Share

PASIEN NOMOR SEMBILAN
PASIEN NOMOR SEMBILAN
Penulis: Ris Manice

Prolog

Penulis: Ris Manice
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Ketika selesai menutup pintu kamar kecil yang ada di dalam ruangan, telah kudapati sosok yang menunggu di sofa beludru yang berseberangan dengan tempatku duduk, hanya dipisahkan oleh meja kaca yang diatasnya terdapat namaku beserta gelar P,Si. di belakangnya.

Punggung rapuh di depan sana sama sekali tak bereaksi meski heels yang kupakai sangat tak mungkin untuk tidak mengeluarkan suara. Namun, detik kemudian kepalanya sekilas menengok menyadari kehadiranku.

Hah! 

Aku memicingkan mata, mencoba mengenali. Wanita itu ...!

Sikapku memang berlebihan, tidak seharusnya berlaku demikian. Maka buru-buru mengendalikan diri–menghampiri.

Segera kubaca daftar pasien yang tergelatak di meja. Menyusuri setiap nama.

Allsya–nama yang sering digumamkan seseorang. Dan sekarang sebagai pasien dengan nomor urut sembilan. Tak habis pikir!

Apa motifnya datang kemari? Memberitahu bahagianya di atas sakit orang lain? Mengumumkan kemenangannya? Berbagai praduga negatif lainnya memeneuhi isi kepala. 

Wanita ini, sumber patah hati. Entah pelet macam apa yang digunakannya, hingga lelaki yang kucintai–teman dari dini tak mampu menganggapku yang selalu menamani.

Dan kabarnya, lelaki yang kucintai itu melangsungkan lamaran dua hari yang lalu.

Aku menggeleng. Stop, jangan bawa masalah personal. Ini urusan pekerjaan, maka harus profesional! Tegasku pada diri sendiri.

"Apa yang membuatmu datang kemari, Nona?" Kulemparkan pertanyaan pertama yang tak lupa dengan selarik senyuman agar membuatnnya nyaman. Itu adalah sebagai keharusan, meski saat ini aku melakukannya dengan penuh sandiwara agar tak terlihat kalah di hadapannya. Sedangkan tanganku yang berkuku panjang ini sangat gatal untuk mencabik seonggok tubuh wanita yang telah sepuluh tahun lalu menjadi duri dalam daging.

Tak menyahut sama sekali, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara.

Raganya terlihat kosong dengan pandangan yang menerawang, mungkin menyusuri segala sudut kenang. Namun yang pasti, isi kepala itu terlalu sesak.

Apa yang terjadi dengannya? Aku mulai penasaran. Apakah dua hari lalu gagal lamaran?

Mati-matian aku membujuk hati yang terbakar amarah untuk sedikit mengasihani. Berbagai rapal kalimat untuk menyadarkanku dari kegilaan ini. Menyugesti diri untuk tetap dalam kendali. Harga diri sebagai profesi menjadi pertaruhan saat ini.

Sempat beberapa menit disergap sunyi. Tak ada tanda-tanda akan membuka suara, apalagi hanya sekedar menjawab tanya.

Pengabaian. 

Namun, berikutnya aku baru menyadari dengan seiringnya luruhlah dinding batu yang menyelimuti hati. Salah satunya, hal seperti inilah yang kusuka dari konsepsi ilmu jiwa. Sebagai remote control untuk wajar dalam berekspresi. Dengan kata lain sangat berguna untuk menangani diri, secepatnya mengendalikan pada realita yang pernah atau sedang dihadapi.

Bukankah pengabaian ini tidak terjadi untuk pertama kalinya?

Bahkan bukan untuk pertama kalinya juga mendapati seseorang yang enggan berbicara, padahal mereka sudah paham tujuannya datang.

Perlu menunggu beberapa detik lagi untuk mengajukan pertanyaan kedua sekaligus menarik perhatiannya dengan tatapan sengaja agar merasa diperhatikan.

Namun, detik itu pula kepalanya menoleh lalu menggeleng. Mata itu menyiratkan keraguan bahkan ketakutan. 

Yeah, paham betul apa maksudnya. 

Dengan datangnya kemari, mereka sudah tak punya lagi pendengar akan ceritanya. Sejak itu terjadi, mereka akan menutup diri. Entah sengaja karena menurutnya manusia lain sudah tak dapat dipercaya atau karena dirinya sendiri hilang percaya diri. Semuanya mereka simpan rapat-rapat sendirian, tak pernah sedikit pun berbagi. Hingga lelah dan kewalahan, mereka butuh pendengar.

Kuselami legamnya manik yang membingkai  mata bulatnya itu. Namun pupilnya sangat kecil dan redup bahkan tersamarkan oleh bayangan bulu mata lentiknya. Permukaan matanya yang bening bak kristal itu tak mampu menghadirkan binar. Sarat akan kesakitan.

Aku tertawa kecil, bukan ingin menertawakannya sungguhan karena terlihat sebagai pesakitan, tetapi mencoba mengendurkan otot-otot wajah agar terlihat ramah.

"Segala sesuatu pasti punya alasan, Nona," ucapku memberi pengertian. "Bahkan datangnya Anda kemari dalam keadaan sadar," lanjutku sediplomatis mungkin.

Masih dengan lekat menatap netranya, aku mencoba meyakinkan. Tersenyum tulus bersimpati.

"Ssaa-kit." Suaranya tercekat juga terdengar begitu sesak.

Yeah, dia datang kepadaku memang murni sebagai pesakitan. Bahkan dalam keadaan sangat kacau dan memprihatinkan. Sunghuh kasihan! 

Bahu itu mulai berguncang. Rapuh kemudian luruh. Entah kemana dirinya yang dulu. Hilang atau terjebak? Aku tak mengenalnya dalam kondisi sekarang. 

"Bicaralah! Saya tidak akan menyela selagi tidak diminta," tawarku akhirnya. 

Dan aku pun segera menyiapkan segenap perlengkapan untuk merekap catatan tentangnya. Kemudian segera memposisikan diri sebagaimana yang harus aku lakukan: mendengarkan. 

Tentang cemburu yang mungkin saja akan menyergap ketika lelaki pujaan hadir dalam cerita pasien di depanku ini dengan begitu manis, itu urusan nanti. Jangan khawatir, aku akan menghabisinya. Sebab satu hal yang pasti, dalam keadaan ini aku benar-benar netral. Kemarahan yang sempat mengendap itu telah menguap, entah karena tuntutan profesional atau memang sepotong hati tergelitik kasihan

Bab terkait

  • PASIEN NOMOR SEMBILAN   BAB 1

    ~ Keberanian itu sebagai awal pemberontakan. Dan pemberontakan adalah awal dari perubahan.___________ Dia seorang gadis dari keluarga berada. Seatap dengan orang tua lengkap di bawah bangunan paling mewah di desanya. Terpandang karena kekayaan keluarganya.Sayang nasibnya tak semujur yang terlihat. Terlahir sebagai wanita yang hidupnya diperlakuan seolah tidak berharga. Sejak ia mulai bisa mengingat, Allsya sudah harus tahu bagaimana caranya agar tidak meminta jatah makan dua sang kakak lelaki yang berlauk mewah sedangkan dirinya hanya nasi bertabur garam. Sebenarnya mereka selalu berbaik hati menyisihkan untuknya, tapi percuma selalu ketahuan sang ayah yang kemudian akan dilahapnya begitu saja. Allsya kecil selalu bertanya-tanya, kenapa ia selalu diperlakukan berbeda? Namun, pertanyaan itu tak pernah sampai pada siapapun karena dirinya sendiri selalu bisa menjawabnya. Tentu saja Allsya harus selalu sama den

  • PASIEN NOMOR SEMBILAN   BAB 2

    ~ Memang, seringkali orang-orang mengaitkan satu sama lain yang terjadi dengan apa yang didengar. Padahal itu belum tentu benar.__________ Asumsi ramah yang melekat pada masyarakat desa ternyata dipatahkan oleh kelakuan Allsya. Kentara sekali diantara anak-anak desa yang seusianya, Allsya berbeda. Ketika anak perempuan pada umumnya terlihat anggun dengan rok dan kain slendang di kepala, Allsya justru membedakan diri dengan pakaian kaos gombrang dan celana selutut yang semuanya berwarna gelap. Hanya rambutnya yang tetap panjang serupa anak perempuan lainnya, itu juga selalu diikat sembarang seolah tak ingin ribet juga merawatnya. Tentu saja Allsya sangat berkeinginan untuk memotongnya, tapi sang mama melarangnya dengan tegas yang bahawasannya rambut adalah keindahan dari seorang perempuan. Namun, terlepas dari itu semua pada dasarnya Allsya memang cantik. Dengan lekuk tubuh nyaris sempurna meski masih remaja.

  • PASIEN NOMOR SEMBILAN   BAB 3

    ~ Malam itu selalu menyenangkan. Gelapnya mampu menyamarkan perbedaan sedangkan sunyinya mampu meredam caci maki. ______________________ Bagi Allsya malam selalu menyenangkan. Gelapnya mampu menyamarkan perbedaan sedangkan sunyinya mampu meredam caci maki. Waktu itu jam menunjukan angka 11. Terlalu malam untuk seusia Allsya masih terjaga. Namun, apa daya kantuk tak jua menyerangnya. Dibukanya jendela kamar yang dihadapkan langsung dengan bangunan kosong. Namun, ada yang berbeda dari bangunan di depannya itu. Cahaya yang berpendar dalam ruang menandakan lampu pijarnya menyala. Biasanya selalu padam menciptakan kegelapan total. Lalu, siapa di sana? Beberapa detik Allsya mengamati, tapi tak didapati pergerakan di dalam sana sama sekali. Sunyi dan sepi seperti semula tak berpenghuni. Tak ambil pusing, segera saja dipanjatnya jendela yang barusan terbuka itu. Tepat di bawahnya, terdapat kolam ikan me

  • PASIEN NOMOR SEMBILAN   BAB 4

    ~ Hanya diri sendiri yang selalu bisa diandalkan dalam setiap keadaan. Oleh karena itu, berhentilah menggantungkan harap pada orang lain dan belajarlah untuk selalu mandiri. __________________ Berdasarkan yang sering didengar dalam cerita-cerita tentang desa, suasana malamnya adalah sepi yang sangat mencekam. Tak ada aktivitas sama sekali, kecuali lelaki dewasa yang memang kebagian tugas untuk patroli dan hewan-hewan golongan nokturnal yang memang terjaga di malam hari. Jadi, menyaksikan belia yang masih terjaga adalah suatu hal yang tidak wajar. Di kota sana memang hal ini lumrah sekali, tetapi perlu penekanan adalah ini terjadi di sebuah desa. Pada hakikatnya ketidakwajaran itu selalu ingin dipertanyakan. Karena sebelumnya pun sudah terjangkit penasaran, maka seorang mahasiwa yang sedang sibuk dengan setumpuk kertas di depan laptop--menyusun data hasil wawancara, menghentikan

  • PASIEN NOMOR SEMBILAN   BAB 5

    ~ Ice breking, menurut teori itu dilakukan untuk mencairkan suasana. ____________ Keluarlah sosok lelaki itu. Hampir saja percaya dirinya lenyap diempas angin malam yang menyapa kulitnya lalu menembus pori-pori hingga menusuk ke tulang. Sempat pula meragu menatap sekitar yang begitu kelam membuat pikiran seram layaknya visual yang menjadi tontonan. Masa kalah sama bocil! Pikirnya lagi tak terima jika saat ini ia ketakutan dan kedinginan. Maka tekad itu bulat sekali. Mendekat ke tepi kolam lalu menyapa, "Hallo Syasya!" Tak ada respon apapun. Allsya hanya mengangkat kepala, mengenali siapa ia. Si pemuda kota, salah satu dari mahasiwa yang siang tadi melakukan wawancara. Hal itu tak membuat si pemuda kota menyerah begitu saja atas pengabaiannya. Tepat di sudut kolam mengapung sebilah papan. Bisa untuk menyebrang. "Hallo, Syasya manis!" Disapanya sekali lagi setelah berhasil duduk berdampingan di atas bangku ko

  • PASIEN NOMOR SEMBILAN   BAB 6

    ~ Aturan memang dibuat dengan sifat memaksa. Tujuannya untuk ditaati, tetapi hukum alam tahu caranya menyeimbangkan kehidupan di bumi. Dan sejatinya, tidak ada yang sempurna di dunia yang tak sempurna ini. _______________ Sepertinya karena aturan dan jadwal yang telah disepakati membuat mereka terpaksa bangun pagi. Sebab pada hari-hari biasanya seringkali terlambat mengikuti kelas pagi. Namun, sudah menjadi hukum alam di mana aturan dibuat selalu saja ada yang tak taat. Seperti saat itu, di tengah kesibukan pagi hari--ketika sebagian mahasiswa ditugaskan piket sedangkan yang lainnya bergiliran untuk mandi, Afrizal masih saja bergelung dengan selimut yang ia rebut entah punya siapa. Mungkin karena lelah berkali-kali membangunkannya, atau mungkin juga karena pagi itu bukan hari piketnya, maka temannya pun membiarkan lelaki berdarah Minang itu kembali tidur. Justru yang jadi masalah adalah peristiwa selanjutny

  • PASIEN NOMOR SEMBILAN   BAB 7

    ~ Yang terbiasa ada lalu dipaksa dipisahkan itu memang selalu menanam kerinduan._____________ Bumi ini terasa semakin sempit bagi Allsya. Ruang-ruangnya dipenuhi oleh para pendatang. Dan Allsya terusir dari tempatnya yang lebih awal memijak. Ya, oleh siapa lagi selain mahasiswa yang menghuni bangunan di belakang kamarnya?! Menurut Allsya kedatangan mereka merenggut kebebasan dirinya. Malam sebagai ruang bebasnya tak bisa lagi ia peluk secara langsung di bawah langitnya yang gelap. Seperti sekarang ini, ia tak bisa duduk lagi pada bangku di atas kolam untuk menikmati malam. Hanya telentang di atas pembaringan. Beberapa menit dihabiskan hanya untuk memandangi jam dinding yang terus berdetak, kadang merutuk atas pergerakannya yang sangat lambat. Ingin sekali ia memutarnya, membantu agar jarumnya tiba lebih cepat. Namun, percuma. Mengingat ia pernah melakukannya dengan satu jam lebih cepat dari seharuanya. Alhasil ia

  • PASIEN NOMOR SEMBILAN   BAB 8

    Seharusnya kalian jangan meragukan kemampuan akting seorang Ersya Nayaka setelah mendengar kisah selanjutnya malam itu. Meskipun ia bukan aktor, tapi ia pantas dijuluki penipu nomor satu seperti apa kata Allsya yang ditulis dalam buku hariannya ini.'Keputusan MembenciDengan segala pertimbangan beberapa hari ini dan atas analisa yang telah terjadi, keputusan ini tidak bisa diganggu gugat. Sesuai dengan ketetapan sang pemilik diary sebagai hakim di sini, bahwa tindakan tak jujur layak dibenci.Tergugat: kau penipu nomor satu yang tak tahu malu.Tepat pada,Dengan membacanya sekilas pun aku tahu catatan itu ditujukan untuk siapa. Ya, benar kepada Ersya Nayaka seperti yang sebelumnya kubilang.Kalian jangan heran kenapa aku bisa tahu? Karena sesungguhnya aku ada di sana menyaksikannya. Ditambah dengan terbuka Ersya Nayaka yang selalu menceritakannya kepadaku saat itu.Mungkin di antara kalian ada yang sudah mulai penas

Bab terbaru

  • PASIEN NOMOR SEMBILAN   BAB 9

    Tepat setelah kejadian itu, aku menangkap ada yang tak beres. Dan itu sangat berefek pada hatiku. Semacam tak rela, tapi sesungguhnya sama sekali tak melepaskan.Dan memang aku dengan saja akan menceritakannya kepada kalian. Karena tentang ini adalah hal yang penting dari cerita ini. Tepat, 18 Januari 2015 kisahku, lelaki yang kupuja, dan seorang gadis desa di mulai.Mungkin kalian penasaran dengan keadaan Ersya Nayaka selepas kejadian mendapatkan tamparan, maka akan kumulai dengan cerita ini bahwa dia baik-baik saja.Memang pada saat berhasil keluar, sudut bibirnya sesikit pecah dan berdarah. Hal itu bahkan disaksikan langsung oleh mereka, teman-teman seperkuliahannya yang ternyata menyusul Risma keluar setelah puas mencak-mencak tentang Allsya si pembawa sial. Tentu saja membuat mereka yang tak tahu duduk perkaranya semakin menghakimi Allsya sang pelakunya.Namun, itu tak penting. Tentang mereka yang membenci Allsya, itu adalah urusan hati mereka. Begit

  • PASIEN NOMOR SEMBILAN   BAB 8

    Seharusnya kalian jangan meragukan kemampuan akting seorang Ersya Nayaka setelah mendengar kisah selanjutnya malam itu. Meskipun ia bukan aktor, tapi ia pantas dijuluki penipu nomor satu seperti apa kata Allsya yang ditulis dalam buku hariannya ini.'Keputusan MembenciDengan segala pertimbangan beberapa hari ini dan atas analisa yang telah terjadi, keputusan ini tidak bisa diganggu gugat. Sesuai dengan ketetapan sang pemilik diary sebagai hakim di sini, bahwa tindakan tak jujur layak dibenci.Tergugat: kau penipu nomor satu yang tak tahu malu.Tepat pada,Dengan membacanya sekilas pun aku tahu catatan itu ditujukan untuk siapa. Ya, benar kepada Ersya Nayaka seperti yang sebelumnya kubilang.Kalian jangan heran kenapa aku bisa tahu? Karena sesungguhnya aku ada di sana menyaksikannya. Ditambah dengan terbuka Ersya Nayaka yang selalu menceritakannya kepadaku saat itu.Mungkin di antara kalian ada yang sudah mulai penas

  • PASIEN NOMOR SEMBILAN   BAB 7

    ~ Yang terbiasa ada lalu dipaksa dipisahkan itu memang selalu menanam kerinduan._____________ Bumi ini terasa semakin sempit bagi Allsya. Ruang-ruangnya dipenuhi oleh para pendatang. Dan Allsya terusir dari tempatnya yang lebih awal memijak. Ya, oleh siapa lagi selain mahasiswa yang menghuni bangunan di belakang kamarnya?! Menurut Allsya kedatangan mereka merenggut kebebasan dirinya. Malam sebagai ruang bebasnya tak bisa lagi ia peluk secara langsung di bawah langitnya yang gelap. Seperti sekarang ini, ia tak bisa duduk lagi pada bangku di atas kolam untuk menikmati malam. Hanya telentang di atas pembaringan. Beberapa menit dihabiskan hanya untuk memandangi jam dinding yang terus berdetak, kadang merutuk atas pergerakannya yang sangat lambat. Ingin sekali ia memutarnya, membantu agar jarumnya tiba lebih cepat. Namun, percuma. Mengingat ia pernah melakukannya dengan satu jam lebih cepat dari seharuanya. Alhasil ia

  • PASIEN NOMOR SEMBILAN   BAB 6

    ~ Aturan memang dibuat dengan sifat memaksa. Tujuannya untuk ditaati, tetapi hukum alam tahu caranya menyeimbangkan kehidupan di bumi. Dan sejatinya, tidak ada yang sempurna di dunia yang tak sempurna ini. _______________ Sepertinya karena aturan dan jadwal yang telah disepakati membuat mereka terpaksa bangun pagi. Sebab pada hari-hari biasanya seringkali terlambat mengikuti kelas pagi. Namun, sudah menjadi hukum alam di mana aturan dibuat selalu saja ada yang tak taat. Seperti saat itu, di tengah kesibukan pagi hari--ketika sebagian mahasiswa ditugaskan piket sedangkan yang lainnya bergiliran untuk mandi, Afrizal masih saja bergelung dengan selimut yang ia rebut entah punya siapa. Mungkin karena lelah berkali-kali membangunkannya, atau mungkin juga karena pagi itu bukan hari piketnya, maka temannya pun membiarkan lelaki berdarah Minang itu kembali tidur. Justru yang jadi masalah adalah peristiwa selanjutny

  • PASIEN NOMOR SEMBILAN   BAB 5

    ~ Ice breking, menurut teori itu dilakukan untuk mencairkan suasana. ____________ Keluarlah sosok lelaki itu. Hampir saja percaya dirinya lenyap diempas angin malam yang menyapa kulitnya lalu menembus pori-pori hingga menusuk ke tulang. Sempat pula meragu menatap sekitar yang begitu kelam membuat pikiran seram layaknya visual yang menjadi tontonan. Masa kalah sama bocil! Pikirnya lagi tak terima jika saat ini ia ketakutan dan kedinginan. Maka tekad itu bulat sekali. Mendekat ke tepi kolam lalu menyapa, "Hallo Syasya!" Tak ada respon apapun. Allsya hanya mengangkat kepala, mengenali siapa ia. Si pemuda kota, salah satu dari mahasiwa yang siang tadi melakukan wawancara. Hal itu tak membuat si pemuda kota menyerah begitu saja atas pengabaiannya. Tepat di sudut kolam mengapung sebilah papan. Bisa untuk menyebrang. "Hallo, Syasya manis!" Disapanya sekali lagi setelah berhasil duduk berdampingan di atas bangku ko

  • PASIEN NOMOR SEMBILAN   BAB 4

    ~ Hanya diri sendiri yang selalu bisa diandalkan dalam setiap keadaan. Oleh karena itu, berhentilah menggantungkan harap pada orang lain dan belajarlah untuk selalu mandiri. __________________ Berdasarkan yang sering didengar dalam cerita-cerita tentang desa, suasana malamnya adalah sepi yang sangat mencekam. Tak ada aktivitas sama sekali, kecuali lelaki dewasa yang memang kebagian tugas untuk patroli dan hewan-hewan golongan nokturnal yang memang terjaga di malam hari. Jadi, menyaksikan belia yang masih terjaga adalah suatu hal yang tidak wajar. Di kota sana memang hal ini lumrah sekali, tetapi perlu penekanan adalah ini terjadi di sebuah desa. Pada hakikatnya ketidakwajaran itu selalu ingin dipertanyakan. Karena sebelumnya pun sudah terjangkit penasaran, maka seorang mahasiwa yang sedang sibuk dengan setumpuk kertas di depan laptop--menyusun data hasil wawancara, menghentikan

  • PASIEN NOMOR SEMBILAN   BAB 3

    ~ Malam itu selalu menyenangkan. Gelapnya mampu menyamarkan perbedaan sedangkan sunyinya mampu meredam caci maki. ______________________ Bagi Allsya malam selalu menyenangkan. Gelapnya mampu menyamarkan perbedaan sedangkan sunyinya mampu meredam caci maki. Waktu itu jam menunjukan angka 11. Terlalu malam untuk seusia Allsya masih terjaga. Namun, apa daya kantuk tak jua menyerangnya. Dibukanya jendela kamar yang dihadapkan langsung dengan bangunan kosong. Namun, ada yang berbeda dari bangunan di depannya itu. Cahaya yang berpendar dalam ruang menandakan lampu pijarnya menyala. Biasanya selalu padam menciptakan kegelapan total. Lalu, siapa di sana? Beberapa detik Allsya mengamati, tapi tak didapati pergerakan di dalam sana sama sekali. Sunyi dan sepi seperti semula tak berpenghuni. Tak ambil pusing, segera saja dipanjatnya jendela yang barusan terbuka itu. Tepat di bawahnya, terdapat kolam ikan me

  • PASIEN NOMOR SEMBILAN   BAB 2

    ~ Memang, seringkali orang-orang mengaitkan satu sama lain yang terjadi dengan apa yang didengar. Padahal itu belum tentu benar.__________ Asumsi ramah yang melekat pada masyarakat desa ternyata dipatahkan oleh kelakuan Allsya. Kentara sekali diantara anak-anak desa yang seusianya, Allsya berbeda. Ketika anak perempuan pada umumnya terlihat anggun dengan rok dan kain slendang di kepala, Allsya justru membedakan diri dengan pakaian kaos gombrang dan celana selutut yang semuanya berwarna gelap. Hanya rambutnya yang tetap panjang serupa anak perempuan lainnya, itu juga selalu diikat sembarang seolah tak ingin ribet juga merawatnya. Tentu saja Allsya sangat berkeinginan untuk memotongnya, tapi sang mama melarangnya dengan tegas yang bahawasannya rambut adalah keindahan dari seorang perempuan. Namun, terlepas dari itu semua pada dasarnya Allsya memang cantik. Dengan lekuk tubuh nyaris sempurna meski masih remaja.

  • PASIEN NOMOR SEMBILAN   BAB 1

    ~ Keberanian itu sebagai awal pemberontakan. Dan pemberontakan adalah awal dari perubahan.___________ Dia seorang gadis dari keluarga berada. Seatap dengan orang tua lengkap di bawah bangunan paling mewah di desanya. Terpandang karena kekayaan keluarganya.Sayang nasibnya tak semujur yang terlihat. Terlahir sebagai wanita yang hidupnya diperlakuan seolah tidak berharga. Sejak ia mulai bisa mengingat, Allsya sudah harus tahu bagaimana caranya agar tidak meminta jatah makan dua sang kakak lelaki yang berlauk mewah sedangkan dirinya hanya nasi bertabur garam. Sebenarnya mereka selalu berbaik hati menyisihkan untuknya, tapi percuma selalu ketahuan sang ayah yang kemudian akan dilahapnya begitu saja. Allsya kecil selalu bertanya-tanya, kenapa ia selalu diperlakukan berbeda? Namun, pertanyaan itu tak pernah sampai pada siapapun karena dirinya sendiri selalu bisa menjawabnya. Tentu saja Allsya harus selalu sama den

DMCA.com Protection Status