PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 20"Emi, kamu kenapa? Kusut banget mukanya. Bukannya semalam habis ketemu camer."Riana meletakkan segelas teh di mejaku saat break jam sepuluh pagi. Dia lalu mengeluarkan sebuah kotak berisi aneka kue yang selalu dibawanya ke kantor. Aku menatap semua itu tanpa minat. Gelisah membuat perutku sama sekali tak merasakan lapar."Camer apaan. Nana, aku perlu curhat. Tapi, aku gelisah banget. Pak Arfan kok nggak datang ya hari ini?""Oh, emangnya kamu nggak tahu?"Aku mengerutkan kening. "Tahu apa?""Si Bos kan semalam terbang ke Aussie. Ada keperluan keluarga katanya.""Memang ada pesawat terbang tengah malam?""Astaga Emi. Orang kaya kayak dia kurasa pakai jet pribadi kalau bepergian ke luar negeri."Aku mendesaah. "Oh ya. Kau benar juga Na. Tapi kenapa nggak bilang aku ya?"Riana menatap lekat. Dia sudah menyeret kursinya dan kini kami duduk berhadapan."Jadi, jika kau merasa si bos harus bilang semua kegiatannya padamu, apa itu artinya hubungan kalian berlanjut
Aku tidur sambil memeluk ponsel, lelah menunggu dia menelepon. Benar kata Dilan, rindu itu berat. Dan baru sebentar dia pergi, rasa itu telah mampu membuatku kehilangan selera makan.Jam sebelas malam, ponselku bergetar. Dan ketika kudapati namanya di layar ponsel, hal pertama yang kulakukan adalah aku demam panggung. Gemetar ketika ujung jariku mengusap layarnya ke atas. Lalu suaranya menelusup di telinga, seperti sebuah lagu yang telah sangat lama ingin kudengar."Emily?""Kenapa Bapak pergi tanpa kabar?" Aku tak bisa menahan diri untuk tak bertanya. "Bapak bahkan belum menjelaskan padaku apa maksud kata-kata Bapak yang terakhir. Apa, apa memang semua lelaki seperti itu? Suka sekali membuat perempuan menunggu?"Aku menghembuskan nafas lega. Semua yang ingin ku katakan, yang seharian ini, bahkan sejak kemarin malam terus menganggu, akhirnya bisa kulepaskan. Di seberang sana, Pak Arfan terdiam cukup lama. Mungkin dia terkejut mendengar kata-kataku. Atau mungkin, apa yang ku tanyakan
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 21Aku melanjutkan pekerjaan, masih dengan dada sesak yang berusaha coba kutahan. Kusesali diri mati-matian, kenapa harus terjebak cinta dengan seseorang yang tak mungkin kugapai. Kini, satu hal yang harus kulakukan hanyalah melindungi diriku sendiri. Menjaga hatiku sendiri dari kehancuran. Aku tak mau berakhir menjadi manusia tidak waras. Seperti Winda.Ceklek.Kedua kakak beradik itu lalu keluar lagi sambil tertawa-tawa. Laura mengunci kembali pintunya dan memutar-mutar anak kunci dengan ujung telunjuk. Dia sengaja berjalan dengan langkah pelan. Di sebelah mejaku, Laura dan Winda berhenti."Winda, coba beri tahu apa kewajiban seorang karyawan."Winda meletakkan tangannya di atas mejaku, dan kami bertatapan."Kerja yang bener. Jangan sok mau coba-coba rayu bos. Atau, kau akan dipecat. Udahnya, nangesss…" Dia lalu tertawa.Aku berdiri dan tersenyum padanya."Bagaimana kalau boss yang merayu karyawan, menyatakan cinta dan melamarnya? Sebaiknya kalau lelaki mema
Ya benar lah. Emily kan jodohnya gue."Tiba-tiba saja, Raya muncul entah dari mana, langsung nyeletuk dan duduk di samping Riana. Dia tersenyum lebar padaku. Aku melotot. "Sok tahu. Gue udah dilamar bos.""Selama janur kuning belum melengkung. You free girls."Plak… aku menepuk bahunya dengan ponsel. Raya meringis."Sembarangan."***Satu hari lagi berlalu, satu hari yang terasa sangat lama. Aku tak bersemangat berangkat ke kantor. Menatap lapangan parkir yang terasa berbeda tanpa ada mobilnya. Memandang pintu ruangannya yang terus tertutup. Jika ada berkas yang seharusnya dia tanda tangani, Riana mengirimkannya lewat email. Dan di kantor, aku memandangi tanda tangan Pak Arfan dengan norak.Dia tak lagi menelepon. Sepertinya pekerjaannya disana sangat penting sehingga dia sibuk sekali. Sekedar menyapaku saja tidak. Sementara aku, tak lagi berminat bertanya. Jelas sudah, bahwa dia memang tak punya hati padaku. Cukup bahwa aku pernah dekat, pernah menjadi calon istri bohongannya. Soal
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 22Pyar!Lampu menyala, terang benderang. Sejenak mataku terfokus padanya, pada dia yang beberapa hari ini menghilang dan nyaris membuatku kehilangan arah. Padanya yang membuatku lupa caranya tersenyum.Pak Arfan memandangku, perlahan melangkah mendekat. Jika kemarin dia datang, mungkin aku akan menghambur ke dalam pelukannya, atau sekedar menatapnya demi menuntaskan rindu. Tapi kini, semua lelaki tampak sama. Sama mengerikannya."Berhenti disitu! Berhenti! Jangan dekati aku!"Hening. Lelaki itu menghentikan langkah dengan raut wajah gelisah yang selama ini tak pernah kulihat. Sementara itu, di salah satu sisi ruangan yang kini tampak kacau balau, Aditya berdiri sambil menginjakkan kakinya pada sosok seorang lelaki. Lelaki itu sepertinya pingsan. Darah berceceran di lantai, membuatku pusing dan mual. Aku mundur, bersandar di tembok dekat pintu keluar, mendekap erat jaket tebal yang menutupi dadaku yang terbuka. Jaket itu milik Pak Arfan, aku hafal aroma parfum
Gadis cantik! Akhirnya kau sendirian juga. Hahaha…""Pergi kau! Pergi!"Lelaki di hadapanku seakan tak peduli pada ekspresi takutku. Dia juga tak merasa iba melihatku menangis. Langkah kakinya pelan, seperti singa yang tengah mendekati mangsa. Sementara aku, dengan kakiku yang terkilir akibat terjatuh tadi, tak mampu berbuat apa-apa. Kami berasa di pinggir sebuah hutan lebar. Tak seorangpun lalu lalang. Air mataku kian deras. Apa yang harus kulakukan untuk mempertahankan kehormatanku?"Mari kita bersenang-senang cantik. Sekarang kau menolak, setelah ini kau akan ketagihan dan mengejarku kemana saja minta dilayani. Hahaha…"Langkahnya semakin dekat. Tangannya yang hitam legam terulur ke dadaku. Aku menjerit setinggi langit."Pergi! Pergiiiii! Jangan dekati aku!"…"Emi?! Emi?!!""Emi… Ya Allah, Nak. Emi nggak apa-apa sayang?"Suara lembut Mama menelusup, membuat wajah menyeramkan dan pemandangan pinggir hutan hilang seketika. Aku telah berada di kamarku, dengan selimut tebal membungkus
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 23PoV ARFANAku mundur beberapa langkah, kelu di lidah dan sesak di dada. Seperti inikah rasanya sesal? Ternyata lebih menyakitkan dari pada dikhianati. Suara tangis itu belum pernah kudengar. Emily, bagaimanapun sedihnya dia, selalu berusaha tertawa. Dia gadis periang, dia matahariku, dia semangat hidupku. Dan jika dia redup seperti itu, bagaimana aku?Perlahan, aku membalikkan tubuh dan kembali ke mobil. Tunggu aku sayang, aku akan membuat orang yang menyakitimu mendapat balasan. Dan tunggu aku, tak peduli kau menolakku seribu kali, aku akan terus mencoba menyembuhkan luka hatimu itu.***Aku menatap layar komputer dengan geram, melihat bagaimana Laura dan Winda datang ke kantor dan mengacak-acak ruanganku. Bagaimana dia menyakiti gadis yang kusayangi. Aku melihat Emily tersenyum, meski aku tahu dia kesal, marah dan sedih.Di sampingku, Pak Ahmad yang baru saja siuman duduk dengan wajah pucat. "Tadi ada kurir antar kopi, Pak. Katanya dari Mbak Emily. Makan
"Calon istriku adalah Emily. Dan asal Papa dan Mama tahu, dia nyaris celaka di kantorku malam ini.""Apa? Apa yang terjadi Arfan?"Papa memberiku isyarat untuk mengikutinya duduk di sofa ruang tengah. Sejenak, aku menatap Mama tajam. "Seseorang menerobos masuk ke kantor, Pa. Emily yang baru selesai lembur nyaris saja diperkosa kalau aku tak segera datang.""Ya Tuhan. Kasihan sekali anak itu. Apa dia tak apa-apa?""Dia shock. Emily gadis baik-baik, Pa. Dia sama sekali tak pernah mengenal lelaki sebelum aku.""Gadis baik-baik mana yang suka pulang larut malam?"Mama tiba-tiba saja memotong pembicaraan. Beliau duduk sambil menumpangkan kaki kanan di atas kaki kirinya. "Emily di kantor karena menyelesaikan pekerjaan. Dia karyawan yang bertanggung jawab. Lagi pula, belum terlalu larut. Tapi seseorang di balik semua ini sepertinya memang telah mengincarnya."Bicara begitu, aku tak melepaskan tatapan dari wajah Mama. "Apa kau menuduh Mama?""Sejak awal Mama tak suka padanya.""Meski begit