PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABAB 44"Memangnya kamu mau nambahi kalau nggak cukup?""Arum sih mau-mau aja. Tapi ada syaratnya.""Syarat? Pake syarat-syarat segala.""Terserah Ibu sih mau atau tidak?""Ya sudah, syaratnya apa?""Syaratnya …."****"Syaratnya jadi karyawan aku, Bu. Gampang. Tinggal bawa piring maupun gelas kotor sekalian dicuci. Sama beres-beres warung. Lagian kalau karyawan laki, Arum belum ada. Nanti aku kasih gaji perbulan. Gimana?""Apa? Kamu mau jadiin Agus babu?""Bukan! Karyawan … inget ya Bu. Bukan babu tapi karyawan.""Sama aja itu, babu tukang bersih-bersih.""Itu sih terserah Agus ya, Bu. Kalau mau ya syukur kalau enggak, ya nggak masalah." Ibu mertuaku mencebik bibirnya serong ke kanan serong ke kiri. Aku yang melihat pemandangan ini sebenarnya ingin tertawa, karena dengan itu kesempatan aku mengerjai adik ipar sendiri."Kasih pekerjaan lain, kalau bisa jadi kasir kalau nggak ya manager. Agus itu terbiasa kerja kantoran mana bisa kerja begituan?
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 45Belum juga kaki ini melangkah masuk kedalam rumah. Sudah terdengar teriakan Agus. Entah apa yang terjadi di dalam rumah. Aku melihat Ibu terduduk di lantai sembari tangannya menepuk dada.Air matanya luruh, begitu juga Mas Bayu yang mencoba menahan Agus agar tidak mengamuk pada Rani. Sedangkan wanita yang ada di hadapannya hanya bisa menunduk sambil menangis meraung-raung."Ada apa ini?" tanyaku sontak membuat semua orang menoleh ke arahku.****POV BayuMelihat Arum terlelap disampingku membuat aku trenyuh. Aku terus menatap wajah lelahnya. Dia bersedia bertahan hingga sejauh ini mendampingiku. Padahal aku tak sebaik yang dia pikir. Aku terlalu egois. Hingga nafkah yang aku berikan dulu hanya lima ratus ribu. Padahal untuk membeli sayur setiap hari tidaklah cukup dengan uang dua puluh ribu. Ditambah keluarga kami yang berjumlah tiga orang dewasa. Pastinya memerlukan porsi makan yang banyak.Aku selalu mengandalkan Arum memenuhi kebutu
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 46"Kalau kamu nggak bisa hidup seperti ini. Bicara jangan seperti ini?"Agus mengacak kasar rambutnya. Entah apa yang terjadi aku tidak tahu. Hingga Agus Semarah ini."Maafkan aku, Mas.""Apa yang terjadi?" Tiba-tiba Arum datang. Membuat kami semua menoleh ke arahnya. Pertanyaan yang sama, pertanyaan yang sama yang ada didalam pikiranku.Apakah Rani selingkuh? Hingga membuat Agus murka. Atau jangan-jangan dia ….****POV ArumHening, ruang tamu itu nampak hening. Tanpa suara, aku memastikan keberadaan Khaila baik-baik saja. Bocah kecil itu harus menyaksikan Ibu dan juga bapaknya bertengkar di depan matanya. Entah apakah nantinya akan berdampak atau tidak. Yang jelas membekas.Khaila aku temukan terisak di bawah selimut. Dia ketakutan, tergambar jelas dia takut keluar menatap kedua orang tuanya. Aku pun memahami, dengan cepat kubawa dia ke dalam kamarku. Memintanya bermain Barbie kesayangannya. Beruntung Khaila nampak menurut, diusapnya air
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYA.BAB 47Keduanya masih diam. Lantas pergi meninggalkan aku dan juga wanita tua itu."Jangan sok peduli kepadaku, Arum!" DegMendengar ucapan Ibu baru saja membuatku memberi jarak. Ya Tuhan, padahal aku tulus lho. Masih dibilang sok peduli. Aku bermonolog dalam hati. Enaknya mertua begini diapain ya? Apa aku campur buat adonan bikin bakwan aja. Gemas sekali rasanya mendengar ucapan Ibu mertua. *****Aku langsung bergegas menuju dapur. Membuat bakwan jagung dan juga membuat sayur bayam. Tidak lupa aku buat sambal terasi dengan cabe rawit yang banyak. Setelah semua selesai aku mengajak Khaila mandi. Lalu menyiapkan makanan khusus untuknya. Sengaja aku menggoreng telur dengan menambahkan irisan daun bawang. Lalu mengguyur nasi hangatnya dengan sayur bayam yang terlihat enak. Ah, rasa-rasanya air liurku seakan ingin menetes."Berdoa dulu sayang," ucapku membuat Khaila mengangguk. "Khaila suka?" Bocah itu mengangguk."Mau nambah?"Khaila mengge
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 48"Nggak papa, saya DP dulu. Meskipun sedikit," pintaku dengan terkekeh.Ah, aku sudah tidak sabar lagi. Bawa pulang ini mobil. Entah apa yang akan terjadi nantinya jika Ibu dan juga Rani melihat aku membeli mobil. Meskipun tidak baru, yang namanya mobil juga mahal bukan?Aku tidak akan bisa membayangkan bagaimana reaksi Rani. Kemarin saja mereka tengah huru hara perkara uang. Dan sekarang aku malah membeli mobil.Haha, bisa-bisa jantung Ibu langsung copot."Kamu suruh pegawai mu saja ya. Aku masih ada urusan.""Baiklah.""Kita pergi yu, Rum!" ajak Mas Bayu membuatku bertanya-tanya. "Kemana?""Kita ke …."****"Kemana?" Aku kembali bertanya. Mas Bayu seakan ingin memberiku kejutan. Ah, kira-kira apa ya? Aku kok gugup begini."Nanti kamu juga tahu."Mas Bayu menstater motor maticnya lalu melajukan kendaraan. Aku yang membonceng di jok bagian belakang merangkul pinggang Mas Bayu dari belakang. Ah, kalau begini rasanya seperti saat pacara
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 49"Daripada buat beli mobil, seharusnya uang itu bisa buat nolong Agus dan juga Rani untuk membayar sebagian hutangnya. Kamu mau dicap sebagai saudara yang tidak bisa mengayomi adik sendiri. Apa kata orang? Kalian bahagia diatas penderitaan Agus dan juga Rani.""Lha, kenapa Arum yang mengurus hutang hutang mereka? Itu mah kesalahan pada mereka sendiri. Mereka harus bertanggung jawab dengan perbuatannya sendiri."Setelah Ibu mendengar ucapanku baru saja, dia segera masuk kedalam rumah. Sembari berucap pelan ketika melewati ku dan juga Mas Bayu."Ajari istrimu sopan santun, Yu!" titah wanita tua itu sembari mata melirik ke arahku.****Aku tengah duduk di kursi kasir. Menghitung pengeluaran hari ini yang lumayan besar. Hari ini memang banyak pengeluaran. Selain berbelanja untuk esok hari, ada juga pengeluaran untuk lima buah galon. Ditambah gas elpiji yang sekarang aku minta langsung pada agen yang mangantar.Dan juga beberapa kebutuhan dap
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 50"Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab lelaki yang bergelar suami itu."Ada apa, Mas?" Aku langsung bertanya pada intinya."Kamu cepet pulang ya, sekarang!""Lha kenapa?"" …."****Entah mengapa suara Mas Bayu yang ada di seberang telepon begitu khawatir. Apa yang sudah terjadi di rumah? Aku segera mematikan sambungan telepon. Berpikir sejenak, aku akan kembali pulang jika sudah menyelesaikan masalah ini terlebih dahulu."Sit, kamu kumpulkan semua karyawan ke sini ya?" pintaku pada Siti. Dia terlihat mengangguk lantas meninggalkanku.Tidak butuh waktu lama, semua orang sudah berkumpul. Hanya kurang satu karyawan yang belum datang, Agus. Dia berjalan santai, padahal semua orang tengah menunggu ya. Astaga, laki-laki itu memang sengaja membuatku semakin tidak menyukainya."Ada apa sih, Mbak. Mesti kumpul segala. Kek nggak ada kerjaan aja?!" cicit Agus sembari menjatuhkan bokongnya di kursi."Uang yang yang di meja kasir hilang empat j
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 51Aku menghela nafas panjang. Setelah itu aku mengarahkan pandanganku ke arah Mas Bayu."Nggak perlu jadi seperti ini, kasihan Ibu. Beliau lagi sakit."Bibir Rani mencebik entah apa yang ada dipikiran mereka. Sebentar-sebentar mereka saling bertengkar. Dan sekarang mereka sudah kembali akur. "Kalian ini apa-apaan sih? Kerjaannya bertengkar terus. Ibu capek tahu, ibu pusing. Ibu sudah tidak bisa lagi menahan semuanya. Kamu … ya kalian. Kalian harus pergi dari rumah ini.Duar Ibu menunjuk diantara kami, semua orang pun terkejut. Tidak terkecuali aku. *****"Ibu …." Mas Bayu nampak tidak percaya, Ibu mengusir kami. Ya, kami. Aku dan juga Mas Bayu. Padahal jika menelisik jauh ke belakang. Kami lah yang selalu merawat Ibu. Selalu ada di saat Ibu membutuhkan. Dan kemana Rani dan Agus saat beliau tengah dirawat di rumah sakit.Bukan karena tidak ikhlas melakukan semuanya. Namun, sudahlah. Mungkin ini adalah jalan terbaik untuk kami."Bu, kami
Bayu bergegas pergi meninggalkan penjual Bakso. Mengambil tas dan juga perlengkapan lainnya. Tidak lupa Bayu menyerahkan uang untuk membayar Bakso. Setelah selesai. Bayu kembali menghampiri Arum."Tenang, Nak. Nanti Emak ke situ sama Bude Nanik. Kamu yang tenang ya. Dimana Bayu?""Ini, Mak. Dia sudah selesai memasukan perlengkapan aku di mobil.""Ya sudah bilang sama dia nggak usah khawatir. Kamu buat jalan santai saja. Jangan melakukan pekerjaan berat ya. Apalagi naik tangga, berbahaya. Jalan santai aja di lantai bawah. Keramik di tempatmu kan licin.""Iya, Mak." Setalah mengucapkan salam Arum menutup teleponnya. "Aku sudah bilang sama Emak. Dia mau ke sini sama Bude. Kebetulan Bude lagi di rumah.""Ya sudah kalau begitu. Gimana perut kamu masih sakit?""Udah nggak kok, Mas. Nanti teras mules hilang lagi mules lagi hilang lagi. Begitu saja terus.""Alhamdulilah, kalau begitu. Semoga nanti kamu dilancarkan ya sayang.""Permisi, baksonya Mas.""Oh, ya. Terima kasih banyak, Pak." Dua m
Kesempatan kedua dan akhir dari perjuangan"Sesuatu? Apa?"Sebuah kertas berwarna putih disodorkan Arum. "Apa ini?" "Buka aja, Mas," pinta Arum membuat Bayu tersenyum bersamaan dengan rasa penasaran.Perlahan tapi pasti lelaki itu membuka kertas itu. Dibacanya dengan seksama. Bayu tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada Arum. ****"Ini beneran?" tanya Bayu. Hanya dijawab dengan anggukan kepala sang istri. Bayu memeluk erat tubuh Arum. Tatapannya tidak lepas pada sebuah surat. Surat yang menyatakan bahwa Arum bisa kembali hamil tentunya dengan pengawasan dokter kandungan. "Alhamdulilah, semoga nanti kedepannya kamu bisa secepatnya hamil lagi.""Amin, Mas." ****Satu tahun kemudian.Arum berjalan bergandengan dengan Khaila. Melewati orang-orang yang tengah berjalan menikmati indahnya sore hari. Bayu menatap wanita itu dari kejauhan. Menyungging senyum penuh kebahagiaan. Akhirnya apa yang ia tunggu selama ini tercapai juga. Arum terlihat begitu kesusahan berjalan. Kehamilan yang m
"Kamu tega, Mas," ucap Rani di sela-sela tangisnya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Membenarkan posisi duduk menjadi memeluk lutut menangis dalam dekapan sendiri. Tidak ada orang tua, anak maupun siapapun yang melapangkan hati Rani.Rani berada di titik terendah. Dimana hati, jiwa dan raganya terluka. Sebuah pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Penyesalan teramat dalam selama hidupnya. ******"Kamu udah putusan, Gus?" tanya Bayu di sela-sela makan malam. Ya, hari ini Bayu bersama Khaila dan juga Arum makan malam bersama di rumah Bayu. Agus berubah. Satu persatu hutang-hutang yang pernah melilitnya ia bayar. Memberikan kehidupan yang layak sebagai seorang anak pada Khaila. Mencurahkan waktu dan juga kasih sayang. "Alhamdulilah sudah, Mas. Keputusan langsung dikirim ke lapas.""Rani gimana? Kamu nggak pernah jenguk dia? Sudah sebulan ini dia disana!" tanya Arum. Bagaimanapun Rani pernah menjadi bagian hidup Agus. Pernah memberi Khaila untuknya."Nggak lah, Mbak. Aku
KARMARani menikmati dinginnya lantai di dalam penjara. Sepi, sedih dan juga terkekang. Di tempat riuhnya banyak orang yang tengah berbincang, Rani menunduk, dia tidak berani menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rani berharap mukjizat akan datang. Dia percaya Arum akan datang dan memintanya pulang. Namun, satu hari dua hari hingga satu bulan lamanya tidak jua ia dapati sosok yang dinanti. "Mbak, Rani minta maaf, Mbak. Rani khilaf. Rani tidak bermaksud mencelakai Mbak dan juga janin yang ada di kandungan Mbak. Aku harap Mbak Arum mau memaafkan aku. Aku harap Mbak Arum mau memberiku kesempatan. Huhuhu …." "Kesempatan kamu bilang? Terlambat! Kamu pantas di penjara, Rani!" ucap Arum tidak peduli. Sorot matanya tajam penuh kebencian. "Tapi Mbak. Khaila bagaimana? Bagaimana dengan anakku, Mbak? Dia masih butuh aku, masih butuh kasih sayang seorang Ibu!""Aku akan menjaga Khaila. Jauh lebih baik daripada kamu. Sebelum kamu bertindak seharusnya kamu lebih dulu berpikir. Hidup
Ternyata Ratih tengah diuji. Dia kehilangan banyak uang karena suaminya tertipu investasi bodong. Terjawab sudah kenapa beberapa waktu lalu dia meng gadai rumah pada Hendra, suami Nanik.Kini Ratih juga bekerja di warung Arum. Namun hari ini dia tidak bisa datang ke rumah Arum dikarenakan ada kepentingan di sekolah putranya. Khaila terlihat duduk dipangkuan Agus, lelaki itu tengah mengajukan perceraian kepada pengadilan agama. Dia memutuskan berpisah dengan Rani. Agus kini memulai hidup baru. Bekerja menjadi salah satu karyawan Arum tentunya. Berjalan dari bawah bersama sang putri. Dimana saat ini di jaga oleh Arum. Khaila kini sudah bersekolah. Meskipun masih taman kanak-kanak."Bagaimana, Yu. Kamu di sana sehat-sehat kan?" tanya Marni pandangannya tidak lepas pada Bayu. Arum yang tengah menuangkan minuman hangat lantas melirik sekilas kearah ibunya. "Alhamdulilah, Mak. Sehat, banyak doa yang Bayu panjatkan di sana. Untuk almarhum Ibu dan juga untuk Arum." Bayu menatap Marni namun
"Jawab, Agus. Apakah surat itu ada ditanganmu!" Bowo kembali bertanya.Agus diam. Dia menatap Khaila kemudian pandangannya beralih kepada Bowo lalu Ranti.****"Ada pada saya, Pak!""Ada pada kamu?! Lantas kenapa kamu tidak memberikan kepada Rani? Kamu tahu kan dia di tempat kedua orang tuanya.""Saya-""Bapak kecewa sama kamu!""Hu … hu … papa!" Teriak Khaila membuyarkan pandangan Agus yang mulai mengabur karena airmatanya yang hampir jatuh."Kamu anggap apa anakku Rani? Dia sudah menemani kamu dari nol. Dan sekarang kau campakkan dia! Membiarkan dia dibawa polisi dengan paksa?""Rani kelewatan, Pak. Saya sudah bicara kepada Mas Bayu dan juga Mbak Arum. Kata mereka Rani mendorong Mbak Arum hingga terjatuh!""Lantas kamu diam saja!""Ini menyangkut nyawa, Pak. Saya juga sedih tapi Rani harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!"Plak"Pergi dari rumah ini! Bawa Khaila bersamamu!" Tamparan itu mendarat di pipi Agus. Khaila berteriak histeris. Lelaki paruh Baya itu mengepalkan tangan.
Kedua orang itu masuk kedalam rumah. Bowo memberi jalan. Sedangkan Ranti yang berhasil sampai di dekat Bowo. Menatap nanar ke arah suaminya. Bowo mengangguk. Membiarkan kedua orang itu bekerja sesuai tugasnya."Pak, tapi saya hanya mendorong pelan kok. Mana mungkin anaknya Mbak Arum meninggal. Nggak usah lebay deh!" Rani berteriak. Ia mengusap kasar jejak air matanya. Yang tidak dipungkiri begitu takut jika itu terjadi."Silahkan Anda jelaskan dikantor. Silahkan ikut kami."Semula kedua polisi itu bersikap sopan. Berharap Rani tidak memberontak lantas dengan kesadaran berjalan beriringan namun sayang, Rani membelot. Seolah dia ingin lari dari kedua orang itu. Terpaksa Rani harus ditarik dengan paksa menuju mobil polisi. Sebenarnya beberapa waktu lalu pihak polisi sudah mengirim surat panggilan kepada Rani untuk datang ke kantor polisi namun sayang surat itu tidak pernah ia terima. Karena alamat yang dituju adalah alamat dimana rumah Rani tinggal bersama Agus. Entah mengapa Agus tidak
Arum memandikan anak itu lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian Khaila yang dulu tertinggal. Lalu dia mengajak anak itu untuk makan. Dan terakhir Khaila tidur siang dikamar. Bayu tengah umroh bersama teman-temanya. Sudah tujuh hari lamanya, sebentar lagi dia akan pulang. Selama Bayu tidak ada di rumah Khaila akan menjadi teman tidurnya.*****"Khaila, beresin mainan kamu! Berantakan tau!" teriak Rani. Wanita itu berkacak pinggang di hadapan Khaila. Khaila yang semula anteng bermain boneka seketika menunduk. Dia takut melihat sang Ibu yang tengah melotot ke arahnya.Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk bekerja. Entah bagaimana nasibnya. Mungkin akan mendapat surat pemecatan karena dia sering absen datang ke tempat kerja. Padahal dia harus mencukupi kebutuhan Khaila, dimana saat ini Agus tidak cukup bisa diandalkan."Apa-apaan sih kamu?! Anak itu diajari bukan dimarahi!" sahut Bowo, ayah Rani. Dia terlihat meraih tangan cucunya lalu membantu memunguti mainan."Kita beresin sama-
"Nggak usah repot-repot, Mbak.""Nggak papa." Arum berjalan ke dapur. Menyiapkan pisang goreng dalam piring. Tidak lupa membuatkan kedua ayah dan anak itu minuman. Arum kembali ke ruang tamu tentunya dengan nampan yang ada di tangan."Silahkan diminum cantik, pisangnya dimakan ya!" pinta Arum membuat Khaila tersenyum."Kamu belum daftarkan dia ke sekolah?" tanya Arum pandangannya kini tertuju pada Agus yang tengah menyesap teh."Belum, Mbak. Belum ada uang!""Terus selama ini kamu ngapain saja di rumah?""Khaila nggak ada yang jaga, Mbak. Aku nggak enak jika harus menitipkan dia sama Mbak terus.""Kalau kamu nggak kerja. Gimana sekolah Khaila? Gimana makan dia?"Agus hanya diam. Bagaimanapun dia tetap saudara kandung Bayu. Bagaimanapun juga dia tetap memikirkan Khaila. Khaila anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan lihat, dia tidak mau minum teh itu maupun mengambil makannya. Padahal dulu, dia sangat cerewet dan juga manja jika dengan Arum."Sayang, kok nggak makan?" tanya Arum. Dia