“Dinaya! Stop! Kalau kamu masih ketawa juga, papa potong uang saku kamu tiga bulan!!”“Hahahaha ... Iya iya maaf Papaaa. Abisnya papa lucu banget. Bisa bisanya papa mikir mau mati detik itu juga. Padahal kan papa nggak kenapa kenapa, cuma nggak bisa keluar doang. Astaga Papaaa ... Gemes banget sih papaku ini,” celoteh Dinaya saat mereka berdua sudah dalam perjalanan pulang ke rumah.Akhirnya semalam Dirga berhasil mengutarakan isi hatinya pada Reisha. Dan bisa ditebak, tentu saja Reisha mengiyakan meski dengan wajah bersemu merah.“Kamu bukannya khawatir papa hampir ketiban pohon, malah diketawain. Gimana sih?” omel Dirga sambil cemberut. Sementara Dinaya menahan tawa sampai wajahnya merah padam.“Maaf Papa. Abisnya lucu banget. Aku bukannya nggak khawatir, semalem pas denger kabar itu aku panik banget, tapi HP ku kan lowbatt. Terus kata Bu Indah semua baik baik aja dan Papa sama Miss Rei udah aman aman aja. Terus aku kan ngecharge HP, eeh ketiduran sampai pagi. Makanya nggak telepon
(Satu bulan kemudian)“Naaah kaaan. Feeling saya itu tepat loh Mbak Tari. Dari awal entah kenapa saya yakin banget Dirga ini jodohnya Reisha,” ujar Bu Ambar dengan wajah sumringah. Sementara Bu Ratih duduk di sebelahnya dengan mata berkaca kaca.Dengan suasana haru yang masih menggantung di ruangan, Reisha dan keluarganya masih terlihat sumringah. Keceriaan terpancar dari setiap wajah, terutama Bu Ambar yang seakan-akan tidak berhenti mengulang kalimat penuh kepastian bahwa Reisha akhirnya bertemu dengan jodoh yang baik. Di satu sisi, Bu Ratih masih menyeka air matanya, teringat betapa berat perjalanan hidup keponakannya sejak kehilangan orang tua dan saudara kandungnya. Kini, Reisha akhirnya menemukan sosok pria yang mampu mengisi kekosongan itu, seorang pria yang tidak hanya tulus, tetapi juga datang dengan penuh niat baik. Bu Ratih menatap wajah Reisha dengan tatapan penuh kasih sayang.“Ya Allah, Nduk ... Reisha ... Ibu, Bapak, dan Mas mu pasti tenang di sana. Kamu sekarang udah ng
Tiga bapak bapak tampak duduk di sudut gedung resepsi pernikahan dengan mata sembab. Yang satu sibuk menyusut air matanya dengan sapu tangan, yang satu pura pura batuk agar terlihat sedang flu, seolah mata yang merah dan ingus yang keluar bukan karena menangis melainkan karena pilek. Sementara yang satu lagi sejak tadi terlihat minum air mineral sesekali. Entah sudah berapa botol tandas, dan ia bolak balik ke kamar kecil.“Kita kenapa sedih?” tanya Rio sambil menghapus air matanya dengan saputangan pink buatan sang istri. Saputangan itu sudah basah karena Rio sejak akad nikah tadi tak bisa menahan tangis.“Memangnya kamu nggak sedih?” tanya Dillo sambil membuang botol air mineral yang sudah kosong ke tempat sampah di sudut.“Aku cuma terharu. Mungkin dia yang sedih,” tunjuk Rio ke arah Farez“Hatttchii!”“Jangan pura pura pilek Rez! Kalau nangis ya nangis aja. Semua orang tau itu air mata dan ingus keluar gara gara nangis dari pagi,” bentak Dillo.“Kalian juga kenapa nangis? Terharu ka
(Lima tahun kemudian)“Papaaa! Tolooong! Aduuuh!” Dinaya terhuyung jatuh dan lututnya membentur lantai dengan keras. Sementara pengejarnya makin beringas berusaha menangkap Dinaya yang sudah kelelahan.“Papaaaa! Mamaaa! Tolooong!” Dinaya terus berusaha berlari dengan nafas tersengal sengal, tapi dia kehilangan keseimbangan dan jatuh. Sekarang jarak antara Dinaya dan pengejarnya tinggal beberapa langkah saja. Dinaya tak sanggup lagi berdiri, dia sudah benar benar kelelahan.Salah satu pengejarnya mulai menarik tangan Dinaya dan gadis itu tak bisa berkutik. Lalu penyerang kedua mulai mengincar pinggangnya. Lalu ...“Kitik kitik kitik...”“Aaaah! Udah deeek! Geliiii! Papaaa tolongin Paaa ... Mereka berdua keroyokan nih. Aduuuh dek, geliiii!” Dinaya tertawa terbahak bahak saat Disha terus menggelitiki pinggangnya, sementara Shaga memegangi tangannya.Dirga yang melihat itu hanya tersenyum dan membiarkan Dinaya dikeroyok dua balita itu sampai kelelahan.“Shaga, Disha ... Udah udah, kakakny
