"Mas mau cari informasi dari Bulek Ipah. Bisa saja dia tau sesuatu. Selama ini pun, Bulek Ipah tak pernah bercerita kalau Mas punya dua orang kakak yang sudah meninggal. Apalagi Mas baru tau, kalau Mas bukan anak kandung Bapak sama Ibu. Banyak hal yang masih menjadi pertanyaan," papar Roni dengan pandangan menerawang.
Dewi mengerti maksudnya. Bukan hanya Roni, Dewi pun sangat ingin tahu. Dewi merasa ada keterkaitan atas semua yang telah terjadi dengan dirinya. Dia masih mengingat kata-kata Pak Darma untuk mencari Bu Wiyah.
"Mas, kita cari Bu Wiyah yuk," ajak Dewi. Pandangan Roni langsung beralih pada istrinya.
Roni menatap Dewi lekat, tepat di manik matanya. Dewi tak berani beradu pandang berlama-lama dengannya. Dia menunduk, menghindari tatapan Roni, yang seakan menyi
Siang ini Roni dan Dewi bersiap mau pulang ke kampung halaman Bu Wati. Rasa penasaran mereka tak bisa dibendung lagi. Banyak pertanyaan yang belum mereka temukan jawabannya. Sementara Pak Darma, orang yang seharusnya bisa mereka harapkan untuk memberi jawaban. Sedang dalam masa pengobatan di Pesantren. Mental Pak Darma sangat terguncang. Membuat Pak Darma belum bisa untuk diajak berkomunikasi dengan baik.Saat ini hanya satu tujuan mereka, Bu Ipah. Ya, siapa tau Bu Ipah bisa memberikan jawaban. Dewi masih merasa heran. Kenapa Bu Ipah tak pernah memberi tahu perihal kuburan Danu dan Suci kepadanya. Padahal dulu, saat dia masih remaja, dia sering menginap di rumah Bu Ipah."Mas, kamu yakin … kita naik motor ke kampung? Apa tak sebaiknya kita bawa mobil saja?" tanya Dewi. Tangannya sibuk memasukkan beberapa potong baju gant
"Hehhh, sampai kapan Bapak seperti itu?"[Sabar Bung. Banyak-banyak berdoa, semoga Allah segera mengembalikan kesadaran Pak Darma. Tadi kau bilang mau minta tolong, Bung. Minta tolong apa?]"Aku mau minta tolong, lihat-lihat rumahku untuk beberapa hari ini. Aku akan berangkat ke kampung siang ini. Ada hal yang harus aku urus."[Insha Allah, besok aku kesana. Masih ada sedikit pekerjaan di sini]"Apa gak bisa sore ini atau nanti malam Wan? Bik Jum takut ditinggal. Mungkin dia masih teringat kejadian kemaren."[Aku usahakan. Kalau nanti aku sudah selesai di sini. Aku langsung ke rumahmu]
"Yang, kita jalan kaki saja ya!" Roni berbicara dengan agak berteriak agar Dewi bisa mendengar."Iya." Dia juga menjawab dengan agak berteriak.Tak mungkin mereka bertahan di tengah hujan deras seperti ini. Menunggu ada yang lewat pun rasanya sangat kecil kemungkinan. Siapa yang mau keluar rumah, saat cuaca buruk begini.Roni terpaksa menuntun motornya. Beberapa kali Roni harus terjerembab. Jalannya sangat licin. Tapak sepatunya sudah dipenuhi lumpur, sehingga membuat langkahnya jadi berat.Mereka diam saja sepanjang jalan, apa yang mau diobrolkan, saat begini? Bisa-bisa pita suara mereka rusak. Akibat teriak-teriak. Dewi sangat takut, dia memegang erat bagian belakang mantel hujan Roni
"Mas mau cari informasi dari Bulek Ipah. Bisa saja dia tau sesuatu. Selama ini pun, Bulek Ipah tak pernah bercerita kalau Mas punya dua orang kakak yang sudah meninggal. Apalagi Mas baru tau, kalau Mas bukan anak kandung Bapak sama Ibu. Banyak hal yang masih menjadi pertanyaan," papar Roni dengan pandangan menerawang.Dewi mengerti maksudnya. Bukan hanya Roni, Dewi pun sangat ingin tahu. Dewi merasa ada keterkaitan atas semua yang telah terjadi dengan dirinya. Dia masih mengingat kata-kata Pak Darma untuk mencari Bu Wiyah."Mas, kita cari Bu Wiyah yuk," ajak Dewi. Pandangan Roni langsung beralih pada istrinya.Roni menatap Dewi lekat, tepat di manik matanya. Dewi tak berani beradu pandang berlama-lama dengannya. Dia menunduk, menghindari tatapan Roni, yang seakan menyi
Siang ini Roni dan Dewi bersiap mau pulang ke kampung halaman Bu Wati. Rasa penasaran mereka tak bisa dibendung lagi. Banyak pertanyaan yang belum mereka temukan jawabannya. Sementara Pak Darma, orang yang seharusnya bisa mereka harapkan untuk memberi jawaban. Sedang dalam masa pengobatan di Pesantren. Mental Pak Darma sangat terguncang. Membuat Pak Darma belum bisa untuk diajak berkomunikasi dengan baik.Saat ini hanya satu tujuan mereka, Bu Ipah. Ya, siapa tau Bu Ipah bisa memberikan jawaban. Dewi masih merasa heran. Kenapa Bu Ipah tak pernah memberi tahu perihal kuburan Danu dan Suci kepadanya. Padahal dulu, saat dia masih remaja, dia sering menginap di rumah Bu Ipah."Mas, kamu yakin … kita naik motor ke kampung? Apa tak sebaiknya kita bawa mobil saja?" tanya Dewi. Tangannya sibuk memasukkan beberapa potong baju gant
"Hehhh, sampai kapan Bapak seperti itu?"[Sabar Bung. Banyak-banyak berdoa, semoga Allah segera mengembalikan kesadaran Pak Darma. Tadi kau bilang mau minta tolong, Bung. Minta tolong apa?]"Aku mau minta tolong, lihat-lihat rumahku untuk beberapa hari ini. Aku akan berangkat ke kampung siang ini. Ada hal yang harus aku urus."[Insha Allah, besok aku kesana. Masih ada sedikit pekerjaan di sini]"Apa gak bisa sore ini atau nanti malam Wan? Bik Jum takut ditinggal. Mungkin dia masih teringat kejadian kemaren."[Aku usahakan. Kalau nanti aku sudah selesai di sini. Aku langsung ke rumahmu]
Dewi memeluk erat pinggangnya. Takut jatuh dan mungkin dia takut akan suasana yang langsung menjadi gelap karena hujan. Roni terus saja melajukan motornya, jarak pandangnya pun jadi terbatas. Lampu motor sengaja disorot ke bawah, agar lebih jelas melihat jalan yang semakin tergenang air.Jlebb, tiba-tiba motornya terjerembab di lubang yang cukup dalam. Dewi langsung turun, untuk memudahkan motor keluar dari lubang. "Sial," umpat Roni, karena motornya malah mati. Padahal dia taksir masih setengah perjalanan yang mereka tempuh."Yang, kita jalan kaki saja ya!" Roni berbicara dengan agak berteriak agar Dewi bisa mendengar."Iya." Dia juga menjawab dengan agak berteriak.Tak mungkin mereka bertah
Roni mendengar ada yang memanggil namanya. Dia melihat ke belakang, melihat istrinya masih mengikutinya. "Kamu manggil Mas?" tanya Roni. Dewi yang ada di belakangnya hanya menggeleng. Mereka melanjutkan lagi perjalanan.Cepat-cepat Dewi yang asli berlari, berusaha menyusulnya, sambil terus menggaungkan nama suaminya. "Mas Roniiii!"Dewi melihat Roni menoleh ke belakang, tapi dia seperti tak melihat Dewi yang masih belum ada melewati gapura sawit. Dewi terus berusaha mengejar. Dewi merasa ada yang aneh, karena dia tak sampai-sampai. Dewi seperti berlari di tempat.Roni semakin jauh masuk ke dalam pemukiman warga. Dewi terus berteriak, hingga suaranya parau. "Ya Allah, kenapa suamiku tak mendengarku. Kenapa aku tak bisa keluar dari jalan ini." Dewi mulai menangis dan ketakutan
"Oek oek oek!" Suara tangisan bayi yang sudah lama ditunggu akhirnya terdengar juga. Semua orang bernafas lega mendengarnya."Alhamdulillah." Mereka semua mengucap syukur dengan mengusap kedua telapak tangan di wajah masing-masing."Suaranya kenceng bener. Sehat cucu kita," kata Bu Ipah dengan mata berbinar."Cowok apa cewek ya. Nggak sabar aku, pengen lihat wajahnya." Bu Wiyah mondar mandir di luar kamar bersalin.Sementara di dalam kamar bersalin, Roni tak sanggup menahan tangisnya. Dipeluknya erat tubuh Dewi yang semakin lemah. Dewi mengalami pendarahan hebat, hal ini di luar prediksi. Karena selama kehamilan, tak ada masalah apapun. Kata Bidan yang memeriksanya, Dewi bisa melahirkan normal. Begitu pun saat
"Semua terserah pada Ibu. Maafkan Roni. Kali ini Roni gak bisa menuruti keinginan Ibu. Laki-laki yang tak bisa mengambil sikap, tak layak menjadi Imam." Widuri terdiam mendengar kata-kata Roni."Yang, tolong ambilkan makan Ibu," pinta Roni pada Dewi yang hanya mendengarkan dialog Ibu dan anak itu. Kali ini Dewi sama sekali tak berminat ikut campur.iDewi yang merasa kondisinya kurang fit segera bangkit, membuka rantang yang dibawa. Dan meletakkan sedikit nasi dan sup ikan pada piring makan Widuri. Setelah menyerahkan ke tangan Roni, tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya sangat pusing."Yang, kamu gapapa?" tanya Roni melihat Dewi yang memegangi kepalanya. Dewi merasa, pandangannya seakan berputar hingga dia merasa mual. Dan ….
"Ibu baik-baik di sini ya. Pokoknya Roni dan kami semua akan menepati janji. Setiap hari akan menemani Ibu di sini." Roni berjongkok di hadapan Widuri, menggenggam tangannya dengan hangat. Widuri mengangguk, dia sudah sangat senang Roni menempatkannya di tempat yang sangat baik. Puluhan tahun dia tinggal di kandang kambing, dan terpisah dari anaknya. Kalau hanya menunggu beberapa saat lagi, hal itu masih bisa dia lakukan."Bu kami pamit ya. Besok kami datang lagi." Dewi memeluk tubuh Widuri. Widuri membelai lembut kepala wanita yang memakai pasmina berwarna pastel itu. Bu Ipah dan Bu Wiyah juga melakukan hal yang sama terhadap Widuri."Ndok, Bapak tinggal ya. Sesok Bapak teko meneh. Kowe sing apik berobatnya. Biar ndang sembuh." Kek Warno memeluk putri semata wayangnya itu. Baru kali ini dia akan berada jauh dari anaknya.
Hanya satu yang mengganjal di hati Widuri. Roni masih belum bisa menerima, kalau Surya lah ayah kandungnya. Kesalahan yang Surya lakukan memanglah teramat besar. Namun Widuri bisa memaklumi, saat itu Surya masih terlalu belia, untuk bisa mempertahankan yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya dan Surya telah menyatu sejak lama, sebab itu Widuri tau, Surya tulus meminta maaf dan benar menyesali kebodohannya di masa lalu. Sorot mata Surya menyiratkan penyesalan yang begitu besar dan pengharapan akan maaf dari putra biologisnya. Widuri melihat, tak ada kebohongan di mata Surya, sebab itu bersedia menerima Surya kembali. Pun rasa cintanya di masa remaja, masih melekat kuat di hatinya. Tak terkalahkan, meski puluhan tahun raganya dikuasai iblis laknat."Ibu jangan takut ya, disana juga ada Bapak." Alis mata Widuri bertaut mendengar yang Roni bilang barusan.
"Gimana Ko, panen beberapa hari ini, apa sudah lebih baik?" tanya Roni pada Joko, salah satu orang yang dipercaya mengurus kebun milik Pak Darma."Masih belum ada perubahan yang signifikan Mas. Tapi sudah sedikit lebih baik dari beberapa hari lalu," jawab Joko yang berjalan mengikuti di samping Roni. Roni ingin melihat langsung, kondisi pohon-pohon sawit yang ada di kebun milik Pak Darma. Yang sekarang sudah diserahkan padanya."Oh iya. Kenalin, ini Kakek saya." Roni memperkenalkan Kek Warno pada Joko. Joko dengan sopan menyalami Kek Warno. Mereka lanjut lagi berkeliling kebun."Tapi biaya operasional bisa di atasikan?""Alhamdulillah, bisa Mas. Bahkan dua hari ini, bisa menambah isi kas, biarpun sedikit
"Mungkin karena belum terbiasa dengan rumah ini Bulek," kata Dewi. Tangannya terus mengaduk nasi yang sudah mulai menjadi bubur. Sementara Bik Jum membantu menyiapkan bahan pelengkap untuk bubur ayam.Hati Dewi sebenarnya sedikit ragu akan kata-katanya sendiri, tapi dia tak mau membuat Bu Ipah khawatir. Hal yang dia dan Widuri bisa rasakan, sangat sulit untuk dijelaskan."Bulek bawakan teh ini dulu ke depan ya. Tadi sepertinya Roni sama Lek Warno keluar.""Paling di halaman depan, Bulek. Kata Mas Roni, dia mau olahraga sedikit.""Ya sudah, Bulek antar ke teras. Bik, tolong ambilkan biskuit," kata Bu Ipah pada Bik Jum.Bik Jum membuka salah satu
Alangkah terkejutnya mereka, melihat Bu Ipah dan Bu Wiyah berusaha mengangkat Widuri yang tergeletak di lantai. Roni langsung bergerak cepat mengangkat tubuh Widuri ke atas ranjang. Dewi langsung ke dapur, mencari kotak P3K yang ada di lemari dapur. Dengan langkah lebar dia kembali lagi ke kamar bersama kotak P3K di tangannya."Kok Ibu bisa jatuh?" tanya Dewi, sembari tangannya terampil membersihkan luka di dahi Widuri dengan kapas yang sudah diberi alkohol. Lalu Dewi teteskan antiseptic dan menutupnya dengan perban dan plaster.Widuri tak menjawab, bukan tak mau. Tapi dia belum bisa mengeluarkan kosa kata yang banyak dari pita suaranya. Widuri tadi seperti melihat ada siluet orang dari jendela kamar, karena panik Widuri lupa, kalau kakinya belum kuat untuk berjalan. Hingga akhirnya dia terjatuh dari atas ranjang.
TIN TIN TINPak Dirman berlari-lari kecil menuju gerbang ketika mendengar suara klakson mobil majikannya. Buru-buru dibukanya pintu gerbang dengan lebar, agar mobil majikannya bisa segera masuk ke halaman. Pak Dirman terus melihat ke arah mobil Roni. Dia merasa sedikit heran, karena melihat orang tak dikenal bersama dengan Roni duduk di depan.Segera ditutupnya kembali pintu gerbang setelah mobil Roni masuk dengan sempurna dan berhenti di halaman rumah. Semua orang yang ada di dalam mobil langsung turun. Bik Jum yang juga keluar dari dalam rumah ketika mendengar suara klakson mobil Roni, segera membantu mengangkat semua barang dari dalam mobil."Ron angkat Ibumu," titah Bu Ipah."Iya Bulek." Roni gegas menggendong Wid
Roni hanya menatapi Kakeknya dan anggota keluarga yang lain saling berbasa basi dengan para tetangga untuk sekedar berpamitan, karena mereka akan pergi cukup lama dari kampung itu. Bahkan mungkin tak akan kembali lagi. Roni melihat Surya menggendong tubuh ringkih Widuri. Hatinya sangat sakit melihat itu, sedianya tadi, dia yang hendak menggendong Widuri. Tapi rasa kesal di dadanya tak mampu dia sembunyikan, meski hanya dengan seulas senyum kepalsuan."Kenapa Kakek dan Ibu mudah sekali memaafkan dia!" gumam Roni dengan gigi gemeletuk.Dewi mengiringi di belakang Surya yang menggendong Widuri, bergegas menyiapkan bantal buat bersandar Widuri agar merasa lebih nyaman di dalam mobil. Roni hanya diam, tanpa sedikitpun menoleh. Dia terpaku oleh rasa sakit di hati. Padahal dia baru saja mengetahui kebenaran tentang dirinya. Tapi rasa