100Aku tidak mau menemuinya. Untuk apa lagi? Aku masih sangat marah dan sakit hati atas semua perbuatannya. Yang terakhir saat mencium paksa kemarin. Ternyata, ia masih saja ingin melecehkanku, padahal sudah membuangku begitu menyakitkan. Kenapa? Belum puaskan menyakitiku? Kemarin, semua memang berakhir damai. Pak Alvin dan Tuan Sultan sama-sama minta maaf atas perkelahian di lorong toilet itu. Namun, aku yakin itu hanya agar urusan tak panjang hingga ke polisi. Pihak empunya acara pun berusaha menutupi kejadian yang tidak elok itu, agar semua tidak ada yang malu dan dirugikan. Namun, kalaupun benar mereka sudah saling memaafkan, apa hatiku serta-merta baik-baik saja? Mereka berdua lupa, jika di sini ada korban lain yang lebih sakit. Yaitu aku. Hatiku lebih sakit diperlakukan seperti itu lagi dan lagi. Entah ke mana otak laki-laki itu, hingga ia seolah sengaja menunggu hanya untuk melecehkanku. Dan sekarang, masih datang ke sini. Apa urat malunya sudah putus? Entah dari mana di
101Aku duduk dengan lemas setelah menjawab beberapa pertanyaan dari Pak Polisi. Ternyata, setelah melihat ponsel, Fera memang menghubungiku, tetapi karena HP di-silent dan aku tertidur pulas, tak mendengar panggilannya. Ternyata juga, Fera mengirim beberapa Foto yang ke semuanya tidak jelas, blur. Sepertinya ia mengambil foto dengan terburu-buru. Dengan berjalan atau berlari. Entah objek apa yang ia potret. Kenapa kematian Fera jadi meninggalkan teka-teki? Kalau benar ada yang sengaja menabraknya, siapa? Dan kenapa? Aku yakin, seorang OG sepertinya tidak akan memiliki musuh yang sampai tega melenyapkan nyawa seseorang. Beda dengan orang penting seperti pengusaha, mungkin. Mereka pantas jika memiliki musuh yang sampai tega melenyapkan nyawa. Persaingan dunia bisnis sangat kejam. Kepalaku berdenyut nyeri. Rasa sedih karena kehilangan Fera, harus ditambah dengan rasa pusing memikirkan misteri yang disampaikan Bapak Polisi. Aku memijat pelipis yang berdenyut saat ponsel dalam tas
102Ini adalah hari pertunanganku. Walaupun masih suasana berkabung, kami tetap melanjutkan rencana awal, karena semua sudah terencana dengan rapi. Aku tidak mungkin membatalkan acara yang sudah disusun rapi ini dengan alasan masih berduka. Nama baik Pak Alvin dan Bunda taruhannya. Maaf Fera, bukan aku tidak menghargaimu. Toh, doaku selalu terpanjat untukmu. Pak Alvin sudah mengundang banyak tamu. Padahal ini hanya acara pertunangan. Ia ingin acara yang meriah. Keinginan Pak Alvin ini didukung pula oleh bunda yang sudah lama ingin melihat anak semata wayangnya menikah. Jadilah aku tidak bisa menolak walaupun sebenarnya keberatan dengan acara yang menurutku terlalu berlebihan. Kemarin sepulang dari rumah orang tua Fera, aku langsung diantar ke rumah Bunda oleh Pak Alvin. Ia khawatir bila aku pulang ke rumah kost, akan semakin sedih karena terus mengingat Fera. Jadilah aku di rumah Bunda hingga hari ini. Pak Alvin sendiri seperti biasa pulang ke apartemennya. Tidak pernah menginap
103“Viola?” Pak Alvin dengan wajahnya yang mendadak pucat, menatapku kaget. “A-da apa?” lanjutnya gagap. Aku menatap bergantian dua laki-laki yang berdiri berdampingan memenuhi rongga pintu. “Kita ada jadwal kelas pranikah sekali lagi, bukan?” Kini kufokuskan tatapan hanya kepada Pak Alvin yang mengerutkan kening sebelum wajahnya berangsur normal. Begitu cepat ia menguasai keadaan. “Oh, iya lupa. Ayo masuk dulu,” jawabnya kikuk seraya menyingkir dari pintu dan mengisyaratkan laki-laki di sampingnya agar menyingkir juga. Aku masuk lalu menuju sofa yang ditunjuk Pak Alvin di ruang tamu, sebelum laki-laki yang hanya memakai celana pendek itu memperkenalkan laki-laki cantik di sebelahnya. “Oh, ya. Vio, kenalkan ini ... Vion, oh maksudku Vino. Dia temanku, dan kebetulan sedang menginap di sini.” Pak Alvin menoleh ke arah laki-laki cantik yang sejak kedatanganku memasang wajah masam. Tak ada raut ramah sama sekali di sana. Apa laki-laki itu tidak tahu jika aku calon istri pemilik ap
