Suara langkah kaki terdengar keras di lorong rumah sakit, Marven yang menggendong Naina langsung menuju ke ICU dimana ayah Naina dirawat.Marven yang melihat Ben masih berdiri di pintu tertutup langsung menghampirinya. Lalu menurunkan Naina dengan hati-hati.“Bagaimana keadaannya?” Tanya Marven dengan serius.Naina juga tampak sangat khawatir ingin tahu keadaan ayahnya. “Benar, bagaimana keadaan ayah saya, tuan Ben?”Ben tampak mendesah, “Dokter belum keluar, tapi ayah anda tampak sangat kritis sejak lusa dan semakin memburuk sejak dini hari tadi. “Naina langsung terduduk lemas mendengar hal itu.Naina menutup wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar hebat, menahan isak tangis yang tak mampu lagi dibendung. “Ayah... ayahku...” suaranya bergetar, penuh kepedihan.Marven segera berjongkok di sampingnya, menenangkan dengan menaruh tangan di pundaknya. “Naina, dengarkan saya. Kita harus kuat sekarang. Ayahmu membutuhkan doamu. Percayalah pada dokter yang sedang bekerja keras untuk
“Jake, kau mau kemana?” Tanya Evelyn kala melihat Jake memakai kemejanya setelah semalam mereka menghabiskan malam panas berdua.“Aku ingin melihat Naina, juga ingin menelpon rumah sakit ayah mertuaku.” Kata Jake dengan tenang.Evelyn yang masih duduk di ranjang hanya mengangguk meskipun kesal, “Apa kau tak ingin melepasnya saja? Kau tak mencintainya kan?”Jake yang mendengar pertanyaan itu langsung melirik ke arah Evelyn dengan tajam, “Aku tak ingin membahas hal ini, istirahatlah hari ini aku akan menemuimu lagi jika urusanku telah selesai.” Kata Jake dengan tegas.Jake melangkah keluar dari kamar dengan langkah cepat, meninggalkan Evelyn yang masih duduk di ranjang, wajahnya penuh dengan campuran kesal dan rasa ingin tahu. Evelyn menggigit bibirnya, merasa tidak puas dengan sikap Jake yang tampaknya terus mempertahankan sesuatu yang sudah tidak berarti baginya. Di luar, Jake berjalan ke mobilnya sambil mengeluarkan ponsel. Dia memutar nomor rumah sakit tempat ayah Naina dirawat, me
“Naina!!” Suara Jake begitu nyaring di tempat pemakaman umum itu.Semua orang langsung menoleh saat teriak panggilan itu datang.Saat Marven ingin mencegah Jake mendekat, Naina langsung memegang tangan Marven untuk menahannya.Marven langsung menoleh, “Naina?”Naina mengangguk pelan sambil menarik napas panjang, meskipun wajahnya masih dipenuhi kesedihan. "Biar saya yang menghadapinya, Tuan Marven," katanya dengan suara yang bergetar namun penuh tekad.Jake berjalan cepat mendekati mereka, wajahnya menunjukkan campuran kemarahan dan kebingungan. "Naina! Kenapa kamu tidak memberitahuku tentang ini? Aku baru tahu dari rumah sakit kalau ayahmu sudah meninggal!"PLAK!Seluruh tempat pemakaman langsung hening seketika. Tamparan itu bergema, bukan hanya di udara, tapi juga di hati Jake yang tampak terkejut, bahkan nyaris kehilangan kata-kata. Dia memegang pipinya yang merah akibat tamparan itu, menatap Naina dengan sorot mata tak percaya.Naina, dengan air mata yang mengalir deras di pipiny
“Kenapa kau diam saja? Masih marah?” Tanya Jake saat mereka berada di perjalanan pulang ke rumah mereka yang ada di kota.Naina hanya diam menatap ke arah jendela tanpa menghiraukan Jake yang terus berbicara seperti anjing menggonggong.Bahkan saat sampai di rumah, Naina langsung keluar dan masuk ke kamar dan menguncinya.Tangan Naina gemetar, air matanya mulai tumpah namun dia menahannya. Giginya bergemeletuk menahan emosi namun dia tak boleh terbawa emosi jika dia ingin membalas kematian ayahnya.Dengan cepat dia membuka ponselnya dan menghubungkan dengan kamera kecil yang sudah dia pasang di apartemen Evelyn.Dia ingin lihat apakah jebakannya sudah mengenai target atau belum.Hari pertama tak ada tanda-tanda Jake ada disana, tapi saat dia membuka di tanggal dia dikurung wajahnyanya langsung mengeras.Pada rekaman hari saat Naina dikurung di apartemennya, terlihat jelas Jake memasuki apartemen Evelyn bersama wanita itu. Terlihat jelas Jake memasuki apartemen Evelyn dengan langkah se
“Ahhh!! Ahhh!! Lebih cepat, Ahhh mhhh…” Suara desahan yang begitu nikmat terdengar.“Ahh Evelynn.. Aku hampir sampai, ahhh”Suara yang begitu menjijikkan membuat telinga seperti kotor dibuatnya.Naina memeluk lututnya di atas kasur, menaikkan volume di ponselnya dan mendengar suara menjijikkan itu memenuhi kamar rumahnya.Semalam Jake izin pergi ke ibukota untuk mengambil sesuatu, namun saat Naina mengecek ternyata dia sedang berada di apartemen Evelyn dan melakukan perbuatan menjijikkan itu disana sehari kematian ayahnya.Naina menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan emosi yang meluap-luap dalam dadanya. Air matanya jatuh tanpa henti, tapi bukan karena kesedihan, melainkan kemarahan yang tak lagi bisa dia tahan. Tangannya gemetar saat dia memutar ulang rekaman itu, memastikan bahwa apa yang dia lihat dan dengar bukanlah sekedar bayangan atau ilusi."Sehari setelah ayahku meninggal..." gumamnya dengan suara bergetar. "Kau benar-benar tak punya hati, Jake."Dia memejamkan matanya sejenak
–“Aku tidak pulang malam ini, jadi jangan tunggu aku.” Notifikasi pesan dari Jake membuat Naina terdiam sejenak sebelum membalas. “Naina?” Suara Marven membuatnya tersadar. Dia langsung mendongak, menyadari telah mengabaikan pria di depannya. “Eh, iya, Tuan. Maaf,” ujar Naina buru-buru sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas. “Jadi, bagaimana? Apa kamu bisa menolongku?” tanya Marven lagi, masih berusaha meyakinkannya untuk menjadi pasangan pura-pura guna menolak perjodohan itu. Setelah berpikir sejenak, Naina akhirnya mengangguk. “Baik, tapi bagaimana dengan Tuan Besar? Saya khawatir kalau Tuan Besar mengetahui rencana ini,” jawab Naina dengan nada penuh kekhawatiran. Marven tersenyum tipis, seolah-olah sudah memikirkan kemungkinan itu sebelumnya. "Kakek tidak akan tahu jika kita melakukannya dengan baik. Saya hanya perlu meyakinkan dia bahwa saya sudah punya seseorang yang benar-benar saya pilih. Jika dia percaya, maka dia tidak akan memaksa lagi." Naina tampak ragu, tapi dia
Cantik. Itulah kata yang pertama kali terlintas di benak siapa pun yang melihat Naina saat ini. Di depan cermin besar, dikelilingi oleh penata rias dan stylist, ia tampak seperti sosok yang berbeda—atau mungkin seperti dirinya yang sebenarnya, tersembunyi di balik kesederhanaan selama ini. Wajah Naina yang biasanya hanya dihiasi dengan riasan ringan kini tampak begitu memesona dengan polesan lembut dan elegan. Penata rias memilih warna-warna alami yang menonjolkan kecantikan alaminya—sedikit blush di pipi, lipstik nude berkilau, dan eyeliner tipis yang mempertegas matanya tanpa berlebihan. Rambutnya ditata dengan rapi, setengah diangkat ke atas dengan beberapa helaian rambut yang sengaja dibiarkan jatuh di kedua sisi wajahnya, memberikan kesan anggun dan lembut. Ketika ia berdiri untuk melihat hasil akhirnya di cermin, Naina hampir tidak mengenali dirinya sendiri. "Apakah ini benar-benar saya?" gumamnya pelan, tangannya menyentuh gaun hitam yang membalut tubuhnya dengan sempurna.
“Sayang, apakah ini wanita yang dijodohkan denganmu?”Naina yang merasa salah bicara langsung perlahan ingin melepas pelukan tangannya pada tangan Marven, namun segera Marven mencegahnya dan malah mengeratkan pelukan Naina.“Apa kamu cemburu, honey?” Tanya Marven dengan lembut dan menatap ke arah Naina dengan tatapan dalam.Wajah Naina seketika memerah, bingung dengan sikap Marven yang begitu mendadak dan intens. Dia berusaha mencari kata-kata untuk merespons, tetapi tatapan lembut Marven membuatnya kehilangan fokus. “Aku… tidak… tidak cemburu,” jawab Naina dengan gugup, suaranya nyaris berbisik. Marven tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah Olivia yang tampak mulai kehilangan kesabarannya. “Olivia, lihat sendiri. Saya tidak butuh perjodohan. Saya sudah memiliki seseorang yang mencintai saya dan saya cintai.” Olivia menyilangkan tangannya di dada, berusaha mempertahankan ekspresi tenangnya. “Cinta, ya? Di dunia kita cinta tidak diperlukan, Marven. Saya bisa saja membiarkan wanita
Beberapa bulan kemudian, suasana mewah dan hangat menyelimuti ballroom utama di mansion keluarga Tuner. Dekorasi elegan dipenuhi bunga putih dan ungu, selaras dengan tema pernikahan Rosana dan Andrian. Para tamu duduk tenang menyaksikan dua sejoli yang kini berdiri di altar, saling menatap dengan mata berbinar.Rosana terlihat anggun dalam gaun putih panjang yang menjuntai lembut, sementara Andrian tampak gagah dengan setelan jas hitam elegan. Di tengah keheningan yang khidmat, suara pendeta pun terdengar lantang dan syahdu:“Silakan ucapkan janji suci pernikahan kalian.”Andrian mengambil tangan Rosana dengan mantap. Suaranya terdengar tenang, namun penuh emosi.“Aku, Andrian, berjanji untuk mencintaimu, Rosana, di setiap hari baik maupun buruk. Aku akan menjadi rumah tempatmu pulang, pelindung saat kau lelah, dan sahabat yang selalu ada. Hari ini, aku tidak hanya menikahi wanita yang kucintai… aku juga menikahi masa depanku.”Rosana menarik napas pelan, matanya berkaca-kaca. Ia meng
“Baby boy datang….” Nyonya Sisca membawa box bayi dengan semangat.Naina yang terbaring di ranjang tersenyum bahagia karena ini adalah pertama kalinya dia melihat putranya setelah beberapa hari dalam perawatan.Nyonya Sisca meletakkan box bayi itu dengan hati-hati di samping ranjang Naina. “Lihatlah, dia sudah membuka matanya tadi pagi. Seperti sedang mencari-cari ibunya,” ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca karena haru.Naina mengangkat tangannya pelan, matanya sudah basah melihat sosok mungil di dalam box itu. “Sayang… sini, peluk mama,” bisiknya lirih.Marven dengan hati-hati mengangkat bayi itu dan meletakkannya di dada Naina. Tangis kecil si bayi langsung mereda saat merasakan dekapan ibunya.“Raynar Elric Tuner,” gumam Naina sambil mencium kening putranya. “Selamat datang di dunia, nak…”Marven berdiri di samping mereka, mengelus lembut kepala istrinya dan putranya. “Keluarga kita lengkap sekarang…” ucapnya pelan, penuh rasa syukur.Rosana yang menyaksikan dari pintu hanya ter
