PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 30"KAMU!""Eh, kenapa? Jangan teriak-teriak, Mbak. Mana tahu ada kamera tersembunyi disini. Tau-tau viral lagi."Laura mendekat, kami nyaris saja bersentuhan. Yang kupikirkan dalam hati adalah, buset, mukanya licin banget. Kasihan nyamuk, pasti kepleset kalau nempel di sana."Kamu kau melawan saya ya?"Aku tertawa kecil."Nggak lah, Mbak. Ngapain? Saya nggak suka berantem, Mbak. Capek. Udah ya, Mbak. Saya mau nemuin calon suami dulu."Tanpa menunggu jawabannya, aku melenggang masuk ke dalam. Aku tidak akan membiarkan dia merusak mood-ku. Kubiarkan Laura memperhatikan punggungku hingga masuk ke dalam dengan tatapan kesal. Ugghh, awas dia. Mungkin benar kata Mama, kami harus cepat-cepat menikah. Ups."Emiii!" Mbak Astri langsung heboh. Suaranya membuat para karyawan lain ikut turun. Termasuk para OB dari pantry. Tak ketingala Riana dan Raya."Wow, bos bakery!"Dan mereka langsung berpesta, berceloteh tiada henti sambil makan roti dan kue yang kubawa. Mas Tono
"Emily, Dek! Kamu dimana?"Suara Bang Arga pagi-pagi sudah membuatku terkejut. Aku berlari dari halaman depan setelah melemparkan begitu saja selang air usai menyiram tanaman bunga Mama. Hari minggu, adalah jadwalku membantu Mama berkebun."Ada apa, Bang?"Bang Arga menyodorkan ponselnya dengan wajah tegang. Aku meraih ponsel itu dan melihat apa yang ditunjukkan oleh Bang Arga.Di sebuah akun gosip, ada video yang menampakkan sosok Laura yang tampak mabuk berat, berada dalam pelukan seorang lelaki yang tak terlihat wajahnya. Dan hebatnya, adegan itu ditampilkan dalam sebuah layar besar yang diputar di sebuah acara, sepertinya acara ulang tahun. Laura yang asli, memandang rekaman video itu dengan wajah pucat pasi."Goyang dong, Mas. Plis jangan kayak calon laki gue, dingin kayak es kutub." Dia tertawa keras keras. Lalu tangan si lelaki mempererat pelukan di tubuhnya. Laura yang dalam posisi telentang dengan pakaian minum, sibuk menarik narik sendiri bajunya supaya terbuka. Dapat kulih
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 31Kehebohan terjadi. Aku sebagai korban, akhirnya melaporkan ulang kejadian pelecehan yang kualami di kantor, dengan pengacara kondang yang tentu saja disediakan oleh Mas Arfan sebagai si pemilik kantor. Laura dijemput paksa dan Winda dibebaskan. Skandal itu menyebar dengan cepat, bagaimana orang tua Laura dan Winda, mengorbankan anak bungsunya demi anak sulungnya. Si lelaki pemerkosa ternyata tak pernah bertemu Laura. Dia menjalankan perintah melalui telepon, dan Laura, dengan kejamnya menyebut dirinya sebagai Winda."Apakah orang tua Winda tidak ada yang kesini?"Mama menatapku. Aku menggeleng, kami kemudian memandang Bang Arga yang duduk di depan ranjang Winda yang tertidur setelah dengan terpaksa disuntik obat tidur. Sepanjang perjalanan dari RSJ ke rumah sakit swasta terbaik ini, Winda histeris. Dia menjerit ketakutan, berusaha bersembunyi dimana saja. Bahkan di dalam mobil, dia tak mau duduk di jok. Dia meringkuk di lantai mobil, berusaha mengecilkan tu
Kami kini duduk di dalam mobil, setelah menempuh dua jam perjalanan ke tempat ini. Sebuah tempat dimana sejauh mata memandang, ada lautan yang luas, dengan ombak kecil yang tak lelah menepi ke pantai. Pantai ini ramai, dengan rombongan keluarga yang asyik bermain air, perahu-perahu kecil yang lalu lalang, dan di kejauhan, ada banana boat melaju kencang."Apa benar, Mamamu itu, bukan Ibu kandungmu, Mas?"Akhirnya, satu pertanyaan yang sejak tadi menganggu pikiranku itu berhasil kuucapkan.Mas Arfan tersenyum. Dia menggenggam tanganku."Benar. Karena itulah kamu nggak perlu khawatir, Em. Yang kubutuhkan adalah restu dari Papa.""Tapi, bukankah meski hanya Ibu tiri, dia telah merawatmu sejak kecil?"Kini dia tertawa, sembari melemparkan pandangannya pada lautan yang tampak biru."Bukan dia yang merawatku, tapi Bik Maryam. Yang dilakukan Mama selama ini hanya menikmati harta keluarga Papa. Itu tak masalah bagiku karena dia istri Papa dan Trisha benar-benar adik sedarahku meski tidak lahir
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 32(Winda dibawa keluarganya, Mas. Bang Arga memaksa datang ke rumahnya. Jadi kami sekarang dalam perjalanan kesana. Aku nggak bisa membiarkan Bang Arga sendirian.)Usai mengirimkan pesan singkat itu pada Mas Arfan, aku menyimpan ponsel kembali ke dalam tas. Di sampingku, Bang Arga menyetir mobil dengan kecepatan tinggi, sementara Mama ku suruh pulang lebih dulu. Mama memilih berangkat ke toko saja. Katanya supaya tidak terlalu kepikiran masalah Winda. Bagaimana bisa keluarga yang dulu membuangnya ke rumah sakit jiwa, dan selama lebih dari dua minggu tak juga mau peduli dengan keadaannya, tiba-tiba saja datang dan membawanya pulang? Bang Arga nyaris saja mengamuk di rumah sakit tadi, karena rumah sakit yang mengizinkan Winda dibawa pergi padahal selama ini mereka tahu bahwa kamilah yang merawatnya. Pihak rumah sakit tak bisa melarang karena mereka membawa kartu Identitas yang menunjukkan bahwa Winda adalah anggota keluarga mereka.(Sayang, bisa nggak kalian b
Setidaknya kali ini, dia mengakui Winda sebagai putrinya, meski ujung kalimatnya cukup menyakitkan.Bang Arga tak meladeni perkataan ibu Winda. Aku bahkan berusaha perpura-pura tak mendengar saja."Tolong, Tante. Biarkan saya bertemu Winda."Bang Arga nyaris memohon. "Apa kau mencintai putriku?"Bang Arga mengangguk tanpa ragu."Saya akan menikahinya. Tolong izinkan."Sesaat, kulihat selarik senyum dari bibir itu. Sebuah senyum kemenangan. Aku masih diam, menanti apa yang akan dikatakan Ibunya Winda."Kau lelaki gentleman. Kau mau menikahi putriku yang sakit jiwa itu? Sungguhan?"Bang Arga mengangguk."Tapi izinkan saya bertemu Winda dulu."Wanita itu melambaikan ujung telunjuknya. "Tidak bisa. Saat ini Winda sedang terapi oleh psikolog handal. Kemungkinan dia sembuh sangat besar.""Benarkah?" Tanya Bang Arga dengan antusias. "Oh, ternyata Tante Ibu yang baik. Tadinya saya pikir Winda sudah dibuang oleh keluarganya."Sang Mama mengangguk-anggukkan kepala. Mengamati Bang Arga dengan
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 33Aku menerima uluran tangan Bang Arga dengan dada sesak oleh rasa haru. Ya Allah, aku telah salah mengira selama ini. Aku selalu beranggapan bahwa Bang Arga tak menyayangiku lagi semenjak dia mengenal Winda. Bahwa Winda adalah segalanya dan lebih penting dari aku dan Mama. Ternyata aku salah. Dia rela mengorbankan perasaannya, demi aku. Demi menjaga hatiku."Abang."Aku menahan tangannya yang baru saja memutar kontak mobil. Kami masih berada di depan rumah Winda, berteduh di bawah sebuah pohon yang daunnya rindang seperti payung.Bang Arga menoleh, tersenyum meski aku dapat menangkap dengan jelas kesedihan di matanya."Kenapa Abang nggak meminta padaku untuk mencabut gugatan pada Laura?"Bang Arga mengusap kepalaku."Tadinya Abang ingin meminta itu padamu, Dek. Jujur saja, tadi Abang bahkan ingin memohon bahkan memaksamu, demi Winda. Tapi ketika Abang menatapmu tadi. Melihat sinar matamu yang pasrah, Abang tahu bahwa Abang tidak boleh egois. Papa menitipkan
Laura mendapat hukuman sepuluh bulan penjara, sementara si pelaku tiga tahun penjara. Sebuah hukum yang timpang sebelah. Karena Laura adalah dalangnya, bukankah seharusnya hukuman untuknya lebih berat? Mas Arfan memintaku untuk naik banding, tapi aku menolak. Aku lelah dan tak ingin terus berurusan dengan hukum. Biarlah, aku yakin saksi sosial yang dia dapat akan lebih mengerikan daripada dikurung dalam jeruji besi sepuluh bulan lamanya."Pasti ada uang ratusan juta bermain di dalamnya." Celetuk Mama ketika kami duduk untuk sarapan pagi. Tak ada yang harus pergi tergesa-gesa seperti dulu lagi, lalu duduk di kantor, menunggu pagi merambat naik. Aku bisa datang sesuka hati ke toko toko Mama, mewakili Mama membuat keputusan. Ternyata bekerja tanpa perintah atasan itu sangat menyenangkan. Lalu aku teringat Mas Arfan. Hemm, tapi kalau atasannya seganteng dia sih, kayaknya nggak bakalan bete juga. Iya kan?"Dek, bagaimana denganmu?"Suara Bang Arga membuatku terkejut. Bayangan wajah itu sek