Jangan jangan Papa tau sehari sebelum aku berangkat ke sini, aku menginap di apartemen Ghazi hanya ... berdua? Batin Dinaya panik.“Nay?” Dirga memanggil nama Dinaya karena putrinya itu tak merespon.“Eh i-iya, Pa,” jawab Dinaya gugup.“Kamu kenapa bengong?” tanya Dirga dengan tatapan curiga. Dinaya tau Dirga punya insting tajam. Dan biasanya apapun yang disembunyikan Dinaya, Dirga pasti tau.“Nggak kok Pa. Cuma aku udah ngantuk banget, Pa,” kilah Dinaya cepat. Tapi justru kebohongannya itu makin menambah kecurigaan Dirga.“Nay? Kamu nggak lagi nyembunyiin sesuatu sama Papa kan?” tanya Dirga membuat Dinaya mengerang dalam hati.Aahh! Kan? Detektor kebohongannya menyala? Pasti Papa langsung tau aku bohong. Keluh Dinaya dalam hati. Sekarang dia pasrah seandainya Dirga pada akhirnya tau apa yang dilakukannya malam itu.“Nggak, Pa. Nyembunyiin apaan sih?” Dinaya masih mencoba mengelak.“Kamu jangan bikin Papa makin khawatir, Nay. Papa tau kamu nyembunyiin sesuatu. Nay, kamu sekarang jauh
“Aku anak kandung Om. Jadi mulai sekarang, boleh Om kupanggil Papa? Atau Papi? Bapak? Daddy? Ayah?”“Hah? Sebentar ... Sebentar ... A-anakku?”“Iya. Nama Om Dirga kan? Dokter Dirgantara Pradikta. Tanggal lahir 28 April 1989. Golongan darah A, nama ayah Adnan Pradikta, nama Ibu Hastari Farhana. Om alumni SMA 17, dulu kelas 3 IPA 1, lulus tahun 2006. Aku tau, Om. Aku beneran anak biologis Om. Boleh Om kupanggil Papa?"“Eits, eits, ntar dulu. Aku ini lajang, belum pernah menikah, dan dua hari yang lalu aku baru merayakan hari jadi ke 35 tahun. Apa masuk akal kalau aku sudah punya anak sebesar kamu?” tanya Dirga setengah kesal dan langsung bersikap waspada. Apa ini modus penipuan baru? “Ya ampun! Jadi Om masih nggak percaya kalau aku anak biologis Om?” Gadis rmaja itu menepuk keningnya sendiri sambil berdecak kesal.“Ya udah gini aja deh, Bunda bilang Om punya tanda lahir di paha bagian dalam, letak persisnya itu kira-kira sepuluh sentimeter dari …”“Stop stop stop!” Dirga menyilangkan le
“Siapa tadi nama kamu?”“Dinaya Aga Nisrina.”“Kamu kelas berapa? Umur kamu berapa?”“Kelas 11 Om, umurku 16 tahun.”“Oke Dinaya, sebentar lagi jam kerjaku selesai. Nanti kita ngobrol di tempat lain ya, jangan di sini. Oke?” tanya Dirga sambil terus melihat sekeliling.“Oke.” Gadis itu hanya menjawab singkat sambil mengangguk tanpa ekspresi. Lalu dia kembali duduk lagi tanpa mengatakan apapun.Dirga melirik jam di pergelangan tangannya. Lima menit lagi jam kerjanya selesai. Biasanya Dirga santai dan tidak terburu-buru meninggalkan rumah sakit. Kadang dia sempat menyapa beberapa koleganya, atau ke cafe dulu sebelum pulang.Tapi kali ini berbeda. Dirga buru-buru mengemasi semua perlengkapan di mejanya dan dengan cepat keluar ruangan begitu jam kerjanya selesai.“Ayo, kita ngobrol di rumahku. Kamu sudah izin orang tuamu kan?” tanya Dirga dengan nada sedikit ragu. Walaupun gadis mengaku anak biologisnya, tapi tetap saja, mungkin dia punya orang tua atau keluarga yang harus diberitahu keber
“Me-Meninggal? Jadi Annaya sudah meninggal?”“Sudah, dua hari yang lalu. Bunda sakit kanker lambung.”“Innalillahi wainnailaihi rojiuun ... Ya Allah ...”Dirga mengusap wajahnya sendiri dengan tangan dan tercenung cukup lama. Terbayang wajah cantik Annaya di benaknya. Gadis cerdas yang cantik dan baik itu seolah hidup kembali di dalam kepala Dirga. Mau tidak mau rasa sedih menyelinap di hati Dirga sampai ia terdiam dan tak sadar kalau Dinaya ada di depannya.“Nah, itu Om tau Bundaku namanya Annaya. Tadi aku juga sudah kasih tau nama lengkapku. Aku dikasih nama Dinaya Aga Nisrina. Kata Bunda, Dinaya itu perpaduan Dirga dan Annaya. Kalau Aga juga sama, singkatan dari Annaya dan Dirga. Jadi benar Om ini ayah kandungku kan?”Mendengar penjelasan sekaligus pertanyaan itu, Dirga bagai tersambar petir. Cerdas juga anak ini. Rasa sedih yang tadinya muncul di benak Dirga karena kepergian Annaya, seketika berubah jadi panik.“Sebentar, aku nggak bisa langsung mengiyakan kalau kamu anakku. Kamu a