“Melanjutkan perjodohan?” Suara Marven berubah menjadi lebih dingin.Ben menelan ludahnya takut, “Benar, tuan besar juga tahu jika saat makan malam itu anda bersama Nyonya Naina. Sepertinya tak ada jalan lain, tuan.” Kata Ben dengan pelan.Marven memandang ke arah Ben dengan tatapan tajam, “Pakai cara lain.” Kata Marven dengan tegas.Ben langsung menatap tuannya, “A-apa?!”“Akuisisi perusahaan keluarga Olivia Sandes. Kakek hanya ingin memperkuat bisnis keluarga, maka ambil bisnisnya dan hadiahkan untuk pria tua itu.” Kata Marven dengan dingin.Ben menatap Marven dengan mata membelalak, hampir tak percaya dengan perintah tuannya yang begitu tegas dan tanpa keraguan. “Tuan, ini—” “Saya tidak akan menikahi siapa pun selain Naina,” potong Marven dengan suara tajam. “Jika kakek ingin memperkuat bisnis keluarga, aku akan memberikannya lebih dari yang dia harapkan. Olivia Sandes bukan masalahnya, bisnisnya yang menjadi daya tarik utama, bukan?” Ben menelan ludahnya. “Tapi, tuan, ini ak
“Anda..” Ucapan Naina menggantung kala pelayan yang berada di dekatnya berbisik.“Beliau adalah Nyonya Sisca Tuner, anak tiri tuan besar dan bibi tiri tuan Marven.” Bisik pelayan itu pelan.Naina yang mendengar itu terdiam beberapa saat. Jika statusnya seperti itu, berarti dia tidak boleh bersikap sembarangan.“Nyonya, maaf bersikap kurang sopan. Mari duduk, saya akan menyiapkan teh untuk anda.” Sambut Naina dengan ramah tanpa ingin memicu konflik lebih lanjut.Namun, Nyonya Sisca hanya menyeringai sinis. “Ah, kau cukup tahu diri rupanya.” Dia berjalan dengan angkuh ke sofa terdekat dan duduk dengan sikap penuh wibawa.Sementara itu, Naina dengan tenang menuangkan teh ke dalam cangkir dan meletakkannya di hadapan Nyonya Sisca. “Silakan, Nyonya.”Wanita itu menatap teh tersebut sebelum mengangkat alis. “Kau tidak takut aku akan menumpahkannya ke wajahmu?”Naina tersenyum tipis. “Saya percaya Nyonya bukan orang yang kekanak-kanakan.”Pelayan yang ada di sekitar mereka hampir menahan nap
Di mansion, Naina masih berlutut di depan Nyonya Sisca, dengan tangan halusnya yang perlahan mengeringkan kaki wanita itu menggunakan handuk lembut."Hmm... sepertinya kau mulai terbiasa melayani, ya?" ujar Nyonya Sisca dengan nada mengejek.Naina hanya tersenyum tipis dan menunduk tanpa berkata apa-apa.BRAK!Pintu ruangan terbuka dengan kasar, membuat semua orang di dalamnya terkejut.Marven berdiri di ambang pintu, tatapannya tajam dan penuh amarah saat melihat Naina berlutut di lantai, masih memegang handuk di tangannya.“Naina, berdiri.” Suaranya berat dan dingin, membuat semua pelayan langsung menahan napas.Naina mendongak, terkejut melihat Marven yang kini berdiri dengan rahang mengeras. Dia perlahan berdiri, tapi sebelum dia bisa berkata apa-apa, Marven sudah berjalan mendekat dan menarik tangannya dengan tegas, membantunya berdiri.“Kita pergi,” katanya tegas.Nyonya Sisca tersenyum kecil, tampak tidak terpengaruh. "Oh? Begitu cepat kau datang, Marven?" tanyanya santai.Marv
“Bagaimana ini, Jake. Uangmu hangus begitu saja. Jika kita tak bisa mendapatkan proyek baru segera, keluarga Vesper akan jatuh miskin.” Kata Evelyn dengan khawatir.Jake mengusap kepalanya dengan frustasi, apalagi mereka gagal bertemu dengan Marven. “Sementara ini uang bulanan biar Naina yang tanggung. Untungnya dia bekerja sehingga sedikit membantuku.” Kata Jake pelan.Evelyn mengangguk, “Iya, tapi.. dimana dia?” Tanya Evelyn sambil mengedarkan pandangannya di ruang apartemen itu.Jake menghela napas kasar, baru menyadari bahwa sejak tadi Naina memang tidak terlihat. Dia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Naina, tetapi tidak ada jawaban. “Kemana wanita itu pergi?” gumam Jake, mulai merasa tidak enak. Evelyn menyilangkan tangan di dadanya, ekspresi wajahnya penuh kecurigaan. “Jangan-jangan dia sudah tahu tentang kita dan memutuskan pergi?” Jake langsung menatap Evelyn dengan tajam. “Tidak mungkin. Naina terlalu bodoh untuk meninggalkanku begitu saja.” Namun, jauh di dal
“Jake?” Gumam Naina saat ada dua puluh panggilan tak terjawab dari pria itu.Naina menghela nafas, karena sibuk mengurus Nyonya Sisca dia tak sempat memegang ponselnya seharian.Saat dia ingin mengabaikannya lagi, tiba-tiba Jake kembali memanggil.“Halo?” Jawab Naina dengan tenang seolah tak masalah.“Kau dimana? Aku juga melihat baju-bajumu sudah kau kemasi. Kau sebenarnya kemana!!”Naina menarik napas panjang sebelum menjawab, suaranya tetap tenang. “Aku sudah pergi dari apartemen, Jake. Kita sedang dalam proses perceraian, tak ada alasan bagiku untuk tetap tinggal di sana. Aku juga sudah mengirimu pesan apa kau tak membacanya?” Dari seberang telepon, Jake terdengar menggeram kesal. “Jangan bertingkah seolah kamu bisa begitu saja meninggalkan semuanya, Naina! Kau masih istriku!” Naina mengepalkan tangannya erat. Dulu, mungkin dia akan gemetar menghadapi kemarahan Jake. Tapi sekarang? Tidak lagi. “Tidak lama lagi aku bukan,” jawabnya dengan tegas. Terdengar suara tawa sinis d
Suara nafas pelan namun terasa sangat dekat membuat Naina yang tertidur merasa terganggu. Dia tak ingat jika kemarin malam telah tidur satu ranjang dengan Marven.Naina mengerjapkan matanya pelan, kesadarannya perlahan kembali. Saat dia ingin bergerak, dia merasakan sesuatu yang hangat melingkari pinggangnya. Jantungnya langsung berdebar kencang saat menyadari posisi mereka—Marven tidur di sebelahnya, satu lengannya melingkar erat di pinggangnya, seolah tak ingin melepaskannya. ‘Aku… tidur satu ranjang dengannya?’ pikir Naina panik. Dia menoleh perlahan, melihat wajah Marven yang tertidur lelap di dekatnya. Wajah pria itu tampak lebih lembut dalam tidurnya, jauh dari kesan dingin dan tegas seperti biasanya. Naina menelan ludah, merasa jantungnya semakin berdegup kencang. Dia harus segera bangun sebelum Marven terjaga dan menyadari kedekatan mereka. Namun, saat dia mencoba bergerak, lengan Marven justru mengerat, menariknya semakin dekat. “Jangan bergerak,” suara Marven ter
“Aku harus menyelesaikan ini segera.” Gumam Naina sesaat sebelum masuk ke apartemen. Namun, bukan karena kembali tapi membawa surat cerai.Saat dia masuk ke dalam, disana sudah ada Jake yang tengah duduk seperti menunggunya.Dan saat itu juga pria itu bangkit dan mematikan rokoknya di asbak di depannya.“Aku tahu kau akan pulang.” Katanya dengan tenang.Naina hanya diam, menatap Jake dengan datar. “Tanda tangani ini. Aku tak punya banyak waktu.”Jake menatap surat cerai yang diletakkan Naina di atas meja. Matanya menyipit sesaat sebelum ia mengangkat kepalanya dan menatap perempuan itu lekat-lekat.“Kau benar-benar tak tahu diri, aku sudah membiayai pengobatan ayahmu dan ini balasanmu ketika dia sudah meninggal?!”Naina menghela nafasnya, “Kau benar-benar tak tahu atau berpura-pura?” Katanya dengan datar.Jake menatap Naina dengan penuh emosi, “Dengar Naina, aku tidak akan pernah menceraikanmu. Ingat itu baik-baik!”Namun saat Naina ingin membalas ucapan pria itu, tiba-tiba terdengar
“Jake? Kenapa kamu disini, bukankah kau seharusnya menemani Evelyn?” Kata Naina dengan tenang sambil mengkode suster itu untuk segera pergi.Jake menatap punggung suster itu sejenak sebelum kembali menatap Naina dengan sorot penuh selidik. “Jangan mengalihkan pembicaraan. Apa yang barusan terjadi?”Naina tersenyum tipis, berusaha tetap tenang. “Aku hanya berbincang dengan suster. Aku sedikit pusing setelah mendonorkan darahku untuk Evelyn, itu saja.”Jake berjalan mendekat, tatapannya masih penuh kecurigaan. “Kau bersikap aneh, Naina.”Naina mendengus pelan. “Aku selalu aneh di matamu, bukan?”Jake tak menjawab, hanya menghela napas kasar dan mengusap wajahnya. “Sudahlah. Evelyn sudah stabil sekarang, dan aku akan mengurus semuanya. Aku akan mengantarmu pulang setelah ini.”Naina mengepalkan tangannya di balik selimut. “Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri.”Jake menatapnya tajam. “Jangan keras kepala, Naina.”Tapi kali ini, Naina tidak peduli. Dalam hatinya, ia tahu bahwa sebentar la
“Bagaimana? Apakah dia hamil?”Marven langsung menembak pertanyaan saat dokter keluarga memeriksa Naina setelah kembali ke mansion.“Hamil?” Dokter keluarga itu mengerutkan dahi, menatap Marven sejenak sebelum kembali memeriksa hasil catatannya.“Tidak, dia tidak hamil,” jawabnya dengan nada datar namun meyakinkan. “Tekanan darahnya sedikit rendah dan lambungnya iritasi, mungkin karena kelelahan dan pola makan yang tidak teratur. Itu saja.”Marven menarik napas lega, namun tak sempat menyembunyikan ekspresi lega yang langsung terlihat oleh Naina yang duduk di sisi ranjang.“Kenapa kamu curiga aku hamil?” tanya Naina dengan bingung.Marven menatap Naina beberapa detik, seolah memilih kata-kata yang tepat. Ia lalu duduk di tepi ranjang, tak mengalihkan pandangannya darinya.“Karena kamu tiba-tiba mual, pucat… dan kamu terlihat tidak seperti biasanya,” ujarnya dengan tenang. “Dan… bibi Sisca juga langsung menebaknya.”Naina mengerutkan kening, “Jadi kamu percaya omongan bibi Sisca?”Marv
Brak!Suara ponsel yang hancur ke lantai menggema di ruangan kamar itu. Rosana yang melihat sosial media bibinya langsung mendidih karena melihat kemesraan Naina dan Marven.Dia menggigit kuku jarinya dengan gelisah, hingga suara ketukan kaca dari arah balkon membuatnya menoleh.Dengan cepat dia bangkit dan menghampiri orang itu dengan semangat, “Bagaimana? kau sudah menemukan rahasia wanita itu?”Pria dengan masker hitam itu mengangguk, “ternyata dia wanita yang sudah menikah, dan baru saja bercerai.”Mendengar itu Rosana menyeringai, “licik juga dia, pasti kakak tidak tahu jika dia seorang janda!’Pria itu menyerahkan sebuah map berisi dokumen. “Ini salinan surat perceraiannya. Lengkap dengan data mantan suaminya.”Rosana membuka map itu dengan antusias, matanya berbinar saat membaca setiap lembarannya. “Ini... ini sempurna,” gumamnya. “Dengan ini, aku bisa membuat kakak membencinya. Seorang Tuner tak mungkin bersama janda!”Dia terkekeh pelan, namun nada tawanya dipenuhi kebencian.
“Awas, hati-hati,” kata Marven saat membantu Naina turun dari mobil.Nyonya Sisca yang melihat itu tersenyum tipis,”Kalian membuatku iri saja.”“Terlambat, bibi sudah tidak laku di pasaran,” kata Marven dengan tenang sambil menggandeng tangan Naina.Nyonya Sisca langsung melotot tajam. “Hei, kurang ajar! Aku ini masih laku, tahu!” Marven hanya mengangkat bahu dengan santai. “Oh ya? Mana buktinya?” Naina menahan tawa melihat interaksi keduanya. “Bibi masih sangat cantik, pasti banyak yang tertarik,” katanya mencoba menenangkan suasana. Nyonya Sisca tersenyum bangga sambil melirik Marven. “Lihat? Naina saja tahu.” Marven mendengus pelan lalu kembali fokus menggandeng tangan Naina. “Baiklah, kalau bibi merasa masih laku, cepat cari pasangan supaya tidak mengganggu kami.” Nyonya Sisca terkekeh, lalu menggeleng. “Tidak semudah itu, Nak. Aku masih ingin melihat bagaimana kau menangani hubunganmu sendiri.” Naina tersenyum canggung, sementara Marven hanya mendesah pasrah. Perjalana
“Kenapa?” tanya Nyonya Sisca dengan santai, “lihat, Naina tampak tak keberatan jika menginap.”Marven mendengus, “Tidak boleh, dia harus pulang!”Rosana yang mendengar itu semakin kesal karena dua orang sedang memperebutkan wanita itu sedangkan dia diabaikan begitu saja.“Kak, biarkan saja Naina pergi. Lebih baik kakak temani aku untuk memilih kado untuk ulang tahun kakek yang sebentar lagi diadakan,” kata Rosana dengan lembut.Nyonya Sisca tersenyum miring, “Lihat, adikmu perlu ditemani jadi jangan ganggu bisnisku.”Marven melirik Rosana sekilas sebelum kembali menatap Naina. “Kalau begitu, saya ikut.” Naina mengerjap, sedikit terkejut. “Apa?” Rosana langsung merajuk, “Kak! Aku yang membutuhkanmu sekarang, bukan dia!” Marven tetap tenang, tapi suaranya penuh ketegasan. “Ben bisa menemanimu memilih hadiah. Saya akan pergi dengan Naina.” Rosana menggigit bibirnya, merasa semakin diabaikan. Nyonya Sisca tertawa kecil, menyesap tehnya dengan santai. “Kalau kau ikut, siapa yang a
“Sudah satu jam, sepertinya Marven tidur disana,” gumam Naina pelan.Akhirnya dia tak menunggu lagi, dengan cepat dia mematikan lampu kamar dan menutupi dirinya dengan selimut tebal.Namun, baru saja Naina mencoba memejamkan mata, pintu kamar terbuka dengan pelan. Marven masuk dengan langkah tenang, lalu menutup pintunya kembali. Suara kunci yang diputar membuat Naina yang berpura-pura tidur langsung sadar. Dia merasakan ranjang di sebelahnya sedikit tenggelam ketika Marven duduk di sana. “Kamu pura-pura tidur?” suara beratnya terdengar di kegelapan. Naina tidak menjawab, tetap diam di bawah selimutnya. Marven tersenyum tipis, lalu dengan santai menarik selimut itu hingga wajah Naina terlihat. “Saya tidak tidur di sana. Saya hanya menunggu sampai dia tertidur.” Naina mengerjapkan mata, menatap Marven dalam cahaya redup. “Kamu tidak perlu menjelaskannya,” katanya pelan. “Tapi saya ingin,” balas Marven dengan suara rendah, lalu berbaring di sampingnya. Pria itu langsung ik
“Kamu lupa itu sudah menjadi kamar Rosana?” Tiba-tiba suara Marven terdengar kala Naina ingin masuk ke kamar yang biasa dia gunakan.“Ah– maaf, saya akan tidur di mess pelayan,” kata Naina dengan cepat lalu berbalik.Namun, tangannya langsung di cekal oleh Marven, “Kamu marah?”Naina menatap tangan Marven yang mencengkeram pergelangannya, lalu mengalihkan pandangan ke wajah pria itu. Matanya yang biasanya tenang kini menunjukkan sedikit kekecewaan.“Kenapa saya harus marah?” tanyanya, suaranya terdengar datar.Marven menghela napas, menatapnya dalam. “Kalau kamu tidak marah, kenapa ingin tidur di mess pelayan? Tempatmu di sini, bukan di sana.”Naina tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Karena kamar ini sudah ditempati Rosana.”Marven yang mendengar itu langsung menarik Naina ke kamar yang ada di depan kamar tersebut lalu dengan cepat dia menutup dan menguncinya.Tubuh Naina langsung di himpit oleh tubuh besar itu di depan pintu.“Bukankah ini jadi kesempatan kit
“Ini makanan penutup malam ini, tapi hari ini hanya sempat membuat puding saja.” Kata Naina sambil menaruh puding di depan Marven dan tak lupa juga memberikan untuk Rosana.“Puding? Kau tak tahu jika kakak tidak suka makanan manis?” kata Rosana dengan ketus.Naina menatap bingung adik tiri Marven itu, dia tak tahu jika Marven tak menyukai makanan manis. Tapi, dulu Marven sendiri yang bilang dia menyukainya. Yang benar yang mana?Marven menatap puding di depannya, lalu mengangkat sendok dan mengambil sesendok kecil.“Saya tidak suka makanan manis?” Marven mengulang ucapan Rosana sambil melirik ke arahnya. “Sejak kapan kamu tahu selera saya?”Rosana terdiam, wajahnya seketika tegang. “Aku… aku hanya ingat dulu kakak jarang makan makanan manis.”Marven tidak menjawab, ia hanya melanjutkan makan puding buatan Naina tanpa ragu. “Pudingnya enak,” katanya santai, membuat Naina tersenyum kecil.Rosana mengepalkan tangannya di bawah meja. Keakraban ini membuatnya semakin tidak nyaman.Hingga s
“Aku dengar Rosana kembali.” Suara Nyonya Sisca membuat Naina yang sebelumnya sedang fokus pada dokumen yang diberikan padanya sedikit buyar.“Benar, bibi.” Katanya dengan singkat namun jelas.“Yah, anak itu memang sedikit manja. Tapi, kau harus hati-hati dengannya.” Kata Nyonya Sisca dengan tenang.Naina menatap Nyonya Sisca dengan sedikit bingung. "Kenapa, Bibi?"Nyonya Sisca menyilangkan tangan di depan dadanya, ekspresinya sulit ditebak. "Rosana itu tidak sebodoh kelihatannya. Dia tahu bagaimana mendapatkan apa yang dia inginkan, dan biasanya dia tidak peduli siapa yang harus disingkirkan untuk itu."Naina terdiam untuk beberapa saat, namun dia sepertinya tak perlu mengurus hal ini.“Terima kasih atas peringatannya, bibi. Tapi sepertinya Rosana tak mungkin menganggap saya saingannya yang harus disingkirkan. Bukankah kita akan menjadi keluarga?”Nyonya Sisca tersenyum kecil, tapi ada kilatan tajam di matanya. “Keluarga, ya? Ya semoga begitu.” Katanya sambil pergi meninggalkan Nain
“Kakak!”Suara melengking itu membuat mansion yang biasanya tenang langsung pecah, Naina yang tadinya membantu pelayan menyiapkan sarapan seperti biasa langsung menoleh.“Siapa dia?” Tanya Naina pada pelayan di sampingnya.“Oh, itu Nona Rosana. Adik tiri tuan Marven, Nyonya.” Kata pelayan itu dengan ramah.Naina yang mendengar itu mengangguk, dia benar-benar belum tahu anggota keluarga besar Tuner dan sepertinya mulai sekarang dia harus mencari tahu agar bisa menyambut mereka jika datang.Dengan cepat dia langsung menghampiri wanita itu, dan tersenyum ramah.Namun, saat Naina mendekat Rosana langsung menatapnya sinis. “Kau pelayan baru? Dimana kakak, apa masih tidur? Sepertinya aku akan membangunkannya.” Naina terdiam sejenak, tapi senyumnya tidak luntur. Dia bisa merasakan ketidaksukaan dalam nada bicara Rosana, tapi memilih untuk tetap tenang.“Dia masih mandi, mungkin sekarang sudah selesai.” Katanya dengan lembut.Rosana langsung melirik tajam, “Kenapa kau begitu tahu? Dan bagaim