Gala sejak tadi mencari Shera, dia bahkan menanyakan ke semua karyawan Shera, kembali ke rumah, tapi sosok kekasihnya tak ia temukan, Gala menelpon ke Maysa, kata kakakknya pun ia tak melihat Shera seharian.
Gala kembali mengitari sekitar kota, berharap Shera terdampar di suatu tempat tanpa sengaja karena putri Rajab itu memang belum menghafal jalan kota Palu seluruhnya.Ponsel Shera pun sudah tak aktif lagi, Gala tentu makin khawatir, hanya dia yang Shera miliki di dunia manusia, Gala merasa bertanggung jawab atas Shera sepenuhnya. "Kamu dimana Shera," gumam Gala menjalarkan pandangan ke setiap sisi jalan yang ia lewati.Gala membelok lagi ke setiap lorong, tapi sama tak ada jejak Shera ia temukan. Dia memutar arah ke rumah Arlesa, dia ingin meminta bantuan pada kakak iparnya itu, bisa saja Arlesa membantunya mencari Shera sebagai sesama mahluk wandara.Setiba disana, Gala bergegas masuk ke d
Sudah sejam Maysa dan Pak Salim mengitari sekitar Kota Palu, namun yang ia temukan hanya mobil Arlesa yang kosong di pinggir jalan. Sebagai istri, Maysa tentu di gelayut rasa khawatir, bagaimana tidak, di dunia manusia Arlesa tak mengenal banyak orang, bahkan dia belum mengetahui sepenuhnya seluruh area Kota Palu. "Mungkinkah dia ke wandara, Nak?" tanya Pak Salim. "Aku rasa itu tidak, Pak. Lalu kenapa dia tidak pamit dan meninggalkan mobil begitu saja," sahit Maysa berfirasat lain. Dia mendial lagi nomor Gala, adiknya itu juga masih sibuk mencari Shera. "Kamu pulang sekarang, kita bicara di rumah," kata Maysa. Mereka menuju kembali ke rumah, memutari Kota Palu tak memubuahkan hasil, tetap saja jejak Shera dan Arlesa tak di temukan rimbanya. Di rumah, audah ada Gus Alam baru sjaa pulang dari Makassar, sahabat Aelesa itu sanhat sibuk menglelola usaha supermarket Arlesa. Kedatangannya membuat Maysa bers
Tiga hari kemudian .. "Arlesa!" pekik Maysa terbangun dari mimpi buruknya. Dia melihat di sekeliling kamar, tak ada sosok suaminya, hanya ada Inara yang tertidur pulas di atas kasur bersamanya, Maysa menutup wajah dengan kedua tangan, berusaha agar tak menangis namun usaha itu gagal, tetap saja lelehan air itu mengucur deras ke kedua pipinya. "Kamu dimana sayang?" gumam Maysa. Dia beranjak membuka lemari, pakaian-pakaian Arlesa masih tergantung rapi, wangi parfum aroma khas suaminya. Maysa mengambil kemeja biru kesukaan Arlesa, memeluk kemeja itu meluapkan rindu pada tuannya. "Aku masih butuh kamu, Inara anak kita anak kita mencari-cari kamu," lirih Maysa meneteskan setiap air mata ke kemeja itu. Tanpa Arlesa, hidupnya hampa. Sosok sami yang begitu teladan, telaten, terlembut di dunia, kini menghilang begitu saja, tanpa pamit dan tanpa menaruh jejak sedikit pun. Suara Inara terdengar menangis, Mays
Luna masih sibuk memilah-milah satu per satu botol itu, membaca setiap nama judul yang tertulis, namun tulisan itu hanya memakaiLuna kesal.Dari luar ada suara Dewi Patih yang lewat di depan, Luna mencari tempat persembunyiaan aman. Dia menyelinap ke dalam lemari kosong, nasib baik lemari itu cukup menutupi seluruh bagian tubuhnya."Kemaa Luna?" tanya Dewi Patih pada kedua asistennya."Tadi ada di ruangan ritual, tapi mungkin saja dia di kamarnya, Bu Dewi," sahut salag satu asisten itu."Jangan biarkan dia lolos dari rumah ini, malam jum'at kliwon kita tumbalkan dia untuk ayahku," kata Dewi Patih.Dari balik lemari, Luna mendengar itu terkesiap sembari menutup mulutnya sendiri. Dia begitu ketakutan atas rencana Dewi Patih terhadapnya."Yang di katakan Shera benar, aku hanya di manfaatlan oleh Bu Dewi, sial! Permepuan itu sangat jahat, di bantu malah menodongku dari belakang," gerutu Luna
Mobil yang di tumpangi mereka sudah tiba di jalan yang Arlesa tujukan, disana sudah ada Gala dan Gus Alam menunggu, saat itu kondiis Shera sangat parah, banyak mengeluarkan darah kuning."Shera, bangun," ucap Gala mengguncang-guncang tubuh Shera."Kita bawa ke rumah dulu, takut bila dia tak bisa tertolong lagi, sepertinya dia di racuni siluman ular itu saat di lumpur," jelas Arlesa.Mereka membawanya masuk ke dalam mobil, Luna ikut pula. Dia tak menyadari resiko saat Maysa tahu kelakuannya.Sepanjang perjalanan, Arlesa mencoba memulihkan dirinya pula, sisa air bawang putih dan lilitan sihir ular itu berekasi di tubuhnya. Dia menahan sakit yang peroh namun tak menimbulkan luka."Kau tidak apa, pangeran?" tanya Gus Alam."Seluruh tubuhku seperti terbakar, Pak Gus," sahut Arlesa."Di rumah ada baginda Raja dan Rexa, mereka pasti bisa mengobatimu," kata Gus Alam khawatir.Seme
Maysa turun ke bawah, dia di hampiri Bi Siti yang baru saja dari luar."Bu, di luar masih ada Luna yang tidak mau pergi," bisik Bi Siti.Maysa menghela nafas, dia sudah malas bila itu menyangkut Luna, kekecewaannya sudah tak tertawar lagi oleh rasa kasihan."Suruh dia pergi, Bi. Aku tidak mau lagi berurusan dengan dia," uajr Maysa berlalu ke dapur.Bi Siti bingung, puluhan kali dia mengusir Luna namun perempuan itu tetap kukuh menunggu Maysa."Kenapa, Nak?" tanya Ratu Risani."Kata Bi Siti di luar masih ada perempuan itu, aku bingung Bunda harus bagaimana, aku sudah tidak ingin dia lagi ada di dekatku," keluh Maysa."Kamu jangan gubris dia, bisa saja itu rencana dia lagi, Nak," timpal Bu Rohma."Iya, Nak. Beri uang saja, lalu suruh dia kembali ke tempat asalnya, nanti itu bisa bahayakan kalian lagi," tambah Ratu Risani.Maysa memahami itu, setelah di
Bi Siti membawakan Luna malanan dan beberapa perlengkapan lainnya, dia juga membawa buah segar untuk Luna."Ini, Bib bawakan kamu diam-diam makanan, jangan sampai Bu Maysa tahu," kelik Bi Siti seolah-olah. Luna melahap semua makanan itu, perutnya memang sangat keroncongan bahkan janinnya mingkin sudah dehidrasi karena kehausan."Sudah itu, kamu kembali ke kontrakkanmu, lebih baik kamu disana dulu, disini kamu bisa tambah sakit," usul Bi Siti."Bu Maysa sungguh sudah sangat membenciku, aku tahu ini salah Bi, tapi hanya sekali saja bertemu memnag sulit kah?" tanya Luna."Bu Maysa itu orangnya tegas, tidak akan mengulang kalimatnya berulang kali," sahut Bi Siti.Luna mengunyah dengan lesuh, lebih baik dia harus ke kontakkannya demi menjaga janinnya kembali, setelah merasa sehat dia akan menemui Maysa untuk terakhir kalinya sebelum kembali ke Kota Bandung.Dari jaih Dewi Patih datang lagi mengawasi
Bi Siti membawakan Luna malanan dan beberapa perlengkapan lainnya, dia juga membawa buah segar untuk Luna."Ini, Bib bawakan kamu diam-diam makanan, jangan sampai Bu Maysa tahu," kelik Bi Siti seolah-olah. Luna melahap semua makanan itu, perutnya memang sangat keroncongan bahkan janinnya mingkin sudah dehidrasi karena kehausan."Sudah itu, kamu kembali ke kontrakkanmu, lebih baik kamu disana dulu, disini kamu bisa tambah sakit," usul Bi Siti."Bu Maysa sungguh sudah sangat membenciku, aku tahu ini salah Bi, tapi hanya sekali saja bertemu memnag sulit kah?" tanya Luna."Bu Maysa itu orangnya tegas, tidak akan mengulang kalimatnya berulang kali," sahut Bi Siti.Luna mengunyah dengan lesuh, lebih baik dia harus ke kontakkannya demi menjaga janinnya kembali, setelah merasa sehat dia akan menemui Maysa untuk terakhir kalinya sebelum kembali ke Kota Bandung.Dari jaih Dewi Patih datang lagi mengawasi
Rajab masih diam, tak ada kalimat yang bisa ia bantu, mengatakan penyesalan pun sulit untuk meminta maaf. Gala kedua membiarkan orang tua Shera itu untuk menampilkan semua yang sudah terjadi pada mereka. Gala pergi meninggalkan Rajab dan istrinya, dia kembali ke atas melihat keadaan Shera.Cia menyorot tajam ke Rajab, dia ingin menghukum suaminya dengan cara meluapkan kebencian dari cintanyan"Kamu melihat buah dari ambisimu? ketika anak kita sakit, kita tidak bisa mendampinginya justru orang jahat yang merawat anakmu, Shera tidak akan hidup seperti orang tua yang baik," tutur Cia..Rajab
Sean mengelilingi seluruh kota bersama keempat pengawalnya. Namun sosok Luna tak ia temukan, jalanan yang ia telusuri tak memberikan jejak Luna sedikitpun. Alhasil Sean menyimpulkan yang sedari tadi ia curigai."Stop kita mencari seperti manusia," ujar Sean."Kenapa, Pangeran?" tanyanya pengawalnya."Luna tidak ada di dunia manusia, kita telah di tipu oleh jin Wandara itu."Keempat pengawalnya menyimpulkan demikian, bila tak menemukan jejak di dunia manusia maka alam jin cara yang paling tepat untuk mereka.Sean yang saat itu terdiam mencari cara agar Ray bisa ia bawa ke Sarajana. Itu cara yang tepat melindungi anaknya agar tak di ganggu oleh orang-orang yang ingin berniat jahat di dunia manusia."Ikut saya, kita ke kembali ke Sarajana membawa Ray," titah Sean.Keempat pengawalnya menurut saja, meskipun mereka khawatir ini akan membuat kerajaan Sarajana gempar dengan kehadiran Ray di ist
Sean menuju ke kota dengan mengunakan taksi, ia seolah-olah menjadi manusia pada umumnya. Di dalam taksi, dia mempersiapkan kata-kata ketika menemui Luna. Terbersit di pikirannya agar lebih baik jujur pada Luna tentang siapa dirinya sebenarnya. "Apakah dia akan takut? mungkinkah dia mau menerimaku setelah dia tahu aku ayah Ray?" Sean bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Laju taksinya kian cepat, berharap semau akan baik-baik saja setelah bertemu dengan Luna. Namun tiba-tiba, ada seseorang berjubah hitam menghadang taksi itu. Rem di injak mendadak oleh supirnya, Sean yang berada di jok belakang ikut pula terpental ke depan. "Ya ampun! siapa sih, orang itu?" gerutu supir taksi. Pria berjubah hitam itu begitu pelan melewati mereka, sedetikpun tak melirik ke arah mobil, langkahnya bagai zombie yang sedang berjalan. Sean yang curiga berinisiatif untuk turun dari taksi, tapi ia cegah oleh supir itu. "Jangan, Bang. Bis
Usai upacara adat, Sean segera bubar dari tatanan keluarga kerajaan. Man Ras melirik ke Raja Rahadian, mimik ayah Sean itu terlihat menyimpan ketidaksukaan pada sikap anaknya."Maaf pangeran, jangan pergi dulu," ucap Man Ras pada Sean."Apalagi, Man Ras?""Ada banyak yang Pangeran harus kerjakan, jangan pergi.""Saya belum jadi Raja, jadi biarkan saya menikmati kebebasan dulu, lagi pula saya memiliki urusan yang sangat penting, ini menyangkut Raja Arlesa," kata Sean yang terpaksa berbohong. Dengan membawa nama Arlesa, dia tahu nyali ayah dan Man Ras akan ciut mencegatnya.Tanpa membuang waktu lama, Sean menaiki kuda putihnya. Memacu dengan cepat menuju gerbang dimensi yang tak jauh dari kebun kopi milik kerajaan."Tunggu aku, Luna. Aku harus jujur, tapi apakah kau akan menerima kejujuran itu?"Sean tak henti bertanya-tanya dalam hat
Luna masih memikirkan semua kalimat Sean yang penuh makna. Dia membocorkan Ray sembari membandingkan wajah pria yang tampan itu. "Ah, kenapa kamu jadi ide dia sih, Lun.." Luna menggerutu seorang diri. Bayangan Sean tiga hari belakangan ini berkelebat di pikirannya. Seolah hati dan pikirannya menanti Sean namun kegengsian buat dia harus menolak semua keinginan itu. Dari luar ada suara Cia mengetuka memanggilnya. Luna beranjak membuka pintu kamarnya.
Luna membenamkan kedua mata. Sentuhan Sean memabukkan dirinya, lupa daratan bahwa ada Ray yang menyaksikan mereka tanpa berkedip. Anak bayi yang bertingkah lucu itu sesekali menjerit kegirangan saat ibunya mengeluarkan desahan karena kecupan Sean yang menyerang di leher. "Mari kita ulang kembali kenikmatan itu," lirih Sean dengan kalimat yang penuh arti. Luna tak mendengar jelas apa yang di katakan Sean, hanya hembusan nafas yang hangat tersembul mesra di belakang telinganya. Mungkin karena gairah yang telah memuncak sehingga barisan kata Sean tak terbaca lagi olehnya. Sean membaringkan tubuh Luna di kasur lagi, menciumi punggung Luna dari arah belakang. Desahan kecil sudah mulai rutin menghiasi mulut mantan istri Hadi itu. Tangan kannanya menyusup di selipan pelindung dua benda kenyal milik Luna, meremas juga memilin-milin puting coklatnya. "Hamm.. Ahh.." Desah Luna. Sean perlahan melepas baju Luna,
Luna sedang membereskan butik bersama Bu Cia. Saat itu Ray ia titipkan di pengasuh lagi. Cia sudah mulai merenanakan untuk membuat Luna tersiksa setaip harinya. Ibu kandung Shera itu membuatkan teh Luna menaruh obat pencuci perut ke dalamnya. Ini cara halus untuk membuat Luna kelelahan dan tersiksa untuk menebus dendamnya atas kematian Shera."Bu Cia tolong bersihkan ruang jahit ya, aku ingin istirahat dulu, oh ya makasih teh nya," ucap Luna.Cia hanya mengangguk, dia masuk ke dalam ruang jahit seraya tersenyum miring, meski itu hanya hal kecil, namun ia tahu Luna akan merasa tidak nyaman hingga hari esok.Sembari mengamati desain butiknya, Luna menyeruput teh hangatnya tak henti-henti. Ia teringat tenang baju-baju yang sobat di pakai oleh Ratu Risani saat bertemu dulu. Baju Ratu ke empat wandar itu sangat elegan dan mewah, tak pernah ia lihat sebelumnya koleksi itu ada di dunia manusia. Tercetus di benak Luna unt
Maysa keluar dari kamar Dalisah, begitu pun pula Almira, rombongan itu akan kembali ke istana utama, tetapi mereka tak sengaja bertemu dengan Jeval.Maysa yang masih saja trauma dengan kisah antara dia dengan Jeval hanya melempar senyum lalu menundukkan wajah. Tentu istri Arlesa itu merasa tidak nyaman dengan pertemuan tiba-tiba mereka itu. Sementara Almira menyinggung senyum cantik pada suami Dalisah itu, sejak. Di bangku sekolah dasar, Almira memang menyimpan rasa terhadap Jeval."Terima kasih kalian sudah menjenguk Dalisah,"ucap Jeval.Maysa hanya mengangguk-angguk. Tak sanggup membalas ucapan terima kasih Jeval, keintimandan cinta sesaat yang pernah mereka lalui tentu buat keduanya gugup bilang bertemu."Maaf, kami harus kembali ke istana utama," kata Maysa pamit berlalu begitu saja melewati Jeval. Suami Dalisah itu hanya bisa menghela nafas, dia tahu Maysa masih trauma akan perlakuannya terdahulu.
Almira tahu Dalisah sakit parah, untuk menghilangkan rasa pemasarannya, dia mengejar Maysa yang hampir masuk ke dalam litf. "Tunggu, Ratu." Almira mengejar sembari berteriak memanggil nama Maysa. Para pengawal saat itu geram akan tingkah anak dari menteri sosial itu karena sudah lancang pada Ratu utama wandara. "Ya, Almira, Ada apa?" tanya Maysa. "Maaf yang mulia, Ratu. Saya sudah menghambat Ratu, bolehkah juga saya menjenguk Ratu Dalisah?" pinta Almira. Maysa terdiam sejenak, dia tahu, sebagai pengurus ketaatan istana wandara, Almira juga sangat dekat dengan Ratu Wandara lainnya, termasuk pula dengan Dalisah. Karena menurut Maysa itu hal baik, dia pun mengiyakan permintaan Almira yang ingin ikut menjenguk Dalisah di ruang rawat istri Jeval itu. "Baiklah, ayo kita sama-sama besuk Ratu Dalisah," kata Maysa. Mereka masuk lift, menukik ke lantai atas bagian istana ke empat wilaya
Satu tahun kemudian, Jeval berdiri melihat sosok Dalisah yang agak pucat, istrinya itu terlihat tak memiliki daya untuk bergerak. Dalisah memang saat itu sedang hamil besar. Selama kehamilannya, dia terus saja sakit-sakitan, bahkan hari-hari ia habiskan hanya berdiam diri di tempat tidur. Ada penyakit yang sulit di sembuhkan oleh dokter senior Wandara. Berbagai upaya Kebal telah lakukan agar dia bisa menyembuhkan istrinya dan bayi yang di kandung Dalisah tetap pula selamat. "Kamu sangat pucat, kamu makan dulu ya," kata Jeval. "Aku tidak lapar, entah kenapa semua terasa pahit tak bergairah," ujar Dalisah. Jeval akhir-lahir ini merasakan tidak enak, pikirannya selalu takut bila kehilangan Dalisah. Semenjak di nobatkan sebagai Raja ke empat, Jeval belum maksimal menjalankan tugasnya itu, ini karena kesehatan Dalisah yang kian menurun. "Usia kandunganku sudah sembilan bulan, aku boleh minta sesuatu padamu," kata Dal