rumah tersebut. Dia sempat mendapati sebelah lengan ibunya bergerak seperti orang ayan. Ha
Kebetulan, daun pintu itu sedikit terbuka. Dan Rosdiana langsung saja mendorong pintu itu lebar-lebar, kemudian berlagak pinggang di sana. Anehnya, David dan Rani sama sekali tak menunjukkan wajah bersalahnya. Gelak tawa mereka hanya terurai sedikit saja, dan menoleh ke arah Rosdiana dengan sedikit kesan pangling. Toh, pikir mereka selama ini Rosdiana sangat membenci Yusuf sebenci-bencinya sampai tak memiliki empati lagi. Setidaknya itu dipikiran mereka. Namun tidak, Rosdiana langsung membentak David begitu keras. “Dasar setan! Keluar kau dari rumah ini!” Rani terkejut, dan wajahnya pun langsung pucat. Dia bergegas menghampiri ibunya dengan kegamangan tergambar di wajahnya. “Bu, kenapa Ibu tiba-tiba...” “Diam kau!” bentak Rosdiana. Rani pun terkenjut, bahkan tergerak mundur menerima semprotan amarah dari ibunya itu. Dia sudah sering melihat ibunya itu marah-marah. Tapi baru kali ini dia yang dimarahi. Satu tangan Rosdiana pun bergemetaran menunjuk ke arah David. Emosinya begitu
Harmoko yang menyadari kedatangan istrinya itu, langsung bergegas keluar. Dia berlalu sesaat melewati Rayna dengan tatapan tak senang.Tentu Rayna pun diliputi perasaan bersalah. Karena bagaimanapun, Rosdiana tetap ibu kandunganya. Dia pun kembali masuk menghampiri suaminya dengan perasaan campur aduk.Hingga tiba-tiba, si petugas polisi yang sedang berjaga di sana mengatakan sesuatu yang cukup penting untuk Rayna.“Aku pikir mungkin Ibu dan keluarga perlu mencari pengacara. Ini hanya saran saya secara pribadi saja untuk berjaga-jaga, siapa tahu masalah ini akan lebih rumit untuk suami Ibu nantinya.”Rayna hanya menoleh sesaat, dan memberikan satu anggukan tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia masih tak senang dengan petugas tersebut karena telah memborgol suaminya.Meski begitu, sepertinya sekarang dia mulai sedikit bisa memahami kalau polisi tersebut sama sekali tak memiliki pandangan buruk terhadap Yusuf.Di koridor, Harmoko mencoba menyusul istrinya. Dia menahan bahu Rosdiana dari
Polisi pun datang, namun tak seorang di sana kecuali beberapa mayat yang tergeletak di semak-semak. Satu petugas langsung melakukan panggilan dan meminta bantuan ke Polres Kota Padang.Tak hanya itu, dia juga melakukan panggilan pada satu rekannya yang masih berada di rumah sakit menjaga Yusuf dan Bobby.“Apa laki-laki itu masih bersamamu?”[Ya!]“Tahan dulu dia untuk sementara waktu. Kami menemukan mayat di sini. Orang-orang yang katanya sempat mereka lumpuhkan ternyata sudah mati.”Tanpa melakukan penyelidikan lebih jauh, tentu masih terlalu dini bagi mereka untuk menilai kalau Bobby dan Yusuf lah pembunuhnya. Namun tetap saja, mereka berdua saat ini menjadi satu-satunya tersangka. Karena Bobby sendiri telah mengaku bahwa mereka yang melumpuhkan preman-preman tersebut.Satu petugas polisi mencoba mengamati mayat-mayat tersebut secara seksama tanpa menyentuhnya. Dia mendapati tubuh-tubuh preman itu penuh luka, baik di bagian lengan maupun kaki..Namun satu luka yang jelas fatal yang
Bobby memberanikan diri keluar dari persembunyian dan menyerang sisanya dengan membabi buta. Tiga orang begal itu semakin panik, karena satu temannya masih meirntih dengan luka di lengannya.Pada akhirnya mereka pun memilih kabur. Sementara sisa begal lainnya yang sudah dilumpuhkan Yusuf, masih terdengar merintih di beberapa tempat.Bobby terkesima dengan apa yang sudah diperbuat Yusuf, sementara sahabatnya itu masih berdiri seorang diri. Dia pun menghampirinya dari belakang.Namun belum beberapa langkah Bobby berjalan, Yusuf langsung nampak lunglai. Bobby bergegas menghampirinya dan memapah Yusuf seketika.“Suf! Kau baik-baik saja?”Namun Yusuf tak menjawab, hanya berusaha tetap bertahan dengan satu lutut tertekuk di tanah. Hanya suara nafasnya saja yang begitu berat terdengar.Bobby pun memeriksa kondisinya dengan senter, hingga dia menyadari obeng yang masih tertancap di perut Yusuf.“Andeh, Suuuuf!”“Bagaimana dengan mereka?” tanya Yusuf.“Mereka sudah kabur. Sebaiknya biarkan saj
Dalam perjalanan pulang, Yusuf masih belum lepas dari rasa kesalnya. Bobby sesekali melirik, dan mendapati Yusuf masih membuang muka ke sisi kiri. "Kau seharusnya sudah mengerti dari jauh hari, cepat atau lambat kita pasti akan berurusan dengan Mahzar. Jadi apapun yang mau kau lakukan, harusnya kamu lakukan dengan penuh perhitungan," ucap Bobby. "Ya aku tak mungkin dia saja, Bob!" sanggah Yusuf. "Aku tak menyalahkan tindakanmu. Tapi sebisanya, jangan sampai tindakanmu itu hanya karena dorongan emosi. Aku khawatir nanti kau malah membuat keputusan yang justru akan merugikan kita semua." Yusuf menghela nafas dan mengangguk pelan menerima saran temannya itu. Karena memang ada kebijakan dari kata-katanya tersebut. Dia pun mencoba menenangkan dirinya, khawatir jika sampai moodnya yang jelek itu bertahan sampai di rumah malah akan mendatangkan masalah lain. Memang sebagai laki-laki, tak seharunya dia membawa masalah yang dia temui di luar ke rumah. Namun sesaat menjelang mobil pick up
Gara-gara kejadian di beberapa hari belakangan, kembali Harmoko meminta Yusuf untuk duduk bersama dengan beberapa tauke lainnya. Ini sesuatu yang sama sekali tanpa sepengetahuan Yusuf. Namun tentu saja dia tak bisa menolak permintaan dari mertuanya tersebut. “Dani, kamu kembali saja dulu. Tak enak juga dengan Pak Salman kalau anaknya pulang kemalaman,” jelas Yusuf. Dani mengangguk dan kembali ke mobil di mana anak Pak Salman masih menunggu. Satu mobil itu pun kembali, sementara Yusuf terpaksa harus bertahan dulu ditemani Bobby. Kembali warung sate itu penuh, dan rata-rata yang duduk di sana adalah para juragan besar di Pasar Raya. Sebagian besar dari mereka menatap tak ramah dengan kedatangan Yusuf. Dan seperti biasa, Harmoko menawarkannya dan juga Bobby sate. Namun Mahzar langsung menyela. “Maaf, aku sibuk dan masih ada lebih banyak hal yang harus aku urus. Tolong, Pak Bos kalau memang ada hal penting yang ingin dibicarakan, langsung saja pada pointnya.” Harmoko pun menghelas na