Ketukan pintu di rumah Batari membuat Xabier panik. Ingin rasanya pria itu membekap mulut Batari yang menangis sambil teriak. Namun, masalah tidak akan selesai dengan jalan kasar seperti itu.Xabier mengambil langkah menuju ke pintu utama. Ia membuka dan melihat ibu tadi yang pertama kali menyambut kedatangan Batari. Sayangnya, Xabier belum berkenalan.Senyuman canggung dilepas pria itu. "Malam Bu," ujarnya sembari menggaruk kepala belakangnya. "Maaf, tadi kita belum berkenalan," lanjutnya."Oh...," ibu itu menepuk keningnya. "Saya Ningsih," jawabnya."Itu kenapa Tari menangis-nangis? Kencang sekali. Tadi Ibu lewat sayup terdengar suara tangisan dari sini," jelas Ningsih."I... iya, Bu. Tolong Ibu bantu tenangkan Tari. Dia masih sedih karena ingat budenya sudah meninggal," jawab Xabier sebagai alasan.Ningsih mengangguk. "Saya boleh masuk buat temui Tari?" tanyanya.Pria itu begitu antusias menerima tawaran Ningsih. Dia memang tidak mampu menenangkan Batari, perempuan itu sangat alerg
Batari telah menunaikan ibadah subuhnya. Tadi malam, setelah ia masuk ke dalam kamar dan menghalangi pintu dengan lemari kayu, barulah ia bisa terlelap. Perempuan itu mendengar suara tepukan dari arah ruang tamu yang remang. Ia agak berhati-hati, sambil menggenggam sapu di tangan Batari berjalan perlahan. Ia mengintip dari balik dinding kayu, suara apa gerangan yang mencurigakan itu.Batari boleh merasa lega, ia melihat bahwa pelakunya adalah Xabier yang sedang berperang dengan nyamuk yang menggaduh tidurnya.Pria itu tidak terbangun, tepukan berpindah-pindah dilayangkannya. Batari tersenyum masam melihat Xabier yang sibuk mengatasi nyamuk. Nuraninya menegur agar memberi selimut pada pria itu, tetapi sisi yang lain memintanya membiarkan.Batari memilih berbalik ke dapur tanpa mempedulikan Xabier lagi. Ia menyalakan tungku api untuk memasak air hangat dan membuat sarapan.Aroma wangi masakan menggugah indera penciuman Xabier. Ia orang yang paham tentang masa
Batari tersentak begitu namanya dipanggil. Ia menoleh ke belakang, didengarnya Wisang mencarinya. Namanya dipanggil beberapa kali. Gegas Batari membersihkan bibirnya dan menaruh mangkuk serta gelas ke dalam ember. Perempuan itu keluar dari dapur. Wisang telah berada di ruang tamu, berdiri sambil menjinjing sebuah tas."Ya..., eh... Ma... Mas Wisang mencari Tari?" tanyanya gugup. Pria itu memandang Tari dengan seksama. Perempuan pujaan hati Wisang memilih pria lain yang jauh lebih mapan dari dirinya."Mas antar makanan dari Ibu. Ibu tidak bisa ke sini, diminta Ayah menemani ke kebun," ujarnya sembari menjulurkan tas berisi makanan."Makasih ya, Mas." Batari menundukkan sedikit tubuhnya lalu menerima bungkusan dari Wisang.Pria desa itu melihat keadaan sepi. "Kemana suamimu?" tanya Wisang menyapu pandangan ke seluruh ruangan."Em... e...." Batari bingung menjawab. Suaminya tidak berpamitan tadi. "Mungkin ke sungai, Mas," jawabnya
Para pemburu berita tetap dijamu tepat di hari Xabier pergi bersama Batari ke Desa Adiluhur. Karyawannya memberitahukan kedukaan yang dialami oleh mereka sehingga konferensi pers akan dijadwalkan ulang.Pagi ini, Andalaska mengunjungi restoran pusat milik putranya untuk mencari informasi mengenai Xabier. Sayangnya, ia tidak mendapat apa-apa karena Domarita, sekretaris Xabier, minim informasi."Domarita juga tidak tahu Xabier akan sampai kapan di desa itu," decaknya kesal. Andalaska baru saja kembali dari ruangan Domarita.Serafina turut mendongkol karena pemotretan untuk besok diprediksi gagal. Meskipun demikian, dalam perjanjian kerja dengan Xabier disebutkan bahwa jadwal yang gagal bisa diulang kembali di waktu yang disepakati bersama."Apa Xabier sudah punya perasaan khusus pada perempuan itu, Tante? Sampai mau menemani ke sana?" tanya Serafina curiga. Mereka saat ini duduk di salah satu ruangan privat restoran milik Xabier untuk sarapan bersam
Batari terbangun dengan pening yang mendera. Ia berusaha menegakkan tubuhnya dengan sisa kekuatannya. Baru setengah bangkit, perempuan itu memuntahkan isi perutnya hingga mengenai baju dan rok panjangnya.Ia menggeser tubuhnya ke belakang agar dapat menyender di kepala dipan. Lelah benar dirasakannya hanya sekedar untuk muntah. Menarik nafas panjang, Batari berusaha untuk turun dari dipan.Dia berniat ke lemari mengambil pakaian ganti sebab yang dikenakan telah basah, menguar aroma kurang menyegarkan. Belum lagi kedua kakinya menyentuh lantai, suara seseorang menyela dengan kencang."Jangan turun!" Teriakan itu mendenging di teling Batari. Ia naikkan kakinya kembali dan merebahkan tubuhnya."Saya mau ganti pakaian, Pak." Ia menjelaskan maksudnya."Sebentar lagi Ibu Ningsih akan ke sini," ujarnya saat masuk ke kamar. "Kamu bau sekali!" nilai Xabier sembari menutup hidungnya begitu melihat muntahan di pakaian istrinya."Ya, Bapak keluar saja." Batari masih
Xabier mengamati ponselnya. Semenjak dia menginjakkan kaki di Desa Adiluhur, belum satupun orang yang dihubungi. Bagaimana tidak? Sinyal komunikasi belum masuk ke desa terpencil ini. Ini hari ketiga bagi Xabier. Jadwal pemotretannya terlewat begitu saja. Demikian pula dengan kunjungan ke cabang restoran lainnya, tidak bisa terlaksana. Xabier berjalan mondar-mandir di teras rumah, memikirkan apakah ia tinggalkan saja Batari di desa ini. Pemburu berita toh tidak akan sampai ke desa ini mengingat korbanan yang harus dikeluarkan begitu besar. Saat Xabier memutuskan akan melepaskan Batari, mendadak memori lama perceraian orang tua mendesak pikirannya. Menguat rasa benci pada ayahnya yang telah meninggalkan ibu, adik, dan dirinya sendiri. Muncul ingatan akan perlakuan sewenang-wenang ayahnya, berujung pada pengajuan surat perceraian dari ibunya. Xabier masih menyimpan kenangan pahit itu. Pertengakaran ayah dan ibunya setiap hari tidak terelakkan. Xabier bahkan pernah meninggalkan rumah
Di lokasi pemotretan pada hari yang sama, Serafina sedang mondar-mandir di sebuah ruangan. Dugaannya benar, pemotretan hari ini batal karena pria itu masih belum kembali."Apa Xabier mengatakan kapan kembali?" tanya Serafina pada Guidom.Pria itu menggeleng. "Kalau aku tahu kapan dia kembali, hari ini aku tidak akan berkunjung ke studio. Lebih baik aku memperdalam teknik pengambilan gambar outdoor," jawab Guidom sembari membersihkan kamera yang biasa digunakan untuk memotret.Guidom melihat gerakan tubuh Serafina menandakan sedang gelisah. "Dia akan bertanggung jawab terhadap kontrak kerjanya. Tidaknperlu khawatir," ucap Guidom berusaha menenangkan temannya.Serafina tidak puas mendengar ucapan Guidom itu. "Aku tidak memikirkan kontrak kerja, yang aku pikirkan adalah Xabier," sanggah Serafina. Ia berhenti mondar-mandir lalu duduk di sebelah Guidom."Bagaimana ia bisa hidup berhari-hari di desa yang jauh, dan... dan mungkin fasilitasnya ti
Batari tengah sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Pagi ini sesuai rencana Xabier akan kembali ke kota Surabaya tempat utamanya beraktivitas. Pria itu sedang di ruang tamu memeriksa kembali keperluan yang akan dibawa pulang.Dari pekarangan, terdengar suara memanggil nama Batari. Xabier mengintip sedikit dari jendela. Di sana ada Ningsih dan Wisang, sebenarnya Xabier tidak berniat untuk menemui keduanya.Terlihat Batari tergesa-gesa menuju arah pintu rumah yang terbuka setengah. "Ya Bu, maaf ya... Tadi Tari masak di dapur. Baru kedengaran," ujarnya tersenyum manis. Ia mengangguk dan sedikit menundukkan tubuhnya memberi rasa hormat pada kedua tamunya."Woh, Ibu terlambat ya, padahal Ibu sudah siapin sarapan untuk kamu dan Nak Xabier," terangnya mengangkat bungkusan plastik. "Tapi, ndak papa masakanmu bisa dibuatkan bekal untuk suami," ujar Ningsih, menyerahkan bungkusan ke tangan Batari."Ibu sama Mas Wisang masuk, nggih?" tawar Batari menggeser tubuhnya."Ndak usah, Nduk. Kami sekalian
Kesehatan Ayasya membaik, suhu tubuh telah kembali normal dan muntah tidak lagi menghantui keseharian di rumah sakit. "Moga tidak sakit lagi menjelang pernikahan nanti," ucap Ayasya berjalan menuju lobi rumah sakit.Hari ini, Ayasya diizinkan pulang ke rumah oleh pihak rumah sakit. Betapa senang Ayasya karena ia pun merasa jauh lebih sehat dibanding beberapa hari lalu.Ayasya dijemput oleh Xaba, sementara itu keluarga Santos yang lain memiliki kesibukan sendiri.Xaba sengaja menggunakan jasa pengemudi agar dirinya bisa duduk berdekatan dengan Ayasya di bangku penumpang belakang."Ayas, aku mau bertanya."Ayasya yang duduk menyender ke lengan Xaba menegakkan tubuh lalu menoleh pada Xaba. Kendaraan melaju menuju kediaman Santos."Apa, Mas?" tanyanya."Kamu keturunan dari Dewandaru apakah kamu mau mengurus hak sebagai ahli waris?" tanya Xaba yang sejurus kemudian dihadiahi pelototan dari Ayasya. "Eh, bukan maksud aku macam-macam, tidak seperti pikiran kamu, ya. Hanya bertanya, bila kam
Elang masuk begitu saja ruang rawat Ayasya bermodalkan pesan alamat dan nama ruang rawat inap yang dikirim oleh Ayasya. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Elang di saat Ayasya tengah berbaring di ranjang pasien. Raut sendu memancarkan kecemasan dari Elang.Sontak Ayasya bangkit menyender dengan mata membelalak sejenak lalu normal kembali."Tidak."Elang mendekat hingga membuat gerakan bergeser ke sudut pada Ayasya."Stop di sana, Elang! Katakan cepat soal papa saya," tuntut Ayasya yang sebenarnya masih memerlukan istirahat. Dengan sisa keberanian, ia memberi tahu lokasi rumah sakit tempatnya dirawat dengan tujuan mengetahui kisah lama orang tuanya."Apa kita bisa bicara baik-baik, Ayas, tanpa ada nada suara yang tinggi?"Elang berjalan bertambah dekat ke arah Ayasya. Tangan Ayasya terkepal di balik selimut rumah sakit. Baginya, Elang terlalu mengulur waktu. "Sebagian sudah saya ceritakan pada kamu. Kamu adalah putri dari Sri dan seorang pengusaha bernama Dewandaru. Anak di luar pernikahan
Elang sengaja bepergian ke Surabaya untuk menemui Ayasya. Sepanjang penerbangan, tidak luntur senyum di balik masker yang dikenakan.Beralasan akan mengunjungi makam orang tua dan lembaga pendidikan swasta yang dimiliki keluarga Dewandaru, langkah Elang menjejak ke Surabaya kembali.Bayangan Ayasya begitu lekat dalam pikiran Elang. Perempuan manis yang menarik hati sejak zaman mereka menimba ilmu di kampus milik keluarga Dewandaru.Lain hal dengan Ayasya yang gelisah pagi ini, suhu tubuhnya meningkat."40 derajat. Bagaimana perasaan kamu?" tanya Xinta yang duduk di samping ranjang. Ia seorang dokter yang mengetahui cara menurunkan demam, tetapi butuh pengujian lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada penyakit tersembunyi di balik demam.Di situ berdiri pula Xaba dan Batari yang khawatir terhadap kondisi Ayasya. Xinta meminta mereka semua memakai masker selama berada di dekat Ayasya. "Pusing, sakit otot, dingin," jawab Ayasya sambil menggigil dan terbatuk-batuk serta hidung pun sampai
"Pak, lagi-lagi kita dikirim surat kaleng. Kali ini sarung tangan bayi dan foto lama Sri. Buat apa itu semua, Pak? Apa hubungan ke kita?"Sewaktu Batari dan Xabier berdiskusi di ruang keluarga, tanpa sengaja Ayasya menguping pembicaraan. Tadinya, hanya sekedar lewat menuju dapur.Namun, suara riuh menjelang tengah malam menarik Ayasya untuk mengetahui apa yang dibicarakan. "Sulit untuk dimengerti maksud pengirim. Mau dilaporkan ke pihak berwajib, tapi kali ini tidak ada ancaman di isi suratnya."Menggigit bibir sendiri, Ayasya gelisah berdiri di ujung dinding. Tidak ingin ketahuan, buru-buru Ayasya meninggalkan tempat menuju ke kamar pribadinya. "Apa maunya Elang? Sampai nekat. Jahat sekali," ujar Ayasya sambil duduk di ujung ranjang. Keesokan pagi, Ayasya sengaja bangun pagi lalu jalan-jalan ke halaman besar kediaman Santos. Rasa penasaran membuatnya singgah ke pos jaga. "Olahraga, Bu?" sapa seorang penjaga."Ya, Pak."Demi apa Ayasya menjadi pribadi berbeda hari ini. Biarlah pik
Mengingat hingga malam Xaba akan syuting, terlintas niat Ayasya untuk menemui Elang ke restoran, menagih nama siapa ayah kandungnya.Menimbang Xaba akan keberatan bila ia mengutarakan niat bertemu Elang, Ayasya masih menyimpan rahasia sendiri rapat-rapat. "Awww."Tangan Ayasya berdarah teriris pisau. Ia gegas membersihkan jari telunjuk kiri ke wastafel."Kamu kenapa?"Mendengar suara asing dari dapur, Xaba lantas beranjak dari kamar."Kurang hati-hati mengiris sayur, Mas."Tidak seperti biasa menurut Xaba."Melamun? Lamunin apa, sih?"Xaba mencolek dagu Ayasya, mencoba menghibur tunangannya."Gak ada, Mas. Hanya kurang fokus saja."Ayasya menuju kotak P3K, mengambil cairan antiseptik lalu membalut dengan plester luka."Sudah beres," ucap Ayasya. Xaba memerhatikan Ayasya dengan seksama."Jangan pikirkan hal lain sewaktu memegang pisau, harus konsentrasi, bila tidak, bisa melukai diri sendiri."Ayasya menghela napas lalu mengangguk menyetujui perkataan Xaba. Pesan Elang sangat memenga
"Pak, lengan saya ini sakit lagi," rungut Batari seraya menunjukkan pada Xabier yang telah siap beristirahat malam hari.Sejak pemberitaan tentang Wisang, Batari didiamkan oleh Xabier. Merasa ada yang kurang.Xabier bangkit dari rebahnya. "Sakit kenapa?" tanyanya dengan paras khawatir. Wajah Batari meringis menunjukkan kalau sakitnya benar-benar mengganggu."Perbannya tidak apa-apa. Di dalam sakit sekali, 'kah?" tanya Xabier sambil mengelus pelan luka Batari.Batari mengangguk sambil mengintip dari sudut mata bagaimana ekspresi suaminya. Ia tertawa samar, Xabier masih cemas bila dirinya kenapa-napa."Kamu jangan dulu urusan dapur sampai sembuh total, Bu." Xabier malah menggerutu. "Mau ke rumah sakit buat periksa?"Batari menggeleng, menolak ide Xabier. "Ini tadi karena Bapak tepis tangan saya waktu nonton, jadi agak sakit," rengek Batari. "Iya, 'kah? kekencengan aku awasin tangan kamu, ya."Batari mengangguk lagi membenarkan perkataan Xabier. "Maaf, ya. Aku kalau menyangkut 'orang
Restoran mewah yang dipesan oleh Xaba memikat hati Ayasya. Ini pengalaman baru lagi buatnya, masuk ke restoran yang mengusung interior elegan.Ruang makan menampilkan replika akar pohon yang menggantung di udara. Ada pula pepohonan di sekitar mereka.Dari ketinggian saat ini, mereka bisa melihat keluar pemandangan indah gemerlap lampu kota Jakarta. Sungguh menakjubkan bagi Ayasya."Kamu cantik."Ayasya terfokus pada arsitektur restoran, lain hal dengan Xaba yang sedari tadi menatap paras Ayasya yang ceria seolah-olah itulah pemandangan menarik dibanding yang lain.Ayasya tersipu malu, temaram lampu ruangan menyembunyikan bagaimana merona pipinya kini. Dipuji Xaba menjadi kesukaan bagi dirinya sendiri."Mas juga sangat tampan." Lagi-lagi Ayasya malu melontarkan pujian hingga ia tertunduk tidak mampu menatap manik pria yang sebentar lagi akan menjadi kekasihnya."Aku harap kamu suka tempat ini."Ayssya menyapu pandangan ke sekeliling ruangan. Hanya ada mereka berdua saat ini serta bebera
Menemani Xaba bekerja ke Jakarta menjadi momen indah untuk Ayasya. Suasana berbeda ia rasakan."Mas, untuk berlian pesanan Mas itu, biar saya saja yang ambil ke tokonya, ya," tawar Ayasya malam hari seusai makan malam di unit Xaba. Xaba memberi perhatian, menaruh ponselnya di meja.Selagi Xaba mencerna tawaran itu. Ayasya kembali melanjutkan. "Kita tidak lama di Jakarta, sementara Mas masih harus bekerja. Biar saya saja," lanjut Ayasya."Setelah itu, tidak kemana-mana lagi, 'kan?""Tidak. Langsung pulang.""Ada pengawalan buat kamu seperti biasa, ya. Bila ada keperluan atau hal mencurigakan kamu bisa meminta bantuan mereka."Ayasya memasuki sebuah toko berlian. Pada hari-hari sebelumnya, Xaba menunjukkan sebuah berlian yang bakal dipakai calon istrinya di pernikahan mereka.Bantahan Ayasya untuk tidak menghabiskan uang membeli perhiasan mahal tidak didengar oleh Xaba."Berlian juga bentuk investasi, Ayas. Kamu akan terlihat cantik di pesta nanti," ucap Xaba kala itu."Berarti saat in
Batari diharuskan untuk rawat inap lantaran ada luka terbuka di bagian lengan dan bahu akibat pecahan kaca mobil mengenai dirinya."Malam ini saya saja yang menjaga Ibu, Pak, Mas," tawar Ayasya. Akhirnya, Xaba meminta Ayasya datang ke rumah sakit.Xaba dan Xabier saling pandang."Bapak saja, tidak masalah.""Ayas benar, Pa. Keadaan Papa kena benturan juga akan sulit mengurus Ibu di rumah sakit. Aku yang bantu Papa di rumah. Ayas menjaga Ibu di sini."Melihat kondisinya sendiri, barulah Xabier menerima ide dari putra dan calon menantunya."Kamu cepat beritahu kalau ada yang janggal atau kondisi ibu terbaru Ibu, ya," ucap Xaba sembari membelai kepala Ayasya. "Ada penjaga yang bertugas. Kasus rem blong ini juga sudah ditangani pihak berwajib."Xabier mengatakan demikian agar ada rasa aman dalam diri Ayasya selama menjaga Batari di rumah sakit.Xaba dan Xabier berpamitan pada Ayasya, Batari berbaring di ranjang dalam keadaan terlelap.Ayasya mengusap lengan Batari, ia iba dengan keadaan ca