377Wajah-wajah yang sudah berantakan itu menoleh bersamaan ke arah pintu dengan kaget. Kemudian saling pandang dalam diam. Hanya napas menderu mereka yang saling bersahutan yang menghiasi pemandangan.Untuk beberapa lama mereka dalam posisi ini. Saling pandang karena kaget, sebelum akhirnya Amanda memutuskan menarik kepala sang suami agar kembali melanjutkan aksi mereka. Dibenamkan wajah itu di dadanya seraya berkata.“Ayo lanjutkan Abang, kenapa berhenti,” desisnya seraya memeluk tubuh yang sudah berpeluh itu.Dewa yang sempat terganggu dan kaget dengan ketukan di pintu, tersenyum nakal dan kembali mencumbui bagian tubuh Amanda yang sudah ia klaim menjadi miliknya. Terbukti dari jejak bibirnya yang merah kebiruan di sana. Ada banyak pula.Cekikikan senang bercampur dengan desahan-desahan halus dari mulut Amanda menghiasi aksi mereka selanjutnya sebelum rintihan cukup nyaring menghiasi ruangan.Dewa yang tidak peduli lagi dengan sekitar karena hasrat yang sudah di ubun-ubun, akhirnya
378Dewa menggamit tangan Amanda setelah selesai membantu mengikat rambut sang wanita. Tak ia pedulikan pekerjaan yang menumpuk dan melambai meminta segera diselesaikan. Sesuatu yang lain yang lebih penting meminta untuk dituntaskan segera.Karenanya ia berniat pulang cepat dan menuntaskan segera agar kepalanya tidak pusing. Dengan bergandengan tangan dan wajah sama-sama bersemu merah, keduanya berjalan menuju pintu ruangan. Pulang adalah pilihan yang paling masuk akal saat ini. Memaksakan melanjutkan pekerjaan hanya akan berujung kepala yang semakin pusing.Dewa membuka pintu ruangan yang sengaja dikunci, dan pemandangan di luar ruangan membuat dua pasang mata milik pengantin baru melebar sempurna.Bagaimana tidak? Di luar sana, di ruang tunggu tak jauh dari meja Melinda, beberapa orang tengah menunggu dengan tangan masing-masing memeluk map.Semua mata itu serempak menoleh ke arah pintu yang terbuka di mana Dewa dan Amanda keluar dari sana dengan bergandengan tangan dan saling melem
379 “Ada apa dengan Vino, Bang?” tanya Amanda begitu mereka dalam perjalanan. Tentu saja bukan ke rumah. Melainkan ke sebuah hotel tak jauh dari kantor Dewa. Hotel yang terbilang tidak mewah, tetapi terlihat cukup nyaman. Banyak ulasan testimoni positif dari halaman yang Amanda buka-buka tadi. Dewa menarik napas panjang. Sebenarnya ia ingin menyelesaikan masalah Vino dan menyangkut juga Kirani. Dua orang yang bagi Dewa, sama. Sama-sama adiknya walaupun keduanya tidak memiliki pertalian darah dengannya. Namun baginya keduanya adalah adiknya. Dan sebagai kakak, ia harus bisa mengayomi keduanya. Tapi untuk saat ini sepertinya membereskan masalah muda-mudi yang kuliah di kampus yang sama itu harus ditunda dulu jika tidak ingin terjadi perang dunia ketiga. Lihatlah Amanda yang sejak tadi menempel terus. Bahkan saat ia mengemudi. Dewa tersenyum dalam hati. Begitu mudah meluluhkan hati wanita dan membuatnya berbalik seratus persen. Amanda yang selalu ketakutan bahkan saat ia mulai menyent
380“Apa yang terjadi dengan adik kamu, De?”Dewa menahan napas mendengar pertanyaan sang ayah di seberang telepon. Tidak menyangka jika kabar itu sudah sampai telinga Sultan di Jakarta sana.“Aku belum memastikannya, Pa. Baru mendengar beritanya sore hari saat jam kampus menjelang pulang.”“Apa kau sudah bertemu Vino?”“Sudah, Pa. Tadi Vino ke kantor, hanya saja kami belum bicara banyak. Tadi Vino buru-buru pergi. Aku juga sedang banyak pekerjaan kan, pasca cuti panjang. Dan lagi ….”“Dan apa?”“Hhmmm … Amanda sudah menungguku di kantor.”“Oh. Di mana kalian sekarang? Apa Vino bersama kalian?”“Hhmmm, anu Pa, kami … di hotel.”Sepi. Suara Sultan tak lagi terdengar setelah Dewa berucap demikian. Hingga Amanda yang baru terjaga dari tidurnya karena kelelahan, memanggil Dewa dengan manja.“Abang ….” Amanda yang tidak tahu jika Dewa tengah menelepon ayahnya, langsung bangkit dengan mata terpejam. Kedua tangannya langsung dilingkarkan di leher sang lelaki dari belakang. Wajahnya diletakka
381Sultan berjalan menuju bangunan kecil di depan sebuah rumah, begitu turun dari mobilnya. Bangunan kecil yang masih terlihat sepi, tetapi pintunya tampak sudah terbuka. Pria paruh baya tersebut meminta sopir untuk menunggunya di halaman karena ia mungkin lama di sana.Pria tersebut langsung mengetuk pintu dan mendapati wanita paruh baya berkacamata tengah menekuri sebuah buku besar dan tumpukkan pakaian yang sudah dipress rapi bergantian.“Selamat pagi, Bu Endang.” Sultan langsung menyapa hingga wanita yang tengah serius itu sedikit terhenyak. Keningnya berkerut dalam, saat mendapati besannya dari Jakarta sepagi ini sudah berada di depan kios laundry-nya.“Pak Sultan?” balasnya dengan heran seraya menutup buku yang sedang ditekurinya dengan serius.“Apa saya mengganggu?” tanya Sultan dengan ramah.“Oh, sama sekali tidak, Pak. Maaf saya tidak tahu Pak Sultan mau ke sini pagi-pagi. Ayo silakan, Pak.” Endang mengangguk ramah seraya menunjuk rumah dengan ibu jarinya pertanda mempersila
382Sultan mengusap wajah berkali-kali. Ia baru saja keluar dari bangunan kampus tempat Malvino menuntut ilmu. Menemui para petinggi kampus untuk menyelesaikan masalah anak bungusnya yang ternyata benar kata Kirani tidak sesederhana yang ia duga.Pihak lawannya sudah membuat surat laporan perihal penganiayaan yang dilakukan Malvino. Padahal pihak kampus sudah meminta agar semua diselesaikan dengan baik-baik dan kekeluargaan. Namun, dengan dalih bukan baru sekali Malvino berbuat demikian, akhirnya pihak Andrew memilih jalur hukum.Sultan menyandar frustrasi. Entah apa yang melatarbelakangi putra bungsunya itu berlaku demikian. Rasanya jika hanya karena perempuan, terlalu berlebihan. Bukankah ada banyak wanita di kampus, di kota atau di dunia ini? Kenapa hanya karena seorang perempuan ia sampai mempertaruhkan masa depannya?Apa pemuda itu tidak tahu bagaimana suramnya masa depan jika sudah merasai berurusan dengan polisi? Apa ia tidak tahu bagaimana dinginnya lantai di balik jeruji besi
383“Apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Dewa sore ini. Ia yang mendapat kabar dari Sultan jika Vino harus berurusan dengan polisi, langsung mendatangi rumah keluarga Kirani sepulang kantor.Dewa tidak menyangka jika masalahnya seserius ini. Yang membuatnya heran kenapa melibatkan dua keluarganya. Dua adiknya. Jelas Dewa merasa tidak enak hati dengan Sultan yang tertekan karena anak bungsunya harus berurusan dengan hukum. Bagaimana pun, keluarganya di Jakarta terpandang dan terkenal bersih. Tidak pernah terjerat persoalan hukum. Ini hanya gara-gara seorang perempuan, harus berurusan dengan polisi.“Coba kamu ceritakan, Kiran,” ujar Dewa lagi saat Kirani hanya diam.Semua anggota keluarganya kini berkumpul di ruang tengah. Endang bahkan sengaja menutup kios loundrynya untuk menyelesaikan masalah keluarga ini.Sejak kedatangan Sultan tadi pagi, Endang merasa tidak enak hati terhadap keluarga besannya itu. Apalagi kini mendapat kabar jika putra bungsunya harus berurusan dengan polisi kar
384[Kamu beneran mau pulang ke Indo?]Vino mengetik pesan di laman aplikasi hijau dengan mata berbinar. Ditegakkan punggungnya saking antusias.[Iya, tapi mungkin ke Jakarta saja. Tidak ke Yogya.]Masuk balasan dari seseorang yang nama kontaknya tertulis Nada-ku di pojok kiri atas.[Benarkah? Ini surprise.][Ya, aku sudah lebih baik.][Aku senang mendengarnya. Aku orang yang paling senang mendengar kamu lebih baik.][Terima kasih. Apa kamu masih di Yogya?][Sepertinya aku juga akan kembali ke Jakarta.][What? Benarkah? Ini surprise. Aku tidak sabar kembali ke Indo.][Kita akan bertemu lagi di Jakarta.][Aku tidak sabar menanti saat itu. Vino, aku kangen kamu.]Malvino tersenyum tipis sebelum mengakhiri acara chat-nya. Pemuda itu meletakkan ponsel di atas nakas sebelum mengembus napas kasar. Kemudian merebahkan tubuhnya yang terasa lelah. Beberpa hari bolak-balik ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Diganjalnya kepala dengan kedua tangan. Pandangannya lurus menatap langit-lan
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan