“Kamu bisa tidur di ranjang nanti.” Kata Marven ketika mereka masuk ke dalam kamar hotel.Naina menatap sekeliling kamar, kamar ini memang sangat luas tapi jika mereka berada di satu ruangan besar ini berdua rasanya juga masih tetap canggung.“Saya tidur di sofa saja, tuan. Anda bisa menggunakan ranjangnya.” Kata Naina, karena tidak mungkin dia membiarkan tuannya yang tidur di sofa.Marven menatapnya dengan ekspresi datar, lalu melirik ke arah sofa di sudut ruangan yang terlihat cukup nyaman tapi tetap tidak sebanding dengan ranjang king-size di tengah kamar. “Kamu pikir saya tega membiarkan seorang wanita tidur di sofa sementara Saya tidur di ranjang?” tanyanya dengan nada santai, namun ada ketegasan di baliknya. Naina menghela napas pelan, mencoba mencari cara agar situasi ini tidak semakin canggung. “Saya baik-baik saja di sofa, Tuan. Lagipula, saya terbiasa tidur di tempat seperti itu.” Marven menaikkan satu alisnya. “Terbiasa? Karena suamimu?” Naina terdiam sejenak sebelum ak
“Kamu mandi dulu, saya masih perlu mengerjakan beberapa pekerjaan.” Kata Marven pada Naina saat mereka baru kembali ke hotel.Naina hanya mengangguk dan meletakkan paperbag belanjaannya di sudut ruangan lalu mengambil satu set baju tidur miliknya.Untungnya dia membawa baju lengan panjang hari ini, sehingga membuatnya nyaman meskipun harus satu kamar dengan bos-nya sendiri.Kala Naina masuk ke kamar mandi, Marven dengan tenang membuka laptopnya dan melakukan panggilan video dengan Ben.Begitu panggilan tersambung, wajah Ben muncul di layar. “Bagaimana perjalanan anda, Tuan?” tanyanya dengan profesional. “Lancar,” jawab Marven sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Bagaimana laporan dari proyek di cabang utama?” Ben segera membuka file di tabletnya. “Progresnya berjalan sesuai rencana. Namun, ada sedikit kendala dalam negosiasi dengan mitra baru. Mereka mengajukan beberapa perubahan kontrak yang bisa berdampak pada margin keuntungan kita.” Marven mengetuk jarinya di meja, berpik
Suara alarm ponsel yang cukup keras membuat Naina yang tengah tertidur nyenyak mulai terbangun, dia meraba-raba untuk mencari keberadaan ponselnya.Naina meraba-raba sejenak di atas meja samping tempat tidur, akhirnya menemukan ponselnya yang masih berdering. Dengan sedikit malas, dia menekan tombol untuk mematikan alarm itu, matanya masih setengah terpejam.“Pagi…” gumamnya pelan, melupakan jika dia berada satu ruangan dengan Marven.Tapi kesadarannya langsung muncul kala dia melihat Marven yang masih tertidur diatas sofa sedangkan dirinya di ranjang.Dia terkejut bagaimana bisa dia yang ada di ranjang padahal sebelumnya dia tertidur di sofa.Naina terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang terjadi semalam. Rasa kebingungannya mulai muncul saat melihat dirinya berada di ranjang, sementara Marven masih tertidur di sofa. “Apa aku… dipindahkan?” gumamnya pelan, menatap sekitar ruangan seolah mencari petunjuk. Perasaan canggung semakin besar, namun dia mencoba menenangkan dirinya. Mu
“Jika saya tidak tahu sebelumnya, mungkin saya kira anda membawa calon istri anda, haha.” Tawa yang keras itu memenuhi acara pesta malam terakhir pertemuan Marven dengan para koleganya.Marven tersenyum, “Bagaimana jika itu benar?”Naina yang sebelumnya hanya tersenyum langsung terkejut dan menoleh ke arah pria itu.Naina menatap Marven dengan tatapan tak percaya. Apakah pria itu hanya bercanda atau benar-benar serius? Dia berusaha mencari tanda-tanda lelucon di wajahnya, tetapi Marven tetap tenang, seolah-olah kata-kata itu bukanlah sesuatu yang perlu dipertanyakan. “Haha! Jika itu benar, maka anda pria yang sangat beruntung, tuan Marven,” sahut salah satu kolega sambil mengangkat gelasnya. “Nona Naina adalah wanita yang menawan.” Naina berusaha mempertahankan senyumnya, meskipun dalam hatinya ada campuran rasa bingung. Dia tak bisa membaca maksud dari ucapan Marven barusan. Apakah ini hanya basa-basi bisnis atau ada sesuatu di baliknya? Dia menegakkan punggungnya, berusaha ber
Entah sudah berapa gelas Wine yang Naina minum bersama Marven malam ini.Dia seolah tak peduli lagi, dia ingin melampiaskan rasa kesalnya pada Jake dan Evelyn dengan mabuk meskipun itu harus bersama pria lain.Marven hanya duduk di seberangnya, mengamati dengan tenang saat Naina kembali menuangkan wine ke dalam gelasnya. Dia tahu wanita itu sedang mencoba melupakan sesuatu—atau seseorang. “Kamu tidak perlu melakukan ini,” kata Marven akhirnya, suaranya tenang tapi penuh makna. Naina tertawa kecil, tapi terdengar getir. “Kenapa tidak? Setidaknya untuk malam ini,saya ingin melupakan semuanya,” katanya sebelum meneguk isi gelasnya lagi. Marven menyandarkan punggungnya di kursi, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kalau begitu, biarkan saya menemanimu,” katanya, mengangkat gelasnya dan meneguk wine-nya dengan santai. Malam semakin larut, botol wine semakin kosong, dan Naina semakin kehilangan kendali atas pikirannya. Tatapannya mulai kabur, dan kepalanya terasa ringan.
Naina mengerjapkan matanya, kepalanya terasa berat akibat efek mabuk semalam. Namun, yang membuatnya semakin tersadar adalah kehangatan di sampingnya. Dengan perlahan, dia menoleh dan langsung membeku. Marven ada di sana, tidur dengan nyenyak di sampingnya. Nafasnya teratur, wajahnya terlihat lebih tenang dibandingkan saat dia terjaga. Namun yang membuat Naina semakin panik adalah kenyataan bahwa pria itu hanya mengenakan kemeja putihnya yang sedikit terbuka di bagian atas, memperlihatkan sedikit kulit dadanya. Naina menunduk, dan saat itulah dia menyadari sesuatu yang lebih mengejutkan. Dia hanya mengenakan pakaian dalam dan… kemeja Marven yang tak dikancing. Tangannya langsung menarik selimut, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Tapi semuanya terasa kabur. Yang dia ingat hanyalah dirinya yang mabuk dan… mendekati Marven. Napasnya memburu. “Apa yang terjadi semalam?” gumamnya pelan, suaranya bergetar. Naina menggigit bibir bawahnya hingga sekelebatan ingatan ten
“Setelah penderitaan itu..Kamu masih tak menceraikannya?” Amarah Marven langsung membuncah, seolah ingin menyadarkan wanita di depannya itu.“Naina, jika kamu takut. Saya bisa membalas semuanya untukmu. Bahkan jika harus membunuh Jake, saya akan lakukan. Ayahmu sudah tenang disana, tak ada hal yang bisa mengikatmu lebih lama.” Kata Marven serius, “Jadi.. bilang pada saya, mintalah pada saya. Jangan memendamnya sendirian.”Naina membeku, menatap Marven dengan mata yang masih dipenuhi air mata. Hatinya bergetar mendengar kata-kata pria itu.Membunuh Jake?Tidak. Itu bukan yang dia inginkan… tapi, di saat yang sama, dia tidak bisa menyangkal keinginannya untuk membalas semua rasa sakit yang telah dia alami.“Saya.. tak akan berpikiran seperti itu meskipun saya ingin sekali melihat Jake merasakan penderitaan saya.” Katanya dengan pelan.Marven menghela nafas, memegang kedua tangan Naina tanpa ragu. “Lalu, apa yang ingin kamu lakukan? Saya akan membantumu.” Katanya dengan lembut.Naina ter
“Mau saya antar pulang?” Tawar Marven dengan lembut. Saat ini mereka sudah tiba di bandara dan akan kembali, namun melihat jam yang sudah hampir malam membuat Naina menolak.“Jake pasti sudah pulang, saya tidak ingin anda berdebat dengan pria sepertinya.” Kata Naina sopan.Marven terkekeh, “Jika itu demi kamu sepertinya saya tidak masalah.”Naina menghela napas, berusaha menenangkan dirinya. "Terima kasih, tapi saya bisa sendiri, Tuan," ujarnya dengan suara lembut. Marven menatapnya dalam, seolah menimbang sesuatu. "Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi jika sesuatu terjadi, hubungi saya." Naina mengangguk pelan. "Saya mengerti." Namun, ketika Marven mengulurkan tangan untuk menepuk lembut kepalanya, Naina sedikit terkejut. Sentuhan itu hangat dan terasa begitu menenangkan, membuatnya hampir lupa bahwa begitu sampai di rumah, dia akan kembali menghadapi neraka yang menunggunya. "Saya serius, Naina," suara Marven terdengar lebih dalam. "Jangan ragu untuk meminta bantuan." Naina t
“Bagaimana? Apakah dia hamil?”Marven langsung menembak pertanyaan saat dokter keluarga memeriksa Naina setelah kembali ke mansion.“Hamil?” Dokter keluarga itu mengerutkan dahi, menatap Marven sejenak sebelum kembali memeriksa hasil catatannya.“Tidak, dia tidak hamil,” jawabnya dengan nada datar namun meyakinkan. “Tekanan darahnya sedikit rendah dan lambungnya iritasi, mungkin karena kelelahan dan pola makan yang tidak teratur. Itu saja.”Marven menarik napas lega, namun tak sempat menyembunyikan ekspresi lega yang langsung terlihat oleh Naina yang duduk di sisi ranjang.“Kenapa kamu curiga aku hamil?” tanya Naina dengan bingung.Marven menatap Naina beberapa detik, seolah memilih kata-kata yang tepat. Ia lalu duduk di tepi ranjang, tak mengalihkan pandangannya darinya.“Karena kamu tiba-tiba mual, pucat… dan kamu terlihat tidak seperti biasanya,” ujarnya dengan tenang. “Dan… bibi Sisca juga langsung menebaknya.”Naina mengerutkan kening, “Jadi kamu percaya omongan bibi Sisca?”Marv
Brak!Suara ponsel yang hancur ke lantai menggema di ruangan kamar itu. Rosana yang melihat sosial media bibinya langsung mendidih karena melihat kemesraan Naina dan Marven.Dia menggigit kuku jarinya dengan gelisah, hingga suara ketukan kaca dari arah balkon membuatnya menoleh.Dengan cepat dia bangkit dan menghampiri orang itu dengan semangat, “Bagaimana? kau sudah menemukan rahasia wanita itu?”Pria dengan masker hitam itu mengangguk, “ternyata dia wanita yang sudah menikah, dan baru saja bercerai.”Mendengar itu Rosana menyeringai, “licik juga dia, pasti kakak tidak tahu jika dia seorang janda!’Pria itu menyerahkan sebuah map berisi dokumen. “Ini salinan surat perceraiannya. Lengkap dengan data mantan suaminya.”Rosana membuka map itu dengan antusias, matanya berbinar saat membaca setiap lembarannya. “Ini... ini sempurna,” gumamnya. “Dengan ini, aku bisa membuat kakak membencinya. Seorang Tuner tak mungkin bersama janda!”Dia terkekeh pelan, namun nada tawanya dipenuhi kebencian.
“Awas, hati-hati,” kata Marven saat membantu Naina turun dari mobil.Nyonya Sisca yang melihat itu tersenyum tipis,”Kalian membuatku iri saja.”“Terlambat, bibi sudah tidak laku di pasaran,” kata Marven dengan tenang sambil menggandeng tangan Naina.Nyonya Sisca langsung melotot tajam. “Hei, kurang ajar! Aku ini masih laku, tahu!” Marven hanya mengangkat bahu dengan santai. “Oh ya? Mana buktinya?” Naina menahan tawa melihat interaksi keduanya. “Bibi masih sangat cantik, pasti banyak yang tertarik,” katanya mencoba menenangkan suasana. Nyonya Sisca tersenyum bangga sambil melirik Marven. “Lihat? Naina saja tahu.” Marven mendengus pelan lalu kembali fokus menggandeng tangan Naina. “Baiklah, kalau bibi merasa masih laku, cepat cari pasangan supaya tidak mengganggu kami.” Nyonya Sisca terkekeh, lalu menggeleng. “Tidak semudah itu, Nak. Aku masih ingin melihat bagaimana kau menangani hubunganmu sendiri.” Naina tersenyum canggung, sementara Marven hanya mendesah pasrah. Perjalana
“Kenapa?” tanya Nyonya Sisca dengan santai, “lihat, Naina tampak tak keberatan jika menginap.”Marven mendengus, “Tidak boleh, dia harus pulang!”Rosana yang mendengar itu semakin kesal karena dua orang sedang memperebutkan wanita itu sedangkan dia diabaikan begitu saja.“Kak, biarkan saja Naina pergi. Lebih baik kakak temani aku untuk memilih kado untuk ulang tahun kakek yang sebentar lagi diadakan,” kata Rosana dengan lembut.Nyonya Sisca tersenyum miring, “Lihat, adikmu perlu ditemani jadi jangan ganggu bisnisku.”Marven melirik Rosana sekilas sebelum kembali menatap Naina. “Kalau begitu, saya ikut.” Naina mengerjap, sedikit terkejut. “Apa?” Rosana langsung merajuk, “Kak! Aku yang membutuhkanmu sekarang, bukan dia!” Marven tetap tenang, tapi suaranya penuh ketegasan. “Ben bisa menemanimu memilih hadiah. Saya akan pergi dengan Naina.” Rosana menggigit bibirnya, merasa semakin diabaikan. Nyonya Sisca tertawa kecil, menyesap tehnya dengan santai. “Kalau kau ikut, siapa yang a
“Sudah satu jam, sepertinya Marven tidur disana,” gumam Naina pelan.Akhirnya dia tak menunggu lagi, dengan cepat dia mematikan lampu kamar dan menutupi dirinya dengan selimut tebal.Namun, baru saja Naina mencoba memejamkan mata, pintu kamar terbuka dengan pelan. Marven masuk dengan langkah tenang, lalu menutup pintunya kembali. Suara kunci yang diputar membuat Naina yang berpura-pura tidur langsung sadar. Dia merasakan ranjang di sebelahnya sedikit tenggelam ketika Marven duduk di sana. “Kamu pura-pura tidur?” suara beratnya terdengar di kegelapan. Naina tidak menjawab, tetap diam di bawah selimutnya. Marven tersenyum tipis, lalu dengan santai menarik selimut itu hingga wajah Naina terlihat. “Saya tidak tidur di sana. Saya hanya menunggu sampai dia tertidur.” Naina mengerjapkan mata, menatap Marven dalam cahaya redup. “Kamu tidak perlu menjelaskannya,” katanya pelan. “Tapi saya ingin,” balas Marven dengan suara rendah, lalu berbaring di sampingnya. Pria itu langsung ik
“Kamu lupa itu sudah menjadi kamar Rosana?” Tiba-tiba suara Marven terdengar kala Naina ingin masuk ke kamar yang biasa dia gunakan.“Ah– maaf, saya akan tidur di mess pelayan,” kata Naina dengan cepat lalu berbalik.Namun, tangannya langsung di cekal oleh Marven, “Kamu marah?”Naina menatap tangan Marven yang mencengkeram pergelangannya, lalu mengalihkan pandangan ke wajah pria itu. Matanya yang biasanya tenang kini menunjukkan sedikit kekecewaan.“Kenapa saya harus marah?” tanyanya, suaranya terdengar datar.Marven menghela napas, menatapnya dalam. “Kalau kamu tidak marah, kenapa ingin tidur di mess pelayan? Tempatmu di sini, bukan di sana.”Naina tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Karena kamar ini sudah ditempati Rosana.”Marven yang mendengar itu langsung menarik Naina ke kamar yang ada di depan kamar tersebut lalu dengan cepat dia menutup dan menguncinya.Tubuh Naina langsung di himpit oleh tubuh besar itu di depan pintu.“Bukankah ini jadi kesempatan kit
“Ini makanan penutup malam ini, tapi hari ini hanya sempat membuat puding saja.” Kata Naina sambil menaruh puding di depan Marven dan tak lupa juga memberikan untuk Rosana.“Puding? Kau tak tahu jika kakak tidak suka makanan manis?” kata Rosana dengan ketus.Naina menatap bingung adik tiri Marven itu, dia tak tahu jika Marven tak menyukai makanan manis. Tapi, dulu Marven sendiri yang bilang dia menyukainya. Yang benar yang mana?Marven menatap puding di depannya, lalu mengangkat sendok dan mengambil sesendok kecil.“Saya tidak suka makanan manis?” Marven mengulang ucapan Rosana sambil melirik ke arahnya. “Sejak kapan kamu tahu selera saya?”Rosana terdiam, wajahnya seketika tegang. “Aku… aku hanya ingat dulu kakak jarang makan makanan manis.”Marven tidak menjawab, ia hanya melanjutkan makan puding buatan Naina tanpa ragu. “Pudingnya enak,” katanya santai, membuat Naina tersenyum kecil.Rosana mengepalkan tangannya di bawah meja. Keakraban ini membuatnya semakin tidak nyaman.Hingga s
“Aku dengar Rosana kembali.” Suara Nyonya Sisca membuat Naina yang sebelumnya sedang fokus pada dokumen yang diberikan padanya sedikit buyar.“Benar, bibi.” Katanya dengan singkat namun jelas.“Yah, anak itu memang sedikit manja. Tapi, kau harus hati-hati dengannya.” Kata Nyonya Sisca dengan tenang.Naina menatap Nyonya Sisca dengan sedikit bingung. "Kenapa, Bibi?"Nyonya Sisca menyilangkan tangan di depan dadanya, ekspresinya sulit ditebak. "Rosana itu tidak sebodoh kelihatannya. Dia tahu bagaimana mendapatkan apa yang dia inginkan, dan biasanya dia tidak peduli siapa yang harus disingkirkan untuk itu."Naina terdiam untuk beberapa saat, namun dia sepertinya tak perlu mengurus hal ini.“Terima kasih atas peringatannya, bibi. Tapi sepertinya Rosana tak mungkin menganggap saya saingannya yang harus disingkirkan. Bukankah kita akan menjadi keluarga?”Nyonya Sisca tersenyum kecil, tapi ada kilatan tajam di matanya. “Keluarga, ya? Ya semoga begitu.” Katanya sambil pergi meninggalkan Nain
“Kakak!”Suara melengking itu membuat mansion yang biasanya tenang langsung pecah, Naina yang tadinya membantu pelayan menyiapkan sarapan seperti biasa langsung menoleh.“Siapa dia?” Tanya Naina pada pelayan di sampingnya.“Oh, itu Nona Rosana. Adik tiri tuan Marven, Nyonya.” Kata pelayan itu dengan ramah.Naina yang mendengar itu mengangguk, dia benar-benar belum tahu anggota keluarga besar Tuner dan sepertinya mulai sekarang dia harus mencari tahu agar bisa menyambut mereka jika datang.Dengan cepat dia langsung menghampiri wanita itu, dan tersenyum ramah.Namun, saat Naina mendekat Rosana langsung menatapnya sinis. “Kau pelayan baru? Dimana kakak, apa masih tidur? Sepertinya aku akan membangunkannya.” Naina terdiam sejenak, tapi senyumnya tidak luntur. Dia bisa merasakan ketidaksukaan dalam nada bicara Rosana, tapi memilih untuk tetap tenang.“Dia masih mandi, mungkin sekarang sudah selesai.” Katanya dengan lembut.Rosana langsung melirik tajam, “Kenapa kau begitu tahu? Dan bagaim