"Bulek ini bilal jenazah, Ron," kata Bu Ipah. Roni tak mengetahui kalau profesi Bu Ipah di kampung adalah sebagai seorang bilal jenazah. Seorang yang mengurus jenazah, mulai dari memandikan hingga mengkafani.
"Alhamdulillah, syukur kalau begitu. Karena kondisi Ibu. Kita harus meminimalisir orang yang melihat jenazahnya. Untuk menghindari banyaknya opini yang akan beredar," kata Iwan.
"Sudah jam sepuluh, sebelum Zuhur jenazah Ibumu kita kebumikan. Aku panggil Solihin dan Pak Dirman untuk membantu mengangkat jenazah Ibumu." Tanpa menunggu jawaban Roni. Iwan langsung keluar kamar dan menutupnya lagi.
"Bulek, ini Dewi, istri Roni." Roni lupa, kalau tadi belum sempat memperkenalkan Dewi. Dewi mencium punggung tangan Bulek. Bu Ipah mengulas senyum manis di bibirnya. Sa
Setelah jenazah Bu Wati selesai dikafani, langsung dimasukkan ke dalam keranda yang ada di ruang tamu. Karena Bu Wati harus segera disholatkan. Hal itu tak mungkin dilakukan di kamar, meskipun kamar Bu Wati terbilang luas. Namun kalau untuk melaksanakan sholat jenazah, sangat tak memungkinkan.Banyak kasak kusuk terdengar dari para pelayat yang saling berbisik-bisik melihat bentuk jenazah Bu Wati yang tak lazim. Saat Roni, Iwan, Solihin dan Pak Dirman mengangkatnya ke ruang tamu dan memasukkannya ke dalam keranda. Meskipun sudah dibalut kain kafan, tetap saja bentuknya terlihat tak biasa."Saatnya jenazah disholatkan, yang ingin ikut berjamaah, segera ambil wudhu. Jenazah akan segera dimakamkan sebelum Zuhur." Pak Rt buka suara.Beberapa orang bergegas meng
Setelah jenazah Bu Wati selesai dikafani, langsung dimasukkan ke dalam keranda yang ada di ruang tamu. Karena Bu Wati harus segera disholatkan. Hal itu tak mungkin dilakukan di kamar, meskipun kamar Bu Wati terbilang luas. Namun kalau untuk melaksanakan sholat jenazah, sangat tak memungkinkan.Banyak kasak kusuk terdengar dari para pelayat yang saling berbisik-bisik melihat bentuk jenazah Bu Wati yang tak lazim. Saat Roni, Iwan, Solihin dan Pak Dirman mengangkatnya ke ruang tamu dan memasukkannya ke dalam keranda. Meskipun sudah dibalut kain kafan, tetap saja bentuknya terlihat tak biasa."Saatnya jenazah disholatkan, yang ingin ikut berjamaah, segera ambil wudhu. Jenazah akan segera dimakamkan sebelum Zuhur." Pak Rt buka suara.Beberapa orang bergegas meng
"Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh." Hampir serentak mereka mengucapkan salam, setelah memarkirkan motor di halaman rumah."Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakutuh." Roni, Dewi juga Pak Darma menjawab salam mereka. Pak Darma dan Roni saling bersalaman dengan Iwan, Ustad Faruk dan Ustad Imam. Kecuali Dewi yang hanya menangkupkan kedua telapak tangannya."Gimana Bung, sudah bisa kita mulai," kata Iwan."Masuklah dulu. Kita sarapan, biar jangan terlalu tegang," ajak Roni, sembari merangkul bahu Iwan berjalan masuk ke dalam rumah.Padahal Dewi sudah tak sabaran ingin tau apa yang ada di gudang. Apa sama dengan yang pernah dilihat di mimpinya? Dan ada satu bingkai foto y
"Kuburan itu dibuat lagi seakan tak tak pernah dibongkar. Padahal sudah kosong. Ibumu sangat rapi melakukannya, jadi hingga sekarang, gak ada yang tau. Kalau kuburan Danu sama Suci sudah dibongkar.""Pak, lalu bagaimana deng–" Dewi ingin bertanya. Tapi terpaksa terputus."Maaf, Mas. Lubangnya sudah siap," kata seorang laki-laki, yang ditaksir seumuran dengan Roni dari pintu depan yang dibiarkan terbuka. Membuat Dewi urung mengajukan pertanyaan ke Bapak mertuanya. Tadinya dia ingin bertanya perihal fhoto yang dilihatnya."Oh, makasih ya Mas. Ini bayarannya." Roni merogoh saku celananya, dan memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu ke penggali lubang."Banyak sekali ini Mas," kata penggali lubang. 
"Maassss!" Dewi teriak sekuat tenaga memanggil Roni."Dewii!" Roni masih berusaha menggapai tanganku. Tapi tak berhasil.JEBRETPintu ruangan itu tertutup dengan sendirinya. Kejadiannya begitu cepat. Hal ini di luar dugaan mereka semua. Dewi sangat ketakutan. Jelas mereka yang ada di luar ruangan menjadi panik melihat kejadian yang barusan di depan mata mereka."Mas! Mas! Buka pintunya! Bapak!" Dewi terus teriak memanggil dan menggedor-gedor pintu dari dalam. Tak ada hasil."Dewi! Kamu tenang ya Sayang. Menyingkir dari balik pintu, Mas akan dobrak pintu ini," kata suaminya. Dewi menuruti kata-katanya dan menjauh dari pintu.
Roni melepaskan pelukannya dari Dewi. Matanya menyapu seluruh isi ruangan. Dia berjalan pelan, ke arah serpihan kaca dari bingkai yang jatuh tadi. Diambilnya foto yang ada di bingkai itu. Diperhatikannya dengan seksama. Dia melihat ke arah Dewi. Alisnya bertaut, melihat wajah yang ada di foto itu sangat mirip dengan istrinya. Tapi dia juga tau, itu jelas bukan Dewi."Pak … siapa wanita dalam foto ini?" katanya sembari berjalan mendekati Bapaknya yang masih berdiri terpaku di depan pintu. Roni menunjukkan lembaran foto itu ke Pak Darma. Pak Darma hanya menunduk lesu."Pak!" Roni lebih tegas memanggil Bapaknya. Karena sedari tadi, Pak Darma tak menjawab pertanyaannya."Namanya Minati." Pak Darma menyebutkan satu nama.
"Usapkan ke wajah beliau, Bung." Roni menuruti instruksi Iwan. Segera diambilnya lagi botol yang ada di lantai itu, isinya masih ada sepertiga lagi. Lalu menuangkan ke telapak tangannya dan mengusapkan pada wajah Pak Darma. Beliau mulai agak tenang setelah wajahnya diusap dengan air yang sudah dibacakan doa ruqyah."Ya sudah, biarkan dulu. Kita urus jasad ini terlebih dahulu," kata Ustad Imam, dia menghela nafas juga menggelengkan kepala melihat Pak Darma yang masih terduduk dan menggumamkan penyesalannya.Kedua peti itu berisi jasad dua bocah yang sudah mengering layaknya mumi. Dengan posisi kepala mendongak ke atas, mata melotot juga mulut yang menganga. Kedua tangan dan kaki kedua bocah itu bentuknya menekuk. Sama persis dengan jasad Bu Wati.
"Bapak sepertinya sangat bersalah atas apa yang sudah terjadi selama ini. Dia terus saja meracau sampai tertidur sendiri." Roni menghela nafas mendengarnya."Bagaimana Ustad? Kira-kira apa yang harus kita lakukan?" tanya Roni pada Ustad Faruk dan Ustad Imam.Cukup lama mereka semua menunggu jawaban dari sang Ustad. Sang Ustad sedang memikirkan, solusi terbaik untuk Pak Darma. "Sebaiknya, jangan biarkan Bapak dalam keadaan sendirian. Rasa bersalahnya yang terlalu besar, takutnya bisa membuka jalan bagi jin kafir untuk kembali menyesatkannya."Roni menutup wajahnya, mengusap-usapnya dengan kasar. Sepelik ini ternyata berurusan dengan makhluk Allah yang dilaknat itu."Mas Roni, makan siang sudah