Arum menoleh ke arah jam. Di sana sudah jam tiga kurang. Arum mencari benda pipih miliknya. Mengusap layarnya lalu membiarkan jari-jemarinya yang bekerja.Hingga dia tidak menyadari sejak kapan matanya terpejam kembali. Pagi menjelang. Arum bergegas pergi ke kamar mandi. Mencuci muka bersiap jalan pagi. Pagi ini kebetulan Arum berniat membeli sarapan. Nasi bungkus dengan lauk pecel ditambah bakwan. Liurnya hampir saja menetes kala berjalan sembari membayangkan makanan itu. Benar saja, setelah dia melihat inces semalam tengah menikmati nasi pecel, mereview rasa. Melihat cara makan artis bertubuh gemuk itu membuat Arum pun seketika menginginkan makanan tersebut.Arum menggerakkan kaki dan dan tangan. Berjalan perlahan sembari menikmati pagi yang cerah. Matanya memindai setiap rumah yang ia lihat. Berjejer rapi dengan cat tembok warna-warni. Ada beberapa tetangga yang sudah memulai aktivitas nya. Mencuci motor hingga pergi bekerja. Senyum wanita berbadan dua itu tidak pernah lepas dar
"Halo, Assalamualaikum." Tanpa menjawab salam, orang yang ada di seberang telepon pun mengumpat."Halo, Mbak Arum kemana saja sih, lama banget? Jam segini masih tidur?" tanya Rani dengan nada ketus."Memangnya kenapa tho, Ran?""Kontrakan kamu dimana, Mbak. Biar saya kesana sekarang. Khaila di rumah sendiri.""Lho, kenapa kamu bingung sih. Kan bisa kami titipkan di tempat penitipan anak seperti Mbak tempo hari.""Saya nggak sekaya itu Mbak. Saya nggak ada duit. Sudah deh, kirim alamat rumah Mbak. Nanti Khaila saya antar kesana! Saya mau kerja. Di rumah Khaila sendiri, mas Agus sama Ibu tengah di rumah sakit." ucap Rani tanpa jeda. Arum yang tengah mendengarnya hanya bisa menghela nafas panjang.****Kepala Wati merasakan nyeri. Saat Agus mengatakan yang sebenarnya. Ada kekecewaan yang besar di sudut hati wanita itu. Lantas dia merebahkan tubuhnya di ranjang. Menikmati kepala yang rasanya tidak karuan. Pusing, pening dan juga berdenyut nyeri. Ah, wanita tua itu seperti mendapatkan karm
bab 104Tidak ada pembicaraan sama sekali, yang ada hanya suara jam yang berdetak berjalan. Sesekali kedua kakak beradik itu menghela napas panjang. Menatap wanita yang ada di hadapannya dengan seksama."Apalagi yang kamu perbuat? Hingga Ibu seperti ini?" tanya Bayu pada Agus. Lelaki itu hanya diam tanpa menjawab. Matanya menatap nanar kepada Wati.Tuling.Satu pesan diterima. Bayu yang mendengar ponselnya berbunyi langsung merogoh tas selempang yang ada di depan dada.Bayu membuka aplikasi berwarna hijau itu. Membaca pesan dari sang istri. Di bawahnya ada pesan bertuliskan Mayang. Ah, wanita sial itu selalu saja mengganggu.[Mas, bagaimana kondisi Ibu?] [Sudah mendingan kok, Rum. Nanti sepertinya Mas ngajuin cuti lagi. Ibu tidak mungkin aku tinggal.]Sudah centang dua tapi belum juga berwarna biru. Dilihatnya pesan dari Mayang cukup lama. ****Arum selesai mengirim alamat kepada Rani. Lantas dia beralih pada suaminya. Mengirim pesan menanyakan perihal mertua. Apakah sudah membai
Arum gegas meletakan benda pipih itu di atas nakas. Kakinya melangkah menuju kamar mandi. Setelah membawa handuk tentunya. Setelah Arum selesai membersihkan diri. Arum segera berganti pakaian. Mengenakan gamis berwarna hitam dengan corak bunga-bunga kecil. Arum nampak cantik mengenakan gamis itu. Ditambah perut Arum yang mulai membesar. "Wah, tanggal berapa ini? Jangan sampai aku lupa periksa ke dokter," gumam Arum pelan. Ia nampak melihat tanggal dan bernafas lega. Ketika tanggal pemeriksaan masih dua Minggu lagi.Setelah itu ia mengoleskan bedak ke wajah. Tidak lupa lipstik di bibir. Jilbab segiempat berwarna abu-abu ia pilih. Ponsel Arum terus berdering. Sekilas Arum melihat, Nama Rani tertulis disana. Sengaja wanita yang sudah siap akan pergi itu, tidak menjawab telepon dari adik iparnya itu. Membiarkan lingkaran hijau terus meloncat-loncat. Tidak berapa lama. Ojek online yang dipesan Arum tiba. Dengan perlahan wanita itu menaiki kendaraan roda dua itu.Sepanjang perjalanan Ar
Kring ….Dering ponsel Arum kembali berbunyi membuat wanita itu dengan terpaksa menjawabnya. Menghentikan langkahnya bersamaan dengan tangan merogoh ponsel di dalam tas."Halo, Assalamualaikum. Rani ….""Maksud Mbak Arum apa? Gara-gara Mbak, aku terlambat kerja tahu nggak!""Lho kok bisa? Kamu yang kerja, Mbak yang salah?""Jangan sok nggak tahu deh Mbak. Mbak sengaja kan ngasih alamat tempat penitipan anak itu sama aku?""Lha, bukannya bener yak? Kamu titipin Khaila disana?""Mbak, aku kan nitip sama Mbak bukan kesana. Sekarang aku harus mengurangi jatah makan siang dan juga jatah belanja buat bayar tempat itu.""Lha memang harus gitu, masak anak kamu. Mbak yang ngurus.""Halah, sikap pelit Mbak Arum ini yang aku nggak suka. Semakin lama semakin menjadi. Kamu tahu kan Mbak, Ibu masuk rumah sakit! Paling nggak Mbak ikut berempati nggak seperti itu!""Maksud kamu apa sih Ran, mbak nggak ngerti," jawab Arum dengan tenang. "Susah bicara sama Mbak Arum!"Tut … Tut .*****Tuling ….Satu
"Nih!" Rani juga menyerahkan makanan itu pada Khaila tentunya dengan kasar. Entah mengapa wanita yang bergelar Ibu itu tidak ada lembut-lembutnya sama sekali kepada anak. Padahal Khaila adalah darah dagingnya sendiri. Diluaran sana ada banyak wanita yang menginginkan anak. Sepertinya sikap keibuan tidak dimiliki Rani.Sepanjang perjalanan Rani terus saja memperhatikan ponselnya. Sedangkan Khaila sibuk mengunyah roti yang terlihat lezat itu. Roti berisi abon dengan taburan wijen diatasnya.Terlihat begitu lezat.Khaila dengan lahap memasukan roti itu dikit demi sedikit kedalam mulut. Hingga membuat abon sedikit berceceran di atas rok dan di atas kursi."Haduh, kamu jorok banget sih Khaila. Mama mau kerja tahu nggak sih!" Rani berteriak. Membuat pria yang tengah menyetir itu melirik sekilas ke belakang pada kaca spion.Tangan Rani sibuk membersihkan ceceran abon tersebut. Dengan santai Khaila pun melanjutkan makan roti itu hingga habis. "Sudah sampai, Bu!" ucap pria itu setelah mengin
Bab 108Rani berjalan tergesa-gesa menuju ruangannya. Sesekali ia menyeka keringat yang bercucuran. Dengan langkah cepat akhirnya dia tiba di meja kerjanya. Nampak semua orang sudah datang dan juga sudah memulai aktivitas nya. Mata Rani memindai seluruh sudut kantor. Melihat semua orang tengah memperhatikannya.Huh hah ….Rani menghela nafas panjang lalu membuangnya perlahan. Ia letakan tas di sisi kanan. Lalu membuka bedak berniat melihat kondisi wajahnya. Bedak tebalnya sedikit luntur karena keringat, sedangkan bulu matanya sedikit miring.Ah, melihat kondisi Rani pagi ini, berantakan. Berantakan seperti hidupnya.****Tangan wanita bergelar janda itu sibuk mengulek bumbu balado pada cobek. Dimana disana ada cabai, garam dan juga segala macam bawang-bawangan. Hari ini sengaja Marni akan memasak balado terong ditambah ikan patin. Ikan yang di beli Nanik tempo hari sewaktu pulang dari warung Arum. "Mar, nanti calon suami Mbak datang. Kamu siapkan juga makanan kesukaannya ya!" Tiba-ti
