38“Kamu kenapa Arman?” Wanita laksana toko emas berjalan di depan sana terdengar bertanya. Aku menoleh ke arah mereka. Kulihat wanita itu menatap heran anaknya juga aku bergantian. “Ana, ayo masuk!” Suara Tuan Sultan membuatku mengalihkan pandangan dari mereka. Aku mengangguk seraya ingin mendorong kursi rodanya. Namun, Pak Sam mencegah. “Biar aku yang dorong. Masa wanita cantik suruh dorong kursi roda?” Pak Sam yang menyusul ke butik setelah menghandel pekerjaan kantor, mengambil alih pegangan kursi roda Tuan Sultan. Ia tersenyum seraya menggoda. “Rayuan buayanya disimpan untuk wanita-wanita di dalam sana nanti!” Suara Tuan Sultan yang terdengar ketus dan dingin membuat kami saling pandang sebelum masuk dengan mendorong kursi rodanya. Tuan Sultan yang kaku tidak suka Pak Sam memujiku. Padahal aku tahu Pak Sam hanya basa-basi saja. Aku mengikuti mereka tanpa melirik lagi rombongan keluarga toxic di belakang sana yang jadi ramai entah membahas apa. Aku tidak peduli. Tidak ada j
39Entahlah, kenapa aku tiba-tiba ingin jadi pahlawan, ya? Ingin rasanya aku mengacungkan tongkat sambil berteriak kepada semua orang yang menatap kami. ‘Dengan kekuatan bulan... aku akan menghukummu!’Tentu hanya dalam hati aku berani berteriak, karena aku sadar bukan sailormoon. Kami tiba di depan pelaminan indah di mana dua sejoli dan keluarga tengah mengalihkan pandangan ke arah kami. Aku bukan tidak tahu sejak tadi Cindy menatap tajam diri ini. Bukan! Bukan lagi menatap tajam, melainkan seolah mengulitiku dengan pandangannya hingga ke ulu hati. Kenapa ia bersikap seperti itu? Iri? Cemburu? Tidak mungkin, bukankah ia yang meninggalkan Tuan Sultan? Lalu kenapa sekarang seolah tidak rela bosku itu aku dampingi? Lihat tatapannya yang tak lepas dari gaun dan tas yang aku tenteng ini, Cindy pasti tahu persis berapa harganya. Entah kenapa, aku malah sengaja ingin memanasinya. Masih terbayang bagaimana angkuhnya dia waktu menyuruhku membuatkan minuman karena merasa dirinya akan j
40Aku terseok-seok mengikuti langkah Arman yang menyeret tangan ini. Entah ke mana ia akan membawaku. Yang kutahu sudah terlalu jauh meninggalkan Tuhan Sultan di dalam sana. Aku meronta minta dilepaskan, tetapi Arman tak menggubris. Hingga saat sampai di tempat agak sepi, laki-laki itu menghentikan langkahnya. “Lepas!” Aku berteriak lagi, karena walaupun langkahnya sudah berhenti, tangannya masih mencengkeram kuat. “Apa yang Anda lakukan Pak Arman? Apa Anda sudah gila? Apa yang Anda inginkan?” Aku mencoba melepaskan cengkeraman tangannya di pergelangan tangan ini. “Lepas! Sakit tahu!” Aku menghentakkan tangannya karena ia tak mau melepaskan pergelangan tangan ini. Akhirnya tanganku terlepas setelah beberapa kali menepis tangannya, aku meringis seraya mengusap pergelangan yang memerah. “Apa yang Anda inginkan?” tanyaku dengan suara tinggi. Kutatap tajam wajah tidak tahu malu itu. Dada ini bergerak sangat cepat menahan amarah. Aku marah padanya. Dia pikir siapa dirinya berani memp
41Aku berbalik kembali menghadap Arman. Begitu juga dengan Tuhan Sultan. Kami menatapnya tajam. Sementara yang ditatap menyeringai menjijikkan. “Kenapa?” tantang Arman. “Kalian tidak terima?”Aku menatapnya tajam. “Tidak kusangka mulutmu sebusuk itu, Arman!”Arman melangkah maju. Wajahnya merah. “Itu memang kenyataan! Kalian selingkuh di belakangku!” Tangannya menuding kami. “Jaga bicaramu Arman!” Aku tersulut emosi. Laki-laki tidak tahu diri itu sudah membuat kesabaranku di ambang batas. “Di antara kita tidak pernah terjadi apa pun. Mungkin kau lupa sudah menceraikan aku. Sebelum mengusirku, kau sudah menceraikanku, Arman! Apa hakmu mengatakan itu padaku?” Aku menatapnya tajam. Arman terjengkit, kemudian mengerjap. Sepertinya laki-laki itu kepalanya terbentur. Dia amnesia, lupa kalau sudah menjatuhkan talak. “I-itu baru secara agama, bukan? Secara negara kita masih terikat. Masih bisa rujuk.” Arman berkilah. Antara mual dan geli aku melihatnya. “Aku masih bisa merujukimu, Viol
42Mata ini semakin melebar. Aku marah dengan semua ucapan Arman, tetapi di sisi lain, kaget kenapa kursi roda Tuan Sultan bisa bergerak sendiri, dengan cepat pula. Namun, satu kesimpulanku, si penumpang kursi roda itu pastilah sedang murka. Ini alamat tidak baik! Jangan sampai terjadi sesuatu di sini!Dengan gerakan cepat, aku meraih hendel kursi roda Tuan Sultan, kemudian menahannya agar tidak mendekati Arman. “Tenang tuan, kita tidak boleh terpancing!” Aku menarik kursi roda Tuan Sultan menjauhi Arman. Dapat kulihat wajah Tuan sultan yang merah padam menahan amarah. Sementara di depan sana, laki-laki mulut sampah itu menyeringai penuh kemenangan. Dengan jantung yang berdetak tak teratur, aku memutar kursi roda Tuan Sultan agar tidak menghadap Arman lagi. Kemudian kembali menenangkannya. “Tuan, tenang! Tahan amarah Anda. Aku yakin Arman pasti sengaja melakukan ini, agar Anda marah dan terjadi keributan yang akan mengundang perhatian banyak orang. Jika orang-orang berkumpul, mak
44Hari yang melelahkan. Bertemu Arman dan keluarganya adalah mimpi buruk. Aku membaringkan diri di atas kasur. Tubuh yang penat sedikit rileks. Kutatap satu set perhiasan mutiara dalam kotak cantik. Besok pagi aku akan mengembalikan benda ini kepada Tuan Sultan. Rencananya, malam ini kukembalikan. Bahkan tadi aku sudah menyambanginya di atas. Akan tetapi saat melihat mood-nya buruk, aku memutuskan menundanya. Pertemuan dengan Arman dan keluarganya benar-benar mimpi buruk. Bukan hanya untukku tetapi juga Tuan Sultan. Arman dan keluarganya seperti racun yang menebarkan keburukan kepada semua orang. Bukan hanya yang mengenal mereka, bahkan orang yang baru mereka temui. Entahlah kenapa ada orang-orang seperti itu. Seolah tidak puas menjadikanku pembantu di rumah mereka, kini setelah aku punya kehidupan sendiri pun, mereka masih saja memendam kebencian. Padahal aku merasa tidak punya salah terhadap mereka. Semua yang telah terjadi, tidak menjadikan mereka menyesal. Padahal kudengar
44Aku berusaha melepaskan diri saat sadar Tuan Sultan tengah menciumiku. Aku mendorong wajahnya dengan tenaga yang ada, tetapi ia tak membiarkanku. Bukan melepaskan, ia semakin dalam menciumi bibir ini. Sebelah tangannya memelukku tubuh ini erat, sedangkan sebelah lagi menahan tengkukku. Bukan hanya mencium, ia bahkan menghisap bibirku cukup kuat. Ia juga berusaha memasukkan lidahnya ke dalam mulutku. Aku meronta, berusaha melepaskan diri, tetapi entah setan apa yang merasukinya. Ia semakin ganas. Aku meronta sekuat tenaga hingga kursi roda yang kami tumpangi meluncur mundur dan menabrak tepian ranjang. Namun, itu tak cukup membuatnya menghentikan aksi. Ia terus saja menciumi bibir ini seolah ingin memakanku. Apa Tuan Sultan sudah gila? Atau ia kesurupan? Aku bisa merasakan bibir ini perih, mungkin terluka oleh giginya. Akan tetapi ia tidak juga melepaskanku. Aku bahkan sudah merasakan napas ini tersengal, karena hak bernapasku sudah dirampas paksa. Aku ingin berteriak, tetapi
45Aku menatap diri di depan cermin. Rambut acak-acakkan dan bibir bengkak dengan sedikit luka akibat ulah bos aneh, terpampang jelas di sana. Orang bilang ciuman itu enak dan memabukkan. Apalagi ciuman pertama. Apanya yang enak? Aku merasakan napasku sesak, dan bibirku perih. Itu bukan ciuman, lebih tepatnya, dia melahap bibirku dengan rakus seperti orang kelaparan. Lagi pula, apa yang ada di pikiran bos aneh itu? Apa dia sudah gila? Kenapa tiba-tiba menciumiku? Hukuman katanya? Apa salahku hingga ia menghukumku? Kesalahan macam apa yang hukumannya ciuman?“Arghhh....” Aku berteriak kesal seraya menghapus bibir dengan tisu basah. Entah untuk ke berapa kali. Bahkan, bekas tisu sudah berserakan di meja. Berharap bekas ciuman itu hilang bersamaan dengan usapan demi usapan yang malah membuat bibir ini semakin lecet. Hilang sudah keperawanan bibir ini. Aku sudah ternoda. Padahal aku berharap ciuman pertamaku terjadi dalam suasana romantis dan dengan laki-laki yang kucintai. Dilakukan
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan