BUAT YANG MASIH MENGIKUTI CERITA INI, TERIMA KASIH YA. RAHASIA YANG BELUM TERKUAK AKAN TERBUKA SEIRING ALUR YANG TERUS BERJALAN
238“Abang mau ke mana?” Amanda mengejar Dewa yang bersiap masuk mobil.Lelaki yang menekuri ponsel menarik sebelah kakinya yang sudah memasuki mobil. Sementara sopir mengangguk setelah memasukkan koper ke dalam bagasi.“Bang De mau pergi?” Amanda menatap lelaki yang di matanya semakin hari semakin menarik. Gadis itu heran tiba-tiba saja Dewa siap pergi dengan membawa koper besar. Padahal tidak ada obrolan apa pun saat mereka sarapan bersama tadi.Memang sarapan keluarga pagi ini tidak sehangat biasanya paska Malvino memergoki mereka semalam dan berlanjut sidang dari kedua orang tuanya yang cukup alot.Amanda tahu ia salah. Telah melakukan hal di luar batas. Namun, orang tuanya tak mengatakan hal lain sebagai hukuman selain dirinya yang tidak boleh keluar rumah selama seminggu dan pengurangan uang saku.Tidak ada ungkapan apa pun yang mengharuskan mereka berjauhan. Ia tidak tahu jika ada hukuman lain untuk Dewa.Dewangga tersenyum seraya mengacak rambut Amanda yang wajahnya cemas seol
239Hari berlalu. Seperti kecurigaan Amanda, kepergian Dewa bukan sekadar demi pekerjaan. Buktinya kakak laki-lakinya itu sudah jarang membalas pesan atau mengangkat panggilannya dengan alasan klasik. Sibuk bekerja.Sesekali masih mau menjawab teleponnya, itu pun bila hari sudah malam dan bersiap tidur. Karena selalu diselingi suara menguap dan ucapan yang tidak begitu jelas. Lebih ke gumaman. Mungkin sudah setengah berada di alam mimpi.Bahkan setelah seminggu keberangkatannya ke Yogya, tidak ada tanda-tanda jika Dewa akan segera pulang. Setiap kali ditanyakan kepada kedua orang tuanya, sang ayah selalu menjawab jika pekerjaan di sana belum selesai. Dan Dewa sudah dipercaya untuk memegang pekerjaan besar.“Sudahlah Manda, kenapa kamu terus menanyakan Dewa? Dia bekerja di sana. Mengurus perusahaan keluarga kita. Papa ingin ia bisa menjadi seseorang yang handal di usia muda. Kamu juga ikut bangga, kan jika kakakku bisa memimpin perusahaan di usianya yang masih muda?” Selalu itu jawaban
240“Dewa?”Semua mata kini tertuju satu arah. Searah pandangan Viola.“Kamu baru datang, Nak? Syukurlah, Mama pikir kamu masih sibuk, hingga tidak bisa datang.” Viola menghampiri pemuda yang masih berdiri di halaman. Kemudian menggandengnya untuk berkumpul dengan dua keluarga yang masih berdiri di teras.“Oh ya, kenalkan dokter, ini putra sulung saya,” Viola menunjuk bangga pemuda yang masih digandengnya.“Saya sudah tahu, namanya Dewa, kan?”Viola mengangkat alis. Ia lupa jika keluarga mereka sering bertemu bahkan sejak anak-anak masih kecil. Hingga saling mengenal anak-anak dari dua keluarga. Hanya saja belakangan Dewa jarang ikut berkumpul.“Oh, maaf saya lupa. Padahal saya merasa belum terlalu tua.” Viola tertawa geli, diikuti semua orang kecuali Amanda yang melirik judes Dewa. Dewa sendiri hanya memasang wajah datar.Dua keluarga langsung terlibat obrolan akrab. Terlebih jamuan keluarga Sultan untuk keluarga dokter Shofia sangat istimewa. Obrolan mengalir tidak hanya urusan perj
241“Apa perjodohan ini akan batal?”Hening. Semua orang terdiam. Semua menatap Amanda yang begitu berani menanyakan hal sensitif. Perubahan langsung terlihat di wajah Sultan. Pria itu baru saja ingin menjawab saat dokter Shakiel buka suara.“Tidak apa-apa, Nona. Jika dalam perjalanan kita saling mengenal Nona Amanda tidak menyukai saya, maka Nona boleh menolak. Boleh membatalkan perjodohan ini. Saya akan dukung Nona Amanda.”Semua mata kini beralih ke wajah laki-laki berkacamata.“Namun tidak ada salahnya untuk saat ini jika kita menjalani dulu apa yang digagas orang tua, bukan? Karena orang tua menjodohkan kita untuk tujuan baik. Ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Maka menurut saya tidak ada salahnya menjalani keinginan mereka sebagai bakti kita kepada mereka yang telah begitu menyayangi kita.”Dokter Shakiel menjeda kalimat. Tatapan lembut selalu terpancar dari sepasang mata dibalik kacamatanya. Senyum juga tak pernah lepas dari wajahnya.Amanda terpana dibuatnya. Ternyata sepe
242“Ayo, Nai. Naik ke punggung Abang sebelum tubuhmu jatuh ke sungai.” Dewangga menarik tangan Amanda. Bahkan sedikit dientakkan karena gadis itu bukanya menurut seperti komandonya, malah menatapnya nanar. Bibirnya bergumam lirih menyebut nama Dewa. “Bang De.”Dewa bermaksud meraih tubuh Amanda yang kakinya semakin melorot karena fokusnya pecah, saat dua pemandu juga memerosotkan tubuh mereka masing-masing di samping Amanda dan Dewa. “Ayo Kang, bantu Si Nengnya naik. Injak kaki saya.” Laki-laki dengan umur kisaran tiga puluh limaan memberikan pahanya untuk pijakan Dewa. “Maaf, ya Kang.” Dewa menurut, pemuda itu gegas menginjak paha pemandu agar bisa mengangkat tubuh Amanda yang kini ditahan pemandu lainnya. Amanda sendiri hanya diam seraya menggigit bibirnya. Kakinya bahkan sangat lemah sekadar menopang tubuhnya sendiri. Tak ada keinginan untuk sekadar menyelamatkan diri sendiri. Dewa dibantu satu pemandu menaikkan tubuh Amanda ke atas punggungnya untuk digendong. “Nai, berpega
242Dengan kembali digendong Dewa, Amanda akhirnya tiba di tepi jalan. Di mana dua mobil sang ayah menunggu mereka. Perjalanan dari sawah yang cukup menanjak hingga di tepi jalan, tidak membuat Dewa kesulitan membawa tubuh gadis itu. Ia tidak mengeluh atau berniat istirahat karena membawa beban di punggungnya. Pemuda itu berjalan lancar dan ringan seolah tidak membawa apa pun.Baik Dewa atau Amanda tidak ada yang bicara selama perjalanan karena di belakang berjalan beriringan orang tua mereka, juga keluarga dokter Shofia. Namun, ini cukup untuk Amanda dapat menikmati momen kebersamaan dengan Dewa yang entah kapan akan terulang.Diam-diam gadis itu bersyukur terperosok ke bibir sungai hingga akhirnya Dewa menolongnya. Jika tidak ada kejadian ini, belum tentu bisa sedekat ini dengan Dewa. Apalagi sampai digendong. Mereka pasti masih saling terdiam tanpa tegur sapa.Amanda bersyukur ada kejadian ini hingga ia bisa sedekat ini dengan Dewa. Memeluk lehernya, menghidu aroma tubuhnya dalam j
243Esoknya Amanda tidak mendapati Dewa di Villa. Paska kejadian dramatis semalam, ia langsung dibawa masuk kedua orang tuanya tanpa menunggu acara selesai. Dan pagi hari Dewa sudah tak terlihat di mana pun. Entah apa yang terjadi semalam setelah dirinya masuk.“Kenapa kamu selalu saja mengacaukan acara, Manda? Apa kamu tidak berpikir kami akan malu dengan tamu?” Sultan langsung menceramahinya saat mengantarkan Amanda ke kamar.“Tadi siang acara jalan-jalan batal karena kamu terjatuh. Malam ini lebih parah, kamu nangis di tengah acara seolah sesuatu yang besar terjadi. Apa kamu tidak memikirkan perasaan kami? Perasaan tamu? Perasaan Shakiel? Sebenarnya, ada apa denganmu? Kenapa kamu jadi seperti ini?”Amanda terdiam beberapa saat, menelan ludah demi mendengar ucapan sang ayah. Sebelum mendongak dan menatap pria paruh baya berwajah merah di hadapannya.“Kalau begitu, suruh sopir mengantarku pulang saja, Pa. Agar aku tak membuat masalah dan membuat malu Papa lagi.”Kening Sultan berkeru
245Dewa menatap sayu gadis muda yang tengah menangis sesenggukan di bangku depan Instalasi gawat darurat. Gadis itu tidak sendiri, wanita berumur lebih setengah abad yang juga sama-sama menangis, menyertainya. Mereka saling memeluk untuk saling menguatkan mendapati kepala keluarga entah bagaimana nasibnya di dalam sana. Mereka tidak menyalahkan, tetapi melihat betapa mereka menangisi korban tabraknya, Dewa sendiri yang merasa bersalah.Perlahan Dewa menghampiri dua wanita beda generasi itu. Berkedip berkali-kali saat sudah berdiri di hadapan mereka dan mulai bicara setelah mengatur napasnya.“Maaf, ini semua kesalahan saya.”Kedua wanita itu menghentikan tangisnya sebentar. Namun, keduanya tidak ada yang mendongak.“Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya. Mengobati Bapak sampai sembuh total.” Dewa melanjutkan ucapan hingga gadis muda mendongak. Mata basahnya menatap tajam.“Kita berdoa sama-sama agar Bapak segera sembuh. Urusan apa pun terkait administrasi sudah saya selesaikan. Dan
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan