"Mbak Ratih lagi dimana?" tanya Arum. "Lagi di rumah ini, baru selesai beberes mau mandi. Ada apa, nyari emak? Kenapa nggak telepon sama Bude?" "Nggak kok Mbak. Cuma mau ngobrol aja lagian nggak ada mas Bayu.""Bayu udah kerja? Bukannya kemarin ibunya baru meninggal.""Iya, Mbak katanya nggak enak kalau cuti terus. Ow ya Mbak. Besok kalau acara tujuh bulanan Mbak yang urus gimana? Aku nggak ngerti. Sama niatan aku sih mau bikin syukuran kecil-kecilan buat rumah sama ruko yang sudah kebeli. Mbak bisa bantu nggak ya?""Oh, kalau soal itu Mbak pasti bantu. Bulan depan keknya acaranya. Kandungan kamu usiany lima bulan kan?""Iya Mbak.""Bener kalau begitu. Kalau di tempat kita acara buat tujuh bulanan itu digelar pada usia enam bulan bukan tujuh bulan seperti di kalender.""Terserah Mbak Ratih gimana baiknya aja. Yang penting nanti acaranya pengajian tujuh bulanan sama syukuran dah gitu aja.""Siap, siap. Nanti Mbak sama Mas Awang yang mengurus semuanya.""Makasih banyak ya Mbak.""Sama
"Alhamdulillah," ucap semua orang bersamaan. Kedua tangan menangkupkan ke wajah. Berucap hamdalah karena acara tahlilan akhirnya selesai sesuai rencana tanpa ada halangan suatu apapun. Tujuh hari lamanya, tahlilan yang digelar di kontrakan Agus akhirnya selesai. Ibu Susi yang nampak duduk tidak jauh dari Rani hanya mengamati wanita itu dengan seksama. Wanita yang berdandan menor selalu memotret diri setiap saat. Membuatnya jengah sekaligus hilang empati padanya."Mbak Arum, kok bisa sih punya adik ipar gesrek kek dia?" tanya Susi. Setelah cukup lama tidak bersua. Wanita itu duduk berdekatan dengannya.Arum tampak bingung, mendengar penuturan sang mantan tetangga. "Kenapa Bu?" tanya Arum. Membuat wanita itu berpikir keras. Apa yang sudah Rani lakukan hingga tetangga sebaik Susi bicara seperti itu!"Cuma bisa dandan doang. Sama jepret sana sini, padahal saya lihat dari tadi dia nggak baca doa." Susi berbisik. Namun masih bisa di dengar jelas oleh Arum. Arum hanya bisa tersenyum, tepat
Arum berjalan perlahan menuju kamar Rani. Wanita itu mengetuk pelan pada pintu. Tidak ada sahutan sama sekali. Dengan sedikit bersuara keras, Arum berpamitan. Nampak Arum, memperhatikan setiap sudut rumah. Jangan sampai dia melupakan sesuatu nantinya. "Ayo, Mas. Kita pulang!" Bayu dan juga Arum berjalan bergandengan tangan. Menuju mobil yang ada di halaman rumah. Mobil warung tepatnya. Selama diperjalanan, Arum terus saja menguap karena jam sudah menunjukan angka sepuluh lebih. *****Satu persatu meja diangkat masuk ke ruko. Meja yang berpoles plitur berwarna coklat mengkilap.Tidak hanya meja, kursi pun demikian. Beberapa lukisan dan juga bingkai foto, sengaja diletakkan di beberapa sudut dinding. Tini, dengan gerakan cepat mengarahkan dimana alat lainnya di letakan. Kulkas, meja kasir dan juga meja panjang yang akan digunakan untuk menghidangkan makanan. Lampu susun juga terpasang tepat di tengah ruangan. Memberi kesan mewah pada warung itu. Dinding yang bercat cream bercampur
Cari tahu ah, dari pada kepo"Mas, kemarin aku dengar tetangga sebelah bicara sama Mbak Arum." Rani berucap, matanya fokus pada layar televisi di depan. Sedangkan Khaila duduk di bawah beralaskan kasur lantai. Sedangkan kedua orang tuanya duduk diatas kursi. "Wajarlah, mereka kan pernah tetanggaan." Agus menjawab dengan ekspresi wajah yang biasa saja. Terkesan cuek dan tidak memperhatikan."Bukan itu, tapi Ibu Susi itu mengatakan mau ke rumah baru milik Mbak Arum?" ucap Rani. Membuat Agus yang tengah memandangi layar ponselnya seketika mengalihkan pandangannya. "Rumah baru?""Heem, rumah baru. Aneh kan?" Sebenarnya tidak ada yang aneh, jika Arum dan juga Bayu memiliki rumah baru. Hanya saja, Rani bertingkah aneh sendiri.Agus membenarkan posisi tidurnya menjadi duduk. Sedangkan Rani memperlihatkan wajah serius. Kepalanya terus mengangguk, membenarkan ucapannya baru saja. Agus memperhatikan wajah Rani dengan seksama."Kamu serius mereka punya rumah baru? Bukan hanya ngontrak?""Mungk
Kejutan"Bude Nanik …." teriak Arum ketika mendapati Nanik bertandang ke rumahnya. Di belakang nampak Marni dan juga Ratih dan kedua anaknya turun dari mobil berwarna putih. Satu persatu mereka bersalaman sembari berpelukan. Meskipun mereka sering kali bertemu. Namun sudah menjadi kebiasaan jika bertemu selalu heboh.Setelah selesai, Arum nampak bingung ketika mendapati sosok lelaki yang berbadan tegap berdiri tidak jauh dari Nanik."Siapa Bude?" tanya Arum polos. Sedangkan Bayu menyalami mertuanya di belakang Arum."Kenalin, Rum. Dia Hendra Kurniawan, calon suami Bude." bisik Nanik membuat Arum tersenyum."Bude Nanik serius mau melepas masa jandanya?" Pertanyaan Arum membuat semua orang tertawa."Iya dong, Rum. Kapan lagi bisa punya suami seganteng Pak Hendra." Semua orang tertawa. Hingga tidak berapa lama mereka masuk kedalam rumah. Marni nampak terlihat bangga ketika mendapati yang putri sudah bisa membeli rumah sendiri. Wanita paruh baya itu tidak henti-hentinya mengucap syukur, b
Kejutan"Bude Nanik …." teriak Arum ketika mendapati Nanik bertandang ke rumahnya. Di belakang nampak Marni dan juga Ratih dan kedua anaknya turun dari mobil berwarna putih. Satu persatu mereka bersalaman sembari berpelukan. Meskipun mereka sering kali bertemu. Namun sudah menjadi kebiasaan jika bertemu selalu heboh.Setelah selesai, Arum nampak bingung ketika mendapati sosok lelaki yang berbadan tegap berdiri tidak jauh dari Nanik."Siapa Bude?" tanya Arum polos. Sedangkan Bayu menyalami mertuanya di belakang Arum."Kenalin, Rum. Dia Hendra Kurniawan, calon suami Bude." bisik Nanik membuat Arum tersenyum."Bude Nanik serius mau melepas masa jandanya?" Pertanyaan Arum membuat semua orang tertawa."Iya dong, Rum. Kapan lagi bisa punya suami seganteng Pak Hendra." Semua orang tertawa. Hingga tidak berapa lama mereka masuk kedalam rumah. Marni nampak terlihat bangga ketika mendapati yang putri sudah bisa membeli rumah sendiri. Wanita paruh baya itu tidak henti-hentinya mengucap syukur, b
Dunia memang sempit. Mereka tidak pernah menyangka akan bertemu pada waktu dan tempat yang tidak terduga sebelumnya.Hendra menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Rani pun terlihat mengatur nafasnya yang tidak tentu. Sedangkan Agus, hanya diam mematung di samping Rani bersama Khaila. Kini semua mata tertuju pada Hendra lalu pada keluarga Rani."Mbak Arum sekongkol dengan lelaki itu?" tanya Rani, jari telunjuknya menunjuk pada Hendra. Sedangkan Arum yang ditanya masih tidak mengerti."Saya bisa jelaskan semuanya!""CK …." Rani berdecak. Pandangannya kini ia alihkan ke sembarang arah.Tangannya sengaja ia lipat di depan dada."Kamu bicara apa, Ran?" sahut Bayu, tatapannya tidak kalah tajam kearah adik iparnya itu."Tunggu, apa ini yang kamu ceritakan itu, Mas? Kamu bilang, ada yang jual rumah. Tapi dia bilang sama istri dan ibunya hanya di gadai. Awalnya kamu menolak, takut jika suatu saat nanti akan menjadi masalah. Apakah mereka?" tanya Nanik. Pandangannya tertuju pada Ran
Cerai?"Apa maksud ucapan kamu, Rani?" tanya Agus tidak mengerti. "Ya, Mas. Aku pengen kita cerai. Kamu nggak mau kerja. Jual rumah Ibu kamu juga tidak bilang. Lantas menunggu apa lagi? Kamu selingkuh? Atau kamu punya hutang banyak?" terisak Rani membuat semua orang menggelengkan kepala. Termasuk Arum, dia nampak mengusap perutnya terus menerus. "Semuanya bisa dibicarakan baik-baik, Rani." Kini Marni bersuara. Dia Ibu Arum, tentunya Ibu Bayu juga. Wajar jika memberi nasehat."Ibu tahu apa tentang rumah tanggaku?" "Jaga ucapan kamu, Rani!""Kenapa, Mbak? Mbak marah? Mbak nggak pernah tahu gimana posisi Rani. Aku kerja Mbak, dan adik iparmu ini duduk santai di rumah. Aku juga harus memenuhi kebutuhannya. Lelaki macam apa itu! Dan satu lagi, aku juga harus mengurus Ibunya.""Astagfirullahaladzim, Rani. Jaga ucapan kamu! Tidak perlu kamu menyebut Ibu yang jelas-jelas sudah tidak ada." Bayu kini berpendapat. Tangannya mengepal kala mendengar penuturan Rani. Rani memang demikian, mungki
Bayu bergegas pergi meninggalkan penjual Bakso. Mengambil tas dan juga perlengkapan lainnya. Tidak lupa Bayu menyerahkan uang untuk membayar Bakso. Setelah selesai. Bayu kembali menghampiri Arum."Tenang, Nak. Nanti Emak ke situ sama Bude Nanik. Kamu yang tenang ya. Dimana Bayu?""Ini, Mak. Dia sudah selesai memasukan perlengkapan aku di mobil.""Ya sudah bilang sama dia nggak usah khawatir. Kamu buat jalan santai saja. Jangan melakukan pekerjaan berat ya. Apalagi naik tangga, berbahaya. Jalan santai aja di lantai bawah. Keramik di tempatmu kan licin.""Iya, Mak." Setalah mengucapkan salam Arum menutup teleponnya. "Aku sudah bilang sama Emak. Dia mau ke sini sama Bude. Kebetulan Bude lagi di rumah.""Ya sudah kalau begitu. Gimana perut kamu masih sakit?""Udah nggak kok, Mas. Nanti teras mules hilang lagi mules lagi hilang lagi. Begitu saja terus.""Alhamdulilah, kalau begitu. Semoga nanti kamu dilancarkan ya sayang.""Permisi, baksonya Mas.""Oh, ya. Terima kasih banyak, Pak." Dua m
Kesempatan kedua dan akhir dari perjuangan"Sesuatu? Apa?"Sebuah kertas berwarna putih disodorkan Arum. "Apa ini?" "Buka aja, Mas," pinta Arum membuat Bayu tersenyum bersamaan dengan rasa penasaran.Perlahan tapi pasti lelaki itu membuka kertas itu. Dibacanya dengan seksama. Bayu tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada Arum. ****"Ini beneran?" tanya Bayu. Hanya dijawab dengan anggukan kepala sang istri. Bayu memeluk erat tubuh Arum. Tatapannya tidak lepas pada sebuah surat. Surat yang menyatakan bahwa Arum bisa kembali hamil tentunya dengan pengawasan dokter kandungan. "Alhamdulilah, semoga nanti kedepannya kamu bisa secepatnya hamil lagi.""Amin, Mas." ****Satu tahun kemudian.Arum berjalan bergandengan dengan Khaila. Melewati orang-orang yang tengah berjalan menikmati indahnya sore hari. Bayu menatap wanita itu dari kejauhan. Menyungging senyum penuh kebahagiaan. Akhirnya apa yang ia tunggu selama ini tercapai juga. Arum terlihat begitu kesusahan berjalan. Kehamilan yang m
"Kamu tega, Mas," ucap Rani di sela-sela tangisnya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Membenarkan posisi duduk menjadi memeluk lutut menangis dalam dekapan sendiri. Tidak ada orang tua, anak maupun siapapun yang melapangkan hati Rani.Rani berada di titik terendah. Dimana hati, jiwa dan raganya terluka. Sebuah pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Penyesalan teramat dalam selama hidupnya. ******"Kamu udah putusan, Gus?" tanya Bayu di sela-sela makan malam. Ya, hari ini Bayu bersama Khaila dan juga Arum makan malam bersama di rumah Bayu. Agus berubah. Satu persatu hutang-hutang yang pernah melilitnya ia bayar. Memberikan kehidupan yang layak sebagai seorang anak pada Khaila. Mencurahkan waktu dan juga kasih sayang. "Alhamdulilah sudah, Mas. Keputusan langsung dikirim ke lapas.""Rani gimana? Kamu nggak pernah jenguk dia? Sudah sebulan ini dia disana!" tanya Arum. Bagaimanapun Rani pernah menjadi bagian hidup Agus. Pernah memberi Khaila untuknya."Nggak lah, Mbak. Aku
KARMARani menikmati dinginnya lantai di dalam penjara. Sepi, sedih dan juga terkekang. Di tempat riuhnya banyak orang yang tengah berbincang, Rani menunduk, dia tidak berani menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rani berharap mukjizat akan datang. Dia percaya Arum akan datang dan memintanya pulang. Namun, satu hari dua hari hingga satu bulan lamanya tidak jua ia dapati sosok yang dinanti. "Mbak, Rani minta maaf, Mbak. Rani khilaf. Rani tidak bermaksud mencelakai Mbak dan juga janin yang ada di kandungan Mbak. Aku harap Mbak Arum mau memaafkan aku. Aku harap Mbak Arum mau memberiku kesempatan. Huhuhu …." "Kesempatan kamu bilang? Terlambat! Kamu pantas di penjara, Rani!" ucap Arum tidak peduli. Sorot matanya tajam penuh kebencian. "Tapi Mbak. Khaila bagaimana? Bagaimana dengan anakku, Mbak? Dia masih butuh aku, masih butuh kasih sayang seorang Ibu!""Aku akan menjaga Khaila. Jauh lebih baik daripada kamu. Sebelum kamu bertindak seharusnya kamu lebih dulu berpikir. Hidup
Ternyata Ratih tengah diuji. Dia kehilangan banyak uang karena suaminya tertipu investasi bodong. Terjawab sudah kenapa beberapa waktu lalu dia meng gadai rumah pada Hendra, suami Nanik.Kini Ratih juga bekerja di warung Arum. Namun hari ini dia tidak bisa datang ke rumah Arum dikarenakan ada kepentingan di sekolah putranya. Khaila terlihat duduk dipangkuan Agus, lelaki itu tengah mengajukan perceraian kepada pengadilan agama. Dia memutuskan berpisah dengan Rani. Agus kini memulai hidup baru. Bekerja menjadi salah satu karyawan Arum tentunya. Berjalan dari bawah bersama sang putri. Dimana saat ini di jaga oleh Arum. Khaila kini sudah bersekolah. Meskipun masih taman kanak-kanak."Bagaimana, Yu. Kamu di sana sehat-sehat kan?" tanya Marni pandangannya tidak lepas pada Bayu. Arum yang tengah menuangkan minuman hangat lantas melirik sekilas kearah ibunya. "Alhamdulilah, Mak. Sehat, banyak doa yang Bayu panjatkan di sana. Untuk almarhum Ibu dan juga untuk Arum." Bayu menatap Marni namun
"Jawab, Agus. Apakah surat itu ada ditanganmu!" Bowo kembali bertanya.Agus diam. Dia menatap Khaila kemudian pandangannya beralih kepada Bowo lalu Ranti.****"Ada pada saya, Pak!""Ada pada kamu?! Lantas kenapa kamu tidak memberikan kepada Rani? Kamu tahu kan dia di tempat kedua orang tuanya.""Saya-""Bapak kecewa sama kamu!""Hu … hu … papa!" Teriak Khaila membuyarkan pandangan Agus yang mulai mengabur karena airmatanya yang hampir jatuh."Kamu anggap apa anakku Rani? Dia sudah menemani kamu dari nol. Dan sekarang kau campakkan dia! Membiarkan dia dibawa polisi dengan paksa?""Rani kelewatan, Pak. Saya sudah bicara kepada Mas Bayu dan juga Mbak Arum. Kata mereka Rani mendorong Mbak Arum hingga terjatuh!""Lantas kamu diam saja!""Ini menyangkut nyawa, Pak. Saya juga sedih tapi Rani harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!"Plak"Pergi dari rumah ini! Bawa Khaila bersamamu!" Tamparan itu mendarat di pipi Agus. Khaila berteriak histeris. Lelaki paruh Baya itu mengepalkan tangan.
Kedua orang itu masuk kedalam rumah. Bowo memberi jalan. Sedangkan Ranti yang berhasil sampai di dekat Bowo. Menatap nanar ke arah suaminya. Bowo mengangguk. Membiarkan kedua orang itu bekerja sesuai tugasnya."Pak, tapi saya hanya mendorong pelan kok. Mana mungkin anaknya Mbak Arum meninggal. Nggak usah lebay deh!" Rani berteriak. Ia mengusap kasar jejak air matanya. Yang tidak dipungkiri begitu takut jika itu terjadi."Silahkan Anda jelaskan dikantor. Silahkan ikut kami."Semula kedua polisi itu bersikap sopan. Berharap Rani tidak memberontak lantas dengan kesadaran berjalan beriringan namun sayang, Rani membelot. Seolah dia ingin lari dari kedua orang itu. Terpaksa Rani harus ditarik dengan paksa menuju mobil polisi. Sebenarnya beberapa waktu lalu pihak polisi sudah mengirim surat panggilan kepada Rani untuk datang ke kantor polisi namun sayang surat itu tidak pernah ia terima. Karena alamat yang dituju adalah alamat dimana rumah Rani tinggal bersama Agus. Entah mengapa Agus tidak
Arum memandikan anak itu lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian Khaila yang dulu tertinggal. Lalu dia mengajak anak itu untuk makan. Dan terakhir Khaila tidur siang dikamar. Bayu tengah umroh bersama teman-temanya. Sudah tujuh hari lamanya, sebentar lagi dia akan pulang. Selama Bayu tidak ada di rumah Khaila akan menjadi teman tidurnya.*****"Khaila, beresin mainan kamu! Berantakan tau!" teriak Rani. Wanita itu berkacak pinggang di hadapan Khaila. Khaila yang semula anteng bermain boneka seketika menunduk. Dia takut melihat sang Ibu yang tengah melotot ke arahnya.Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk bekerja. Entah bagaimana nasibnya. Mungkin akan mendapat surat pemecatan karena dia sering absen datang ke tempat kerja. Padahal dia harus mencukupi kebutuhan Khaila, dimana saat ini Agus tidak cukup bisa diandalkan."Apa-apaan sih kamu?! Anak itu diajari bukan dimarahi!" sahut Bowo, ayah Rani. Dia terlihat meraih tangan cucunya lalu membantu memunguti mainan."Kita beresin sama-
"Nggak usah repot-repot, Mbak.""Nggak papa." Arum berjalan ke dapur. Menyiapkan pisang goreng dalam piring. Tidak lupa membuatkan kedua ayah dan anak itu minuman. Arum kembali ke ruang tamu tentunya dengan nampan yang ada di tangan."Silahkan diminum cantik, pisangnya dimakan ya!" pinta Arum membuat Khaila tersenyum."Kamu belum daftarkan dia ke sekolah?" tanya Arum pandangannya kini tertuju pada Agus yang tengah menyesap teh."Belum, Mbak. Belum ada uang!""Terus selama ini kamu ngapain saja di rumah?""Khaila nggak ada yang jaga, Mbak. Aku nggak enak jika harus menitipkan dia sama Mbak terus.""Kalau kamu nggak kerja. Gimana sekolah Khaila? Gimana makan dia?"Agus hanya diam. Bagaimanapun dia tetap saudara kandung Bayu. Bagaimanapun juga dia tetap memikirkan Khaila. Khaila anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan lihat, dia tidak mau minum teh itu maupun mengambil makannya. Padahal dulu, dia sangat cerewet dan juga manja jika dengan Arum."Sayang, kok nggak makan?" tanya Arum. Dia