Di luar ruang operasi, ketiganya tampak berdoa masing-masing menunggu kabar baik.Setelah beberapa jam telah terlewati, mereka mendengar suara tangis bayi di dalam.Nyonya Sisca dan Rosana langsung menoleh, senyum mereka akhirnya merekah.“Bayinya selamat!” Ucap Nyonya Sisca bahagia.Namun Marven sama sekali tak merasa lega, karena dia belum melihat dokter keluar dan bagaimana keadaan istrinya di dalam.Marven berdiri perlahan, tubuhnya kaku seperti batu. Suara tangis bayi yang seharusnya menjadi kabar bahagia justru terasa menggantung baginya. Matanya tak lepas dari pintu ruang operasi yang masih tertutup rapat.Rosana berdiri di sampingnya, ikut terdiam saat menyadari ekspresi kakaknya tak berubah. Nyonya Sisca, yang sebelumnya tersenyum lega, kini ikut dilanda cemas lagi.Beberapa menit kemudian, pintu ruang operasi akhirnya terbuka.Seorang dokter keluar, wajahnya tampak lelah, namun tetap menunjukkan sikap profesional. Marven langsung menghampirinya dengan langkah tergesa.“Dok,
“Sayang, hati-hati!”Suara Marven menggema cukup keras dari balik balkon, namun Naina yang sedang berjalan santai dari arah taman tidak terlalu mendengarnya. Fokusnya tertuju pada burung kecil yang bertengger di pagar, membuat langkahnya sedikit melambat.Namun tiba-tiba kakinya menginjak batu kecil yang tertanam tak rata di jalan setapak. Dalam sekejap, tubuh Naina kehilangan keseimbangan. Dia terjatuh ke samping, dan suara benturan tubuhnya di tanah disertai ringisan kesakitan langsung membuat jantung Marven seakan berhenti berdetak.“Naina!”Ia langsung berlari menuruni anak tangga tanpa pikir panjang. Beberapa pelayan yang melihat kejadian itu pun ikut panik.“Aaahh… Marven… perutku…” suara Naina lirih namun penuh ketakutan, tangannya menggenggam erat perutnya yang besar.Ketika Marven sampai di sisinya, ia melihat noda darah mulai merembes dari balik gaun Naina. Wajahnya langsung pucat. “B-Ben! Siapkan mobil sekarang! Cepat! Kita ke rumah sakit!” teriaknya tanpa menoleh.Ben yang
“Di lamar?!” Marven dan Naina langsung menoleh bersamaan saat mendengar hal itu.Rosana menundukkan kepalanya malu, “Iya kak,”Naina langsung menjerit kecil penuh antusias sambil memeluk adiknya, “Aaaa! Ros, selamat! Ya ampun, kamu akhirnya dilamar juga! Aku seneng banget!”Marven hanya menghela napas panjang lalu menatap Andrian tajam tapi dengan nada menggoda, “Kau berani-beraninya melamar adikku tanpa izin? Minimal kasih kode dulu”Andrian mengangkat tangan seperti menyerah, “Sumpah, tuan Marven, saya niatnya baik dan serius. Dan cincin itu bukan cuma simbol, saya juga sudah siapkan semuanya untuk langkah selanjutnya.”Naina menoleh ke Marven sambil tersenyum penu
“Wow cantik sekali, pilihanku memang tak pernah salah,” puji Andrian saat melihat Rosana keluar dengan gaun hijau cantik namun tak berlebihan.Rosana menahan senyumnya sambil memukul lengan pria itu, “jangan menggodaku!”Andrian tertawa ringan sambil merapikan jasnya, lalu membuka pintu mobil untuk Rosana. “Aku hanya jujur, kok. Lagipula, malam ini sepertinya aku yang beruntung bisa pergi dengan wanita secantik kamu.”Rosana tersipu, tapi tetap gengsi untuk mengakuinya. “Huh, bisa aja kamu. Ayo jalan, sebelum aku berubah pikiran.”Andrian mengangguk sambil menahan senyum puas. “Baik, nona Rosana. Tapi kalau kamu berubah pikiran dan memutuskan untuk mencintaiku sekarang juga, aku nggak keberatan.”Rosana hanya mendecak pelan, “Dasar kamu…,” lalu masuk ke mobil dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.Dan saat mereka sampai di sebuah restoran yang menyajikan makanan ala timur tengah, Rosana masuk dengan dibantu oleh Andrian yang setia menggandengnya.“Selamat datang, tuan dan nona. M
“Kematian pada ibu hamil memang beberapa terjadi tuan, tapi itu hanya sebagian kecil dari ibu yang selamat,” jelas dokter saat diundang langsung diruang kerja Marven.Marven sejak kemarin terus dihantui oleh rasa ketakutan istrinya sampai menyuruh Ben mengundang ahli kandungan untuk berkonsultasi sendiri.Dokter yang duduk dengan tenang di hadapan Marven menatap pria muda itu dengan bijak. “Saya paham kekhawatiran Anda, Tuan Marven. Kecemasan seperti ini sangat wajar, apalagi bagi suami yang sangat mencintai istrinya dan calon anaknya. Tapi izinkan saya memberikan sedikit ketenangan…”Marven, yang duduk bersandar dengan tangan saling menggenggam di depan mulutnya, hanya mengangguk pelan. Matanya tampak lelah—bukan karena kurang tidur, tapi karena dihantui ketakutan sejak Naina mengungkapkan kekhawatirannya.“Pertama, kondisi nyonya Naina sejauh ini sangat baik. Tensi, detak jantung janin, pertumbuhan, semua dalam batas normal dan sehat. Tak ada indikasi bahaya seperti preeklampsia, pl
“Sejak kapan perutmu sudah sebesar ini, sayang?” Marven terkejut saat bangun tidur mendapati perut istrinya membuncit dan ada gerakan kecil disana.Naina dengan kesal langsung memukul pelan suaminya itu, “ini sudah hampir tujuh bulan, wajar jika perutku besar.”Marven terkekeh pelan, “Sebentar lagi kita akan bertemu baby boy,” gumamnya sambil menciumi perut istrinya dengan gemas namun langsung ditendang oleh anaknya dari dalam.Marven terperanjat kecil saat perut istrinya menendang balik tepat di pipinya. “Wah! Ini anakmu atau petarung MMA, sih?” ucapnya sambil tertawa geli, masih memegang pipinya yang baru saja ‘disentuh’ oleh calon buah hatinya.Naina ikut tertawa, meski sedikit meringis karena tendangan itu memang cukup kuat. “Dia aktif banget, apalagi kalau dengar suara kamu. Mungkin dia tahu ayahnya cerewet.”Marven menyipitkan mata berpura-pura tersinggung. “Cerewet demi anak dan istri tercinta, oke? Lagian, suara ayahnya ini yang bikin kamu nyaman di perut sana, ya kan, Nak?” k
“Bagaimana keadaan istri saya dok? apakah dia dan calon anak saya baik-baik saja?” tanya Marven dengan wajah kalut penuh ketakutan dan merasa bersalah karena melakukannya dengan keras hingga istrinya kesakitan.Dokter terlihat tenang, menatap Marven dan Naina yang duduk di ranjang rumah sakit. Naina sudah berbaring dengan infus di tangan, sementara Marven masih menggenggam jemarinya erat-erat.“Untung kalian cepat datang,” ucap dokter sambil mengecek data di tablet-nya. “Istri Anda mengalami kontraksi ringan akibat tekanan fisik yang terlalu intens. Tapi tenang, kondisi janinnya masih stabil, tidak ada tanda bahaya besar. Namun…”Marven menegakkan tubuhnya, wajahnya menegang. “Namun…?”Dokter menatap Marven dalam-dalam. “Dia harus benar-benar beristirahat dan menghindari aktivitas fisik yang terlalu berat, termasuk… hubungan suami istri. Setidaknya sampai trimester pertamanya benar-benar aman. Saya akan beri obat pereda kram, dan nanti ada vitamin tambahan juga.”Marven menghela napas