Jam menunjukan angka dua tepat. Setelah banyak pesan yang ia kirim kepada Bayu menanyakan bagaimana kabar sang mertua. Laki-laki bergelar suami itu mengatakan bahwa Wati tidak cukup baik. Kondisinya naik turun. Membuat Bayu harus tetap di sana. "Tin, kamu besok pergi beli barang-barang yang sudah kita bicarakan sama Bude Nanik kemarin. Kamu beli langsung kasih alamat tempat yang baru. Nanti biar Mbak telepon Bude. Apakah dia mau ikut memilih atau biar kamu aja yang urus semuanya." "Siap, Mbak." Tini menjawab sembari meletakan gelas yang berisi teh panas. Arum suka dengan teh panas semenjak hamil. Namun dia meminumnya tidak setiap hari. Karena teh mengandung kafein dan itu tidak bagus untuk ibu hamil jika berlebihan. Dapat menurunkan hb dalam darah lebih cepat. Arum menelpon Nanik, wanita yang berpengaruh besar saat ini pada Arum. Tidak berapa lama orang yang ada di seberang telepon menjawab. Bercakap-cakap sebentar lalu Arum memutuskan sambungan telepon nya setelah dirasa cukup."
Bayu bergegas pergi meninggalkan penjual Bakso. Mengambil tas dan juga perlengkapan lainnya. Tidak lupa Bayu menyerahkan uang untuk membayar Bakso. Setelah selesai. Bayu kembali menghampiri Arum."Tenang, Nak. Nanti Emak ke situ sama Bude Nanik. Kamu yang tenang ya. Dimana Bayu?""Ini, Mak. Dia sudah selesai memasukan perlengkapan aku di mobil.""Ya sudah bilang sama dia nggak usah khawatir. Kamu buat jalan santai saja. Jangan melakukan pekerjaan berat ya. Apalagi naik tangga, berbahaya. Jalan santai aja di lantai bawah. Keramik di tempatmu kan licin.""Iya, Mak." Setalah mengucapkan salam Arum menutup teleponnya. "Aku sudah bilang sama Emak. Dia mau ke sini sama Bude. Kebetulan Bude lagi di rumah.""Ya sudah kalau begitu. Gimana perut kamu masih sakit?""Udah nggak kok, Mas. Nanti teras mules hilang lagi mules lagi hilang lagi. Begitu saja terus.""Alhamdulilah, kalau begitu. Semoga nanti kamu dilancarkan ya sayang.""Permisi, baksonya Mas.""Oh, ya. Terima kasih banyak, Pak." Dua m
Kesempatan kedua dan akhir dari perjuangan"Sesuatu? Apa?"Sebuah kertas berwarna putih disodorkan Arum. "Apa ini?" "Buka aja, Mas," pinta Arum membuat Bayu tersenyum bersamaan dengan rasa penasaran.Perlahan tapi pasti lelaki itu membuka kertas itu. Dibacanya dengan seksama. Bayu tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada Arum. ****"Ini beneran?" tanya Bayu. Hanya dijawab dengan anggukan kepala sang istri. Bayu memeluk erat tubuh Arum. Tatapannya tidak lepas pada sebuah surat. Surat yang menyatakan bahwa Arum bisa kembali hamil tentunya dengan pengawasan dokter kandungan. "Alhamdulilah, semoga nanti kedepannya kamu bisa secepatnya hamil lagi.""Amin, Mas." ****Satu tahun kemudian.Arum berjalan bergandengan dengan Khaila. Melewati orang-orang yang tengah berjalan menikmati indahnya sore hari. Bayu menatap wanita itu dari kejauhan. Menyungging senyum penuh kebahagiaan. Akhirnya apa yang ia tunggu selama ini tercapai juga. Arum terlihat begitu kesusahan berjalan. Kehamilan yang m
"Kamu tega, Mas," ucap Rani di sela-sela tangisnya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Membenarkan posisi duduk menjadi memeluk lutut menangis dalam dekapan sendiri. Tidak ada orang tua, anak maupun siapapun yang melapangkan hati Rani.Rani berada di titik terendah. Dimana hati, jiwa dan raganya terluka. Sebuah pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Penyesalan teramat dalam selama hidupnya. ******"Kamu udah putusan, Gus?" tanya Bayu di sela-sela makan malam. Ya, hari ini Bayu bersama Khaila dan juga Arum makan malam bersama di rumah Bayu. Agus berubah. Satu persatu hutang-hutang yang pernah melilitnya ia bayar. Memberikan kehidupan yang layak sebagai seorang anak pada Khaila. Mencurahkan waktu dan juga kasih sayang. "Alhamdulilah sudah, Mas. Keputusan langsung dikirim ke lapas.""Rani gimana? Kamu nggak pernah jenguk dia? Sudah sebulan ini dia disana!" tanya Arum. Bagaimanapun Rani pernah menjadi bagian hidup Agus. Pernah memberi Khaila untuknya."Nggak lah, Mbak. Aku
KARMARani menikmati dinginnya lantai di dalam penjara. Sepi, sedih dan juga terkekang. Di tempat riuhnya banyak orang yang tengah berbincang, Rani menunduk, dia tidak berani menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rani berharap mukjizat akan datang. Dia percaya Arum akan datang dan memintanya pulang. Namun, satu hari dua hari hingga satu bulan lamanya tidak jua ia dapati sosok yang dinanti. "Mbak, Rani minta maaf, Mbak. Rani khilaf. Rani tidak bermaksud mencelakai Mbak dan juga janin yang ada di kandungan Mbak. Aku harap Mbak Arum mau memaafkan aku. Aku harap Mbak Arum mau memberiku kesempatan. Huhuhu …." "Kesempatan kamu bilang? Terlambat! Kamu pantas di penjara, Rani!" ucap Arum tidak peduli. Sorot matanya tajam penuh kebencian. "Tapi Mbak. Khaila bagaimana? Bagaimana dengan anakku, Mbak? Dia masih butuh aku, masih butuh kasih sayang seorang Ibu!""Aku akan menjaga Khaila. Jauh lebih baik daripada kamu. Sebelum kamu bertindak seharusnya kamu lebih dulu berpikir. Hidup
Ternyata Ratih tengah diuji. Dia kehilangan banyak uang karena suaminya tertipu investasi bodong. Terjawab sudah kenapa beberapa waktu lalu dia meng gadai rumah pada Hendra, suami Nanik.Kini Ratih juga bekerja di warung Arum. Namun hari ini dia tidak bisa datang ke rumah Arum dikarenakan ada kepentingan di sekolah putranya. Khaila terlihat duduk dipangkuan Agus, lelaki itu tengah mengajukan perceraian kepada pengadilan agama. Dia memutuskan berpisah dengan Rani. Agus kini memulai hidup baru. Bekerja menjadi salah satu karyawan Arum tentunya. Berjalan dari bawah bersama sang putri. Dimana saat ini di jaga oleh Arum. Khaila kini sudah bersekolah. Meskipun masih taman kanak-kanak."Bagaimana, Yu. Kamu di sana sehat-sehat kan?" tanya Marni pandangannya tidak lepas pada Bayu. Arum yang tengah menuangkan minuman hangat lantas melirik sekilas kearah ibunya. "Alhamdulilah, Mak. Sehat, banyak doa yang Bayu panjatkan di sana. Untuk almarhum Ibu dan juga untuk Arum." Bayu menatap Marni namun
"Jawab, Agus. Apakah surat itu ada ditanganmu!" Bowo kembali bertanya.Agus diam. Dia menatap Khaila kemudian pandangannya beralih kepada Bowo lalu Ranti.****"Ada pada saya, Pak!""Ada pada kamu?! Lantas kenapa kamu tidak memberikan kepada Rani? Kamu tahu kan dia di tempat kedua orang tuanya.""Saya-""Bapak kecewa sama kamu!""Hu … hu … papa!" Teriak Khaila membuyarkan pandangan Agus yang mulai mengabur karena airmatanya yang hampir jatuh."Kamu anggap apa anakku Rani? Dia sudah menemani kamu dari nol. Dan sekarang kau campakkan dia! Membiarkan dia dibawa polisi dengan paksa?""Rani kelewatan, Pak. Saya sudah bicara kepada Mas Bayu dan juga Mbak Arum. Kata mereka Rani mendorong Mbak Arum hingga terjatuh!""Lantas kamu diam saja!""Ini menyangkut nyawa, Pak. Saya juga sedih tapi Rani harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!"Plak"Pergi dari rumah ini! Bawa Khaila bersamamu!" Tamparan itu mendarat di pipi Agus. Khaila berteriak histeris. Lelaki paruh Baya itu mengepalkan tangan.
Kedua orang itu masuk kedalam rumah. Bowo memberi jalan. Sedangkan Ranti yang berhasil sampai di dekat Bowo. Menatap nanar ke arah suaminya. Bowo mengangguk. Membiarkan kedua orang itu bekerja sesuai tugasnya."Pak, tapi saya hanya mendorong pelan kok. Mana mungkin anaknya Mbak Arum meninggal. Nggak usah lebay deh!" Rani berteriak. Ia mengusap kasar jejak air matanya. Yang tidak dipungkiri begitu takut jika itu terjadi."Silahkan Anda jelaskan dikantor. Silahkan ikut kami."Semula kedua polisi itu bersikap sopan. Berharap Rani tidak memberontak lantas dengan kesadaran berjalan beriringan namun sayang, Rani membelot. Seolah dia ingin lari dari kedua orang itu. Terpaksa Rani harus ditarik dengan paksa menuju mobil polisi. Sebenarnya beberapa waktu lalu pihak polisi sudah mengirim surat panggilan kepada Rani untuk datang ke kantor polisi namun sayang surat itu tidak pernah ia terima. Karena alamat yang dituju adalah alamat dimana rumah Rani tinggal bersama Agus. Entah mengapa Agus tidak
Arum memandikan anak itu lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian Khaila yang dulu tertinggal. Lalu dia mengajak anak itu untuk makan. Dan terakhir Khaila tidur siang dikamar. Bayu tengah umroh bersama teman-temanya. Sudah tujuh hari lamanya, sebentar lagi dia akan pulang. Selama Bayu tidak ada di rumah Khaila akan menjadi teman tidurnya.*****"Khaila, beresin mainan kamu! Berantakan tau!" teriak Rani. Wanita itu berkacak pinggang di hadapan Khaila. Khaila yang semula anteng bermain boneka seketika menunduk. Dia takut melihat sang Ibu yang tengah melotot ke arahnya.Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk bekerja. Entah bagaimana nasibnya. Mungkin akan mendapat surat pemecatan karena dia sering absen datang ke tempat kerja. Padahal dia harus mencukupi kebutuhan Khaila, dimana saat ini Agus tidak cukup bisa diandalkan."Apa-apaan sih kamu?! Anak itu diajari bukan dimarahi!" sahut Bowo, ayah Rani. Dia terlihat meraih tangan cucunya lalu membantu memunguti mainan."Kita beresin sama-
"Nggak usah repot-repot, Mbak.""Nggak papa." Arum berjalan ke dapur. Menyiapkan pisang goreng dalam piring. Tidak lupa membuatkan kedua ayah dan anak itu minuman. Arum kembali ke ruang tamu tentunya dengan nampan yang ada di tangan."Silahkan diminum cantik, pisangnya dimakan ya!" pinta Arum membuat Khaila tersenyum."Kamu belum daftarkan dia ke sekolah?" tanya Arum pandangannya kini tertuju pada Agus yang tengah menyesap teh."Belum, Mbak. Belum ada uang!""Terus selama ini kamu ngapain saja di rumah?""Khaila nggak ada yang jaga, Mbak. Aku nggak enak jika harus menitipkan dia sama Mbak terus.""Kalau kamu nggak kerja. Gimana sekolah Khaila? Gimana makan dia?"Agus hanya diam. Bagaimanapun dia tetap saudara kandung Bayu. Bagaimanapun juga dia tetap memikirkan Khaila. Khaila anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan lihat, dia tidak mau minum teh itu maupun mengambil makannya. Padahal dulu, dia sangat cerewet dan juga manja jika dengan Arum."Sayang, kok nggak makan?" tanya Arum. Dia