104Tak lama aku mencuci piring kotor. Lalu saat berbalik dan menghadap lagi ke arah meja makan, kulihat Pak Alvin dan Vino sedang berdiri berhadapan dengan tangan Pak Alvin digerakkan sepanjang bibirnya, seperti sedang menutup resleting. Yang kutahu isyarat itu adalah untuk mengunci mulut. Keningku berkerut dalam. Pak Alvin sepertinya menyadari jika aku tengah memperhatikan mereka. Lelaki itu menoleh dan langsung menjauhkan dirinya dari Vino dan memasang senyum manis lagi. Senyum yang menurutku dibuat-buat, karena biasanya Pak Alvin tidak seperti ini. Pagi ini entah sudah berapa puluh kali ia menghadiahiku senyum manisnya itu. “Kau tunggu lagi sebentar, ya. Aku ambil jas di kamar. Setelah itu kita langsung berangkat!”Aku hanya mengangguk untuk menjawab ucapannya. Kemudian mengelap tupperware karena akan kubawa lagi, hingga tidak menyadari jika laki-laki bernama Vino berjalan menghampiri. Dia memukul meja di depanku walaupun tidak keras, kemudian melipat tangan di dada, dan deng
105Aku menyandar dengan lemas di dinding mengkilap warna silver itu. Sungguh, semua membuat duniaku hancur dalam sekejap. Aku menekan kuat dada yang terasa sakit luar biasa. Belum pernah aku merasakan sakit begitu hebat seperti ini. Sakit diperlakukan rendah oleh keluarga Arman. Sakit disiksa Yuni, sakit ditipu Tuan Sultan, tetapi semua bisa kulewati karena masih dalam batas wajar. Namun, sakit yang ini, sungguh luar biasa. Bagaimana tidak? Hari pernikahan yang tinggal beberapa hari, persiapan yang hampir rampung, calon suami sempurna dan idaman, calon mertua yang menyayangi. Semua begitu sempurna. Namun kini, apa yang kuterima? Bukan surga dunia yang Pak Alvin berikan, melainkan kotoran yang ia lemparkan ke wajah ini. Ia menjadikanku tameng agar hubungan terlarangnya aman. Ia menjadikanku topeng agar ibunya, dan semua orang yakin jika ia lelaki normal yang akan menjalani pernikahan pada umumnya. Ini, lebih menyakitkan daripada diputuskan sepihak. Atau dibatalkan pernikahan.
106Aku mengerjap untuk menghalau silau. Cahaya yang masuk ke mata membuatku yang baru terbangun harus mengerjap berkali-kali untuk menyesuaikan diri. Aku memicing sebelum mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan tempatku berada kini. Tempat yang pengap. Hanya sinar matahari yang masuk dari jendela kaca kecil di bagian atas dinding yang menerangi ruangan ini. Barang-barang yang disusun tak teratur di pojok ruangan. Bertumpuk dan saling menimbun. Sarang laba-laba di mana-mana, debu yang tebal, dan ah, tempat ini seperti ... gudang. Ya gudang yang lama tidak terjamah tangan manusia. Kenapa aku ada di sini? Aku memindai diri ini. Duduk di bangku kayu dengan kedua tangan ke belakang. Saat kugerakkan, terasa sulit sekali. Ternyata kedua tangan ini diikat, disatukan dengan bangku yang kududuki. Siapa yang mengikatku seperti ini? Di mana aku? Tiba-tiba ketakutan meraja, apalagi saat ingin berteriak meminta tolong, aku baru sadar jika mulut ini dibekap sesuatu. Mungkin sebuah kain k
107Aku menajamkan penglihatan dengan menahan napas. Namun, beberapa detik kemudian memicingkan mata. Orang yang baru masuk pun asing bagiku. Kali ini pria lebih muda dari dua pria sebelumnya. Tangannya menenteng sebuah plastik hitam. “Bos, ada keperluan dulu. Belum bisa datang. Nih, suruh dia makan dulu, dan ingat jangan diapa-apakan dulu sebelum bos datang. Kalau dia kenapa-napa, kalian yang mati!”Pria muda yang baru datang, melemparkan bungkusan plastik di tangannya ke arah dua pria bertato. Salah satu pria bertato menangkap bungkusan itu. Kemudian menghampiriku lebih dekat setelah pria muda meninggalkan ruangan ini. “Ayo makan dulu, Cantik. Agar kau tetap kuat dan bertenaga. Kami tidak mau bersenang-senang dengan wanita lemas.”Lagi, kalimat kotor terlontar dari mulut busuk mereka. Aku ingin menangis, tetapi sekuat tenaga kutahan agar tidak terlihat lemah di depan dua preman ini. Tiba-tiba sebuah ide terlintas. “Berapa bos membayar kalian?” Dengan menguatkan hati, kutatap d
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan