“Pasangan pengantin memasuki ruang resepsi! Selamat untuk tuan dan nyonya Tuner!” Saat MC mulai berseru pintu besar aula terbuka lebar.Para tamu bertepuk tangan meriah saat Marven dan Naina melangkah masuk, tangan mereka bertaut erat. Cahaya kristal chandelier di langit-langit aula memantulkan kilau indah di gaun Naina, sementara Marven dengan setelan hitam elegannya tampak begitu gagah.Naina bisa merasakan detak jantungnya lebih cepat dari biasanya, bukan karena gugup, tapi karena kebahagiaan yang membuncah dalam dirinya. Malam ini, dia benar-benar menjadi nyonya Tuner.Marven tetap menjaga ekspresinya yang tegas dan dingin seperti biasa, tapi genggaman tangannya pada Naina erat, seolah ingin menunjukkan bahwa dia tidak akan pernah melepaskannya.Mereka berjalan melewati barisan tamu yang tersenyum dan memberi selamat, sebelum akhirnya tiba di tengah aula. MC kembali berseru, "Sekarang, mari kita mulai malam ini dengan tarian pertama pasangan pengantin!"Alunan musik lembut mulai
“Setelah resepsi selesai, temui kakek.” Suara dingin dan tegas itu membuat Marven terdiam.“Kek, setelah resepsi aku akan p–”Namun tuan Antony hanya menatap tajam, “Besok kamu baru boleh pergi.”Marven menghela napas dalam, jelas tidak menyukai keputusan itu. “Kakek…”Tuan Antony tetap dengan ekspresi tegasnya. “Ada hal yang perlu dibicarakan sebelum kamu pergi. kamu boleh bersabar satu malam lagi, bukan?”Naina melirik Marven dengan khawatir. Dia tahu betapa suaminya ingin segera pergi berdua dengannya, tapi jika Tuan Antony sudah berbicara seperti itu, menolak hanya akan sia-sia.Marven mengepalkan rahangnya, lalu mengangguk pelan. “Baik. Setelah resepsi, aku akan menemui kakek.”Tuan Antony tersenyum tipis, puas dengan jawaban itu, lalu beranjak pergi tanpa berkata apa-apa lagi.Naina menoleh ke Marven dan berbisik, “Apa kira-kira yang ingin kakek bicarakan?”Marven menggeleng, matanya masih menatap punggung kakeknya yang semakin menjauh. “Entahlah. Tapi sepertinya sesuatu yang pe
“Kak Marven kemana?” tanya Rosana saat dia membantu Naina melepaskan aksesoris di kepalanya.“Tadi kakek memanggilnya, mungkin ada urusan.”“Oh–”Naina tersenyum lalu menatap Rosana dari cermin, “menurutmu bagaimana Andrian? Apa kau sedikit menyukainya?”Rosana yang sedang sibuk melepas jepit rambut Naina tiba-tiba terhenti. Dia melirik kakaknya dari cermin dan mendengus pelan. “Kenapa kakak tiba-tiba menanyakannya?”Naina terkikik kecil. “Aku hanya penasaran. Dia tampak tertarik padamu.”Rosana mendengus lagi, kali ini lebih keras. “Tertarik? Hah, dia hanya pria menyebalkan yang suka menggoda. Lagipula, aku tidak mudah tertarik pada seseorang.”Naina menatapnya dengan tatapan penuh arti. “Tapi kamu tidak menolak saat berdansa dengannya.”Rosana terdiam sesaat sebelum kembali sibuk dengan rambut kakaknya. “Hanya karena aku tidak ingin membuat keributan di acara kakak. Jangan salah paham, ya.”Naina hanya tersenyum tipis, membiarkan adiknya menyangkal sesukanya. Tapi dia bisa melihat s
Aroma maskulin disertai campuran wangi sabun menguar di kamar.Naina yang sejak tadi duduk dengan gugup semakin salah tingkah saat melihat suaminya telah selesai mandi.Marven berjalan mendekat, handuk masih melingkar di lehernya sementara rambutnya yang sedikit basah membuatnya terlihat semakin menawan. Naina menelan ludah, berusaha mengalihkan pandangannya, tapi tatapan tajam suaminya membuatnya sulit berpaling.“Kau masih terjaga,” gumam Marven, suara beratnya terdengar lebih dalam di keheningan kamar.Naina mengangguk cepat, tangannya mencengkeram ujung selimut. “Tentu saja… aku menunggumu.”Marven tersenyum kecil, lalu duduk di tepi ranjang, menatapnya lekat. Jari-jarinya yang hangat menyentuh dagu Naina, mengangkat wajahnya agar mereka bisa saling menatap. “Bagus,” bisiknya pelan. “Karena aku tidak berniat membiarkan istriku tidur malam ini.”Naina menelan ludahnya dengan kasar, terlebih saat tubuh Marven mulai menghimpitnya dan menekannya untuk berbaring di ranjang.Nafas Marve
“Mereka sejak semalam belum keluar kamar?” Nyonya Sisca yang sedang meminum teh di pagi hari bertanya pada pelan.Pelayan menunduk namun sambil tersenyum, “Tuan bilang, beliau tidak ingin diganggu sampai siang hari. Karena sore harinya beliau akan terbang ke Jepang.”Nyonya Sisca terkekeh lalu meletakkan cangkir tehnya, “pengantin baru memang penuh gairah. Jika begitu, siapkan sup untuk mereka. Jika mereka sampai jam sepuluh belum keluar ketuk pintunya. Aku tak ingin mendengar pengantin baru pingsan karena kelelahan.”Pelayan itu mengangguk dengan wajah sedikit merah, lalu bergegas menyiapkan sup hangat seperti yang diperintahkan.Sementara itu, di dalam kamar pengantin, cahaya matahari yang masuk dari sela-sela tirai menyinari wajah Naina yang masih terlelap di pelukan Marven. Wajahnya tampak lelah, namun ada senyum kecil yang menghiasi bibirnya.Marven yang sudah lebih dulu terbangun menatap istrinya dengan tatapan penuh kepuasan. Jari-jarinya yang panjang dengan lembut menyusuri ra
“Hati-hati, jika sudah sampai jepang kabari.” Kata Nyonya Sisca yang ikut mengantar mereka ke bandara.“Jangan lupa oleh-olehnya!” Rosana melambaikan tangannya dengan penuh semangat.Naina tertawa pelan sambil melambaikan tangannya dan berjalan masuk ke pemeriksaan tiket pesawat.“Akhirnya tak akan ada yang menganggu kita lagi nanti,” bisik Marven saat mereka sudah duduk nyaman di dalam pesawat.Naina menoleh ke arahnya dengan senyum tipis, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Marven. “Kau yakin? Jangan-jangan nanti di Jepang pun kau akan sibuk urusan kerja.”Marven menggeleng pelan, matanya menatap jendela pesawat yang mulai bergerak menuju landasan. “Sudah kuatur semuanya. Tak ada email, tak ada rapat, tak ada telepon. Dua minggu penuh hanya untuk kita berdua.”Naina menghela napas lega. “Akhirnya… liburan yang benar-benar liburan. Bukan cuma pindah tempat tidur dan tetap dikejar deadline.”Marven tersenyum kecil, jarang tapi selalu berarti. Tangannya menggenggam tangan Naina erat. “
Angin jepang terasa sangat menyegarkan ditambah sekarang adalah musim semi, dimana bunga sakura mekar dengan sangat cantik.Naina menghirup udara dalam-dalam, membiarkan aroma bunga dan semilir angin musim semi menyapa wajahnya. Matanya menatap kagum pada hamparan pohon sakura yang mekar di sepanjang jalan taman. Kelopak-kelopak merah muda beterbangan tertiup angin, menciptakan suasana yang nyaris seperti mimpi.“Indah sekali…” gumamnya pelan.Di sampingnya, Marven berjalan tenang, matanya tak lepas dari sosok istrinya yang terlihat begitu mempesona dalam balutan coat tipis berwarna pastel. “Kau lebih indah dari semua bunga di sini,” katanya dengan datar, tapi nada suaranya mengandung ketulusan yang tak terbantahkan.Naina melirik, tersenyum geli. “Kamu mulai terdengar seperti pria romantis.”“Bukan. Aku hanya jujur,” jawab Marven sambil menyelipkan jari-jarinya di antara jemari Naina, menggenggamnya erat.Naina terkekeh, lalu menunjuk ke arah stand makanan yang tampaknya sangat enak.
Ruang temaram yang dihiasi oleh pakaian yang berserakan di lantai dengan dua orang yang tengah berbaring kelelahan di ranjang. Naina bersandar pada dada Marven, napasnya masih belum sepenuhnya stabil. Jari-jarinya memainkan garis tipis di atas kulit suaminya, membuat Marven menggeliat kecil dan tersenyum tanpa membuka mata. “Kalau setiap hari liburan begini, aku tak keberatan untuk terus tinggal di hotel,” gumam Naina pelan, suaranya masih serak namun hangat. Marven tertawa pelan, lengan kuatnya menarik Naina lebih dekat. “Siapa bilang liburan ini sudah selesai? Bagiku, ini baru dimulai.” Ia mencium pelipis Naina, lembut namun menyiratkan gairah yang belum padam sepenuhnya. Mata mereka bertemu dalam cahaya redup, berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang bisa diucapkan. “Kamu tidak lelah?” tanya Naina sambil mencubit lembut perut Marven. “Denganmu? Lelahnya justru jadi candu,” jawabnya dengan seringai yang membuat jantung Naina berdetak lagi, kali ini bukan karena kelelahan
Beberapa bulan kemudian, suasana mewah dan hangat menyelimuti ballroom utama di mansion keluarga Tuner. Dekorasi elegan dipenuhi bunga putih dan ungu, selaras dengan tema pernikahan Rosana dan Andrian. Para tamu duduk tenang menyaksikan dua sejoli yang kini berdiri di altar, saling menatap dengan mata berbinar.Rosana terlihat anggun dalam gaun putih panjang yang menjuntai lembut, sementara Andrian tampak gagah dengan setelan jas hitam elegan. Di tengah keheningan yang khidmat, suara pendeta pun terdengar lantang dan syahdu:“Silakan ucapkan janji suci pernikahan kalian.”Andrian mengambil tangan Rosana dengan mantap. Suaranya terdengar tenang, namun penuh emosi.“Aku, Andrian, berjanji untuk mencintaimu, Rosana, di setiap hari baik maupun buruk. Aku akan menjadi rumah tempatmu pulang, pelindung saat kau lelah, dan sahabat yang selalu ada. Hari ini, aku tidak hanya menikahi wanita yang kucintai… aku juga menikahi masa depanku.”Rosana menarik napas pelan, matanya berkaca-kaca. Ia meng
“Baby boy datang….” Nyonya Sisca membawa box bayi dengan semangat.Naina yang terbaring di ranjang tersenyum bahagia karena ini adalah pertama kalinya dia melihat putranya setelah beberapa hari dalam perawatan.Nyonya Sisca meletakkan box bayi itu dengan hati-hati di samping ranjang Naina. “Lihatlah, dia sudah membuka matanya tadi pagi. Seperti sedang mencari-cari ibunya,” ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca karena haru.Naina mengangkat tangannya pelan, matanya sudah basah melihat sosok mungil di dalam box itu. “Sayang… sini, peluk mama,” bisiknya lirih.Marven dengan hati-hati mengangkat bayi itu dan meletakkannya di dada Naina. Tangis kecil si bayi langsung mereda saat merasakan dekapan ibunya.“Raynar Elric Tuner,” gumam Naina sambil mencium kening putranya. “Selamat datang di dunia, nak…”Marven berdiri di samping mereka, mengelus lembut kepala istrinya dan putranya. “Keluarga kita lengkap sekarang…” ucapnya pelan, penuh rasa syukur.Rosana yang menyaksikan dari pintu hanya ter
Di luar ruang operasi, ketiganya tampak berdoa masing-masing menunggu kabar baik.Setelah beberapa jam telah terlewati, mereka mendengar suara tangis bayi di dalam.Nyonya Sisca dan Rosana langsung menoleh, senyum mereka akhirnya merekah.“Bayinya selamat!” Ucap Nyonya Sisca bahagia.Namun Marven sama sekali tak merasa lega, karena dia belum melihat dokter keluar dan bagaimana keadaan istrinya di dalam.Marven berdiri perlahan, tubuhnya kaku seperti batu. Suara tangis bayi yang seharusnya menjadi kabar bahagia justru terasa menggantung baginya. Matanya tak lepas dari pintu ruang operasi yang masih tertutup rapat.Rosana berdiri di sampingnya, ikut terdiam saat menyadari ekspresi kakaknya tak berubah. Nyonya Sisca, yang sebelumnya tersenyum lega, kini ikut dilanda cemas lagi.Beberapa menit kemudian, pintu ruang operasi akhirnya terbuka.Seorang dokter keluar, wajahnya tampak lelah, namun tetap menunjukkan sikap profesional. Marven langsung menghampirinya dengan langkah tergesa.“Dok,
“Sayang, hati-hati!”Suara Marven menggema cukup keras dari balik balkon, namun Naina yang sedang berjalan santai dari arah taman tidak terlalu mendengarnya. Fokusnya tertuju pada burung kecil yang bertengger di pagar, membuat langkahnya sedikit melambat.Namun tiba-tiba kakinya menginjak batu kecil yang tertanam tak rata di jalan setapak. Dalam sekejap, tubuh Naina kehilangan keseimbangan. Dia terjatuh ke samping, dan suara benturan tubuhnya di tanah disertai ringisan kesakitan langsung membuat jantung Marven seakan berhenti berdetak.“Naina!”Ia langsung berlari menuruni anak tangga tanpa pikir panjang. Beberapa pelayan yang melihat kejadian itu pun ikut panik.“Aaahh… Marven… perutku…” suara Naina lirih namun penuh ketakutan, tangannya menggenggam erat perutnya yang besar.Ketika Marven sampai di sisinya, ia melihat noda darah mulai merembes dari balik gaun Naina. Wajahnya langsung pucat. “B-Ben! Siapkan mobil sekarang! Cepat! Kita ke rumah sakit!” teriaknya tanpa menoleh.Ben yang
“Di lamar?!” Marven dan Naina langsung menoleh bersamaan saat mendengar hal itu.Rosana menundukkan kepalanya malu, “Iya kak,”Naina langsung menjerit kecil penuh antusias sambil memeluk adiknya, “Aaaa! Ros, selamat! Ya ampun, kamu akhirnya dilamar juga! Aku seneng banget!”Marven hanya menghela napas panjang lalu menatap Andrian tajam tapi dengan nada menggoda, “Kau berani-beraninya melamar adikku tanpa izin? Minimal kasih kode dulu”Andrian mengangkat tangan seperti menyerah, “Sumpah, tuan Marven, saya niatnya baik dan serius. Dan cincin itu bukan cuma simbol, saya juga sudah siapkan semuanya untuk langkah selanjutnya.”Naina menoleh ke Marven sambil tersenyum penu
“Wow cantik sekali, pilihanku memang tak pernah salah,” puji Andrian saat melihat Rosana keluar dengan gaun hijau cantik namun tak berlebihan.Rosana menahan senyumnya sambil memukul lengan pria itu, “jangan menggodaku!”Andrian tertawa ringan sambil merapikan jasnya, lalu membuka pintu mobil untuk Rosana. “Aku hanya jujur, kok. Lagipula, malam ini sepertinya aku yang beruntung bisa pergi dengan wanita secantik kamu.”Rosana tersipu, tapi tetap gengsi untuk mengakuinya. “Huh, bisa aja kamu. Ayo jalan, sebelum aku berubah pikiran.”Andrian mengangguk sambil menahan senyum puas. “Baik, nona Rosana. Tapi kalau kamu berubah pikiran dan memutuskan untuk mencintaiku sekarang juga, aku nggak keberatan.”Rosana hanya mendecak pelan, “Dasar kamu…,” lalu masuk ke mobil dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.Dan saat mereka sampai di sebuah restoran yang menyajikan makanan ala timur tengah, Rosana masuk dengan dibantu oleh Andrian yang setia menggandengnya.“Selamat datang, tuan dan nona. M
“Kematian pada ibu hamil memang beberapa terjadi tuan, tapi itu hanya sebagian kecil dari ibu yang selamat,” jelas dokter saat diundang langsung diruang kerja Marven.Marven sejak kemarin terus dihantui oleh rasa ketakutan istrinya sampai menyuruh Ben mengundang ahli kandungan untuk berkonsultasi sendiri.Dokter yang duduk dengan tenang di hadapan Marven menatap pria muda itu dengan bijak. “Saya paham kekhawatiran Anda, Tuan Marven. Kecemasan seperti ini sangat wajar, apalagi bagi suami yang sangat mencintai istrinya dan calon anaknya. Tapi izinkan saya memberikan sedikit ketenangan…”Marven, yang duduk bersandar dengan tangan saling menggenggam di depan mulutnya, hanya mengangguk pelan. Matanya tampak lelah—bukan karena kurang tidur, tapi karena dihantui ketakutan sejak Naina mengungkapkan kekhawatirannya.“Pertama, kondisi nyonya Naina sejauh ini sangat baik. Tensi, detak jantung janin, pertumbuhan, semua dalam batas normal dan sehat. Tak ada indikasi bahaya seperti preeklampsia, pl
“Sejak kapan perutmu sudah sebesar ini, sayang?” Marven terkejut saat bangun tidur mendapati perut istrinya membuncit dan ada gerakan kecil disana.Naina dengan kesal langsung memukul pelan suaminya itu, “ini sudah hampir tujuh bulan, wajar jika perutku besar.”Marven terkekeh pelan, “Sebentar lagi kita akan bertemu baby boy,” gumamnya sambil menciumi perut istrinya dengan gemas namun langsung ditendang oleh anaknya dari dalam.Marven terperanjat kecil saat perut istrinya menendang balik tepat di pipinya. “Wah! Ini anakmu atau petarung MMA, sih?” ucapnya sambil tertawa geli, masih memegang pipinya yang baru saja ‘disentuh’ oleh calon buah hatinya.Naina ikut tertawa, meski sedikit meringis karena tendangan itu memang cukup kuat. “Dia aktif banget, apalagi kalau dengar suara kamu. Mungkin dia tahu ayahnya cerewet.”Marven menyipitkan mata berpura-pura tersinggung. “Cerewet demi anak dan istri tercinta, oke? Lagian, suara ayahnya ini yang bikin kamu nyaman di perut sana, ya kan, Nak?” k
“Bagaimana keadaan istri saya dok? apakah dia dan calon anak saya baik-baik saja?” tanya Marven dengan wajah kalut penuh ketakutan dan merasa bersalah karena melakukannya dengan keras hingga istrinya kesakitan.Dokter terlihat tenang, menatap Marven dan Naina yang duduk di ranjang rumah sakit. Naina sudah berbaring dengan infus di tangan, sementara Marven masih menggenggam jemarinya erat-erat.“Untung kalian cepat datang,” ucap dokter sambil mengecek data di tablet-nya. “Istri Anda mengalami kontraksi ringan akibat tekanan fisik yang terlalu intens. Tapi tenang, kondisi janinnya masih stabil, tidak ada tanda bahaya besar. Namun…”Marven menegakkan tubuhnya, wajahnya menegang. “Namun…?”Dokter menatap Marven dalam-dalam. “Dia harus benar-benar beristirahat dan menghindari aktivitas fisik yang terlalu berat, termasuk… hubungan suami istri. Setidaknya sampai trimester pertamanya benar-benar aman. Saya akan beri obat pereda kram, dan nanti ada vitamin tambahan juga.”Marven menghela napas