"Daffa ke mana, sih? Ini gue udah berpuluh-puluh abad nunggu di sini sampe lumutan. Dasar, Tai."Aira sudah mondar-mandir sedari tadi, menunggu Daffa yang tidak kunjung terlihat batang hidungnya. Entah mengapa, akhir-akhir ini Daffa selalu saja telat datang ke parkiran. Hal itu tentu menaruh rasa curiga di benak Aira. Aids kini berulang kali mendengkus keras."Masa iya, sih, dia ke WC? Tapi bukannya tadi pas istirahat udah, ya?" tebak Aira ngawur, pasalnya tadi Daffa memang sudah ke toilet beberapa jam yang lalu.Aira mengacak rambutnya. Kesal dan marah. "Arggh! Kenapa di nggak bilang dulu mau ke mana, sih? Nggak tau apa kalo gue khawatir."Sebal karena berulang kali pula melihat ponsel yang tidak ada telepon masuk padahal sudah berapa kali dirinya menelepon. "Daffa, Daffa, ke mana, sih, lo? Gue udah chat lo berulang kali, tapi kenapa cuma centang dua abu-abu?""Jangan buat gue khawatir, deh, Daf," keluh Aira. Dia akhirnya memutuskan untuk duduk di salah satu kursi yang beruntungnya a
Di sana, di sebuah ruang musik, tepatnya di dalam, kedua netra Aira melihat dua orang yang bermesraan. Daffa yang tampak memegang tangan seorang gadis untuk memainkan biola. Sementara sang gadis, tampak sesekali tertawa pelan karena merasa kesulitan. Namun, hal itu, membuat sekujur tubuh Aira terasa panas seketika."Kenapa harus cewek, sih? Gue curiga dia bukan sekedar temen sekelasnya!" geram Aira dalam hati, dia tengah mengintip pada celah pintu yang sedikit terbuka. Beruntung, koridor saat ini benar-benar sangat sepi."Kenapa, sih? Kenapa Daffa harus lakuin ini ke gue?" desis Aira kesal, dia yang sudah merasa panas buru-buru mengalihkan pandangan dan menyingkir dari dekat pintu. "Apa dia nggak mikir kalo gue cemburu?" dengkus Aira, dia memutuskan untuk mengambil langkah pergi setelahnya. Dari pada membuatnya semakin marah, lebih baik dirinya pergi saja dari sana."Gue tau gue emang nggak berharga di matanya, tapi kenapa dia harus setega ini ke gue?" Aira masih terus berucap sembar
Aira melangkah keluar kelas ketika bel istirahat baru saja berbunyi. Akibat dari kebiasaannya yang suka makan makanan pedas, siang ini perutnya terasa sakit hingga entah ke berapa dia sudah ke toilet berulang kali. Kini, langkah kaki Aira semakin lebar ketika rasa sakit itu semakin melilit."Sakit banget, Njing," gerutu Aira sembari menekan perutnya berharap agar bisa terkontrol sampai dia sampai di toilet.Letaknya yang memang cukup jauh dari kelas, membuat Aira harus ekstra menahan kuat rasa sakitnya. Ketika sudah beberapa langkah dia lewati, akhirnya Aira sampai juga di depan pintu toilet siswi. Aida yang sudah tidak lagi, lantas buru-buru masuk lalu mengunci pintunya. Barulah ketika dia duduk—helaan napas lega terdengar begitu saja."Huh, lega banget rasanya."Aira di dalam toilet begitu menikmati aktivitasnya. Jalan ninjanya ketika buang Aira besar ialah melamun. Memikirkan sesuatu. Memikirkan seseorang. Atau bahkan dia juga akan berniat untuk membolos hari ini. Sungguh, saat dia
Rasa khawatir semakin membuncah dan membuat degup jantungnya berdegup kencang. Daffa benar-benar menyesal saat ini. Langkah kakinya menjadi berlari, sampai akhirnya terhenti di depan sebuah pintu. Daffa mengetuk pintu toilet satu persatu."Ra? Lo di dalem, kan?" teriak Daffa mendesak. Napasnya sudah terdengar tersengal-sengal."Ra, ini gue, Serin, lo di dalem, kan?" Serin menyahut, mengetuk pintu demi pintu."Jawab gue, Ra!" bentak Daffa yang sudah tidak sabar, dia kini berada di salah satu pintu yang masih tertutup.Serin ikut menghampiri pintu itu, laku mengetuknya pelan. Namun, tidak ada sahutan, hanya hening di sana. "Bangun kalo lo tidur, Ra! Ini gue sama Daffa.""Gue bakal dobrak kalo lo nggak jawab sampe itungan ke 3, Ra! Jawab gue!" desak Daffa emosi, jemari tangannya bahkan sudah mengetuk pintunya dengan kencang.Kening Serin mengerut, dia bingung, ketika masih tidak ada sahutan dari dalam. "Kenapa seolah nggak ada orang di dalem?""Ini nggak dikunci! Aira nggak di dalem!"Se
"Apa? Kamu jangan main-main sama saya, ya!" Ucapan dari Daffa membuat pria berumur itu refleks memekik, kedua matanya melebar, membelalak. Harusnya dia tidak perlu melakukannya, tetapi, ini semua merupakan bagaian dari rencananya. Tidak ada yang tahu, tentu, Andi memang tidak memberitahukannya kepada siapa pun itu."Saya serius, Om. Dia tadi pesan ke saya kalo istirahat pergi ke toilet, tapi setelah beberapa menit dia belum balik. Dan saat saya cek ke toilet langsung, dia sudah tidak ada, Om."Daffa yang tengah duduk di depan sang papa Aira mengangguk sekali. Ini berita besar, dia tidak mungkin berkata bohong, apalagi ini di hadapan papanya. Daffa menghela napas, dia sejujurnya tidak yakin, jika raut yang pria itu tampakkan memang benar asli adanya. "Kenapa kamu tidak becus menjaga anak saya, sih?! Bagaimana kalo terjadi sesuatu dengan anak saya, hah?!" bentak Andi emosi, amarahnya sudah benar-benar meletup saat ini. Dia bahkan sudah berdiri, seperti menahan sesuatu."Maka dari itu s
Daffa sudah pulang, pintu besar itu lalu ditutup oleh sang papa. Serin yang Masih duduk seketika berdiri, denagn kepalan di tangannya yang menguat, dia yakin tebakannya kali ini memang tidak salah. Serin menggeram menatap sang papa ketika pria itu berbalik dan hendak berjalan."Jawab jujur ke Serin, Pa. Kalian udah bekerja sama, kan?" tanya Serin, dia menatap ke dalam mata papanya. Hal ini, dugaan itu, sudah meluncur di benaknya begitu saja sejak tadi.Ada kerutan yang tercetak di kening Andi, meskipun dia hanya pura-pura tidak tahu, tetapi dia harus tetap menjaga aktingnya agar tidak mencurigakan. "Apa maksud kamu?" tanyanya akhirnya.Serin mendecih, bersedakap dada. Kali ini, dia sudah tidak takut lagi dengan pria 'busuk' itu. "Jangan pura-pura lagi, Pa. Pasti ini semua rencana papa sama Rehan, kan? Supaya Daffa nggak bisa temuin Aira dan akhirnya Rehan sendiri yang bawa Aira ke sini.""Jangan ikut campur. Itu bukan urusan kamu, Serin," jawab Andi, kakinya hendak kembali melangkah da
"Saya tau di mana Serin."Seseorang tiba-tiba menyahut pembicaraan Serin dan Daffa yang tengah duduk di tepi danau. Suara seorang wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah sang mama. Daffa dan Serin reflek menoleh, mendapati seorang wanita yang berjalan mendekat. "M–mama tau?" ucap Serin tertegun, dia menatap dengan mata yang sedikit membelalak tak percaya."Ikut saya kalo kalian ingin tau keberadaannya." Wanita bernama suci mengambil duduk di samping Serin. Ikut menatap ke depan sana.Kening Daffa mengerut, ikut menyahut. "Dari mana tante bisa tau?" tanyanya, heran.Ada sedikit tawa yang suci lontarkan sebelum menjawabnya. "Kamu pikir, saya tidak cerdas dengan melihat Andi menelepon seseorang di ruang kerjanya?""Mama nggak mungkin nguping, kan?" tebak Serin hati-hati, dia cukup takut membuat namanya marah.Lagi, Suci tertawa pelan. "Justru mama bisa nguping tanpa sepengetahuan pria bodoh itu."Daffa mengangguk, beralih yang semula menatap sang mama sein, dia kembali menatap ke d
"Berengsek!"Umpatan kasar itu sungguh memekikkan telinga, begitulah, ketika langkah kakinya berjalan cepat sehabis turun dari mobil, langsung saja jemarinya yang mengepal itu mendarat sempurna di sebelah pipi kanan Rehan. Daffa menatap dengan napas memburu tak beraturan."Cowok gila! Stres!""Damn it!""Sialan! Kurang ajar!"Entahlah, sudah berapa kali pukulan kasar itu Daffa hempaskan ke beberapa bagian tubuh Rehan tanpa henti. Dengan mata yang memerah menahan amarah, tidak, sepertinya Daffa memang sudah lebih dari marah. Terlihat ketika dia sudah melontarkan kata-kata kasarnya dengan brutal."Lo emang cowok stres, Re?! Lo udah gila!" bentak Daffa yang sudah lelah dan akhirnya memilih menghentikan. Dia sudah terengah-engah menatap marah."Lo yang gila." Rehan yang menjawab santai setelah tertawa sesaat, membuat Daffa hampir kembali meninju, namun urung dan akhirnya memilih melampiaskannya ke tembok di sebelah."Mati aja lo!" hardik Daffa emosi, menghela napas sekasar mungkin. Mengaca
Ruangan bernuansa putih itu hanya diisi oleh keheningan. Di dalam tampak sepi. Hanya suara denting jarum jam yang berputar tanpa henti. Serta merta AC yang menyala memberikan kesejukan di sekelilingnya, alih-alih, menambah suasana mencekam tengah terjadi di sana.Ada Aira menggeleng lemah, hatinya kembali sakit mengingat masa-masa kemarin. "Belum. Dari kemarin gue ke sini, sampai tadi pagi, dia belum siuman."Serin mengangguk, kemudian membuang napas sembari menyentuh sebelah pundak Aira. Berusaha menenangkan suasana hati gadis itu. "Lo tenang aja, dia pasti bakal sadar. Lo tau, kan, dia bukan cowok lemah. Gue yakin, dia pasti juga kangen liat wajah lo.""Ah, lo malah bikin gue tambah sesek, Kak." Aira mendengkus dengan senyum, meskipun matanya sempat berkaca-kaca.
Degup jantung Aira berdetak lebih kencang dari biasanya, langkah kakinya berlari cepat setelah membuka pintu rumah sakit. Tangis mengharu, bibir Aira terisak bahkan saat baru saja sampai—di depan pintu berwarna coklat itu. Kepalanya menunduk, tubuhnya ikut meluruh di depan pintu."Kenapa harus lo, sih, Daf? Kenapa harus hari ini? Bukannya lo udah bilang mau ngelamar gue, Daf?" yang beda."Isak tangis Aira semakin pecah, air mata tidak enggan berhenti. Sesak semakin pula menekan dadanya. Aria tidak menyangka. Semuanya terjadi begitu saja—seolah takdirnya sekejam itu untuk bisa menerima semuanya. Aira tidak pernah mengakui dirinya lemah, tapi tidak untuk dari balik kaca dengan tatapan khawatir. Sekaligus merasa bersalah. Padahal nyatanya, dia cukup kesal."Ah, sial. Kenapa dia bikin gue kesel, sih? Harusnya dia bilang ke gue kalo mau jemput!"Aira berdecak, mendengkus, meski dengan Aira mata yang masih meluruh. Aira memutuskan untuk duduk di kursi penunggu dan berdoa untuk keselamatan Da
Pagi ini menjadi pagi yang paling Aira tunggu. Seperti janji Daffa kemarin yang mengatakan ingin ke rumah untuk melamarnya. Sungguh, Aira berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, tetapi tetap saja kemarin malam dia tidak bisa tidur. Bayang-bayang wajah Daffa yang tersenyum memenuhi isi kepalanya—bahkan sampai pagi ini.Aira reflek menepuk kepalanya sendiri. "Udah gila lo, Ra. Bener-bener gila."Seragam hari ini sesuai jadwal sudah dia kenakan dan sempurna melekat di tubuhnya. Aira sesaat menatap pantulan dirinya di cermin sebelum mengulas senyum dan memutuskan untuk segera keluar dari kamar. Menuruni anak tangga dengan raut sumringah. Sangat kentara jika Aira sudah tidak sabar menantikan malam nanti."Duh, padahal masih nanti malem, kok, gue sekarang udah deg-degan, ya?" batin Aira sembari memegang dadanya yang sudah memanas. Degup jantungnya berdetak kencang.Aira menggeleng, tersenyum geli. "Otak gue nggak bener, nih."Akhirnya karena tidak mau terlambat sekolah, Aira langsun
"Daf," panggil Aira dengan nada pelan dan malas. Seolah tak bertenaga padahal di depannya sudah ada beberapa makanan serta minuman penghilang dahaga."Heum? Kenapa? Lo laper?" balas Daffa ngawur. Padahal sudah jelas-jelas Aira selesai makan. Dan di atas meja sudah tersaji beberapa camilan untuk gadis itu dan dirinya sendiri.Aira berdecak, menghela napas panjang. "Gue butuh semangat buat balikin mood. Gue makin stres karena Serin nggak pulang dari kemarin."Pergerakan jemari Daffa yang semula mengetik sesuatu di ponsel, spontan terhenti kala mendengar berita itu. "Why? Kok bisa? Gimana ceritanya?"Aira mengangkat bahu. Jika dia tahu, mungkin dia tidak akan bertanya. "Gue juga nggak tau ada apa di rumah selama gue sekolah. Dia kemarin emang nitip surat ke gue karena dia nggak masuk sakit. Eh, pas gue pulang dia malah kabur."Daffa meletakkan ponselnya. Punggungnya dia tegakkan dan menghadap Aira. Kepalanya menggeleng. "Nggak, pasti ini ada yang aneh. Buat apa dia kabur pas sakit dan buk
Aira sedang berjalan-jalan menuju belakang sekolah, niatnya hanya ingin mencari udara segar sebab di kelas sudah sangat pengap. Lagi pula, hari ini guru-guru sedang rapat. Aira yang bosan dengan suasana halaman belakang lantas berjalan menaiki anak tangga menuju roof top.Sampai di sana, dia bisa menghela napas panjang. Udara sungguh sejuk disertai dengan semilir angin yang berembus dan menerpa wajah serta beberapa helai rambutnya. Bibir Aira tersenyum, setidaknya keadaan yang semula tenang sebelum sebuah cekalan di lengannya membuat Aira tersentak."Lo? Ngapain ke sini? Lepasin gue nggak?!" teriak Aira ketika melihat Rehan berdiri di depannya dengan tangan yang mencekal kuat pergelangan tangannya.Tatapannya tersorot tajam dan dingin. Rahangnya mengeras sebelum Rehan membentak Aira. "Nggak akan sebelum lo minta maaf ke gue!"Aira reflek tersentak, degup jantungnya ikut berdegup kencang. "Apa-apaan, sih! Gue nggak ada salah apapun sama lo! Jangan ngarep gue bakal minta maaf, Re!""Gue
Kerap kali masalah yang menimpa hidup selalu menjengkelkan. Setiap manusia, nyatanya memang punya masalah. Tetapi, banyak dari mereka yang menghindar dari masalah itu. Padahal, semakin lama dibiarkan, masalah justru semakin banyak dan tentunya—jauh lebih menjengkelkan.Aira sangat berharap masalahnya segera berakhir, dia hanya ingin hidup tenang, tanpa beban, dan bebas dari segala ancaman. Namun, lagi-lagi semesta seolah tidak membiarkan. Masalah satu baru saja selesai, tapi masalah yang lain justru menghampiri. Sungguh, Aira selalu mempunya keinginan untuk menyerah."Daf, gue capek. Gue pengen nyerah. Boleh nggak, sih?"Pertanyaan langka yang baru pertama kali Daffa dengar dari mulut Aira setelah beberapa tahun bersahabat. Aira yang selalu tampak kuat dan semangat, kini tampak lesu dan tidak berdaya. Datang dari dapur, sudah mendapat ekspresi serta keluhan demikian. Lantas, karena tidak setuju, kepala Daffa menggeleng."Nggak, lo nggak bisa lakuin itu. Kenapa, sih? Lo jangan gampang n
"Mana mungkin!" elak Aira ketika baru saja mendengar tebakan Serin yang tidak terpikirkan oleh benaknya."Ya maaf, gue, kan, cuma nebak. Lagian, alasan apa lagi yang buat wanita itu dateng ke rumah kita dan ngaku dia ibu kandung lo?" lanjut Serin, dengan embusan napas dan mengangkat bahunya. "Mungkin aja dia modus, kan? Zaman sekarang orang udah pinter nyari uang dengan segala cara. Dan mungkin dia salah satu orangnya." Serin berkata lagi karena Aira masih diam dengan pikirannya.Sesaat, akhirnya Aira mengangguk pelan. Dia juga sudah berpikir demikian. "Itu pemikiran yang masuk akal juga, sih. Tapi yang jadi masalahnya itu, dia ke sini naik mobil, Kak. Bukannya udah jelas kalo dia orang kaya?"Serin sedikit tertegun. Dia hampir saja melupakan hal itu. "Eh, bener juga lo. Terus, gimana? Gue nggak tau apa-apa. Sebenernya gue juga nggak peduli dan nggak percaya, tapi, gue heran kenapa dia bisa tau rumah kita!""
"Pagi, Kebo!" sapa Daffa pada Aira ketika mereka berjalan beriringan di koridor. Berbeda halnya dengan Daffa yang semangat, Aira justru tampak lemas."Hem, pagi," balas Aira pelan. Nadanya sangat lesu. Hal itu tentu membuat Daffa berdecak."Yang semangat, dong! Yaelah lemes amat lo." Daffa merangkul pundak Aira agar gadis itu bersemangat. Tetapi, agaknya dia tidak berhasil sebab Aira justru pergi meninggalkannya."Woi, tungguin gue!" teriak Daffa yang lantas menyusul Aira.Sampai di samping Aira, Daffa menggerutu. "Kebo lo, kenapa main ninggalin gue, sih?""Woi?" panggil Daffa karena Aira justru diam dan tampak melamun. Dia merasa sudah berbicara sendiri sedari tadi.Daffa mendecih, karena sekali lagi panggilannya diabaikan oleh Aira. "Ra, lo kenapa?" tanyanya lagi. Kini Daffa sudah menghadang jalan Aira dan memegang kedua pundaknya. Aira reflek mengerjap. "Hah, gue? Gue kenapa?"Daffa berdecak. "Kenapa lo jadi pendiem gini? Ini bukan lo yang gue kenal biasanya."Aira menghela napas,
"Pagi, Ma!" sapa Aira ketika ketika sampai di dapur dan melihat sang mama tengah menyiapkan sarapan pagi ini."Pagi, Aira! Yuk, kita sarapan bareng," balas suci dengan seulas senyum di bibirnya saat mendapati Aira yang sudah duduk di depannya. Sungguh, dia merindukan suasana seperti ini.Aira yang baru duduk mengerutkan kening karena ada seseorang yang belum tampak di kedua netranya. "Kak Serin mana, Ma?" "Bentar lagi juga dateng. Nah, tuh, dia."Serin berjalan menuju meja makan dan duduk di samping Aira. Senyumnya tampak menggelikan sembari menatap Aira dengan godaan. "Lo kangen gue, Ra?"Aira mendelik, juga mendengkus kecil. "Mastiin aja lo masih hidup, Kak.""Warisan gue cuma buat mama kalo gue mati." Serin terbahak sekilas, mengambil piring dan sendok di meja makan. Aira mendengkus lagi, ikut melakukan hal yang sama. "Yaelah, bercanda, astaga.""Udah-udah, mending kita mulai sarapan," potong sang mama menengahi. Membuat Serin tersenyum tipis, sementara Aira menghela napas. Sekeja