29Aku mulai menjalani hari-hari dengan profesi dobel, sebagai pelayan dan juga sekretaris Tuan Sultan. Lelah? Tentu saja. Sangat melelahkan malah, karena pekerjaan rumah tetap kujalani walaupun ada beberapa kelonggaran. Belum lagi di kantor. Aku yang masih kaku, kadang harus bolak-balik mengerjakan pekerjaan yang sama, karena Tuan Sultan tidak puas dengan kinerjaku. Karena setiap hari lelah bekerja di rumah dan kantor, praktis setiap malam aku langsung tertidur begitu masuk kamar. Hingga tak sempat lagi mengunyah aneka camilan yang kubeli tempo hari. Akhirnya, sekantong kresek besar makanan itu hanya teronggok di atas meja. Mungkin nanti aku akan memberikan kepada Marini atau siapa pun daripada mubazir. Tak terasa tiga bulan sudah aku menjalani pekerjaan ini. Aku mulai terbiasa dengan ritme kehidupan teratur yang kujalani semenjak bekerja untuk Tuan Sultan. Naik turun tangga ke kamarnya, bukan lagi hal berat bagiku. Aku bahkan bisa melakukan sambil meloncat-loncat atau berlari k
30Aku duduk kembali tanpa memedulikan Arman yang di mataku sangat menjengkelkan. Menyibukkan diri dengan pekerjaan dan menganggap tidak ada orang di depan meja, adalah pilihan terbaik. Aku tidak mungkin berteriak memakinya karena ini kantor. Reputasiku dipertaruhkan. Nanti orang-orang juga bisa tahu jika kami pernah menikah. “Ana, tolong buatkan aku kopi!” Suara Tuan Sultan terdengar dari interkom begitu aku mengangkat gagang telepon. Benda itu menyala saat aku kembali menyibukkan diri. “Tapi Anda sudah minum kopi dua kali hari ini, Tuan. Pak Sam bilang itu tidak baik untuk kesehatan, Anda. Bagaimana kalau saya buatkan teh atau susu saja?” Aku menjawab tanpa memedulikan Arman yang ternyata masih berdiri di depan meja. Entah apa yang dilakukannya. “Ya sudah terserah saja. Langsung bawa ke ruanganku!”“Baik, Tuan. Oh ya, ada tamu yang ingin menemui Anda.” Aku melirik Arman yang terus saja memindai diri ini. “Siapa?”“Pak Arman dari PT. Anugerah Jaya.”“Suruh masuk!”“Baik!”Aku mel
31“Anda tidak apa-apa, Tuan?” Aku kembali berlari ke arah Tuan Sultan dan membantu membersihkan wajahnya dengan tisu. Wajah Tuan Sultan merah. Begitu juga dengan Arman. Pria itu berdiri, kemudian menudingku. “Dasar sekretaris tidak becus! Apa yang kau masukkan dalam minumanku, Bola?!” Mata Arman membeliak menatapku marah. “Anda berpikir apa, Pak? Saya hanya membuatkan minuman sesuai pesanan, Anda. Kopi hitam dengan sedikit gula.”“Ya. Sedikit gula dan kau memberi banyak garam!” Dia masih menudingku, jarinya tampak bergetar. “Lihat Pak Sultan, inilah yang saya katakan jika dia tidak berkompeten. Membuat kopi saja tidak becus!” Arman berapi-api, sepertinya ingin mempengaruhi Tuan Sultan. Sayangnya hanya ditanggapi dingin oleh bosku itu. “Kita lanjutkan pertemuan ini lain waktu, Pak Arman. Sekarang silakan tinggalkan ruangan ini! Saya mau ganti baju!”Arman diam seketika mendengar ucapan Tuan Sultan. Wajahnya yang merah padam menandakan emosinya tertahan. Marah padaku, ditambah Tua
32“Ayo pasangkan dasiku, Ana! Apa yang kau tunggu? Kau bahkan belum pernah memasang dasiku sejak menjadi pelayan pribadiku. Padahal itu pekerjaanmu!”“Pekerjaan saya?” Aku berbalik setelah mengintip sebentar, dan mendapati dia sudah rapi dengan celananya. “Tentu saja! Kalau tidak percaya, kau buka saja surat kontak itu, dan kau akan menemukan poin itu di sana. Seharusnya aku menuntutmu karena sejak awal banyak aturan yang kau langgar!”“Benarkah?” Keningku berkerut. Kenapa aku merasa tidak pernah membaca poin seperti itu. “Ketahuan kau tidak betul-betul membaca surat kontrak itu saat menandatanganinya!” Ya, dia benar. Aku tidak membaca kontrak itu karena terlalu banyak poinnya. Malas. Siapa sangka kalau hal seperti itu dimasukkan dalam perjanjian kontrak. “Ayo pasangkan, atau kusuruh kau lembur sampai tengah malam sendiri di sini!”Mataku melebar mendengar ancamannya. Sementara lelaki yang barusan mengancam, kini menengadah. Ia sudah siap untuk dipasangkan dasi yang sudah menjunt
33Aku gegas menarik diri saat terdengar ribut-ribut di luar ruangan Tuan Sultan. Memutus kontak mata yang sekian lama terpaut, melibatkan bukan hanya mata kami, tetapi juga jantung yang mendadak berdetak sangat ramai. Bukan hanya jantungku, tetapi juga jantung Tuan Sultan. Ya, aku dapat merasakannya karena tubuh kami saling menempel. Kurasakan wajah ini panas dan pasti memerah. Kecanggungan meraja. Aku ingin minta maaf, tetapi suara ribut-ribut di luar ruangan membetotku agar lebih dulu keluar. “Saya lihat dulu keluar, Tuan,” pamitku tanpa melihat wajahnya. Aku malu. Lalu tanpa menunggu jawaban, aku langsung keluar dari kamar pribadi Tuan Sultan. Sudah ada Pak Sam di dalam ruang kerja yang sepertinya sengaja menunggu kami. “Ada apa ini, Pak?” Aku bertanya heran. Pak Sam memindaiku sebentar sebelum melongokkan kepala ke pintu kamar. “Di mana, Bos?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku. “Di dalam, Pak. Saya baru membantunya membersihkan diri. Tuan Sultan kena semburan kopi Pak
34Aku mengangguk ke arah Faris sebelum melangkah ke ruangan Tuan Sultan. Inilah yang aku takutkan. Bos memergoki kami. Kuharap tadi Faris langsung kembali ke ruangannya. Apalah daya sekarang Tuan Sultan sudah melihat kami. Aku mengetuk pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. Kemudian masuk sambil menunduk, saat kudapati wajah Tuan Sultan merengut merah. Lebih menakutkan dari sebelum-sebelumnya. “Waktu istirahatmu aku potong menjadi lima belas menit saja!”“Apa?” Aku berseru lebih dari kaget. Begitu masuk langsung disambut ucapannya yang membuat shock. Apa maksudnya hanya lima belas menit? “Tidak jelas?” Dia menatapku tajam. “Waktu istirahat siangmu hanya lima belas menit saja. Itu cukup untuk makan siang. Selebihnya untuk salat, kau boleh melaksanakan pada saat jam kerja.”Aku menatap nanar lelaki yang duduk di kursi roda dan memberikan perintah tak terbantah itu. Bagaimana bisa dia memotong waktu istirahatku yang seharusnya satu jam, menjadi lima belas menit saja? Itu penindasan
35Aku menjalani sisa hari ini dengan tutup mulut. Semua kulakukan dalam diam. Entah di kantor, di mobil, sampai di rumah. Tak bersuara sedikit pun, bahkan bila Tuan Sultan sengaja menyuruh sesuatu di luar tugasku. Semua kujalani saja dengan tetap menutup mulut. Hari ini aku ingat jadwal mengganti gorden dan seprei di kamar Tuan Sultan, dan aku belum sempat menggantinya tadi pagi. Sampai di rumah, aku hanya ke kamar untuk menaruh tas kerja, dan langsung menuju lantai atas dengan menaiki tangga. Sementara Tuan Sultan naik lewat lift bersama Pak Sam. Aku tiba di sana dan sudah mendapati dia tiduran di ranjangnya. Sepertinya memang kurang sehat. Karena biasanya tidak tiduran sepulang kerja. Aku bingung saat ingin permisi mengganti seprei dan selimutnya. Aku memilih langsung naik ke atas kursi tinggi, benda yang biasa kugunakan untuk mengganti gorden. Aku melirik dari atas. Lelaki itu memejam di ranjangnya. Dia tidak terganggu dengan kehadiranku. Padahal aku yakin dia tahu aku ada d
36Hari ini kujalani dengan aneh dan risih. Aku merasa tidak bisa maksimal bekerja. Berada di dalam ruangan bersama dengan Tuan Sultan dengan meja kami saling menghadap rasanya itu seperti ... ah, apa ini hanya perasaanku saja? Sejak tadi kurasakan Tuan Sultan sering menatapku lama. Sebenarnya meja kami tidak berhadapan persis. Mejaku agak ke pojok sejajar dengan pintu masuk. Sementara meja Tuan Sultan berada di tengah ruangan yang bila seseorang membuka pintu akan dapat melihat langsung mejanya. Mejaku juga menyamping posisinya bila dilihat dari meja Tuan Sultan. Namun, ekor mata ini dapat menangkap bila ada gerakan apa pun dari meja sebelah. Makanya aku tahu jika dia sering menatapku. Apa ada yang di wajah ini?Aku mengeluarkan cermin dalam kemasan bedak. Memindai wajah ini. Tidak ada yang aneh. Aku baik-baik saja, kok. Lalu, kenapa dia terus saja menatapku seolah kami baru bertemu hari ini? Ah, entahlah. Aku tak ingin dibuat lebih pusing. Namun, keheranan masih saja menggang