149
“Ana!”
Suaraku yang cukup nyaring sukses membuat dua orang yang duduk bersisian itu mendongak ke arahku. Tidak ada raut apa pun di kedua wajah itu. Ana menatap sekilas dengan mata basahnya. Sementara Hisam menoleh dengan raut datar tanpa ekspresi. Sedikit pun tak kutemui rasa rindu padaku sebagai seorang sahabat masa kecil yang berbulan-bulan tak jumpa.
“Kenapa kau pergi tanpa mengabariku lebih dulu?” Aku langsung duduk di samping Ana yang lain. Hisam tampak membuang muka. Senyum sinis terukir sekilas di bibirnya. Aku tak peduli sama sekali. Bagiku yang penting Ana ada di sini, tidak pergi jauh.
“Aku akan mengantarmu ke mana pun kau ingin pergi, Ana. Tapi setidaknya kabari dulu dan tunggu aku pulang.”
Ana tidak menanggapi ucapanku sama sekali. Ia tetap diam menatap jauh dinding rumah sakit seolah di sana ada sesuatu yang menarik.
&nb
150“Apa yang kalian pikirkan? Ini rumah sakit…!”Tiba-tiba Ana memekik seraya ikut berdiri. Hingga ia bagai seorang wasit yang berada di antara aku dan Hisam.“Jangan membuat keributan!” lanjutnya seraya memandang kami bergantian. Terlihat mata basahnya kecewa dan putus asa.Hening. Untuk beberapa lama tidak ada yang bicara di antara kami. Ya, ini rumah sakit, tidak elok bila kami ribut di sini. Akhirnya, terlihat Hisam mendudukkan lagi dirinya di tempat semula. Tinggalah aku dan Ana yang masih berdiri.“Ana.” Aku memanggil seraya menatapnya nanar.“Aku minta maaf atas semua yang terjadi, aku tahu kamu tidak nyaman. Tapi kumohon mengertilah, aku sudah mengatakan jika akan membereskan dulu masalah dengan Michelle, dan kita akan menikah setelahnya.” Aku berusaha meraih tangan Ana walaupun berkali-kali mendapat penolakan.Kulihat Ana memejam sebentar. Aku tahu hatinya terluka atas apa yang terjadi antara aku dan Michelle.“Aku berubah pikiran, Kak,” ucapnya pelan. Aku senang dia kembali
151PoV ViolaAku menjalani hari-hari sebagai Viola baru di rumah bunda. Viola yang tidak memikirkan cinta, laki-laki, dan pernikahan. Sekarang aku fokus dulu menata hati dan hidup, juga rajin menjenguk bunda yang sudah banyak kemajuan semenjak aku selalu datang ke sana.Mungkin inilah takdirku. Dua kali gagal menikah dengan dua laki-laki menjadikanku mengesampingkan dulu perasaan. Fokus diri sendiri adalah yang terbaik saat ini. Toh, jika sudah menakdirkanku berjodoh dengan seseorang, pasti Tuhan membuka jalannya. Dua kali gagal menikah karena calon suami berbohong, membuatku sangat berhati-hati dengan perasaan. Aku memutuskan tidak terlalu cepat mempercayai makhluk bernama laki-laki.Awalnya sangat sulit mengesampingkan rasaku terhadap Kak Dala yang sudah tumbuh subur lagi. Bahkan lebih subur dari sebelum aku tahu jika dia adalah teman masa remaja dulu. Sayangnya hanya kecewa yang kembali kurasakan karena ternyata ia tidak bisa tegas kepada wanita yang menurutnya hanya mengaku-ngaku
152Tidak menyangka jika dia ada di sini. Sedang menatapku pula. Wajar bukan, jika wajahku berubah?Bang Sam tersenyum geli melihat tingkahku yang menjadi serba salah.“Katanya sudah move on?” ledeknya seraya mengambil gelas minuman yang sudah kupesan lebih dulu.“Memangnya kalau sudah move on tidak boleh kaget? Ini manusiawi, bukan? Aku bukan patung batu yang tidak punya ekspresi dan perasaan!” Aku menggerutu kesal.Bang Sam terkekeh seraya melirik ke arah Kak Dala. Kenapa pula ia harus lakukan? Bukannya malah membuat lelaki di meja sana jadi besar kepala karena merasa sedang dibicarakan?“Kalau dia ke sini, apa yang akan kau lakukan?” bisiknya setelah sebelumnya mencondongkan wajah ke arahku.Aku berkedip berkali-kali, dan baru saja kedipan terakhir selesai kulakukan, suara familier sudah menyapa telinga.“Maaf, boleh bergabung di sini?”Aku memejam. Bang Hisam dan Kak Dala benar-benar seperti paranormal dan boneka santetnya. Yang satu seolah tahu apa yang akan terjadi, dan satunya
153Kak Dala menarik tangan ini saat aku masih bingung memilih. Ia membawaku masuk ke dalam mobilnya, tanpa mempedulikan Bang Hisam yang menggeleng kecewa. Akhirnya dengan menumpang mobilnya aku diantar ke rumah sakit.Sepanjang perjalanan, aku gelisah tiada tara. Takut terjadi sesuatu dengan bunda. Entah sudah berapa banyak doa terpanjat untuk kebaikan wanita bagai ibu kandung itu.Kak Dala sepertinya mengerti kecemasanku. Ia berusaha menenangkanku dengan segala cara, bahkan berusaha menggenggam tanganku yang berkeringat dingin. Namun, aku berusaha menolaknya dengan halus. Aku tak ingin terbawa perasaaan lagi. Kami bukan siapa-siapa saat ini. Dia hanya sedang membantu sesama manusia.Aku berlari masuk begitu turun dari mobil Kak Dala, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan kata terima kasih. Kecemasanku sudah di ubun-ubun. Aku ingin segera mengetahui kondisi bunda.Kak Dala sepertinya mengekori karena terdengar dari langkah kakinya, ternyata begitu tiba di depan ruang NICU, Bang
154 “Ini Bang Hisam yang membantu Vio di perusahaan, Bunda. Dan ini Kak Dala, mantan bos Vio dulu sebelum bekerja di perusahaan Mas Alvin.” Tidak salah bukan, aku memperkenalkan mereka dengan kalimat itu? Keduanya tersenyum dan mengangguk ke arah bunda walaupun tersirat rasa tidak puas di wajah mereka dengan kalimat perkenalanku. Terutama Kak Dala. Aku tidak peduli, yang terpenting saat ini aku bisa berkumpul dan memeluk lagi bunda. Kuharap setelah ini aku akan hidup bahagia dengan wanita yang seperti ibu kandung ini, walaupun tanpa kehadiran seorang laki-laki dalam hidupku. Kak Dala dan Bang Hisam pamit keluar setelah memastikan semua berjalan lancar dan sesuai prosedur. Mereka mengerti dan membiarkanku melepas rindu dengan bunda. “Vio, kau tampak kurusan.” Bunda mengusap wajah dan tanganku. Juga memperhatikan tubuhku. Ah, bunda! Bahkan saat baru sadar dari koma ini, beliau begitu memperhatikan keadaanku. Ya, tidak salah jika bunda menilaiku seperti itu. Aku memang merasa bobot t
155 PoV Sultan Entah mimpi apa semalam, setelah mencari tahu klinik yang tertera di kartu peserta KB Michelle, aku berniat makan siang di sebuah restoran. Siapa sangka melihat Ana di sana. Ya, aku lupa jika kantor Alvin tempat Ana bekerja, berada dekat sana. Sumpah demi apa pun dia semakin cantik. Apalagi memakai riasan wajah. Saat gendut pun dia cantik di mataku, apalagi sekarang ia wanita terawat. Niat untuk move on pun terusik. Setelah beberapa hari mati-matian meredam rindu agar tak terus teringat padanya, kini malah dipertemukan tak sengaja. Hanya saja, sayangnya ia tak sendiri. Ada Hisam bersamanya. Entah kenapa laki-laki itu seperti bayangan yang selalu saja ada di mana-mana. Setelah lama menatapnya dalam kerinduan tiada tara, akhirnya aku memutuskan mendatanginya. Kulihat dia juga tahu jika aku di sini. Hanya sekali melirik, dan setelahnya pura-pura tak melihatku lagi. Malah sibuk bicara dengan Hisam. Aku mendatanginya setelah meminta karyawan resto membawakan pesananku k
156PoV SultanSemalaman aku menjalani pemeriksaan yang sangat menyiksa psikis ini. Mereka menghujaniku dengan banyak pertanyaan yang kesemuanya tidak aku mengerti. Sejak awal sudah kujelaskan jika aku tidak terlibat dengan kematian Michelle. Bahkan sudah kutunjukkan di ponsel jika terakhir kali kami berhubungan beberapa hari lalu.Ya, aku ingat saat itu tengah mencari Ana yang pergi dari rumah tanpa kabar. Michelle menghubungiku saat di perjalanan. Aku bahkan tak mengangkat panggilannya dan langsung mematikan HP. Sejak saat itu Michelle tak lagi menghubungiku.Menurut polisi, hari itulah terjadi pembunuhan atas Michelle di sana. Karena jasadnya ditemukan dalam keadaan hampir membusuk. Mereka mengambil kesimpulan jika aku yang membunuh, karena panggilan terakhir yang tertera di ponsel Michelle, adalah nomorku. Terlebih apartemen itu juga disewa atas namaku.Frustrasi. Itu yang sedang kualami saat ini. Setelah semasa hidupnya merecok hingga aku kehilangan banyak hal yang bukan hanya me
157PoV SultanSetelah melewati serangakain pemeriksaan lagi yang kali ini didampingi Pak Januar. Akhirnya kurang dari 2*24 jam aku dibebaskan.Tuhan, aku tidak pernah menyangka jika akan mengalami hal seperti ini. Ditangkap polisi dengan tuduhan yang bahkan tak pernah terbayang untuk melakukannya. Sekesal apa pun aku dengan Michelle, memukul pun tidak pernah kulakukan.Sungguh, perjalanan hidup sangat berliku dan terjal sedang kulalui. Semoga setelah ini aku mendapatkan kelapangan jalan yang indah untuk dilalui.Akhirnya aku keluar dari kantor polisi yang demi apa pun tak ingin lagi menginjakkan kaki di sana. Bahkan saat aku terbukti tak bersalah pun, mereka yang awalnya menekanku untuk mengakui hal yang tidak pernah kulakukan sama sekali, tidak meminta maaf sedikit pun.Aku berterima kasih kepada Papi dan Pak Januar yang berjuang keras membebaskanku dengan segala bukti yang ada. Menurut Pak Januar, Michelle dibunuh hari itu sesaat setelah meneleponku. Mungkin ia ingin meminta tolong
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan