32“Ayo pasangkan dasiku, Ana! Apa yang kau tunggu? Kau bahkan belum pernah memasang dasiku sejak menjadi pelayan pribadiku. Padahal itu pekerjaanmu!”“Pekerjaan saya?” Aku berbalik setelah mengintip sebentar, dan mendapati dia sudah rapi dengan celananya. “Tentu saja! Kalau tidak percaya, kau buka saja surat kontak itu, dan kau akan menemukan poin itu di sana. Seharusnya aku menuntutmu karena sejak awal banyak aturan yang kau langgar!”“Benarkah?” Keningku berkerut. Kenapa aku merasa tidak pernah membaca poin seperti itu. “Ketahuan kau tidak betul-betul membaca surat kontrak itu saat menandatanganinya!” Ya, dia benar. Aku tidak membaca kontrak itu karena terlalu banyak poinnya. Malas. Siapa sangka kalau hal seperti itu dimasukkan dalam perjanjian kontrak. “Ayo pasangkan, atau kusuruh kau lembur sampai tengah malam sendiri di sini!”Mataku melebar mendengar ancamannya. Sementara lelaki yang barusan mengancam, kini menengadah. Ia sudah siap untuk dipasangkan dasi yang sudah menjunt
33Aku gegas menarik diri saat terdengar ribut-ribut di luar ruangan Tuan Sultan. Memutus kontak mata yang sekian lama terpaut, melibatkan bukan hanya mata kami, tetapi juga jantung yang mendadak berdetak sangat ramai. Bukan hanya jantungku, tetapi juga jantung Tuan Sultan. Ya, aku dapat merasakannya karena tubuh kami saling menempel. Kurasakan wajah ini panas dan pasti memerah. Kecanggungan meraja. Aku ingin minta maaf, tetapi suara ribut-ribut di luar ruangan membetotku agar lebih dulu keluar. “Saya lihat dulu keluar, Tuan,” pamitku tanpa melihat wajahnya. Aku malu. Lalu tanpa menunggu jawaban, aku langsung keluar dari kamar pribadi Tuan Sultan. Sudah ada Pak Sam di dalam ruang kerja yang sepertinya sengaja menunggu kami. “Ada apa ini, Pak?” Aku bertanya heran. Pak Sam memindaiku sebentar sebelum melongokkan kepala ke pintu kamar. “Di mana, Bos?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku. “Di dalam, Pak. Saya baru membantunya membersihkan diri. Tuan Sultan kena semburan kopi Pak
34Aku mengangguk ke arah Faris sebelum melangkah ke ruangan Tuan Sultan. Inilah yang aku takutkan. Bos memergoki kami. Kuharap tadi Faris langsung kembali ke ruangannya. Apalah daya sekarang Tuan Sultan sudah melihat kami. Aku mengetuk pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. Kemudian masuk sambil menunduk, saat kudapati wajah Tuan Sultan merengut merah. Lebih menakutkan dari sebelum-sebelumnya. “Waktu istirahatmu aku potong menjadi lima belas menit saja!”“Apa?” Aku berseru lebih dari kaget. Begitu masuk langsung disambut ucapannya yang membuat shock. Apa maksudnya hanya lima belas menit? “Tidak jelas?” Dia menatapku tajam. “Waktu istirahat siangmu hanya lima belas menit saja. Itu cukup untuk makan siang. Selebihnya untuk salat, kau boleh melaksanakan pada saat jam kerja.”Aku menatap nanar lelaki yang duduk di kursi roda dan memberikan perintah tak terbantah itu. Bagaimana bisa dia memotong waktu istirahatku yang seharusnya satu jam, menjadi lima belas menit saja? Itu penindasan
35Aku menjalani sisa hari ini dengan tutup mulut. Semua kulakukan dalam diam. Entah di kantor, di mobil, sampai di rumah. Tak bersuara sedikit pun, bahkan bila Tuan Sultan sengaja menyuruh sesuatu di luar tugasku. Semua kujalani saja dengan tetap menutup mulut. Hari ini aku ingat jadwal mengganti gorden dan seprei di kamar Tuan Sultan, dan aku belum sempat menggantinya tadi pagi. Sampai di rumah, aku hanya ke kamar untuk menaruh tas kerja, dan langsung menuju lantai atas dengan menaiki tangga. Sementara Tuan Sultan naik lewat lift bersama Pak Sam. Aku tiba di sana dan sudah mendapati dia tiduran di ranjangnya. Sepertinya memang kurang sehat. Karena biasanya tidak tiduran sepulang kerja. Aku bingung saat ingin permisi mengganti seprei dan selimutnya. Aku memilih langsung naik ke atas kursi tinggi, benda yang biasa kugunakan untuk mengganti gorden. Aku melirik dari atas. Lelaki itu memejam di ranjangnya. Dia tidak terganggu dengan kehadiranku. Padahal aku yakin dia tahu aku ada d
36Hari ini kujalani dengan aneh dan risih. Aku merasa tidak bisa maksimal bekerja. Berada di dalam ruangan bersama dengan Tuan Sultan dengan meja kami saling menghadap rasanya itu seperti ... ah, apa ini hanya perasaanku saja? Sejak tadi kurasakan Tuan Sultan sering menatapku lama. Sebenarnya meja kami tidak berhadapan persis. Mejaku agak ke pojok sejajar dengan pintu masuk. Sementara meja Tuan Sultan berada di tengah ruangan yang bila seseorang membuka pintu akan dapat melihat langsung mejanya. Mejaku juga menyamping posisinya bila dilihat dari meja Tuan Sultan. Namun, ekor mata ini dapat menangkap bila ada gerakan apa pun dari meja sebelah. Makanya aku tahu jika dia sering menatapku. Apa ada yang di wajah ini?Aku mengeluarkan cermin dalam kemasan bedak. Memindai wajah ini. Tidak ada yang aneh. Aku baik-baik saja, kok. Lalu, kenapa dia terus saja menatapku seolah kami baru bertemu hari ini? Ah, entahlah. Aku tak ingin dibuat lebih pusing. Namun, keheranan masih saja menggang
37Entah kata apa yang dapat mewakilkan perasaanku saat ini. Setelah keluar dari kantor tadi, Tuan Sultan membawaku ke sebuah butik ternama kota ini. Pemiliknya adalah temannya sendiri. Seorang wanita tinggi, langsing, dan cantik yang aku tahu seorang desainer ternama. Ia sering menjadi langganan para artis dan pesohor tanah air yang mempercayakan berbagai kostum untuk acara besar dan penting. Tuan Sultan meminta wanita itu memilihkan gaun yang cocok untuk kupakai ke pesta pernikahan nanti malam. Wanita itu bersama seorang karyawannya membawaku berkeliling butiknya. Menunjukkan berbagai koleksi mereka yang rata-rata limited edition. Aku sampai bingung sendiri memilih yang mana. Karena bagiku yang baru pertama kali melihat baju-baju bagus dan mahal seperti itu, semua terlihat indah dan bagus. Lagipula, untuk menghadiri pesta pernikahan seseorang yang bahkan tidak kukenal, kenapa aku harus tampil sempurna? Ya. Sempurna. Tuan Sultan ingin aku tampil sempurna di pesta itu. Ia mengatak
38“Kamu kenapa Arman?” Wanita laksana toko emas berjalan di depan sana terdengar bertanya. Aku menoleh ke arah mereka. Kulihat wanita itu menatap heran anaknya juga aku bergantian. “Ana, ayo masuk!” Suara Tuan Sultan membuatku mengalihkan pandangan dari mereka. Aku mengangguk seraya ingin mendorong kursi rodanya. Namun, Pak Sam mencegah. “Biar aku yang dorong. Masa wanita cantik suruh dorong kursi roda?” Pak Sam yang menyusul ke butik setelah menghandel pekerjaan kantor, mengambil alih pegangan kursi roda Tuan Sultan. Ia tersenyum seraya menggoda. “Rayuan buayanya disimpan untuk wanita-wanita di dalam sana nanti!” Suara Tuan Sultan yang terdengar ketus dan dingin membuat kami saling pandang sebelum masuk dengan mendorong kursi rodanya. Tuan Sultan yang kaku tidak suka Pak Sam memujiku. Padahal aku tahu Pak Sam hanya basa-basi saja. Aku mengikuti mereka tanpa melirik lagi rombongan keluarga toxic di belakang sana yang jadi ramai entah membahas apa. Aku tidak peduli. Tidak ada j
39Entahlah, kenapa aku tiba-tiba ingin jadi pahlawan, ya? Ingin rasanya aku mengacungkan tongkat sambil berteriak kepada semua orang yang menatap kami. ‘Dengan kekuatan bulan... aku akan menghukummu!’Tentu hanya dalam hati aku berani berteriak, karena aku sadar bukan sailormoon. Kami tiba di depan pelaminan indah di mana dua sejoli dan keluarga tengah mengalihkan pandangan ke arah kami. Aku bukan tidak tahu sejak tadi Cindy menatap tajam diri ini. Bukan! Bukan lagi menatap tajam, melainkan seolah mengulitiku dengan pandangannya hingga ke ulu hati. Kenapa ia bersikap seperti itu? Iri? Cemburu? Tidak mungkin, bukankah ia yang meninggalkan Tuan Sultan? Lalu kenapa sekarang seolah tidak rela bosku itu aku dampingi? Lihat tatapannya yang tak lepas dari gaun dan tas yang aku tenteng ini, Cindy pasti tahu persis berapa harganya. Entah kenapa, aku malah sengaja ingin memanasinya. Masih terbayang bagaimana angkuhnya dia waktu menyuruhku membuatkan minuman karena merasa dirinya akan j
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan