_6 TAHUN YANG LALU_"Kamu bisa menjadi seorang artis yang terkenal dan aku akan membantumu."Mentari menatap lelaki di hadapannya dengan perasaan yang gamang. Hari ini adalah hari pertamanya syuting. Mentari lolos mengikuti audisi dari sebuah production house. Siapa tidak kenal Magenta Art Sinema. Dan Mentari berhasil setelah dua kali ditolak, kali ini dia berhasil mendapatkan peran pembantu utama.Bagi Mentari itu sudah lebih dari cukup. Sebuah awal yang sangat baik untuk karirnya dan ia tidak mau menyia-nyiakannya. Dan saat ini yang berdiri di hadapannya adalah pemilik Magenta.Billy Wijaya, lelaki itu sudah malang melintang di bidang industri film di Indonesia. Ia adalah konglomerat yang tampan dan juga gagah. Digilai oleh kaum Hawa. Siapa yang bisa menolak pesona lelaki berusia 50 tahun itu?Meski sudah memiliki tiga anak dan dua cucu, Billy masih terlihat seperti pria berusia 34 tahun. Tidak pernah ada berita miring tentangnya. Siapa yang berani mengusik kehidupannya? Mengusik Bi
"Baik, kalau begitu kamu sudah siap untuk membuktikan jika kamu masih perawan? Jika iya, maka bersiaplah untuk menjadi seorang bintang yang akan dipuja-puja," kata Billy sambil mengedipkan matanya.Mentari hanya bisa memejamkan mata lalu menganggukkan kepalanya perlahan. Billy pun membimbing gadis belia di hadapannya menuju ranjang berukuran king size itu. Perlahan Billy membuka kancing kemeja yang dikenakan oleh Mentari. Lelaki itu harus menelan saliva saat melihat dada Mentari yang putih mulus itu. Perlahan ia membuka pengait bra Mentari dan sepasang bukit kembar nan sintal itu pun tampak kencang dengan ujungnya yang berwarna pink.Ah, Billy kembali menelan saliva dan adik kecil di balik celananya mulai mengeras. Lelaki itu pun membaringkan Mentari di atas pembaringan dan tangannya mulai bergerilya. Ia meremas bagian kanan dan mengisap sebelah kiri dengan nikmat.Wangi parfum Mentari pun terasa begitu memabukkan dan membuatnya makin bernapsu. Sementara Mentari hanya bisa pasrah samb
Setelah kembali dari bulan madunya, Rembulan bekerja seperti biasa di kantor dan Aldo pun kembali bekerja di rumah sakit. Sebagai seorang dokter spesialis bedah Aldo banyak menangani operasi dan terkadang pulang larut malam. Begitu pula dengan Rembulan yang memang seorang pekerja keras. Mereka bertemu hanya di malam dan pagi hari serta jika weekend saja. "Nggak takut kalo laki lo lirik cewek lain, Lan?" goda Dara sahabat dekatnya. Saat ini kedua sahabat itu sedang makan siang bersama. Dara memang bekerja sebagai asisten pribadi Rembulan. Mereka bersahabat dekat sejak sama-sama berada di bangku SMA. "Nggak usah nakut-nakutin deh, lagian Mas Aldo kan kerja juga, Ra. Gue tau dia pulang malam jika ada operasi. Dan akhir-akhir ini gue tau dari suster Nina kalo pasien laki gue itu emang lagi banyak. Trus, lu kan tau dia nggak dinas di satu rumah sakit aja." "Ya justru itu mestinya lu itu juga jangan terlalu sibuk sama perusahaan ini. Komisaris perusahaan ini kan, kakak lo sen
Sore itu sesuai Rembulan menuruti perkataan Dara. Ia pun mengikuti bujukan Dara untuk ke Mall dan membeli beberapa ‘pakaian dinas.’ “Aduh, yakin beli yang begini,Ra?” kata Rembulan dengan wajah yang memerah. “Kamu mau suamimu berlari ke pelukan wanita lain atau ke pelukanmu?” kata Dara. Rembulan hanya menurut pasrah, walau bagaimana Dara lebih berpengalaman dengan seputar urusan rumah tangga. Dan malam ini Aldo dibuat terkejut dengan penampilan sang istri yang menyambutnya dengan pakaian khusus yang jujur saja membuat ia menelan saliva dan juniornya pun ikut menegang. “Kamu cantik sekali, Sayang,” kata Aldo sambil mengecup bibir Rembulan dengan lembut. “Aku mau memberi kejutan,” jawabnya sambil menarik tangan Aldo ke kamar. Kedua pipi Rembulan bertambah merah, ia pun mulai membuka celana sang suami dan pipinya makin bersemu merah saat melihat senjata pamungkas suaminya itu sudah tegak berdiri seolah menunggu untuk dimanjakan. "Mau kamu apakan? Hanya kamu lihat saja begitu?" pa
Aldo tersenyum senang, ia tidak menyangka jika Rembulan bisa bersikap liar dan binal seperti tadi. “Aku senang kamu liar seperti tadi, sering-sering ya Sayang. Semua lelahku jadi hilang jika pulang ke rumah diberikan servis seperti tadi,” kata Aldo. Rembulan tersenyum, kemudian ia bangkit dari ranjang dalam keadaan telanjang. Aldo suka dengan gayanya yang percaya diri. Di usianya yang masih muda tubuh Rembulan memang sedang ranum-ranumnya. Sehingga tentu saja tidak ada lemak yang perlu disembunyikan di sana. Lekuk-lekuk tubuhnya sangat menggiurkan. Sepertinya ia juga sangat menyadari kelebihan itu. Aldo memerhatikan langkahnya dari belakang. Bokongnya yang bulat dan penuh, bergoyang turun naik selaras ayunan kakinya. Pinggangnya yang ramping, dengan pinggulnya yang menggiurkan, membuat darah lelakinya berdesir lagi. Aldo terpaksa menekan sela-sela pahanya, supaya tidak ada yang mencuat lagi. Aldo memejamkan mata sebentar, bermaksud mengumpulkan tenaga. Sehingga kalau Rembulan munc
"Apa wajahku terlihat seperti orang yang suka bermain wanita?" Aldo balik bertanya. Rembulan menggelengkan kepalanya. "Sudah larut malam, Sayang. Kita tidur sekarang. Besok pagi kamu harus ke kantor dan aku juga harus bekerja," kata Aldo mengalihkan pembicaraan. Ia tidak ingin istrinya itu curiga jika sebenarnya ia memiliki hubungan dengan saudara kembar sang istri. Jika diminta memilih, Aldo tentu tidak bisa memilih. Saat ini ia ingin memiliki keduanya. Rembulan dan Mentari memiliki dua sifat yang sangat bertolak belakang dan juga memiliki keistimewaan yang berbeda. Semua yang ada pada diri keduanya membuat Aldo tidak bisa melepas satu dari dua. Meski ia menyadari tidak boleh serakah, tetapi untuk sementara biar saja begini lebih dulu. Tidak lama kemudian, Rembulan yang memang sudah merasa lelah pun jatuh tertidur, sementara Aldo menyempatkan untuk mengecek ponselnya. Sejak tadi ia belum mendapatkan kabar dari Mentari. Sudah seminggu ini mereka tidak bertemu. Biasanya, jika Menta
Aldo baru saja tiba di rumah sakit dan akan memasuki ruangannya saat matanya menangkap bayangan seorang gadis yang berdiri menatapnya kesal. "Tari, kau di sini?" tanyanya sambil tersenyum. "Bagus ya, Mas. Aku telepon tidak kau angkat. Kau matikan juga ponselmu, menyebalkan sekali!"Aldo menahan senyum lalu menarik tangan Mentari untuk masuk ke dalam ruangannya. "Eh, ada ibu Rembulan. Tumben ni Pak Dokter bawa istri ke tempat kerja," sapa seorang perawat yang memang mengenal istri Aldo. Mentari hanya tersenyum kecil sementara ALdo menahan tawa. Inilah enaknya jika memiliki selingkuhan yang berwajah sama. Tidak akan ada orang yang tau dan curiga. "Sesekali biar semangat, Suster," jawab Aldo ramah. "Ya sudah, saya keluar dulu. Itu rekam data medis pasien, Dok. Saya letakkan di atas meja Anda." "Terima kasih suster." "Sama-sama. Mari Bu Bulan, saya tinggal dulu." "Iya, Suster." Setelah perawat itu berlalu, Aldo dengan cepat membawa Rembulan ke dalam pelukannya. "Maafkan aku, Say
"Nggak ada operasi? Suster yakin?" Rembulan menatap perawat berwajah manis di hadapannya itu. "Yakin, Bu. Lagi pula apa tadi pagi Ibu nggak dikasi tau Dokter Aldo? Tadi pagi kan Ibu ke sini sebelum ke kantor." Dahi Rembulan kembali berkerut, bukankah tadi pagi mereka membawa kendaraan masing-masing. Dan ia juga tidak merasa datang ke rumah sakit bersama ALdo. Tapi, perawat di hadapannya tidak mungkin berdusta. "Hmm, saya yang lupa Suster. Tadi pagi saya terburu-buru jadi saya tidak ingat kalau Mas Aldo ada keperluan lain. Makanan ini untuk suster saja, sayang kalau saya bawa pulang lagi," kata Rembulan. Ia terpaksa harus bersandiwara.Wajah perawat yang bernama Nina itu langsung berbinar. "Aduh beneran ini buat saya, Bu? Ini banyak banget loh," kata Nina. "Kamu kan lembur bareng temen kamu yang lain. Bisa buat bagi-bagi kok. Niatnya saya memang tadi supaya Mas Aldo bisa berbagi dengan rekan yang lain. Eh, malah saya yang lupa. Pasti sekarang dia udah sampe rumah dan saya belum