Batari dibaringkan di brangkar pasien di ruang unit gawat darurat sebuah rumah sakit. Seorang perempuan dengan jas warna putih memeriksa keadaannya.
Batari sudah sadarkan diri, tetapi dalam kondisi yang tidak prima. Ia hanya diam memandang ke sekeliling hingga bersirobok tatapannya dengan Xabier."Kamu di rumah sakit," jelas lelaki itu.Perawat di sampingnya membantu mengecek suhu tubuh dan tekanan darah."Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Xabier."Ibu Batari tekanan darahnya rendah, menyebabkan ia tadi pingsan. Ini membutuhkan perawatan di rumah sakit agar dapat kita pantau," jelas dokter bernama Cresentia pada label nama yang menempel di dadanya.Dengan berat hati, Xabier menerima saran dari Cresentia. Batari pun tidak membantah. Kalau ia ngotot minta dirawat di rumah, akan merepotkan. Xabier pasti harus mencari tenaga yang akan membantu merawat dirinya."Kita akan memasukkan cairan infus. Ini sedikit sakit," ujar perawat.Batari meringis merasakan sakit jarum suntik di lengannya."Kita juga akan ambil sampel darah untuk diperiksa di laboratorium," sambung perawatnya.Setelah selesai, Xabier diminta untuk ke meja dokter jaga."Bapak, perlu mengurus ruang rawat Ibu Batari ke bagian administrasi" ucap dokter. "Untuk hasil laboratorium harap menunggu, Pak," sambung Cresentia.Xabier mengangguk. Ia mengurus ruang rawat inap Batari, menungguinya hingga perempuan itu keluar dari unit gawat darurat.Pria itu memilih ruang VIP untuk istrinya karena orang-orang kenal siapa dia. Nama baik adalah hal penting bagi Xabier."Saya harap kamu cepat sembuh, merepotkan," ucap Xabier begitu perawat keluar dari ruang rawat inap.Batari tercengang mendengarnya, ia pikir Xabier tulus untuk membantunya ke rumah sakit, setidaknya empati."Bapak tidak perlu repot kalau begitu. Saya bisa mengurus diri saya sendiri," timpal Batari refleks. Tidak enak di pendengarannya ucapan tajam Xabier.Dengkusan kasar terdengar dari mulut Xabier. "Sedang sakit saja masih sombong.""Tidak perlu menunggui saya," tukas Batari enggan menatap suaminya. Ia melempar tatapan ke jendela yang tembus ke arah taman bunga rumah sakit.Dada Xabier bergemuruh, tidak menyangka karyawannya itu berani lancang terhadapnya. Siapa juga yang mau menunggui, batin Xabier.Pria itu melangkah keluar tanpa suara apapun. Ia meninggalkan Batari sendirian. Lebih baik mengurus bisnisnya dibandingkan bersama Batari.Air mata jatuh di pipi Batari, ia membayangkan pernikahan yang berat akan dijalaninya. Dia mulai berpikir bahwa kata istri hanyalah status di atas kertas.Pada kenyataannya, Batari tetap sendirian menjalani hidup saat ini. Perempuan itu berusaha menegarkan diri. Ia masih punya bude di desa yang menilainya berharga. Jejak air mata dihapus menggunakan selimut rumah sakit.Perempuan desa seperti budenya saja mampu untuk hidup baik, membesarkan dirinya seorang diri, dan tidak bergantung pada orang lain. Batari menyemangati dirinya sendiri. Ia pasti mampu menjalani pernikahan yang entah sampai kapan.Xabier menutup kencang pintu mobilnya, saat ia tiba di rumah. Lebih tepatnya, rumah mamanya.Pria itu masuk dengan perasaan kesal yang masih terbawa dari rumah sakit. Dia benar-benar meninggalkan Batari sendirian di sana."Anak mama sudah pulang?" sapa Andalaska, Ibu Xabier."Sudah, Ma." Dia mencium pipi ibunya. "Batari masuk rumah sakit," lapornya, duduk di samping Andalaska yang sedang membersihkan koleksi perhiasannya."Oh, kenapa dia?" tanya Andalaska seadanya."Tekanan darah rendah, kata dokter," jawab Xabier mengamati perhiasan yang tertata rapi dalam kotak."Oh," responnya singkat. "Kamu makan dulu. Mama dan adikmu sudah makan malam bersama," pesan Andalaska. Ia tidak menanggapi lagi keadaan Batari yang masuk rumah sakit."Iya, Ma. Aku gerah, ke kamar dulu," sahut Xabier.Andalaska mengangguk. Begitu anaknya pergi, ia menghentikan kegiatan membersihkan perhiasannya. Ia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.Lusanya, Xabier ke restoran pusat. Sehari-hari begitulah aktivitasnya. Hari ini tidak ada jadwal kunjungan ke cabang maupun pemotretan.Selama dua hari, ia tidak mengunjungi Batari sama sekali. Pria itu tenggelam dalam kesibukannya sendiri.Sementara itu di rumah sakit, Batari mendapat hasil dari dua kali pemeriksaan sampel darahnya. Matanya berkaca-kaca mengetahui bahwa dirinya tengah berbadan dua.Usia kandungannya tujuh minggu. Perempuan itu abai terhadap kondisi tubuhnya paska kejadian di hotel.Sampai-sampai tidak mendapat siklus bulanan luput dari perhatiannya.Tadi, sebelum dokter menerangkan hasilnya, sempat keberadaan suaminya dipertanyakan."Suami ibu Batari tidak datang lagi?" tanya perawat.Batari menggeleng, ia tidak mengatakan apapun. Perawat seolah tahu bahwa rumah tangga pasiennya sedang tidak baik-baik saja.Selama tiga hari mendapat perawatan di rumah sakit, kondisi Batari semakin membaik. Hanya Sekarita yang dihubunginya untuk mengabarkan perkembangan kesehatannya.Sahabatnya itu pula yang membantu untuk mengambilkan pakaian dari rumahnya yang jauh di perbatasan kota. Pada Sekarita, ia lebih terbuka.Batari menyelesaikan pembayaran rumah sakit yang tidak sedikit. Ia menggunakan uang bonus yang didapatkannya dari acara malam penganugerahan karyawan terbaik.Agak menyesal rasanya ruangan yang dipilih oleh Xabier kategori VIP sehingga biaya rawat inap Batari selama tiga hari membengkak. Namun, apa mau dikata telah terjadi. Batari merasa perlu mengatur finansialnya sebaik mungkin agar ia tidak kehabisan uang selama mengandung.Saat Batari berkemas untuk pulang ke rumah. Suara dari pintu mengagetkan tubuhnya."Jadi, kamu hamil." Kalimat sapaan yang bagi Batari terkesan kasar, setelah beberapa hari tidak bertemu.Perempuan itu diam saja, tangannya bergerak lihai untuk menyusun barang pribadinya ke dalam sebuah tas ransel.Dia merasa tidak perlu menanggapi Xabier, pria itu akan datang dan pergi dengan sendiri seperti pergantian cuaca.Melihat Batari mengabaikannya, Xabier berjalan lebih dekat pada Batari."Mampu juga bayar rumah sakit," sindir Xabier berdiri sambil berkacak pinggang. Batari melirik sekilas dari ujung matanya. Sombong sekali, pikir Batari.Setelah semua selesai, Batari duduk di bangku yang tersedia. Ia mengambil ponselnya, membuka aplikasi untuk memesan taksi online.Mendadak Xabier merebut ponselnya dan membatalkan pesanan Batari.Darah Batari jadi mendidih dibuatnya."Kembalikan ponsel saya!" teriak Batari. Ia berdiri dan menengadahkan tangannya.Xabier terkejut melihat Batari yang berani meneriakinya. Bola mata mereka bersirobok, saling menatap tajam.Pria itu sepertinya ingin membuat Batari bertambah kesal. Secara sengaja, ia memasukkan ponsel Batari ke dalam saku celananya lalu berdiri bertolak pinggang."Tidak." Jawaban pendek itu semakin membuat Batari kesal. Dadany kembang kempis menahan emosi."Bapak datang kemari hanya untuk membuat saya marah?" protes Batari. Ia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa ponsel itu. Terpaksalah ia menggunakan angkutan umum untuk sampai ke rumah yang disediakan Xabier untuknya.Batari menyandang tas ranselnya, melangkah keluar ruangan. Ditentengnya map berisi hasil laboratorium dan resume medis.Sebelum sampai ke pintu, Xabier lebih dulu menghalangi jalan Batari."Pulang sama saya!" perintah Xabier, maniknya menatap Batari."Tidak mau," kata Batari. "Saya bisa pulang sendiri. Tolong, beri saya jalan, Pak," sambungnya dengan sorotan tajam pada Xabier.Pria itu geram melihat Batari yang keras kepala. Sebelum ini, Xabier tahu kalau Batari orang yang lembut dan ramah, sehingga pengunjung restoran yang bersedia mengikuti survei kepuasan pelanggan memberi nilai baik pada pelayanannya."Jangan berlebihan. Aku memang mau menjemput kamu," kata Xabier menjelaskan ma
Semalam Xabier telah menghubungi karyawan di restoran pusat untuk mempersiapkan restorannya sebagai tempat konferensi pers.Satu hari ini, restoran itu tidak menerima tamu. Ia malah menjamu para pemburu berita untuk menikmati sajian gratis.Pria itu menikmati sarapan bersama ibu dan adiknya. "Nanti siang aku ada konferensi pers, memberitahukan tentang kehamilan Batari," ujarnya.Semalam Xabier telah menceritakan pada ibunya bahwa Batari mengandung anaknya. Tidak ada sambutan hangat terlontar dari bibir Andalaska."Seharusnya kamu menutupi fakta kehamilannya. Akan jadi bahan pertanyaan bahwa dia hamil sebelum menikah," sanggah ibunya pagi ini. "Nama baik kamu akan tercoreng," sambung ibunya lagi.Xabier menyeruput kopi pagi miliknya. Ia sedikit berbeda pendapat dengan ibunya. "Tapi, kehamilan itu akan terus membesar. Dia akan melahirkan tujuh bulan lagi. Tetap saja mereka akan mengusut kehamilan Batari," ucapnya setelah menaruh cangkir di meja."Nama baikku tetap saja dipertaruhkan," l
Batari membuka matanya, ia tidak sampai jatuh membentur aspal. Ada orang yang menangkap tubuhnya."Pak, kalau turun jangan dorong-dorong!" sembur pria itu. Suara dan parfum itu jelas Batari kenali."Maaf, saya buru-buru," sahut pria yang mendorong Batari, berlalu begitu saja.Sebagian orang yang mengenali Xabier menyapanya. Mereka berbisik-bisik mengenai ketampanannya. Batari langsung melepaskan pegangannya pada Xabier. Ia menegakkan tubuhnya lalu melangkah menuju ruang tunggu terminal bus yang akan ditumpanginya lagi.Beberapa orang perempuan meminta untuk berfoto bersama. Xabier sulit untuk pergi dari kerumunan. Matanya menyorot ke arah mana Batari bergerak."Sudah dulu ya foto-fotonya," ujarnya menolak halus perempuan yang getol ingin mengabadikan momen dadakan itu.Xabier berlari meninggalkan mereka, ia mengejar Batari. Pria itu berharap tidak ada orang yang mengenali wajahnya lagi.Lengan Batari berhasil digapai Xabier. Suasana lebih lengang dibandingkan tadi. Mereka berada di d
Sesekali Xabier melirik ke arah Batari sembari melihat kaca spion sebelah kiri. Setelah acara makan siang mereka, perempuan itu lebih banyak diam.Mual dan muntahnya juga berkurang. Rasa kantuk menyerang Batari, kepalanya kesana kemari terayun.Xabier menepuk punggung tangan Batari. Perempuan itu mendadak terbangun."Pakai bantal leher, ada di belakang," ujar Xabier menunjuk ke arah belakang.Mendengar itu Batari menurut, ia memiringkan tubuhnya menghadap ke belakang dengan susah payah."Turunkan saja bangkunya, jangan seperti itu." tegur pria itu sambil melayangkan tangannya menyilang di depan Batari.Batari sontak mendorong tangan Xabier hingga mengenai dasbor mobil. Akibatnya, mobil oleng di jalan yang lengang.Xabier mengambil ancang-ancang untuk menstabilkan kendaraannya. Ia segera menepi lalu membuka sabuk pengamannya."Apa yang kamu lakukan? Kita bisa celaka!" sembur Xabier."Ma... maaf... saya...,""Selalu membuat repot," hardiknya lagi.Batari hanya terdiam mendengar ucapan k
Ketukan pintu di rumah Batari membuat Xabier panik. Ingin rasanya pria itu membekap mulut Batari yang menangis sambil teriak. Namun, masalah tidak akan selesai dengan jalan kasar seperti itu.Xabier mengambil langkah menuju ke pintu utama. Ia membuka dan melihat ibu tadi yang pertama kali menyambut kedatangan Batari. Sayangnya, Xabier belum berkenalan.Senyuman canggung dilepas pria itu. "Malam Bu," ujarnya sembari menggaruk kepala belakangnya. "Maaf, tadi kita belum berkenalan," lanjutnya."Oh...," ibu itu menepuk keningnya. "Saya Ningsih," jawabnya."Itu kenapa Tari menangis-nangis? Kencang sekali. Tadi Ibu lewat sayup terdengar suara tangisan dari sini," jelas Ningsih."I... iya, Bu. Tolong Ibu bantu tenangkan Tari. Dia masih sedih karena ingat budenya sudah meninggal," jawab Xabier sebagai alasan.Ningsih mengangguk. "Saya boleh masuk buat temui Tari?" tanyanya.Pria itu begitu antusias menerima tawaran Ningsih. Dia memang tidak mampu menenangkan Batari, perempuan itu sangat alerg
Batari telah menunaikan ibadah subuhnya. Tadi malam, setelah ia masuk ke dalam kamar dan menghalangi pintu dengan lemari kayu, barulah ia bisa terlelap. Perempuan itu mendengar suara tepukan dari arah ruang tamu yang remang. Ia agak berhati-hati, sambil menggenggam sapu di tangan Batari berjalan perlahan. Ia mengintip dari balik dinding kayu, suara apa gerangan yang mencurigakan itu.Batari boleh merasa lega, ia melihat bahwa pelakunya adalah Xabier yang sedang berperang dengan nyamuk yang menggaduh tidurnya.Pria itu tidak terbangun, tepukan berpindah-pindah dilayangkannya. Batari tersenyum masam melihat Xabier yang sibuk mengatasi nyamuk. Nuraninya menegur agar memberi selimut pada pria itu, tetapi sisi yang lain memintanya membiarkan.Batari memilih berbalik ke dapur tanpa mempedulikan Xabier lagi. Ia menyalakan tungku api untuk memasak air hangat dan membuat sarapan.Aroma wangi masakan menggugah indera penciuman Xabier. Ia orang yang paham tentang masa
Batari tersentak begitu namanya dipanggil. Ia menoleh ke belakang, didengarnya Wisang mencarinya. Namanya dipanggil beberapa kali. Gegas Batari membersihkan bibirnya dan menaruh mangkuk serta gelas ke dalam ember. Perempuan itu keluar dari dapur. Wisang telah berada di ruang tamu, berdiri sambil menjinjing sebuah tas."Ya..., eh... Ma... Mas Wisang mencari Tari?" tanyanya gugup. Pria itu memandang Tari dengan seksama. Perempuan pujaan hati Wisang memilih pria lain yang jauh lebih mapan dari dirinya."Mas antar makanan dari Ibu. Ibu tidak bisa ke sini, diminta Ayah menemani ke kebun," ujarnya sembari menjulurkan tas berisi makanan."Makasih ya, Mas." Batari menundukkan sedikit tubuhnya lalu menerima bungkusan dari Wisang.Pria desa itu melihat keadaan sepi. "Kemana suamimu?" tanya Wisang menyapu pandangan ke seluruh ruangan."Em... e...." Batari bingung menjawab. Suaminya tidak berpamitan tadi. "Mungkin ke sungai, Mas," jawabnya
Para pemburu berita tetap dijamu tepat di hari Xabier pergi bersama Batari ke Desa Adiluhur. Karyawannya memberitahukan kedukaan yang dialami oleh mereka sehingga konferensi pers akan dijadwalkan ulang.Pagi ini, Andalaska mengunjungi restoran pusat milik putranya untuk mencari informasi mengenai Xabier. Sayangnya, ia tidak mendapat apa-apa karena Domarita, sekretaris Xabier, minim informasi."Domarita juga tidak tahu Xabier akan sampai kapan di desa itu," decaknya kesal. Andalaska baru saja kembali dari ruangan Domarita.Serafina turut mendongkol karena pemotretan untuk besok diprediksi gagal. Meskipun demikian, dalam perjanjian kerja dengan Xabier disebutkan bahwa jadwal yang gagal bisa diulang kembali di waktu yang disepakati bersama."Apa Xabier sudah punya perasaan khusus pada perempuan itu, Tante? Sampai mau menemani ke sana?" tanya Serafina curiga. Mereka saat ini duduk di salah satu ruangan privat restoran milik Xabier untuk sarapan bersam
Kesehatan Ayasya membaik, suhu tubuh telah kembali normal dan muntah tidak lagi menghantui keseharian di rumah sakit. "Moga tidak sakit lagi menjelang pernikahan nanti," ucap Ayasya berjalan menuju lobi rumah sakit.Hari ini, Ayasya diizinkan pulang ke rumah oleh pihak rumah sakit. Betapa senang Ayasya karena ia pun merasa jauh lebih sehat dibanding beberapa hari lalu.Ayasya dijemput oleh Xaba, sementara itu keluarga Santos yang lain memiliki kesibukan sendiri.Xaba sengaja menggunakan jasa pengemudi agar dirinya bisa duduk berdekatan dengan Ayasya di bangku penumpang belakang."Ayas, aku mau bertanya."Ayasya yang duduk menyender ke lengan Xaba menegakkan tubuh lalu menoleh pada Xaba. Kendaraan melaju menuju kediaman Santos."Apa, Mas?" tanyanya."Kamu keturunan dari Dewandaru apakah kamu mau mengurus hak sebagai ahli waris?" tanya Xaba yang sejurus kemudian dihadiahi pelototan dari Ayasya. "Eh, bukan maksud aku macam-macam, tidak seperti pikiran kamu, ya. Hanya bertanya, bila kam
Elang masuk begitu saja ruang rawat Ayasya bermodalkan pesan alamat dan nama ruang rawat inap yang dikirim oleh Ayasya. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Elang di saat Ayasya tengah berbaring di ranjang pasien. Raut sendu memancarkan kecemasan dari Elang.Sontak Ayasya bangkit menyender dengan mata membelalak sejenak lalu normal kembali."Tidak."Elang mendekat hingga membuat gerakan bergeser ke sudut pada Ayasya."Stop di sana, Elang! Katakan cepat soal papa saya," tuntut Ayasya yang sebenarnya masih memerlukan istirahat. Dengan sisa keberanian, ia memberi tahu lokasi rumah sakit tempatnya dirawat dengan tujuan mengetahui kisah lama orang tuanya."Apa kita bisa bicara baik-baik, Ayas, tanpa ada nada suara yang tinggi?"Elang berjalan bertambah dekat ke arah Ayasya. Tangan Ayasya terkepal di balik selimut rumah sakit. Baginya, Elang terlalu mengulur waktu. "Sebagian sudah saya ceritakan pada kamu. Kamu adalah putri dari Sri dan seorang pengusaha bernama Dewandaru. Anak di luar pernikahan
Elang sengaja bepergian ke Surabaya untuk menemui Ayasya. Sepanjang penerbangan, tidak luntur senyum di balik masker yang dikenakan.Beralasan akan mengunjungi makam orang tua dan lembaga pendidikan swasta yang dimiliki keluarga Dewandaru, langkah Elang menjejak ke Surabaya kembali.Bayangan Ayasya begitu lekat dalam pikiran Elang. Perempuan manis yang menarik hati sejak zaman mereka menimba ilmu di kampus milik keluarga Dewandaru.Lain hal dengan Ayasya yang gelisah pagi ini, suhu tubuhnya meningkat."40 derajat. Bagaimana perasaan kamu?" tanya Xinta yang duduk di samping ranjang. Ia seorang dokter yang mengetahui cara menurunkan demam, tetapi butuh pengujian lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada penyakit tersembunyi di balik demam.Di situ berdiri pula Xaba dan Batari yang khawatir terhadap kondisi Ayasya. Xinta meminta mereka semua memakai masker selama berada di dekat Ayasya. "Pusing, sakit otot, dingin," jawab Ayasya sambil menggigil dan terbatuk-batuk serta hidung pun sampai
"Pak, lagi-lagi kita dikirim surat kaleng. Kali ini sarung tangan bayi dan foto lama Sri. Buat apa itu semua, Pak? Apa hubungan ke kita?"Sewaktu Batari dan Xabier berdiskusi di ruang keluarga, tanpa sengaja Ayasya menguping pembicaraan. Tadinya, hanya sekedar lewat menuju dapur.Namun, suara riuh menjelang tengah malam menarik Ayasya untuk mengetahui apa yang dibicarakan. "Sulit untuk dimengerti maksud pengirim. Mau dilaporkan ke pihak berwajib, tapi kali ini tidak ada ancaman di isi suratnya."Menggigit bibir sendiri, Ayasya gelisah berdiri di ujung dinding. Tidak ingin ketahuan, buru-buru Ayasya meninggalkan tempat menuju ke kamar pribadinya. "Apa maunya Elang? Sampai nekat. Jahat sekali," ujar Ayasya sambil duduk di ujung ranjang. Keesokan pagi, Ayasya sengaja bangun pagi lalu jalan-jalan ke halaman besar kediaman Santos. Rasa penasaran membuatnya singgah ke pos jaga. "Olahraga, Bu?" sapa seorang penjaga."Ya, Pak."Demi apa Ayasya menjadi pribadi berbeda hari ini. Biarlah pik
Mengingat hingga malam Xaba akan syuting, terlintas niat Ayasya untuk menemui Elang ke restoran, menagih nama siapa ayah kandungnya.Menimbang Xaba akan keberatan bila ia mengutarakan niat bertemu Elang, Ayasya masih menyimpan rahasia sendiri rapat-rapat. "Awww."Tangan Ayasya berdarah teriris pisau. Ia gegas membersihkan jari telunjuk kiri ke wastafel."Kamu kenapa?"Mendengar suara asing dari dapur, Xaba lantas beranjak dari kamar."Kurang hati-hati mengiris sayur, Mas."Tidak seperti biasa menurut Xaba."Melamun? Lamunin apa, sih?"Xaba mencolek dagu Ayasya, mencoba menghibur tunangannya."Gak ada, Mas. Hanya kurang fokus saja."Ayasya menuju kotak P3K, mengambil cairan antiseptik lalu membalut dengan plester luka."Sudah beres," ucap Ayasya. Xaba memerhatikan Ayasya dengan seksama."Jangan pikirkan hal lain sewaktu memegang pisau, harus konsentrasi, bila tidak, bisa melukai diri sendiri."Ayasya menghela napas lalu mengangguk menyetujui perkataan Xaba. Pesan Elang sangat memenga
"Pak, lengan saya ini sakit lagi," rungut Batari seraya menunjukkan pada Xabier yang telah siap beristirahat malam hari.Sejak pemberitaan tentang Wisang, Batari didiamkan oleh Xabier. Merasa ada yang kurang.Xabier bangkit dari rebahnya. "Sakit kenapa?" tanyanya dengan paras khawatir. Wajah Batari meringis menunjukkan kalau sakitnya benar-benar mengganggu."Perbannya tidak apa-apa. Di dalam sakit sekali, 'kah?" tanya Xabier sambil mengelus pelan luka Batari.Batari mengangguk sambil mengintip dari sudut mata bagaimana ekspresi suaminya. Ia tertawa samar, Xabier masih cemas bila dirinya kenapa-napa."Kamu jangan dulu urusan dapur sampai sembuh total, Bu." Xabier malah menggerutu. "Mau ke rumah sakit buat periksa?"Batari menggeleng, menolak ide Xabier. "Ini tadi karena Bapak tepis tangan saya waktu nonton, jadi agak sakit," rengek Batari. "Iya, 'kah? kekencengan aku awasin tangan kamu, ya."Batari mengangguk lagi membenarkan perkataan Xabier. "Maaf, ya. Aku kalau menyangkut 'orang
Restoran mewah yang dipesan oleh Xaba memikat hati Ayasya. Ini pengalaman baru lagi buatnya, masuk ke restoran yang mengusung interior elegan.Ruang makan menampilkan replika akar pohon yang menggantung di udara. Ada pula pepohonan di sekitar mereka.Dari ketinggian saat ini, mereka bisa melihat keluar pemandangan indah gemerlap lampu kota Jakarta. Sungguh menakjubkan bagi Ayasya."Kamu cantik."Ayasya terfokus pada arsitektur restoran, lain hal dengan Xaba yang sedari tadi menatap paras Ayasya yang ceria seolah-olah itulah pemandangan menarik dibanding yang lain.Ayasya tersipu malu, temaram lampu ruangan menyembunyikan bagaimana merona pipinya kini. Dipuji Xaba menjadi kesukaan bagi dirinya sendiri."Mas juga sangat tampan." Lagi-lagi Ayasya malu melontarkan pujian hingga ia tertunduk tidak mampu menatap manik pria yang sebentar lagi akan menjadi kekasihnya."Aku harap kamu suka tempat ini."Ayssya menyapu pandangan ke sekeliling ruangan. Hanya ada mereka berdua saat ini serta bebera
Menemani Xaba bekerja ke Jakarta menjadi momen indah untuk Ayasya. Suasana berbeda ia rasakan."Mas, untuk berlian pesanan Mas itu, biar saya saja yang ambil ke tokonya, ya," tawar Ayasya malam hari seusai makan malam di unit Xaba. Xaba memberi perhatian, menaruh ponselnya di meja.Selagi Xaba mencerna tawaran itu. Ayasya kembali melanjutkan. "Kita tidak lama di Jakarta, sementara Mas masih harus bekerja. Biar saya saja," lanjut Ayasya."Setelah itu, tidak kemana-mana lagi, 'kan?""Tidak. Langsung pulang.""Ada pengawalan buat kamu seperti biasa, ya. Bila ada keperluan atau hal mencurigakan kamu bisa meminta bantuan mereka."Ayasya memasuki sebuah toko berlian. Pada hari-hari sebelumnya, Xaba menunjukkan sebuah berlian yang bakal dipakai calon istrinya di pernikahan mereka.Bantahan Ayasya untuk tidak menghabiskan uang membeli perhiasan mahal tidak didengar oleh Xaba."Berlian juga bentuk investasi, Ayas. Kamu akan terlihat cantik di pesta nanti," ucap Xaba kala itu."Berarti saat in
Batari diharuskan untuk rawat inap lantaran ada luka terbuka di bagian lengan dan bahu akibat pecahan kaca mobil mengenai dirinya."Malam ini saya saja yang menjaga Ibu, Pak, Mas," tawar Ayasya. Akhirnya, Xaba meminta Ayasya datang ke rumah sakit.Xaba dan Xabier saling pandang."Bapak saja, tidak masalah.""Ayas benar, Pa. Keadaan Papa kena benturan juga akan sulit mengurus Ibu di rumah sakit. Aku yang bantu Papa di rumah. Ayas menjaga Ibu di sini."Melihat kondisinya sendiri, barulah Xabier menerima ide dari putra dan calon menantunya."Kamu cepat beritahu kalau ada yang janggal atau kondisi ibu terbaru Ibu, ya," ucap Xaba sembari membelai kepala Ayasya. "Ada penjaga yang bertugas. Kasus rem blong ini juga sudah ditangani pihak berwajib."Xabier mengatakan demikian agar ada rasa aman dalam diri Ayasya selama menjaga Batari di rumah sakit.Xaba dan Xabier berpamitan pada Ayasya, Batari berbaring di ranjang dalam keadaan terlelap.Ayasya mengusap lengan Batari, ia iba dengan keadaan ca